Friendship | Writing | Reading | Learning | Joking | Smiling | Laughing | Comfortable
Tentang Kami
Foto saya
Grup Cafe Rusuh merupakan suatu ruang lingkup tempat di mana para anggotanya bisa berbagi tentang segala hal. Kata "Rusuh" sendiri merupakan kependekan dari "Ruang suasana hati". Sebagai sebuah grup, Cafe Rusuh menjadi sebuah jembatan di mana persahabatan, kekeluargaan dan silaturahmi antara sesama anggotanya tetap terjaga. Selain itu, Cafe Rusuh juga memberikan kebebasan kepada para anggotanya untuk berbagi tentang segala hal seperti puisi, cerita, esai, tips-tips dan info-info yang bermanfaat bagi para anggotanya.

Rabu, 31 Agustus 2011

50 kata September Wish : Sukma Jiwa

by Dina Taz Mardiana
Haru dalam rindu, dinginnya malam ini terus menusuk, riuh pelukanmu selalu meninggalkan kehangatan dan tatapan resah hadir dalam desah nafasku. Ada harap tersisa dalam rona jingga, duabelas bulan dalam kata.
Nanti, akan samakah seperti malam ini, ingin kuhadirkan sorot mata tersisa biar kugenapi tirah ragumu dalam sukma, untukmu belahan jiwa.

50 kata September Wish : Lepaskanlah!

by Amy Tan
Ada yang tertinggal di telaga hatiku setelah semuanya berlalu,gejolak rasa itu mencekam jiwa.
Biarlah waktu kan menghapusnya.
Di antara harapan yang pupus dan cinta yang bergelora ini,rindu tentangmu menyekap setiap detak pada nadiku.

Walau tanpa kerelaan aku hanyutkan bayangmu di lautan hatiku.
Dan bila hadirku adalah resahmu
Lepaskanlah!

50 kata September Wish : Tentangmu

by Sinyo Manteman
Aku yakin bahwa setiap permohonan suatu saat pasti akan terwujud. Para malaikat akan membawanya ke langit ketika kita mengucapkannya dalam hati dengan tulus.

Kau tahu, aku selalu memohon agar Tuhan memberimu segala kebaikan supaya aku dapat tetap melihatmu tersenyum. Seperti halnya malam ini, aku bisikan dalam hati; Tuhan, jaga dia.

Jumat, 26 Agustus 2011

APCR : Rona Malam Braga

by Dina Taz Mardiana


langit merah merona jingga
kutelusuri setapak kota tua
tergoda kuhampiri kedai per house
ingin kusesap aroma cafein di senja yang mulai menggigil

malampun mulai beranjak, semilir angin kian menusuk kulit
kakiku terus melangkah, gerimispun  ruah, rerintiknya  jatuh tergenang ditanganku yang luluh
di tepi  trotoar ini aku  bertepi , bersandar pada dinding yang catnya  mulai pucat.
kusapu jalananan  dengan lirikan, di tepi sebuah gedung lukisanlukisan seni dijajakan
mungkin suatu pengabadian kenangan atau harap untuk sedikit tambahan

: dulu
disetapak trotoar ini, segolongan elit kolonial berkeliaran
bercumbu rayu dengan prestice
menghamburkan uang untuk de vries
atau butik au bon marche yang menjual fashion impor dari Paris

: Braga malam ini
Bagai simfoni lagu sunyi, bersenandung sepi
Rerindumu selalu kupeluk erat
Denyut  megah gedung tua yang kian menelisik
kian muram dengan sorotan lentera lampu jalanan
dirimu saksi bisu sejarah dalam memoar
permata kota Paris Van Java  yang mulai pudar


Note :
Coffe perhouse : rumah pelelangan kopi yang dibuat oleh Belanda yang kini jadi balai kota Bandung
De Vries : toko klontong yang selalu dikunjungi petani priangan kaya raya keturunan belanda atau orang kolonial Belanda
Butik au bon marche : salahsatu butik elit yang menjual pakaian impor dari paris dan merupakan tempat fashionnya  sinyo dan none Belanda yang merupakan asalnya kenapa Bandung dijuluki Paris Van Java

APCR : Dewata Menelan Jasadmu

by Nyi Penengah Dewanti


Pijak langkah membagi kecupan
Sedulang kasih memugar kenangan
Di antara rumpun dedaunan
Hati berdenyut secebis senyuman

Pulau dewata memeluk sahdu
Segumpal ari-ariku tertanam
Dayung rindu
Mengucap salam

Birunya langit jatuh dibirunya lautmu
Ombak-ombak harapan berlarian
Bergelayut memerciki batu karang
Jasadmu terbujur kaku

Pulau seribu pura
Menelan raga
Membunuh mimpi
Menjinjing sepi


Rimbun pesona
Alam beri pertanda
Sampai jumpa
Matahari senja

APCR : Bisikan Pasir Bromo

by Endang Ssn


Memoar jejak langit masih terbaca
Menyerpih dalam tetes mimpi yang mengangkasa
Perlahan terjuntai
Lalu rebah dalam padang hati

Di penghujung senja, Bromo selayak siluet indah
Tapak-tapak langkah mensejarah
Menilas para pejuang mimpi
Saat satu persatu merayap pasti

Bukan aksara
Tak juga termaktub kata
Tapi bukan kalimat biasa
Saat hampar pasir putih menggeliat goda

Mata terpana akan pesona
Menelisik sisa rasa yang masih ada
Tegak bersama bangun asa
Butiran halus pasir mendekap luar biasa

Desir pasir menjamah jemari
Halus belai sang empunya hati
Mencumbu telaga bening yang menari
Menyibak segenap misteri

Tertunduk sebentuk raga
Saat cintaNya menyapa mesra
Diantara lautan pasir
IndahNya terukir

Hai Jiwa
Mengapa mesti resah saja
Bukankah alam masih berbahasa
Sekeping makna semestinya kau eja

Bisikan pasir luruh dalam rasa
Bersama peluk megah Bromo
Sebuah catatan yang tak lekang
Meski zaman menghilang

APCR : Merindu, Indonesiaku

by Hazztami CiNtya LutHfi

Bambu - bambu yang menghunus
mengisahkan lembaran cerita Kemerdekaan
Memoles keelokan garuda yang mencengkeram Bhineka
Sobekan hati para pahlawan yang telah terjahit rapi
dalam merah putih

Mari turunkan angkuhmu
untuk mengangkat tanganmu dalam hormat
Indonesiaku yang kini mulai lelah
tersapu derita penuh goda
Aku sadar...
Aku tahu...
Aku dan mereka masih terpasung dalam kebodohan
yang menggerogoti obor semangat

Berikanlah seluruh isi rusukmu untuk tanah air
Hapus debu dan peluh dari Indonesiaku
Mari gertak para penjajah budaya
Satukan janji serta bukti...
Tuk menjaga sepenuhnya anugerah dalam
induk negeri
Agar merasakan sejuknya hadir dan merindu
Indonesiaku...

APCR : Sepucuk Surat Untuk Sang Ibu

by Kawako Tami


Salam Ibu,
Bumi yang menjadi rahim 200 juta dari kami.. 

Bu..
Apakah dera bagi anak yang durhaka?
Mencuri dari belanga ibunya..
Menjarah pusaka rumahnya..
Menandas hingga perut ibunya..

Tidak kami tahu, Bu, batas dosa kaki dan tangan ini
Tidak kami kira, Bu, hingga tersengal napasmu
dan jerit anak cucu kami.. 
Kami tak berhenti.. 

Bu.. 
Apakah dera bagi saudara,
yang menari di atas bangkai saudaranya?
Merebut pelangi masa kecil anak mereka
Merampas kehormatan istri-istri mereka
Menutup keran kehidupan mereka

Tidak kami rasa, Bu, keputusasaan mereka
Tidak kami dengar, Bu, hingga satu demi satu bertinggal nama
dan berlagu tawa di atas nisan mereka
Kami tak peduli

Ah.. Ibu..
Jangan kutuk kami jadi batu!

Meski kami putra putrimu
hanya malin-malin dalam rupa baru
Meminum darah dan air matamu
Bersantap bangkai putra-putrimu

Bu, jangan lempar sumpah serapahmu!
Karena kutulis surat ini, Bu..
Jikalau ada sekeping maafmu..
Jikalau waktu mau menunggu.. sadarku..


                                     Dengan cinta yang terkubur dan tak lagi terlihat
                                                                      ttd
                                     Kami anak-anakmu, maling dalam rumahmu

APCR : JANGAN MENANGIS LAGI PERTIWIKU

by Ammy Cheery-Ozon


Rintihan Pertiwi kian menyayat hati
dentuman sirine lara menjadi penghias telinga
entah itu karena bencana
entah itu karena diam
atas sebuah frase ”Merdeka dalam kepura-puraan”
           
Tubuhku selalu berputar
            sembari mulutku bergumam ”Andainya Pertiwiku bisa”
            bisa menjadi pijakan untuk insan kuat
            bisa menjadi tumpuan untuk insan yang lemah
            namun, tatkala imajiku bergerak keluar dari sebuah fatamorgana
            aku bungkam
            bungkam atas berbagai ketidakadilan
            bungkam atas berbagai ketidakberpihakan
            oh aku salah...ternyata ada keberpihakan
            tapi ternyata hanya untuk insan kuat

Aku tahu, Pertiwiku menangis
menjatuhkan bulir airmata di pipi kiri dan kanannya
aku berbisik ”Jangan Menangis Lagi Pertiwiku”
dibalik ketidakadilan yang kamu lihat
dibalik ketidakberpihakan yang kamu dengar
ada insan lemah namun kuat
kuat bertahan atas penindasan
bukan hanya diam tak bergeming
           
Layaknya dua sisi mata uang
Ada kiri, ada kanan
            ada penjilat, ada pemberontak
            pemberontak atas kemunafikan
            pemberontak atas keonaran terselubung
            pemberontak atas kebiadaban
            pemberontak ini akan selalu menyeka air mata Pertiwiku
            jadi, jangan menangis lagi Pertiwiku

APCR : Kita adalah Harapan (Elegi Indonesia)


by Zday Abiyasa

/1/ Dunia yang Lekang
dongeng satu malam tentang diskriminasi moral
anomali kekalahan meniti waktu
runcing permasalahan dihadapi dengan akal
inti sari agama menu sayur mayur beku

mata melepas kesadaran. dengan akal yang bertolak belakang
antara fungsi yang sudah terkontaminasi
terus meresap dan tumbuh diseantero dunia
agama berubah ladang permainan yang tak terkendali

pujangga politik baru cendekiawan malang sekiranya banyak
energi terbuang menambah daftar kesesatan
gulana gelap
"untuk apa jadi gulma?"
nonsen belaka -zaman sudah lekang
urusan dunia menjadi urgent
nafsu adalah senjata
gemuruh petir menyambarnya
aku melihat dengan mata kepala: saksi bisu tetapi!
nanar pencapaian dunia 'kan musnah jua

laga panggung lebar nan luas ini hanyalah sandiwarasandiwara glamour menyusun rencana
anggap hidup sekali
walaupun korbankan kehidupan yang akan datang
undangundang atau hukum agama sebagai topeng untuk menutupi keserakahan manusia sendiri.

"dasar manusia cerdik!"


/2/Ketika Indonesia Bangkit Kembali
ketika barabara api perlahanlahan menelan bumi
kita tidak masih diam disini menunggu senja

ketika luka masih terbalut
tak perlulah takut
darah mengering beku menyala melahap peristiwa pilu
walaupun terombangambing
kita masih bercanda
masih bisa melihat sekeliling
juga bersuara dan berdoa

tak kan lebih peduli
aku mau padamkan barabara api
agar tak menghanguskan hati

mungkin juga harum melati menyertainya
tatkala tiada darah yang meleleh dari tubuh kita
masih tersisa berjuta pertanyaan dalam lubang kepala
bergelimpangan ribuan nyawa
mati..
serentak semua terjadi disini
ketika tanah ini bangkit kembali


/3/ Kita adalah Harapan
layang raga melayang
ingin terbang bumiku sayang
gerbang beterbangan
debudebu hitam
tenggelam langit mulai tenggelam
kikis
habis kikis tanahtanah
gempal
janganlah berpandang mencurigakan
keegoisan melupa daratan
- lawan

janganlah menghilang
kita adalah harapan
bumi retak
langit gemeratak

APCR : Hari Inilah Hidupmu

by Minie Kholik


Jangan salahkan Ibu
bila kau tak punya baju
kau terlalu sibuk dengan piaraan baru
Di kepala kambing hitam itu ada

Lihatlah di luar pintu
banyak semut menggendong madu
kau lupa humus dan darah di bawah kaki
telah 66 tahun sirami pertiwi

Buka pintu dan jendelamu
buang benalu di otakmu
di sana banyak kayu
bakarlah semangat hangatkan tungku

tanak nasi di periuk
didihkan  keringat di tubuhmu
suapkan pada anak cucu
hari inilah hidupmu