Friendship | Writing | Reading | Learning | Joking | Smiling | Laughing | Comfortable
Tentang Kami
Foto saya
Grup Cafe Rusuh merupakan suatu ruang lingkup tempat di mana para anggotanya bisa berbagi tentang segala hal. Kata "Rusuh" sendiri merupakan kependekan dari "Ruang suasana hati". Sebagai sebuah grup, Cafe Rusuh menjadi sebuah jembatan di mana persahabatan, kekeluargaan dan silaturahmi antara sesama anggotanya tetap terjaga. Selain itu, Cafe Rusuh juga memberikan kebebasan kepada para anggotanya untuk berbagi tentang segala hal seperti puisi, cerita, esai, tips-tips dan info-info yang bermanfaat bagi para anggotanya.

Rabu, 21 September 2011

BeCeKS-CR1 : Hello Stranger

by Sinyo Manteman


"Temui aku di Cafe Rusuh yang terdapat di kota tua jam 5 sore ini, ingat jangan telat barang sedetikpun. Jangan juga datang sebelum jam 5 sore. Harus tepat jam 5 sore.

Jangan bawa teman atau siapapun, bila tidak. Aku tidak akan menanggung akibatnya nanti.

Satu lagi, kau tidak boleh membocorkan pada satu orangpun tentang pertemuan kita.


Segalanya bergantung pada putusan akhir darimu. Baik buruknya, kau yang tentukan."

Aku melihat isi ВВМ yang baru kuterima lima menit yang lalu dengan bingung. Apa yang terjadi? Brengsek! Di mana letaknya Cafe Rusuh itu?
Aku melirik arloji, 3.10 pm. Gawat! Aku harus bergegas ke Kota Tua sebab aku masih harus mencari di mana letak Cafe Rusuh itu. Kutinggalkan begitu saja pekerjaanku di meja.

"Woi..! Kemana lo?" tanya Beni, teman sekantorku. Tapi tak kugubris.

*****




Kawasan Kota Tua, 4.32 pm.

Sudah dua kali aku keliling kawasan Kota Tua, tapi tak juga kutemukan Cafe Rusuh. Aku berhenti sebentar di tukang rokok.

"Bang, Dji Sam Soe sebungkus ya. Berapa?"
"13.000"
"Bang, tau Cafe Rusuh gak?" tanyaku seraya menyodorkan uang rokok.
"Cafe Rusuh, jalan ini lurus aja, mentok trus ke kiri kira-kira 10 meteran dah." si tukang rokok menunjuk jalan yang ada di sebelah kananku.
"Oh, makasih ya!"

Aku ikuti petunjuk penjual rokok tadi. Dalam hati aku bergumam, "Bodoh! Kenapa gue gak kepikiran lewat jalan ini."

Aku sengaja memarkir mobil beberapa meter agak jauh di seberang Cafe Rusuh. Sepuluh menit lagi jam 5. Sebentar aku masih berada dalam mobilku. Handphone-ku bergetar. Sebuah pesan singkat kuterima, "Meja 7". Aku segera keluar dari mobil dan berlari menuju ke Cafe Rusuh. Aku sempat melirik arlojiku, jam 5 pas.

Meja 7. Meja yang berada di pojok ruangan tepat di pinggir jendela sehingga aku bisa dengan leluasa melihat keluar. Seorang pelayan menghampiriku dan menyodorkan menu.

"Selamat datang. Silahkan, mau pesan apa?"
"Hmm, Strong Expresso Large aja, mbak."
"Strong Expresso Large. Snack-nya?"
"Nanti aja, saya masih nunggu teman."
"Ok, sebentar pesanannya segera saya antar."

Aku mengambil sebatang rokok, tapi sial pematikku tertinggal di mobil. Tak seberapa lama kulihat Shasa memasuki Cafe Rusuh dan langsung menuju ke arahku.

"Tepat waktu?" tanya Shasa.
"Mau lo gitu, kan." jawabku singkat.
"Ya, gue tau. Gue ada di Batik Boutique, seberang tuh. Gue juga tau di mana lo parkir mobil dan lo nunggu sampe jam 5 pas."
"Oh, jadi lo sengaja ngerjain gue?"
"Itu gak penting. Ada yang lebih penting lagi." kata Shasa seraya mengeluarkan rokok dari tasnya dan mengambil sebatang lalu menyalakannya.
Seorang pelayan menghampiri kami, mengantarkan pesananku tadi sekaligus bertanya apakah ada pesanan lain. Seperti biasa, di kafe manapun kami bertemu, Shasa selalu memesan Caffe Latte.

"Jadi, apa yang penting itu?" tanyaku.
"Ada yang belum beres dari job kita beberapa minggu lalu." kata Shasa dengan muka serius.
"Shit! Udah gue duga. Sistem itu gak bekerja baik dan cuma menyamarkan doang."
"Ada seseorang yang berusaha merentas sistem itu, Nyo. Dan dia nyoba untuk melacak kerja kita."
"Wow, wait a minute! Jadi lo minta gue perbaiki sistem itu, iya?"

Seorang pelayan kembali datang mengantarkan pesanan Shasa. Setelah memastikan tak ada pesanan lagi, ia pun pergi meninggalkan kami.

"There's no man better than you." Shasa memasang muka berharap.
"No, I'm quit! Bukannya lo bilang gue selesai sampai di situ."
"Ya, jika tak ada masalah."
"Ntar dulu, gue cuma ngejalanin apa yang bos lo minta. Masalah itu bukan tanggung jawab gue!"
"Memang, tapi lo juga tau kan resikonya kalo semua berantakan."
"Sha, gue udah punya kerjaan mapan dan apa yang gue lakuin beberapa minggu lalu, itu yang terakhir."
"Gue juga, Nyo. Walaupun cuma seorang kasir. Tapi kenapa bos gue minta lo handle job itu, karena dia tau hasil kerja lo gimana."
"So, kenapa gue harus pusing? Masalah itu kan bukan kesalahan gue."
"Bener, tapi apa lo gak mikir. Jika salah satu dari kita kebongkar, semua kena."

Kunyalakan sebatang rokok lalu terdiam sambil berpikir tentang segala kemungkinan yang akan terjadi. Sebenarnya aku sudah tak ingin melakukan pekerjaan itu jika saja bukan Shasa yang meminta.

"Semua ada di tangan lo, Nyo. Waktu kita gak banyak."
"Kenapa gak cari orang lain..?"
"Udah gue bilang kan, gak ada yang sebaik lo untuk ngelakuin pekerjaan ini, Nyo. Lagipula, sistem itu lo yang pasang."

Aku kembali terdiam sambil sesekali menyesap kopiku yang mulai dingin.

"Ya udah, gue harus kerja. Gue tunggu kabar dari lo dan inget Nyo, semua tergantung ama lo." kata Shasa seraya berdiri dan meninggalkanku.
Aku masih belum beranjak dari kursiku sambil memikirkan perkataan Shasa tadi. Di luar kulihat Shasa sedang memberhentikan taksi. Sebelum taksi yang ditumpanginya berlalu, aku masih sempat melihat isyarat tangannya agar aku menelponnya.

*****


Depok, 1.23 am.

Sudah lewat tengah malam aku masih belum juga merasa ngantuk. Pikiranku dipenuhi berbagai macam hal yang membuat suntuk. Laptop masih kubiarkan menyala. Kubaca sebaris iklan sebuah agen perjalanan yang menawarkan paket perjalanan murah. Sempat terlintas di pikiranku untuk menghilang, atau menghindar dari apa yang sedang kuhadapi. Tapi bagaimana nanti pekerjaanku? Ah, jika tahu akan seperti ini, menyesal kuterima tawaran Shasa beberapa minggu lalu.

Sebentar kupergi keluar untuk menghilangkan suntukku. Udara malam seusai hujan yang menerpa wajahku dan lengangnya suasana jalan yang masih tampak basah, terasa cukup menyejukan. Kuhentikan motorku di sebuah mini market. Setelah membeli sekaleng bir dan sekotak rokok, aku pun kembali ke rumah. Setibanya di rumah kudapati lima panggilan tak terjawab. Aku memang sengaja tak membawa handphone tadi. "Ah, Shasa.." gumamku dalam hati ketika kulihat namanya di layar.

Aku masih belum bisa tertidur. Di kepalaku masih terngiang perkataan Shasa. Beberapa SMS Shasa sengaja tak kubalas. Begitu juga notifikasi inbox FB, hampir kebanyakan dari dia. Sesekali kutimang-timang handphone-ku. Aku masih ragu antara mengiyakan atau menghilang. Jika aku mengiyakan, itu berarti aku kembali bermain dalam bahaya. Tapi kalaupun aku menghilang, ini tidak akan pernah selesai. Akhirnya menjelang subuh barulah aku bisa tertidur.


7.58 am.

Dering handphone membuatku terbangun. Kepalaku terasa berat sekali. Kurasa karena baru sebentar aku memejamkan mata. Dengan mata yang masih setengah terpejam kuangkat panggilan itu.

"Gue udah di depan rumah lo." kata Shasa singkat.

What! Sontak aku terkejut mendengar perkataan Shasa di ujung telepon. Aku langsung melongok keluar jendela dan benar saja, Shasa sudah berdiri di depan rumahku. Aku buru-buru membukakan pintu dan menyuruhnya masuk. Bahkan, aku sampai lupa mencuci mukaku.

"Ngapain lo ke mari?" tanyaku.
"Gue telpon lo berkali-kali gak diangkat. SMS gue juga gak ada yang lo bales. So, gue terpaksa ke sini." kata Shasa.
"Gue sibuk. Tapi kan setidaknya gue baca SMS lo."
"Tidur jam berapa lo? Cuci muka dulu gih, bau!"
"Subuh gue baru tidur dan lo ke sini, sepagi ini.. Damn!"

Aku menyalakan sebatang rokok.

"Bos gue pengen ketemu lo." kata Shasa.
"What?" ucapan Shasa membuatku kaget. "Are you insane? Mau apa lagi? Kan gue bilang gue udah gak mau ada urusan lagi."
"Udah sekarang lo mandi trus ikut gue. Tenang aja, gue jamin lo aman."
"Bukan masalah aman ato enggak, tapi.. Damn!"
"Udah sana buruan, keburu siang, panas."

Aku tak bisa mengelak dan terpaksa mengikuti kemauan Shasa.
Setelah siap, kami pun segera berangkat. Aku sengaja membiarkan Shasa yang menyetir karena aku masih terlalu mengantuk. Dia membawa mobil ke arah Bogor. Sesekali kulirik Shasa. Dia tampak begitu tenang. Sementara aku, sangat cemas.

Mobil terus melaju dan sepanjang perjalanan itu kami tak saling bicara. Begitu keluar pintu tol Bogor, Shasa mengarahkan mobil ke daerah Parung hingga akhirnya kami tiba di sebuah perumahan elit. Seorang satpam menghampiri kami.

"Selamat siang, bu. Mau kemana?" tanya satpam itu.
"Mau ke rumah pak Gerry, di Blok F" jawab Shasa.
"Oh ya, silahkan." segera satpam itu membukakan portal. Kami pun segera menuju ke Blok F.
Akhirnya kami pun tiba di sebuah rumah mewah. Shasa membunyikan klakson sekali dan tak lama seseorang lelaki membuka pintu gerbang. Kami pun langsung masuk.

"Ayo turun." kata Shasa. Ada sedikit ragu terbersit di benakku, tapi aku berusaha untuk tetap tenang. Aku pun turun mengikuti Shasa.

"Bapak mana?" tanya Shasa pada tukang kebun yang tadi membukakan pintu gerbang.
"Ada di belakang, mbak. Sudah ditunggu." jawab si tukang kebun itu.

Shasa melangkah tenang. Dia seperti sudah hafal betul seluk-beluk rumah dan pemiliknya. Kami pun langsung menuju teras belakang melalui pintu samping. Aku perhatikan rumah ini begitu sepi, seperti hanya beberapa orang saja yang tinggal di dalamnya. Ketika sampai di teras belakang kulihat lelaki kira-kira berumur 40 tahun ditemani seorang perawat. Dia duduk di kursi roda dengan banyak selang di tubuhnya.

Inikah orang yang beberapa minggu lalu memberiku pekerjaan? Seorang mafia berkedok kolektor barang antik. Memang selama aku melakukan pekerjaan yang dimintanya, aku tak pernah bertatap langsung dengannya. Semua tugas kudapat lewat Shasa. Dan jika aku tak salah duga, Shasa sudah lama bekerja untuknya.

Shasa mendekati lelaki itu, membisikan sesuatu. Kemudian perawat yang tadi bersamanya, disuruhnya meninggalkan kami bertiga. Aku pun diminta mendekat. Ya, aku ada tepat di depan seorang mafia sekarat.
"Nyo, ini pak Gerry." kata Shasa.

Aku hanya mengangguk pelan. Begitu juga pak Gerry. Lalu ia mengambil sebuah amplop coklat dan memberikannya padaku sambil berkata, "Selesaikan". Hanya kata itu yang keluar dari mulutnya sebelum perawat menghampiri kami dan membawa pak Gerry ke kamarnya. Sejenak aku dan Shasa saling berpandangan sebelum akhirnya kami pun meninggalkan rumah itu. Di perjalanan pulang, aku sempat bertanya siapa sebenarnya Shasa.

"Jadi, sekarang lo mau jujur ke gue siapa sebenarnya lo?" tanyaku.
"Ya seperti apa yang lo tau." jawab Shasa enteng.
"Bullshit! Tiga tahun gue kenal lo, tapi lo ga pernah cerita siapa sebenarnya lo."
"Gue juga baru kenal pak Gerry sekitar dua bulan, Nyo. Dan dia minta gue nyariin orang yang ngerti dunia cyber."
"O, jadi lo baru kenal gitu? Trus lo langsung ngelibatin gue?"
"Sorry, Nyo. Gue juga gak tau kalo kerjaannya seperti itu." Shasa beralibi.
"Hah! Gak tau, Sha? Hei, tunggu dulu. Gue liat lo seperti udah kenal deket ama dia."

Sikap Shasa tiba-tiba berubah waktu aku berkata seperti itu. Seperti ada yang dia sembunyikan.

"Atau jangan-jangan, kerjaan lo sebagai kasir itu cuma sekedar kedok buat nutupin semua ini? Iya, gitu?"

Shasa hanya diam sambil mengambil sebatang rokok dan menyalakannya.

"Jawab gue, Sha!" aku membentaknya.
"Ok..! Ok..! Gue emang udah lama kenal ama dia. Dan gue terpaksa bohong ama lo."
"Damn! Kenapa lo gak jujur ama gue dari awal?"
"Gue akan ceritain semua, tapi ntar setelah semuanya selesai. Ok?" kata Shasa dengan nada memelas. Aku hanya diam sambil mencoba menenangkan emosi dan pikiranku. Begitu juga Shasa. Ya, kami sama-sama diam hingga tiba di Jakarta.

Shasa memintaku mengantarnya ke mini market tempat ia bekerja. Sebelum meninggalkannya, ia sempat berkata padaku agar aku menelponnya segera, tapi aku tak menyahut.

*****



Dua hari kemudian.
Cafe Rusuh, 2.08 pm.

Kusortir nama Shasa di layar handphone-ku.

"Cafe Rusuh jam 3 sore ini."

Message sent.

Sambil menunggu Shasa, aku mengeluarkan isi amplop coklat yang diberikan oleh pak Gerry. Sebuah flash disk, sebuah credit card dan uang 25 juta rupiah. Ada selembar kertas bertuliskan nama dan alamat seseorang. Kizzy.

"Hmm, siapa Kizzy? Dan apa isi flash disk ini?" gumamku dalam hati.
Selang beberapa lama Shasa pun muncul. Rambutnya sedikit basah terkena rintikan hujan. Aku melambaikan tangan kepadanya dan ia pun langsung menuju ke arahku dan duduk di depanku. Aku menyodorkan secarik kertas yang bertuliskan nama dan alamat Kizzy.

“Siapa Kizzy?” tanyaku.

Sejenak Shasa diam sambil mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Sepintas Shasa memang terlihat seperti seorang kasir. Dandanan yang sederhana dan seragam mini market tempat dia bekerja.

"Hmm Kizzy, ya.." Shasa menghembuskan asap rokoknya. "Dia yang akan nyediain semua keperluan lo. Kita bisa temuin dia sekarang kalo lo mau. Tapi mungkin dia masih di tempat kerjanya jam segini, di sebuah toko sepatu di daerah Pasar Baru."

Kami pun segera berangkat menemui Kizzy di tempat kerjanya. Dalam perjalanan, Shasa sempat berkata padaku bahwa dia akan menghilang setelah semua ini selesai. Perkataan Shasa itu membuatku teringat beberapa hari lalu, aku pun sempat berpikir begitu. Membuat jati diri baru di tempat baru. Menghilang selamanya dari sini. Tapi, apakah akan semudah itu? Ah, otakku masih terlalu kacau untuk memikirkan itu.

Setibanya kami di sebuah toko sepatu tempat Kizzy bekerja, rupanya Shasa sudah mengenal Kizzy. Setelah menelpon Kizzy, kami pun berputar ke belakang toko. Di sana Kizzy sudah menunggu kami.

"Z, ini Sinyo." Shasa memperkenalkan.
"Ya, bos udah telpon gue kemaren." kata Kizzy.
"Jadi?" tanya Shasa.
"Pergilah ke alamat ini, semua yang kalian perluin ada di sana." seraya Kizzy memberikan selembar kertas dan sebuah kunci. "Telpon gue kalo kalian perlu sesuatu yang lain." Kizzy pun meninggalkan kami.

Kami segera menuju ke alamat yang dimaksud Kizzy, sebuah tempat di pinggiran Jakarta.

"Lo tau alamat itu?" tanyaku.
"Gak." jawab Shasa singkat sambil berpindah ke bangku belakang.
"Heh, mau ngapain lo?" tanyaku lagi.
"Ganti baju. Eh, jangan ngeliat spion ya! Awas lo!"
"Gila lo, Sha!"

*****



Pondok Kopi, 8.42 pm.

Kami tiba di alamat yang dimaksud, sebuah rumah di lingkungan yang tak terlalu ramai. Benar saja, pada salah satu ruangan di rumah itu penuh dengan perangkat-perangkat canggih yang kubutuhkan. Bahkan, aku bisa saja mengakses data-data sebuah bank dengan perangkat-perangkat itu.

"Well, apa yang lo perluin ada semua, Nyo. Lo tinggal mainin mainan lo ini." kata Shasa sambil tersenyum.

Aku hanya diam dan tak menyangka seorang Shasa yang selama ini kukenal adalah kepercayaan seorang mafia. Keceriaan dan kepolosannya sanggup menutupi siapa sebenarnya Shasa dengan sempurna.

Aku segera menyalakan perangkat-perangkat itu, lalu menghubungkannya dengan laptop-ku. Rasanya ingin cepat selesai saja supaya aku bisa cepat menghilang dari sini. Sementara itu, setelah membuatkan secangkir kopi untukku, Shasa tertidur di sofa. Sebagian rambut yang jatuh di wajahnya tak bisa menutupi lelahnya. Selintas terbersit kagum di benakku. Ya, dia cantik.

Kubuka isi flash disk dari pak Gerry dan ternyata isinya adalah program data-data yang kukerjakan beberapa minggu lalu. Memang ada yang kurang dari program itu sehingga sistemnya tak bekerja baik. Aku mulai menelusuri dari awal lagi, menyusun ulang satu-satu program itu. Hingga hampir subuh, aku masih berkutat di depan layar monitorku.

Tiba-tiba sebuah peringatan muncul di layar monitorku. Seseorang berusaha masuk ke jaringan tempat aku menyusun programku. Aku terkejut ketika melihat ID-nya, jemba_jemba. "What the hell is this? Beni?" gumamku dalam hati. Aku hampir tak percaya ternyata orang yang mereka maksud itu adalah Beni, teman sekantorku. Terlebih ketika kulihat IP (Internet Protocol) yang digunakannya, itu lokasi rumah Beni. Ah, Beni. Apa yang kau lakukan?

Aku melanjutkan kerjaku. Bagaimanapun juga, mereka tidak boleh tahu tentang Beni. Jika mereka sampai tahu, sudah pasti mereka akan membunuh Beni. Tapi, aku juga tak ingin Beni tahu bahwa sebenarnya aku yang berada di belakang ini semua.

"Sorry, gue ketiduran." suara Shasa mengagetkanku. "Mau gue bikinin kopi lagi?"
"Hmm.." jawabku singkat, sementara mataku tak beralih dari monitor. Aku masih bingung, bagaimana caraku memberitahu Beni tanpa dia harus tahu. Itu tidak mungkin! Beni pasti tahu jika aku menutup aksesnya, tapi ini juga satu-satunya cara untuk menyelamatkan Beni. Baiklah, aku harus menutupnya.


3.56 pm.

Hampir 17 jam sejak malam kemarin aku belum mengistirahatkan otakku. Asap rokok dan kopi seperti sudah menyesakkan dadaku dan membuat jantungku berdegup cepat. Sesekali Shasa duduk di sebelahku dan mengajakku ngobrol agar aku tak terlalu tegang.

Akhirnya semua programku selesai. Itu juga berkat Beni. Dia melepaskan semua begitu tahu bahwa aku lah yang berada di belakang semua ini. Aku menyuruh Shasa menelpon Kizzy untuk memberitahu bahwa semuanya beres. Setelah menelpon Kizzy, Shasa mengajakku ke rumah Kizzy untuk mengambil sesuatu. Kami pun segera meninggalkan rumah itu.

Setibanya di rumah Kizzy, Shasa kembali menelponnya tapi tidak ada jawaban. Suasana rumah Kizzy juga tampak sepi. Beberapa kali Shasa mengetuk pintu, tapi tetap tak ada jawaban. Kami pun mencoba berputar ke pintu belakang. Sedikit terbuka. Kami pun masuk dan betapa terkejutnya kami ketika mendapati Kizzy tergeletak di lantai dengan bersimbah darah.

"Kizzy!" Shasa setengah berteriak seraya menghampirinya. "Apa yang terjadi, Z?"

Kizzy masih hidup tapi kurasa ia sudah sekarat. Dua butir peluru menembus dadanya.


"Sha, telpon ambulan cepat!" kataku panik, tapi Kizzy mencegahnya. Ia memberikan sebuah kunci dan menunjuk ke arah laci meja.
"Pe.. Pergi dari si.. Sini.." kata Kizzy terbata-bata dengan nafas tersengal. Sebentar kemudian, Kizzy tewas.

Shasa menarikku, mengajakku untuk segera meninggalkan rumah Kizzy.

"Udah, Nyo. Ayo kita pergi!"
"Tapi Kizzy?"
"Udahlah, nanti ada yang ngurus, sama kayak rumah yang semalem kita tempatin."

Kebingungan membuatku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya menurut saja apa yang dikatakan Shasa. Di perjalanan aku hanya terdiam.

"Udah, Nyo, gak usah dipikirin."
"Enteng banget lo ngomong gitu, ya. Lo liat kan tadi? Lo liat kan apa akibatnya? Damn!"
"Iya gue tau, tapi kita juga gak bisa ngapa-ngapain kan."

Aku tak menanggapinya lagi. Otakku sudah terlalu lelah memikirkan apa yang sudah terjadi beberapa hari ini. Shasa membelokkan mobil di sebuah hotel di luar kota.

"Kita bermalam di sini malam ini ya." kata Shasa. Setelah mendapat kunci, kami pun segera menuju ke kamar. Rasanya, aku ingin segera tertidur untuk melupakan apa yang sudah terjadi. Sebentar aku masih melihat Shasa memeriksa amplop yang sudah dipersiapkan Kizzy tadi sebelum akhirnya aku terlelap.


7.40 am.

“Udah bangun lo?” tanya Shasa sambil tersenyum begitu melihatku membuka mata. “Mandi gih, abis ini kita jalan.”

Aku tak menyahut, hanya memandangi Shasa yang masih berbalut handuk sambil berdandan. Kutinggalkan dia sambil pelan-pelan aku mengingat-ingat tentang kejadian semalam. Selesai mandi aku langsung menyalakan televisi, kucari berita tentang kejadian semalam tapi tak ada. Kurasa para sindikat mafia itu telah membereskannya semua.

“Sarapan yuk!” ajak Shasa. Kami pun pergi ke restorasi hotel untuk sarapan.
“Kenapa tak ada berita tentang kejadian semalam?” tanyaku.
“Udah gue bilang, semua udah ada yang beresin. Lo aman, lo bisa pergi kemana aja semau lo sekarang. Begitu juga gue.” jawab Shasa.
“Ntar dulu, gue harus temui seseorang.” kataku.
“Silahkan. Ini paspor, buku rekening ama tiket kosong. Lo bisa pergi kemana aja. Setelah ini kita gak akan ketemu lagi, Nyo. Oya, credit card yang waktu itu lo pegang, unlimited dan bebas tagihan.” jelas Shasa.

Setelah cek out, kami pun berpisah. Aku sempatkan menemui Beni. Sementara Shasa, aku tak pernah tahu kemana dia pergi. Semuanya hilang seperti memang tak pernah ada.

*****


Dua bulan kemudian.
De Witte App, Rotterdam – Belanda, 10.19 am. Waktu setempat.

Menurutku, tak pernah ada yang bisa hilang begitu saja. Tapi tentang kejadian dua bulan lalu, benar-benar tak pernah terungkap. Hampir tiap hari selama dua bulan ini aku di Rotterdam, tak pernah sekalipun kudapati berita tentang kejadian itu.

Aku sedang ngobrol dengan Beni, membicarakan tentang kejadian waktu itu. Tiba-tiba pandanganku tertuju pada seorang gadis yang duduk di meja nomer 7. Aku seperti tidak asing dengan wajahnya meskipun ada sedikit perubahan pada model rambut dan dandanannya. Ya, aku yakin sekali itu Shasa. Aku pun menghampirinya.

“Hello stranger..”



==END==

Tidak ada komentar:

Posting Komentar