Friendship | Writing | Reading | Learning | Joking | Smiling | Laughing | Comfortable
Tentang Kami
Foto saya
Grup Cafe Rusuh merupakan suatu ruang lingkup tempat di mana para anggotanya bisa berbagi tentang segala hal. Kata "Rusuh" sendiri merupakan kependekan dari "Ruang suasana hati". Sebagai sebuah grup, Cafe Rusuh menjadi sebuah jembatan di mana persahabatan, kekeluargaan dan silaturahmi antara sesama anggotanya tetap terjaga. Selain itu, Cafe Rusuh juga memberikan kebebasan kepada para anggotanya untuk berbagi tentang segala hal seperti puisi, cerita, esai, tips-tips dan info-info yang bermanfaat bagi para anggotanya.

Sabtu, 24 September 2011

BeCeKS CR1 : My First Sight's Love

by Lily Zhang


"Temui aku di Cafe Rusuh yang terdapat di kota tua jam 5 sore ini, ingat jangan telat barang sedetikpun. Jangan juga datang sebelum jam 5 sore. Harus tepat jam 5 sore.

Jangan bawa teman atau siapapun, bila tidak. Aku tidak akan menanggung akibatnya nanti.

Satu lagi, kau tidak boleh membocorkan pada satu orangpun tentang pertemuan kita.

Segalanya bergantung pada putusan akhir darimu. Baik buruknya, kau yang tentukan."

Aku melihat isi ВВМ yang baru kuterima lima menit yang lalu dengan bingung.  Apa yang terjadi? Brengsek! Di mana letaknya Cafe Rusuh itu?

===

Maaf, siapa yah? Namamu tidak dapat kukenali. Balasku mengharapkan jawaban yang tidak kunjung datang.

Bulu romaku berdiri, hatiku gelisah. Siapakah gerangan yang mengundangku dengan beserta ancaman ini? Benakku berusaha mengkaji siapa yang dapat berbuat hal seiseng bahkan tidak masuk akal ini.

Apa mungkin Verdy? Lelaki bertubuh kurus ceking yang sering kali mengerjaiku di kampus dulu? Tapi kami sudah lebih dari setahun lalu tidak berhubungan.

Ataukah Santy? Perempuan terusil yang pernah kutemui, sahabatku yang manis dan banyak digemari oleh para kaum adam?

Jangan bilang Rasta, cowok pendiam yang doyan banget dengan yang namanya penyiksaan terhadap binatang. Dan Oh My God! Aku pernah sekali memergokinya memutilasi cicak di sudut kampus tepat berada di gudang  yang telah lama tidak digunakan. No no no, tidak. Jangan bilang dia apalagi sekarang aku harus bertemu dengannya setiap menghabiskan waktu di kantor. Yah, dia bekerja di kantor yang sama denganku.
Aku menghela nafas berat dan terbaring lesu.

===


Di usia 22 tahun ini, aku – Shasa pertama kalinya menerima surat dari seseorang dan itu bukan surat cinta. Bahkan sekarang, surat tersebut menenun kegelisahan dalam nuraniku. Damn! Kenapa sih harus surat ancaman?

Aku memasuki mini market, tempatku bekerja saat jam telah menunjukkan jam 1 sore, sudah telat sejam dari jadwal part-timeku. Deg! Kulihat Rasta sedang menyusun barang-barang di etalase kasir. “Ihh!” Gumamku, menyusup rasa takut yang berlebihan saat tatapan dinginnya menusuk sampai ubun-ubunku. Aku terdiam memandangnya ngeri.

“SHASA! Telat lagi!” tegur Pak Kizzy sambil melayangkan pelototannya.
Tersentak kusadari dia telah tepat berada di depanku, “Iyah Pak, siap!” ucapku ngawur sambil berdiri tegak menghormat. Diaa membekap mulutnya sendiri dan menahan tawanya.
“Wew! Malah ketawa…” protesku cemberut.
“Yah udah, cepat kembali kerja” sambung Pak Kizzy yang berperawakan tinggi, kurus, dan berambut cepak. Cakep namun sayangnya meskipun sebagai pemilik mini market, dia cukup pelit. Bayangkan saja, dia masih mengendarai motor matic ditambah lagi masih kreditan.

===

Siang itu, mini market memang lagi sepi. Maklum baru habis liburan lebaran, pan kue-kue juga masih pada numpuk di rumah. Kulihat wajah datar sang majikan alias Pak Kizzy, lajang 28 tahun yang ekstra pelit itu sedang melamun sambil sesekali menyunggingkan sedikit senyuman.

“DAAAA!” kukagetkan sang juragan.
“Astaga!” dia menolehkan kepalanya dan mendapatiku tengah berdiri tersenyum lebar melihat reaksinya.
“SHASA!!!” jeritnya kesal.
“Lamunkan apa hayooo?” godaku nakal. Aku memang paling senang mengajak Pak Boss-ku yang serba kaku, judes, dan lagi keras kepala itu bercanda di waktu senggang.
“Tidak tahu sopan santun” kulantunkan kata-kata yang sering terucap di bibir Pak Kizzy, sudah terlalu sering diucapkannya hingga telah kuhapal, dia hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum.
Perempuan berparas pas-pasan sepertiku hanya dapat memberinya sedikit senyuman itu. Pak Kizzy adalah pria idamanku meskipun termasuk pria paling pelit dan ekstra keras kepala yang pernah kukenal.

===

Dulu, pernah sekali kudonorkan saran untuknya yang sedang patah hati, mendapati pacarnya sedang berselingkuh di depannya.

“Gimana yah, Sa?” tanyanya bingung dan gelisah tergambar di matanya.
“Yah, putusin ajah Pak!” ucapku ceplas ceplos.
PLETAK! Aku malah ditimpukin buku tipisnya. “Main putus-putusin” protesnya kesal.
“Lha? Pan Pak Kiz udah maafin berkali-kali dengan kesalahan yang sama?? Dan Shasa udah berkali-kali ngasih saran dan saran, toh akhirnya kalau Shasa ngasih saran putus juga ga bakalan putus-putus!” jelasku sambil mengunyah kue Tart di depanku. Dia hanya terdiam dan hanya terlihat menimbang-nimbang.

Seperti goresan luka yang belum sembuh, lukaku menganga lagi.

“SHASA! Melamun apa????” teguran tersebut membangunkanku dari ingatanku tentang curahan hati Pak Kizzy yang telah menganggapku seperti adiknya sendiri, meskipun aku tidak.
“Melamun…” perkataanku terpotong dan kemudian kulihat Rasta yang sedang duduk melamun juga.
“Rasta” sambungku.

===

Gelisah lagi-lagi melangkahkan dirinya menghadapiku. Aku tidak pernah seperti ini, di keadaan normal aku bahkan tidak bisa diam. Kata emakku waktu kecil aku termasuk anak hyper aktif.

“Huh, pergi nggak yah?” raguku mengalir ke ubun-ubun.
“Ada apa, Sa?” Tanya Rasta yang tiba-tiba saja berada di depanku dengan serigai aneh.
“A-a-anu…”
“Anu apa, Sa?” Rasta mengernyitkan keningnya, bingung.
“Tidak apa-apa!” kularikan kakiku terbirit-birit menjauhi Rasta, tumben anak pediam sudah mengalami kemajuan?
Rasta berdiri mengamatiku, heran dengan tindakanku. Meskipun kami jarang bersosialisasi, tapi aku tidak pernah bersikap menjauhinya tanpa sebab.

===

Aku mencari letak Café Rusuh sejam lebih awal. Letak kota tua yang jarang kudatangi memang membuat bulu kudukku berdiri di waktu sore. Seantik apapun tempatnya, namun tidak membuat jiwaku tertarik untuk menelusurinya saat mentari sudah akan tenggelam.

Tepat jam 5 dan akhirnya kutemukan juga letak café rusuh yang tepat berada di kota tua. Terasa suram. Ternyata ada café di sini dan seakan tidak berpenghuni, Damn! Siapa sih yang mengerjaiku? Geramku dalam hati.

Perasaanku menolak melangkahkan kakiku memasuki jalan setapak menuju tempat tersebut. Sepi. Tidak kutemukan seorang pun di sana. Suasana café dalam ruangan yang terbuka dengan meja-meja ditata rapi dengan berhias sebatang lilin dan bunga bakung di atasnya. Meja-meja dari kayu berwarna coklat tua seakan menambah kegelisahanku, kenapa tidak? Warnanya begitu suram, gelap, dan menakutkan. Di depanku ada sebuah pintu yang menurutku menuju sebuah ruang lagi yang lebih tertutup.

Ckittt! Bunyi pintu kayu berat itu membuka dan kupejamkan mataku seraya berkata, “Apa maumu, Ras?”
“Ras?” ucap suara familiar itu bingung. Kubuka mataku perlahan dan menemukan sosok yang membuat hatiku penuh suka cita.
“Pak Kizzy!” gumamku tidak percaya, dia dalam balutan tuxedo hitam.
“Dan kau yang mengundangku ke sini?” tanyaku menyambung sapaanku.
“Iyah, untuk…” dia memandang sesaat ke dalam ruangan yang diwarnai kerlip lilin, seorang perempuan tersenyum dan melangkah keluar dengan gaun pink polos membalut pada tubuh ramping tingginya.

Hatiku mencelos.

“Menjadi saksi pertunangan kami” lanjutnya sambil menggenggam tangan calon tunangannya tersebut.
“Kenapa?” air mata sudah membentengi mataku namun kususutkan sesegera mungkin dan untungnya ruang terbuka tempatku berdiri bernuansa gelap.
“Hanya kau temanku satu-satunya di dekatku sementara di luar sana, hubungan kami tidak direstui” pintanya sedih.
Hatiku mencibir, bagaimana tidak? Pak Kizzy, orang yang selama ini kusayangi dan berharap aku lah yang dapat menjadi pinangannya. Bahkan aku harus memupuskan harapanku untuk menikah di usia 20 tahun adalah untuk menunggunya putus.

Aku berharap dia putus bukan karena aku jahat. Tapi hanya karena tunangannya ini telah berkali-kali mengkhianati dan mengecewakannya. Wajar saja apabila tidak ada yang merestui pangeran tampan dengan seorang penyihir.

Kenapa? Kenapa dia tidak sekalipun melihatku? Aku yang tulus mencintainya sejak pertama kali bekerja padanya. Love at a first sight. Tanpa sebuah alasan, tanpa sebuah tuntutan, hanya mencintai.

Kepalaku yang tertunduk akhirnya perlahan terangkat dengan sedikit senyum kupenuhi permintaannya, “Boleh”

=END=

1 komentar: