Friendship | Writing | Reading | Learning | Joking | Smiling | Laughing | Comfortable
Tentang Kami
Foto saya
Grup Cafe Rusuh merupakan suatu ruang lingkup tempat di mana para anggotanya bisa berbagi tentang segala hal. Kata "Rusuh" sendiri merupakan kependekan dari "Ruang suasana hati". Sebagai sebuah grup, Cafe Rusuh menjadi sebuah jembatan di mana persahabatan, kekeluargaan dan silaturahmi antara sesama anggotanya tetap terjaga. Selain itu, Cafe Rusuh juga memberikan kebebasan kepada para anggotanya untuk berbagi tentang segala hal seperti puisi, cerita, esai, tips-tips dan info-info yang bermanfaat bagi para anggotanya.

Rabu, 21 September 2011

BeCeKS-CR1 : Cinta Pria

by Vindy Putri



BB-ku berbunyi dan seketika ada messenge masuk. Enam digit PIN yang tak lama menjadi list di BBMku memberi sebuah pesan:
“Temui aku di Cafe Rusuh yang terdapat di kota tua jam 5 sore ini, ingat jangan telat barang sedetik pun. Jangan juga datang sebelum jam 5 sore. Harus tepat jam 5 sore.  Jangan bawa teman atau siapa pun, bila tidak. Aku tidak akan menanggung akibatnya nanti.  Satu lagi, kau tidak boleh membocorkan pada satu orangpun tentang pertemuan kita.  Segalanya bergantung pada putusan akhir darimu. Baik buruknya, kau yang tentukan.”
 Aku melihat isi BBM yang baru kuterima lima menit yang lalu dengan bingung.  Apa yang terjadi? Brengsek! Di mana letaknya Cafe Rusuh itu?
***
Siang ini aku bertemu dengan Kizzy. Ia adalah kawan pria yang sangat dekat denganku. Karena begitu dekat inilah, terkadang Kizzy salah mengartikan kehadiranku sebagai seorang teman saja. Ia selalu menginginkan hubungan yang lebih dari sekedar teman. Padahal, aku sendiri menyukai orang lain.
Kali ini kami tidak sedang membahas perihal cinta. Tapi kami membahas sesuatu yang sangat penting. Sangat penting dang harus segera kubereskan. Kizzylah orang yang sangat kupercaya untuk membantuku. Entah berupa fisik meski dirinya kurus kering.
“Aku mohon…, bantu aku,” pintaku memelas pada sosok pria bertubuh jangkung. Tubuhnya berbalut kulit tanpa daging sesenti. Sangat kurus dan terlihat lebih tua dari umurnya yang semestinya, sebab tirus rahang miliknya. Ia berdiri sambil berkacak pinggang di samping sepeda matic miliknya.
“Tidak,” jawab pria itu singkat.
“Jika tidak, hidupku tidak ada artinya lagi.”
“Untuk apa kau memohon padaku seperti itu? Kau bisa panggil polisi. Tak perlu takut pada gertakan semacam ini!”
“Aku mohon…,” kini aku menggenggam jemarinya. Ini kali pertama aku menyentuh jari-jari yang kurus namun lebih besar dari jari-jariku, setelah insiden kaca piring menyayat telunjukku dan ia dengan sigap menghentikan darah dengan isapan lembut bibirnya.
Ia menepis genggamanku, “Sasha, jangan mengemis padaku.”
“Ayolah, Kizzy. Kau satu-satunya yang dapat menolongku.”
Kizzy mengambil BB di genggamanku. Dengan cepat ia membaca tiap larik isinya lalu berdecak pelan, “Harusnya kau memanggil pihak yang berwajib.”
“Tapi tidak untuk keselamatan dia. Aku ingin kau yang membantuku.
Di saat seperti ini polisilah yang lebih pantas kau mintai tolong. Bukan aku! Ini kasus kriminal!”
“Tidak dibolehkan membawa polisi lah!”
Kizzy menghembuskan napas panjang dan kembali duduk di jok sepeda matic-nya, “Lalu aku bisa apa?”
***
Jam di dinding seakan malas memutar jarumnya sedikit lebih cepat. Ini lebih dari kesepuluh kalinya aku menatap jam dinding, menanti pukul empat sore tiba.
Kizzy datang tepat pukul empat kurang lima belas menit. Ia berpakaian santai namun tidak dengan raut wajahnya. Ia seperti antara mau dan enggan. Dengan cepat aku berlari menghampiri kedatangannya.
“Satu jam cukup untuk mencari di mana Café Rusuh itu berada. Setidaknya pukul lima tepat kita bisa bertemu dengannya,” ujarku sembari naik ke atas sepeda matic milik Kizzy.
Ia hanya diam, namun aku tahu, di hatinya dongkol dan sangat menyesal telah menolongku memecahkan sebuah kriminal. Tapi, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Inilah yang harus kulakukan. Aku butuh bantuannya.
Demi Albar….
***
“Bagaimana kita bisa tahu lokasi Café itu? Daerahnya saja aku tidak pernah tahu,” Kizzy angkat suara.
“Kita Tanya orang di sekitar sini saja.”
Tanpa babibu, Kizzy memberhentikan sepedanya tepat di depan pangkal becak. Ia turun dan berkata, “Pak, numpang tanya. Café Rusuh di mana, ya?”
Salah satu dari ketiga pemilik becak itu mendekati Kizzy, “Wah, Mas, saya baru dengar tuh. Ada alamatnya, Mas?”
Kizzy menatapku, seolah bertanya, “Alamatnya di mana?”
Aku hanya menjawabnya dengan gelengan kepala. Tak disebutkan dalam surat itu, di mana Café Rusuh itu berada. Nihil, Kizzy berputar badan dan kembali mengemudi sepedanya.
“Memangnya, Albar anak kecil lagi, ya, sampai-sampai ia jadi korban penculikan?”
“Aku pun heran.”
“Tapi harusnya kau ceritakan sedikit saja kejadiannya padaku. Aku tahu Albar itu orang yang sangat berarti untukmu. Tapi aku pun punya hak tahu, karena aku sekarang membantumu mencari Albar.”
Aku tertegun, benar kata Kizzy. Bagaimanapun ia berperan besar dalam pencarian ini, “Iya, tapi nanti. Yang penting sekarang mencari di mana Café Rusuh. Sudah lima belas menit kita mencari tanpa arah.”
“Aku benar-benar bingung. Tidak masuk di akal, bahkan gila menurutku,” ujarnya datar menutup pembicaraan kami.
Ya, memang harusnya ditutup sampai di sini saja percakapan ini. Karena otakku belum siap untuk menjelaskan semuanya pada Kizzy, orang yang selama ini sangat sayang padaku. Entah apa yang akan terjadi pada Albar karena aku membawa seseorang untuk menghadap entah siapa itu yang hendak kutemui ini nanti. Padahal jelas-jelas tertera pada BBM itu, dilarang membawa siapapun ketika bertemu. Tapi masa bodoh. Satu orang buka dari pihak berwajib harusnya tidak menjadi masalah.
“Kau akhirnya membolos kerja, ya, Sha?” ujar Kizzy di tengah-tengah perjalanan.
“Ya, aku ijin.”
“Ya,” nada Kizzy merendah, “Albar lebih penting dari sebuah pekerjaan.”
“Lebih baik kita focus pada pencarian kita,” aku mengalihkan pembicaraan. Tak ingin mendengar perbandingan Albar dengan sesuatu apapun itu.
Kizzy mengangguk pelan. Dan tak lagi angkat suara. Sepertinya ia tahu suasana hatiku dan tahu aku sedang tidak ingin mengungkit-ungkit masalah itu saat ini.
***
“Nanti ada pertigaan belok kanan, kalau sudah bertemu lampu merah belok kanan lagi dan terus saja sampai ada taman kecil, Café Rusuh ada di sana.”
Akhirnya kami menemukan petunjuk di mana Café Rusuh itu berada. Seorang tukang ojek yang mangkal di tengah kota menunjukkan jalan pada kami. Dengan sigap kami meluncur ke tempat yang ditunjuk oleh tukang ojek. Masih dengan modal ingatan yang campur kegelisahan, kami menelusuri jalan-jalan. Jam yang melingkar di lenganku pun masih menunjukkan pukul lima kurang sepuluh menit.
“Itu dia Café-nya! Cepat kau masuk ke dalam sana. Temui Albar!”
“Tidak,” jawabku. Kizzy menatapku penuh tanya sambil mendengus kesal.
“Tadi kau paksa aku untuk buru-buru. Sekarang kita sudah ada di depan mata, tapi kau lambat bergerak. Berdoa saja Albar masih hidup.”
Mendengar itu aku segera turun dari sepeda Kizzy. Tapi kakiku masih belum berani masuk ke dalam Café itu.
“Ini belum pukul lima. Si penculik mau bertemu tepat pukul lima sore.”
“Aku heran,” Kizzy kembali berceloteh, “Sebenarnya apa yang akan penculik itu lakukan di tempat umum deperti Café? Harusnya kau tidak perlu cemas. Kau itu berlebihan, Sasha! Dan kau menuruti semua yang penculik itu katakan.”
“Entahlah, yang pasti aku tidak ingin terjadi apa-apa dengan Albar.”
“Albar sudah dewasa, dia tidak akan kenapa-kenapa. Begitu besarnya cintamu pada Albar,” sindirnya sekali lagi. Namun tak kuhiraukan, “tentu besarnya sudah sebesar cintaku padamu, Sha.”
“Haissh! Kau bicara apa, Kizzy! Ini bukan waktu yang pantas untuk debat masalah itu.
“Tapi kau sudah menunjukkannya. Itu yang aku permasalahkan. Dan kau perempuan yang kejam telah menusuk hati tulusku dengan sikapmu yang terlalu transparan. Aku juga bodoh telah membantumu menyelamatkan Albar yang jelas-jelas dia adalah rivalku.”
Kulirik jam tanganku dan mulai bergegas, “Aku masuk sekarang,” sergahku dan menghambur masuk. Sedangkan Kizzy? Entahlah, aku tak melihatnya begitu otakku penuh dengan kekhawatiranku pada Albar.
***
Dua pria duduk berjajar di salah satu ruangan tertutup di dalam Café Rusuh. Sesuai dengan namanya, Café Rusuh, café ini terlihat begitu ramai pengunjung. Namun ada pula ruangan yang disediakan khusus untuk pertemuan penting, seperti pertemuan antara Sasha dan si penculik.
Aku membuka pintu ruangan bertuliskan A4 alias ruangan VIP nomer 4. Aku bisa langsung tahu karena BBM-ku berbunyi lagi. Pemberitahuan ruangan oleh si penculik.
Isi BBM itu berbunyi, “Ruang A4. Masuklah, karena aku sudah berada di dalam bersama Albar. Yakinkan kau hanya sendiri. Dan tidak dengan siapa pun.
Tertegun melihat kedua pria di dalam ruangan ini, mereka duduk berdampingan bahkan Albar lunglai di pundak si penculik. Pemandangan ini sungguh membuatku ingin muntah. Albar yang terakhir kulihat, tubuhnya gagah dan penuh kehangatan perlindungan, kini aku tak lagi melihat itu pada diri Albar. Ia seperti…, hancur! Ah…, tak mampu aku melihatnya!
Kizzy perlahan membuka pintu dan masuk menjajari tubuhku yang lemas tak kuat berdiri. Ia pun terkejut. Ini bukan sebuah tontonan yang layak.
Tapi kini aku menyadari sesuatu.
Awalnya kedua adam tersebut tersentak ketika melihatku masuk secara tiba-tiba. Terutama, Albar. Begitu ia mengenali aku secara pikiran sadar, ia mencoba untuk duduk sebagaimana mestinya.
“Harusnya aku mengenalmu, Albar,” ujarku pelan. Kurasakan jemari hangat nan kurus menggenggam pundakku dari belakang, “harusnya aku menyadari bahwa kau bukan pria normal!!
“Aku bisa jelaskan semua ini, Sha. Ini tidak seperti yang kau bayangkan!” Albar beranjak dari duduknya.
“Dan kau!” aku menunjuk pria yang satunya lagi, “harusnya kau menjadi rekan kerjaku di mini market. Pantas kau selalu melarangku menjalin hubungan dengan Albar setiap kali kubercerita tentang Albar. Ternyata kau musang berbulu domba! Kau sakit! Harusnya aku menyadai bahwa kalian berdua homo!”
Pria itu, tersenyum puas.
Albar hendak meraih tanganku, tapi segera kutepis, “Sha, aku bisa jelaskan….”
“Tak perlu penjelasan, karena dengan mata kepalaku sendiri melihat kalian berdua bercumbu, itu sudah cukup menjelaskan semuanya. Harusnya kau tak perlu membalas cintaku. Aku mencintai orang yang salah!”
Kini Albar mendekati pria yang sedari tadi masih diam membisu.
“Kau yang mengundang Sasha kemari?!” tanyanya sedikit membentak.
Pria itu mengangguk lalu berdiri menghadapku lebih dekat tepat satu meter di depanku, “Tenang saja, Albar. Ini akan membantumu menyelesaikan semua kegundahanmu untuk mengatakan yang sebenarnya pada Sasha. Tapi sayangnya dia membawa seseorang kemari. Yang harusnya sudah kularang. Kalau sudah begini, yang malu bukan hanya antara kita bertiga, tapi bertambah satu pria tampan lagi,” ujarnya sambil memandang Kizzy penuh arti.
“Memang benar aku yang mengundang dia ke sini,” pria itu memandang Albar, “dan tenang saja, Sasha, aku sudah keluar dari mini market. Jadi kau tidak perlu bertemu denganku lagi, jika kau muak denganku. Tapi sebagai ganti pengorbananku, kau harus rela melepaskan Albar untukku.”
Aku tertawa kecil, “Silahkan! Aku pun tak sudi jika harus menjalin cinta pada Albar dan bertemu denganmu. Kalian gila!”
Secepatnya kutinggalkan mereka semua di dalam. Kizzy mengikutiku dengan sedikit berlari. Ia banyak diam kali ini. Entah dia syok atau memang dia tak ingin ikut campur. Tapi setidaknya, ia tidak ikutan gila seperti kedua orang tadi.
***
“Sekarang, tentu boleh aku mendengar semuanya?”
Malam ini, Kizzy datang ke rumahku. Ia bilang, ia khawatir dengan keadaanku. Kuhargai itu dan kini kuubah sikapku padanya. Setidaknnya ia tidak sama dengan dua pria tidak normal itu.
“Siapa pria yang bersama Albar tadi?”
Aku menghembuskan napas panjang. Mencoba merasakan udara malam yang dingin menyusup masuk ke dalam sudut paru-paruku, “Namanya Indra. Rekan kerjaku di mini market. Aku dan dia cukup dekat karena memang shift kerja kami selalu sama. Ia selalu mendengar cerita-ceritaku. Mendengar semua cuhatku tentang Albar hingga aku mengenalkannya pada Albar. Memang sih, dia selalu memberikan solusi yang tidak masuk akal di setiap permasalahanku tentang Albar. Ia selalu menyuruhku mencari orang lain.
“Lalu antara kau dan Albar apa sebelum ini memang saling menyayangi? Dan kau mempercayainya?”
“Aku tidak tahu kalau ternyata dia mempunyai kelainan. Sikapnya selalu macho di depanku, bahkan ia tak pernah mencurigakan. Begitu pula Indra. Mereka berdua tampak normal di depanku. Entah mulai kapan mereka bisa menjalin cinta seperti itu. Aku tak habis pikir.”
Kizzy membenarkan posisi duduknya. Penjelasanku sepertinya bisa ia cerna dan terima.
“Aku jadi curiga padamu, Zy?”
“Curiga apa?”
“Kalau mereka yang tampak biasa seperti itu ternyata memiliki kelainan, sedangkan kau bagaimana?” aku tersenyum simpul.
Kizzy menyenggol lenganku, “Kau kalau bicara jangan seenaknya!” Kami berdua tertawa lepas malam ini. Aku tahu Kizzy sangat menyayangiku, tapi tidak secepat itu aku bisa beralih pada hati Kizzy. Aku pun masih harus berpikir dua kali jika harus mencintai pria, LAGI.
“Padahal kupikir, Albar adalah yang terakhir dan menjawab semua mimpiku untuk menikah diumur dua puluh tahunan nanti,” ujarku pelan.
Kizzy tersenyum, “Nanti kau kan menemukannya, Sha.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar