Friendship | Writing | Reading | Learning | Joking | Smiling | Laughing | Comfortable
Tentang Kami
Foto saya
Grup Cafe Rusuh merupakan suatu ruang lingkup tempat di mana para anggotanya bisa berbagi tentang segala hal. Kata "Rusuh" sendiri merupakan kependekan dari "Ruang suasana hati". Sebagai sebuah grup, Cafe Rusuh menjadi sebuah jembatan di mana persahabatan, kekeluargaan dan silaturahmi antara sesama anggotanya tetap terjaga. Selain itu, Cafe Rusuh juga memberikan kebebasan kepada para anggotanya untuk berbagi tentang segala hal seperti puisi, cerita, esai, tips-tips dan info-info yang bermanfaat bagi para anggotanya.

Sabtu, 24 September 2011

BeCeKS-CR 1 : Ancaman Masa Lalu

by Rere Nanda Az Zahra


”Semuanya Rp. 35.500,- mas.” ucapku pada seorang pembeli di mini market, tempat dimana aku bekerja.
 Aku membantunya memasukan barang belanjaannya ke dalam kantong plastik yang cukup besar. Pemuda itu menyerahkan selembar uang kertas Rp. 50.000,- dan aku dengan teliti mengembalikan sisa uang beserta notanya. Ia tersenyum dan mengucapkan terima kasih, lalu keluar dari mini market.
 Dan tiba-tiba ponselku berdering dari saku rok hitamku. Nada deringnya menandakan ada pesan yang masuk. Dan kulihat nama Kizzy tertera di layarnya.
 ”Temui aku di Cafe Rusuh yang terdapat di kota tua jam 5 sore ini, ingat jangan telat barang sedetikpun. Jangan juga datang sebelum jam 5 sore. Harus tepat jam 5 sore.
 ”Jangan bawa teman atau siapapun. Bila tidak, aku tidak akan menanggung akibatnya nanti.
 ”Satu lagi, kau tidak boleh membocorkan pada satu orangpun tentang pertemuan kita.
 ”Segalanya bergantung pada putusan akhir darimu. Baik buruknya, kau yang tentukan.”
 Aku melihat isi BBM yang baru ku terima lima menit yang lalu dengan bingung. Apa yang terjadi? Brengsek! Dimana letaknya Cafe Rusuh itu?
 Aku menghempaskan tubuhku, bersandar pada kursi, menghembuskan nafas yang cukup berat. Lelah. Kulirik jam tanganku, jarum pendeknya menunjuk ke angka 3, sedangkan yang lebih panjang terhimpit diantara 8 dan 9.
 Apa lagi yang ia inginkan dariku? Batinku memelas. Sungguh lelah harus berurusan dengannya lagi. Jari-jariku mulai mengetik untuk membalas pesan dari Kizzy, berusaha menyusun kalimat yang pantas untuk membalasnya. Setelah beberapa kali ku hapus kalimat yang ku ketik, akhirnya aku memutuskan untuk mengetik 'oke' saja, dan ku tekan tombol send.
 Beruntung sekali hari ini aku shift pagi, jadi jam 4 aku bisa langsung pergi ke kota tua. Paling tidak masih ada waktu satu jam untuk mencari dimana Cafe Rusuh itu. Aku ingat, aku pernah ke kota tua bersama Kizzy sebulan yang lalu mengendarai motor matic-nya, dan itu hanya memerlukan waktu sekitar setengah jam. Maka aku putuskan untuk naik taxi, agar lebih cepat.
 ***

 ”Kota tua ya, pak!” kataku pada supir taxi, suaraku terdengar tegang.

”Baik neng.” sahut supir itu, kelihatannya dia sudah separuh baya.
 Dalam perjalanan, aku hanya merenung. Membiarkan pikiranku melayang sendiri entah kemana. Mengingat Kizzy hanya membuat luka lamaku menganga lagi. Dan lagi-lagi aku teringat Cafe Rusuh. Sial!
 ”Pak, tau gak dimana Cafe Rusuh?” aku memberanikan diri bertanya pada supir taxi itu. Hanya mencoba peruntunganku.
 ”Neng mau kesana?” ia balik tanya.
 ”Iya, pak. Bapak tau?”
 ”Tau, neng. Bapak bisa anter neng langsung kesana, kalo neng mau.”
 ”Gak usah, pak. Bapak turunin aku agak jauh dari Cafe Rusuh aja, saya jalan aja kesananya. Nanti bapak tunjukin aja.” pintaku.
 ”Baik, neng.”
 Benar saja, masih ada 20 menit untuk sampai jam 5. Aku memutuskan untuk menunggu di dalam taxi. Cafe Rusuh hanya beberapa meter dari taxi. Lega.
 ”Saya tunggu di dalem taxi sampe jam 5, gak papa kan pak?” tanyaku lagi.
 ”Gak papa, neng.” ia tersenyum.
 Jam 5 kurang 5 menit, aku keluar dari taxi, setelah memberikan uang taxi. Berjalan menuju Cafe Rusuh tergesa-gesa. Di depan parkiran cafe itu, aku melihat motor matic milik Kizzy. Warnanya masih sama, hitam berkombinasi orange. Aku masuk dan melihat Kizzy duduk di meja paling pojok, dan menghampirinya.
 ”Duduk, Sha.” katanya datar.
 ”Ada apa sih? Kamu mau apalagi?” suaraku bergetar, hampir menangis. Sulit mengendalikan perasaanku dengan benar jika bertatap muka dengannya seperti ini.
 ”Kamu masih cantik, kaya dulu. Gak berubah.” katanya lagi, masih tenang.
 Aku tak menghiraukannya. ”Kamu mau apa?”
 Lalu Kizzy melemparkan sebuah amplop putih ukuran besar ke atas meja. ”Liat aja.” katanya.
 Aku meraih amplop itu lalu membukanya. Terkejut.
Di dalamnya semua foto-fotoku tanpa busana yang di ambil sewaktu aku masih berpacaran dengannya beberapa bulan yang lalu.
 ”Kamu mau apa? Ini apa maksudnya?” ujarku hampir menangis.
 ”Aku tunggu kamu disini 3 hari lagi, jam yang sama, meja yang sama. Bawa perlengkapan kamu seperlunya, kita pergi dari sini ke Paris. Kalo kamu gak dateng, minggu depan tepat hari pernikahan kamu, semua foto ini akan tersebar di internet.” jelas Kizzy dan nadanya masih tenang.
 Aku terdiam, dan air mataku mulai menetes ke pipi.
 ”Aku sayang kamu, Sha. Tapi kalo kamu gak bisa jadi milik aku, gak akan ada orang yang boleh milikin kamu. Ngerti?!” Kizzy menyentuh daguku. Memintaku menatapnya, ia mengusap air mataku.
 ”Aku udah gak sayang kamu!” ucapku terisak-isak. ”Jadi gak mungkin aku pergi sama kamu.”
 Kizzy memalingkan wajahnya. Emosi.
”Teserah. Baik buruknya ada di tangan kamu Sha. Pikirin baik-baik.” Ia bangkit dari duduknya, berjalan melewatiku, dan berhenti sejenak di sampingku. ”Aku punya banyak foto yang lebih dari itu. Aku sayang kamu, Sha.” ia berbisik, lalu pergi meninggalkanku sendiri menangis.
 ***
 Sesampainya di rumah, aku menangis sejadi-jadinya. Aku harus bagaimana? Semuanya seperti mimpi buruk, berharap ada yang datang membangunkanku. Lalu seseorang mengetuk pintu kamarku.
 ”Siapa?” teriakku parau.
 ”Ini aku, Sha. Anna.” katanya dari seberang pintu.
 ”Masuk aja.”
 Anna langsung duduk disebelahku, di atas ranjangku.
”Tadi aku ketemu mamah kamu di luar, katanya kamu ada dikamer, jadi aku langsung kesini aja.” jelas Anna. ”Kamu kenapa, Sha?”
 ”Tadi aku ketemu ama Kizzy, terus...dia...” aku menjelaskannya dengan nada terisak, terputus-putus.

”Sha...tenangin dulu, pelan-pelan, Kizzy kenapa?”
 Setelah tenang, aku menceritakan semuanya pada Anna. Ku dapati wajahnya penuh dengan emosi, terkejut, kecewa, marah, jadi satu.
 ”Aku gak tau harus gimana, Na.” desahku memelas.
 Anna memelukku, membiarkan aku menangis lagi dalam dekapannya.
 ”Sabar ya, Sha.”
 ”Aku takut Na, kamu tau kan Kizzy itu susah. Keras kepala banget, dan gak mau dengerin orang. Aku jelasin sampe mulutku berbusa pun, dia gak akan ngerti, kalo aku gak bisa bareng dia lagi. Dia itu nekat, Na.” kata-kataku terlontar begitu saja.
 ”Kita bisa delete semua foto kamu kan, Sha.”
 ”Gimana caranya? Berdoa biar komputer dia di samber geledek?”
 Anna tertawa, ”Kamu loh...masih bisa ngelucu.”
 ”Aku serius Na. Kalo aja komputer dia rusak.”
 ”Shasaa...aku ada ide. Aku dapet ide.” pekik Anna girang.
 Aku bengong, melihat ekspresinya yang kelewat hiper itu. ”Apa?”
 ”Kita temuin temenku, dia pasti bisa bantu. Besok aku ajak kamu kesana, oke?”
 ***
 Anna bilang tante Dina bisa menolongku, menyelesaikan masalah tentang foto-foto vulgar itu. Aku sendiri belum pernah bertemu dengan tante Dina. Anna membawaku ke tempat yang hampir mirip dengan rumah kos-kosan. Tapi isinya semua hampir cewek-cewek yang mungkin bekerja sebagai pelacur.
 Lalu aku bertemu seorang wanita seksi dan mempesona berumur sekitar 30an.
 ”Itu tante Dina.” kata Anna berbisik padaku.
 Kami pun mengobrol masalahku. Lalu tante Dina memintaku memberikan alamat rumah Kizzy dan fotonya.
 ”Untuk apa tante?” tanyaku bingung, karna aku tak tau apa rencana mereka.

”Tenang aja, Sha. Tante gak bakal ngapa-ngapain dia kok. Kamu siapin aja virus yang bisa ngerusak sejua data dikomputernya si Kizzy itu, dan jangan lupa siapin obat tidur juga.” jelas tante Dina panjang, dan ia tersenyum di akhir kalimatnya.
 ”Udah ada kok tante, aku udah siapin semua yang kita butuhin.” Anna menyela pembicaraan kami.
 Mataku menyipit memandang Anna, curiga.
 ”Aku udah pikirin semuanya, Sha. Kamu tenang aja ya.” bisiknya ditelingaku lagi.
 ”Oke, kalo gitu kita bisa pergi ke tempat Kizzy sekarang dan jalanin rencana kita.” perintah tante Dina.
 ***
 Aku, Anna, dan tante Dina bersama menuju kediaman Kizzy. Kami memakai mobil Anna, dan ia yang menyetir. Tante Dina duduk di sebelahnya, sementara aku terasingkan di belakang. Aku bingung, pikiranku kacau. Kalau saja aku tau apa yang akan mereka lakukan pada Kizzy dengan obat tidur dan virus itu, mungkin aku tak akan secemas ini.
 Mobil kami sudah memasuki perumahan real estate milik Kizzy. Petugas penjaganya masih mengenalku, jadi kami bisa masuk ke wilayah itu tanpa diiringi pertanyaan yang merentet. Anna memarkirkan mobilnya beberapa meter dari rumah Kizzy, aku dapat melihat rumah itu dengan jelas dari dalam mobil.
 ”Ayo!” ajak Anna padaku.
 Anna dan tante Dina sudah lebih dulu turun dari mobil. Kami berjalan terpisah. Tante Dina berjalan terlebih dahulu di depan aku dan Anna. Aku hanya perlu menunjukan yang mana rumah Kizzy pada tante Dina.
 ”Yang gerbang biru itu, tante.” kataku.
 Tante Dina mengangguk, dan Anna memberikan bungkusan plastik putih kecil pada tante Dina. Aku rasa itu obat tidur. Aku dan Anna bersembunyi di balik tembok rumah yang bersebelahan dengan rumah Kizzy, tidak terlalu jauh. Jadi kami masih bisa meluhat dan mendengar tante Dina bicara.
 Tangan tante Dina memencet bel rumah Kizzy beberapa kali, lalu beberapa menit kemudian seseorang membukakan gerbangnya, itu Kizzy.
 Dengan wajah yang terlalu manja dan menggoda, tante Dina menyapa Kizzy. ”Maaf, ganggu kamu. Saya lagi jalan lewat sini, tapi di perjalanan saya kebelet. Hmm...boleh saya pake toilet rumah kamu?” tante Dina memainkan jemarinya untuk menggulung-gulung rambut bagian sampingnya.
 Kizzy hanya memandangi tante Dina dari atas sampai bawah dengan ekspresi wajah yang aneh. Lalu ia mengangguk sekali. Tante Dina langsung masuk di ikuti Kizzy setelah ia mengunci kembali gerbangnya.
 Aku dan Anna berlari kecil menuju gerbang itu, mengikuti mereka.
 ”Yah, gerbangnya di kunci duluan lagi.” keluhku, melihat gemboknya terkunci. ”Gimana kita bisa masuk kalo gini?”
 ”Jepit item kamu mana?” tanya Anna sambil menyodorkan tangannya padaku, meminta jepit rambut yang ku pakai.
 Aku menurutinya, mengambil jepit kecil berwarna hitam dari rambut depanku lalu memberikannya pada Anna.
 Anna langsung meraihnya. Ia mencoba membuka gembok itu dengan jepit rambutku. Beberapa kali di coba tapi gemboknya tetap terkunci. Anna pun mulai mengeluh.
 ”Brengsek!” keluhnya. ”Ini gembok pintu apa rante kapal sih? Susah banget!”
 ”Sini aku coba.” aku menawarkan diri, meminta jepit itu.
 Mata Anna menyipit, wajahnya terkesan tak percaya kalau aku melakukan itu. Ia berpikir sejenak, beberapa detik, lalu menyerahkan jepit itu dan menyingkir dari depan gerbang. Kita bertukar posisi.
 Aku mencobanya, tapi sulit sekali. Keringatpun mulai bercucuran, ku sadari matahari memang tepat di atas kepalaku.
”Susah!” pekikku, mendesah.
 ”Kita manjat aja deh yah?” Anna menawarkan ide lain.
 ”Kalo ketauan satpam depan gimana?” aku khawatir.
 ”Abis ini susah banget sih, bangke!” caci Anna kehabisan kesabarannya. ”Tante Dina di dalem lagi ngapain, kita juga gak bisa tau.”
 ”Ya udah kita coba lagi, pelan-pelan.” aku berusaha menenangkan Anna.
 Ia menurut, dan kali ini berhasil. Gemboknya terbuka.
 ”Yes!” pekik Anna pelan, dan aku tersenyum puas.

Kami pelan-pelan membuka gebangnya, dan menutupnya lagi. Tapi gerbangnya kami biarkan tak terkunci. Lalu aku memandu Anna memasuki rumah itu. Tatanan rumahnya tidak ada yang berubah dari beberapa bulan yang lalu terakhir aku disini.
 Ketika kami memasuki ruang tamu, kami mendengar suara riang tante Dina bebarengan dengan tawa Kizzy yang terkesan datar dari ruangan sebelah kanan. Itu kamar Kizzy, pintu kamarnya terbuka sedikit. Kami mengendap-endap disekeliling kamar, berharap menemukan tempat yang cocok untuk dijadikan tempai pengintaian.
 Aku ingat, ada jendela kecil penghubung kamar Kizzy dengan kamar kosong disebelahnya. Aku mengajak Anna masuk ke kamar kosong itu agar bisa melihat apa yang sedang mereka lakukan. Anna mengikutiku dari belakang sementara matanya mengitari seisi ruangan.
 Ku dapati tante Dina sedang duduk di ranjang Kizzy meminum bir, dan Kizzy di sebelahnya, menatap tante Dina dengan ekspresi yang sulit aku utarakan. Tiba-tiba saja, entah dengan sengaja atau tidak, tate Dina menumpahkan minumannya tepat di baju Kizzy. Kizzy terlonjak kaget, dan tante Dina terlihat panik.
 ”Aduh, maafin aku. Aku gak sengaja, maaf yaa.” celoteh tante Dina dengan suara yang masih manja, sama seperti waktu di gerbang tadi.
 Dan aku marah melihat itu. Aku cemburu. Sial! Kenapa perasaan ini harus datang disaat seperti ini. Padahal tante Dina itu berniat menolongku. Sepertinya Anna mengerti akan perasaanku melihat kejadian itu. Ia memegang erat bahuku.
 ”Kendaliin perasaan kamu, Sha.” katanya berbisik di telingaku.
 Aku mengangguk pelan. Masih ku lihat tante Dina berusaha membantu Kizzy me-lap minuman yang tumpah itu, padahal sudah jelas-jelas minuman itu sudah diserap baju yang Kizzy pakai.
 ”Kayaknya aku mesti ganti bajuku dulu.” kata Kizzy seraya bangkit dari duduknya melangkah menuju lemari pakaiannya.
 Sementara itu aku lihat tante Dina memasukan sesuatu ke dalam minuman Kizzy, ku rasa itu obat tidur yang Anna berikan tadi. Setelah itu tante Dina berjalan membawa minuman itu menghampiri Kizzy. Tante Dina memeluk Kizzy yang masih bertelanjang dada dari belakang dengan satu tangan, dan tangan yang lain menyodorkan minuman itu pada Kizzy.
 ”Diminum sayang.” desah tante Dina tepat di telinga Kizzy.

Dengan wajah terkejut karena pelukan yang tak disangkanya, dan ekspresi yang berseri, Kizzy meminum bir yang di berikan tante Dina. Tidak sampai habis, tapi tante Dina dengan halus memaksanya meminum bir itu lagi. Bibir tante Dina mulai menyusuri pipi Kizzy, lalu bergeser ke dagu dan berhenti tepat di samping bibir Kizzy.
 Kizzy mulai menggerakan tangannya, memeluk pinggang tante Dina dengan gerakan penuh nafsu. Melumat bibir tante Dina yang kelewat sensual itu, dan merebahkan tante Dina di atas ranjangnya.
 Tapi obat itu bekerja lebih cepat dari Kizzy, sebelum Kizzy sempat melepaskan baju tante Dina, ia sudah tergeletak. Tertidur di samping tante Dina. Ku dengar tante Dina memanggil nama Kizzy beberapa kali, mengecek apakah ia benar-benar sudah tertidur.
 Lalu tate Dina mengeluarkan ponselnya dan mulai mengetik, ku rasa ia mengirim sms. Benar saja, ponsel Anna langsung bergetar pertanda sms masuk.
 ”Kita bisa kesana sekarang. Ayo!” perintah Anna, menarik lenganku keluar dari kamar kosong itu.
 Ketika sampai di kamar Kizzy, Anna langsung berkutat dengan komputer Kizzy yang terletak di ujung kamar. Tante Dina berusaha merapihkan baju dan peralatannya. Sedangkan aku, mataku tertuju pada Kizzy yang tertidur.
 Bagaimana bisa ia berkata menyayangiku, sedangkan dengan tante Dina saja tadi seperti itu? Aku menangis sendiri, meratapi kebodohanku, yang bisa menyayangi orang semacam Kizzy. Lalu tante Dina menghampiriku, mengusap air mataku.
 ”Sabar ya Sha, lupain cowok kaya Kizzy. Calon suami kamu jauh lebih baik dari bajingan macem Kizzy ini.” kata tante Dina prihatin.
 ”Iya tante, makasih.”
 Lalu perhatianku beralih pada Anna yang masih berkutat di depan layar monitor. Aku berjalan menghampirinya.
 ”Gimana, Na?” tanyaku, suaraku terdengar parau.
 ”Bentar lagi selesai, Sha. Sabar yah.” sahutnya, tanpa menoleh ke arahku.
 ”Aku bisa bantu apa?” nadaku sekarang terdengar pasrah.
 ”Gak ada.” jawab Anna singkat. ”Kamu tunggu di luar aja kalo bosen, sebelum Kizzy sadar. Ntar aku nyusul.”

”Aku disini aja, nemenin kamu.”
 Hampir 20 menit Anna mengotak-atik komputer itu, dan akhirnya selesai. Komputer itu mati. Anna tersenyum puas.
 ”Ayo.” ajaknya, menarikku keluar dari kamar Kizzy, dan keluar dari rumahnya juga.
 ”Udah selesai yah?” tanyaku bingung, ketika Anna menggandengku keluar dari gerbang.
 ”Semuanya udah aku delete.” jawabnya. ”Kita ke mobil dulu, tante Dina pasti udah nungguin kita, baru ntar aky jelasin.”
 Aku pun menurutinya.
 Anna menyerahkan sebuah amplop cokelat kecil pada tante Dina, ketika kami berada di mobil. ”Ini tante, makasih yah.”
 ”Sama-sama, Na.” sahut tante Dina.
 ”Sha...ternyata kamu seksi juga yah.” Anna menggodaku.
 ”Apaan sih?” kataku datar.
 ”Foto-foto itu, gak heran Kizzy cinta mati ama kamu sampe kaya gitu.”jelas Anna.
 ”Gak usah bahas itu lagi yah, please...” pintaku hampir memohon.
 Lalu Anna memelukku. ”Semua udah selesai Sha. Gak ada yang perlu kamu takutin dari masa lalu kamu.”
 Ya, semua telah berakhir. Kini saatnya memulai buku baru untuk masa depanku. Pernikahanku tinggal beberapa hari lagi, tanpa ancamab masa laluku.
 -------
 *******
The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar