Friendship | Writing | Reading | Learning | Joking | Smiling | Laughing | Comfortable
Tentang Kami
Foto saya
Grup Cafe Rusuh merupakan suatu ruang lingkup tempat di mana para anggotanya bisa berbagi tentang segala hal. Kata "Rusuh" sendiri merupakan kependekan dari "Ruang suasana hati". Sebagai sebuah grup, Cafe Rusuh menjadi sebuah jembatan di mana persahabatan, kekeluargaan dan silaturahmi antara sesama anggotanya tetap terjaga. Selain itu, Cafe Rusuh juga memberikan kebebasan kepada para anggotanya untuk berbagi tentang segala hal seperti puisi, cerita, esai, tips-tips dan info-info yang bermanfaat bagi para anggotanya.

Rabu, 21 September 2011

BeCeKS-CR1 : A Secret To Reveal

by Liz Levin



Temui aku di Cafe Rusuh yang terdapat di kota tua jam 5 sore ini,
ingat jangan telat barang sedetikpun. Jangan juga datang sebelum jam 5 sore.
Harus tepat jam 5 sore. 
Jangan bawa teman atau siapapun, bila tidak, aku tidak akan menanggung akibatnya
nanti. 
Satu lagi, kau tidak boleh membocorkan pada satu orangpun tentang pertemuan kita. 
Segalanya bergantung pada putusan akhir darimu. Baik buruknya, kau yang tentukan.

Aku melihat isi ВВМ yang baru kuterima lima menit yang lalu dengan bingung. Apa yang terjadi? Brengsek! Di mana letaknya Cafe Rusuh itu? Bahasa mana ‘RUSUH’ itu? Itu bukan bahasa Jerman. Apakah dia memberikanku semacam kode? Tampaknya dia ingin cari aman, dia pikir aku akan lapor polisi, dan polisi akan melacak keberadaannya.

Penny Markt, Salzburg, Salzburg, Austria

Daripada aku bingung, sesampainya di mini market, aku membalas BBM yang kuterima ketika aku di perjalanan tadi.

Di mana tepatnya Cafe Rusuh itu?

Dia langsung menjawab.

Radisson Blu. Cari saja di sekitarnya.

Kuletakkan Blackberry 8700v-ku ke dalam tas. Aku berpikir keras. Apa yang harus kulakukan?! Seharusnya aku menghubungi polisi. Tapi tidak, akibatnya pasti fatal jika aku membawa polisi. BBM itu membuatku tidak bisa berkonsentrasi melayani pelanggan yang berbelanja di mini market ini.

Sejak pagi tadi, BBM-BBM itu membuatku kacau. Beberapa kali aku salah menghitung harga barang dan menyebabkan pembeli komplain. Sejam lagi aku selesai bekerja, dan harus bergegas menuju Altstadt.
*-*-*-*

Altstadt, Salzburg, Salzburg, Austria

Aku berbelok ke arah kiri menuju jalan Rudolfskai. Sebenarnya, aku paling suka menikmati keindahan Altstadt, dengan bangunan-bangunan tua bergaya arsitektur medieval dan baroque yang berjajar di tepi sungai Salzach. Tapi sekarang, aku sama sekali tak melirik pada keindahan kota tua itu. Yang kupikirkan hanyalah segera ke cafe.

Hotel yang dia maksud ada di kiri jalan. Kuedarkan pandanganku ke sekitar hotel dan berjalan menyusuri jalanan Rudolfskai. Tidak ada cafe bernama Rusuh di sana. Kulirik jam tanganku, sepuluh menit lagi jam lima. Panik, aku terus menjelajahi jalanan Rudolfskai, bolak-balik meneliti setiap kata yang terlihat di papan-papan nama atau tulisan apapun yang tersebar di jalanan.

Langkahku terhenti. Aku melihat sebuah cafe kecil yang letaknya tersembunyi di antara kios penjual koran dan sebuah toko barang antik. Rock U & Sing U Here. Sebuah cafe yang menggunakan nama bahasa Inggris... R.U.S.U.H? Inikah yang dia maksud dengan cafe Rusuh?? Aku bingung setelah membaca tulisan di pintu depan cafe. CLOSED/GESCHLOSSEN.

Si penjual koran berucap padaku, “Masuklah, Shasa,”

Bahkan penjual koran pun ternyata ada hubungan dengannya. Aku membuka pintu kayu tua cafe yang menimbulkan bunyi decitan. Suasana di dalam cafe tampak gelap, penerangan yang minim dan hanya ada satu orang pria dengan mantel hitam duduk di salah satu meja. Kuhampiri meja pria itu dan duduk di hadapannya. Dia pasti pria yang mengirimiku BBM.

“Kau terlambat delapan menit,” ucapnya dingin. Dia sebenarnya pria yang tampan, dengan usia sepantaran Kizzy mungkin, sekitar 28 tahun.

“Maaf. Aku kebingungan mencari...”

Pria itu mengangkat tangannya, memintaku berhenti bicara. Dia meraih Blackberry-nya dan menghubungi seseorang.

“Pukul dia delapan kali,” ucapnya singkat membuatku terkejut.

“Tidak! Apa yang kau lakukan?!” aku berteriak.

“Aku sudah bilang padamu, jangan terlambat,” ucapnya menutup sambungan telepon.

Pikiranku kacau, “Tolong, jangan sakiti Kizzy...”

“Kau harus tahu aku serius dengan setiap kata-kataku. Jadi jangan coba-coba main-main denganku sedikitpun! Turuti aku. Pada akhirnya, kau akan berterima kasih denganku.”

“Berterima kasih? Kau mau bilang bahwa kau sudah berbaik hati tidak menyakiti Kizzy asal aku mau menurutimu? Untuk itu aku harus berterima kasih? Aku tidak akan berterima kasih pada orang jahat sepertimu!”

“Kita lihat saja nanti,” ucap pria itu santai.

“Apa maumu sebenarnya? Kenapa kau menculik Kizzy? Kalau kau minta tebusan, kami bukan orang kaya,” ucapku membuat pria itu tertawa.

“Kau pikir aku tidak tahu siapa dirimu sebenarnya? Shasa Kauntiz. 22 tahun... dan... sebenarnya untuk apa kau bekerja di mini market, Shasa?”

“Apa maksudmu?”

“Ayolah. Aku tahu orang tuamu sangat kaya. Kenapa kau harus bekerja sebagai seorang kasir?”

Sejenak aku terkejut. Aku takut dia tahu banyak hal tentangku.

Surprised? Aku tahu kau kabur dari rumah dan lari dengan Kizzy. Tindakan yang sangat bodoh....” pria itu menyalakan rokok dan menghisapnya, “... apa kau tahu kalau namamu berarti air yang berharga? Dan namamu berasal dari Afrika karena orang tuamu dulu pernah berada di Afrika dalam jangka waktu yang lama.”

Dia tahu banyak. “Siapa dirimu sebenarnya?”

“Kalau kau tahu siapa diriku sebenarnya, kau akan terkejut. Sudahlah, kita hentikan basa-basi ini meski aku tidak keberatan berbasa-basi dengan gadis manis berambut coklat yang indah di hadapanku ini.”

“Katakan saja apa maumu. Aku ingin kau mengembalikan Kizzy.”

“Aku tidak meminta harta orang tuamu yang kaya itu. Aku hanya menginginkan sebuah miniatur Wiener Hofburg, yang tersimpan di dalam ruang kerja rumah orang tuamu.”

“Kalau itu yang kau inginkan, aku bisa membelikannya untukmu!”

You have no idea! Lakukan saja perintahku! Kau tidak akan bisa menipuku dengan miniatur palsu, yang orang tuamu punya hanya satu jenis di seluruh dunia. Ingat itu!”

Aku keheranan dengan permintaan pria itu. Mungkin dia semacam kolektor gila yang tidak ingin mengotori tangannya sendiri untuk mencuri miniatur istana dari rumah orang tuaku. Tapi, jika dia tidak ingin mencuri, kenapa dia bisa menculik dan mengancam membunuh Kizzy?? Aku benar-benar tidak mengerti.

“Dan satu lagi, aku ingin kau memasang alat ini di bawah meja kerja ayahmu,” Pria itu memberikan sebuah lempengan persegi tipis kecil selebar satu ruas jari padaku.

“Apa ini?”

“Tempelkan saja di bawah meja. Tidak perlu tanya-tanya lagi. Kau lakukan perintahku, dan Kizzy akan kembali dengan selamat kepadamu.”

*-*-*-*

Kembali ke rumah ayahku adalah hal yang paling tidak ingin aku lakukan. Ayah menorehkan terlalu banyak luka dalam hatiku. Dia menuntut terlalu banyak dan aku tidak tahan dengan segala idealisme yang coba ingin dia tanamkan padaku. Orang tuaku bercerai sejak aku kecil. Ibu menceraikan ayahku dan pergi ke Amerika. Sampai sekarang, aku tidak pernah berhubungan dengan ibuku.

Demi Kizzy, saat ini aku menaiki kereta menuju kota tempat tinggal orang tuaku. Aku tidak mau pria jahat itu membunuh Kizzy dan menghancurkan impianku untuk menikah dengannya di ulang tahunku yang ke-23 bulan depan, setelah impianku menikah di umur 20 gagal. Ketika kereta melakukan pemberhentian di Linz, aku mendapatkan pesan BBM dari Jurgen lagi. Aku baru mengetahui namanya setelah dia menyebutkannya di cafe.

Waktumu tinggal 10 jam.
Temui aku di Radisson.
Jangan sedikitpun terlambat.

Aku menghela nafas. Aku khawatir tidak bisa mendapatkan apa yang Jurgen mau. Perjalanan kembali nanti harus menempuh kurang lebih tiga jam. Dikurangi waktu-waktu perjalanan di dalam kota, sepertinya aku hanya punya waktu kurang dari tujuh jam untuk mencuri barang itu di rumah ayahku!

Vienna, Vienna, Austria

Setelah menempuh perjalanan hampir tiga jam, akhirnya aku sampai di Vienna. Aku langsung menuju ke 13th District, ke rumah ayahku. Aku tidak percaya aku harus melihat lagi bangunan megah bercat putih dengan pagar-pagar besi menjulang tinggi di depannya. Ini hari Minggu. Ayahku pasti di rumah.

“Jadi kau sudah meninggalkan Kizzy?” tanya ayah pertama kali begitu menemuiku.

“Ya, aku sudah meninggalkannya, Yah,” jawabku.

“Baguslah kalau begitu. Akhirnya kau sadar bahwa dia adalah lelaki yang tidak baik untukmu,” ayah masih bersikap dingin padaku.

“Aku siap melanjutkan bisnis ayah. Aku... minta ayah segera mengajariku.”

“Kalau itu yang kau mau. Besok ayah akan mulai mengajarimu.”

Tidak! Tidak bisa besok! Tidak ada waktu lagi! Aku harus bisa segera memasuki ruang kerja ayah yang sejak dulu tidak dibolehkan untuk siapapun, hingga aku bersedia untuk melanjutkan bisnisnya.

“Aku ingin sekarang, Yah. Aku tidak ingin menunda lagi. Aku... aku sudah penasaran dan ingin segera belajar,” pintaku yang pasti akan membuat ayah curiga.

“Nanti saja.”

Kulirik jam dinding di ruang keluarga ini. Waktuku tinggal 6,5 jam.

“Setidaknya, ijinkan aku masuk ke ruang kerja ayah. Sejak kecil aku selalu ingin tahu,” pintaku memelas.

Ayah akhirnya membolehkanku masuk ke ruang kerjanya. Setelah menahan diri mendengar ocehan dan kesombongannya yang tak pernah berubah meski aku pergi dari rumah, akhirnya ayah membiarkanku sendiri di dalam ruangan kerjanya.

Miniatur Wiener Hofburg, istana kerajaan Austria, terpampang indah di sebuah meja kecil di ujung ruangan. Segera aku melakukan permintaan Jurgen, sebelum kemudian menyelinap keluar rumah. Satu setengah jam habis untuk menunggu ayahku mulai bermain catur dengan tamunya di halaman belakang. Yang untungnya, masih rutin dia lakukan sehingga memberiku kesempatan untuk kabur di saat para pembantu tengah lengah.

*-*-*-*

 Altstadt, Salzburg, Salzburg, Austria

Kurang dari sejam menuju tenggat waktu yang diberikan Jurgen. Aku baru saja turun dari kereta di Salzburg Central Train Station. Kereta tadi berhenti lama di Linz, membuat kedatanganku kembali jadi terlambat.

Ketika memasuki kawasan Aldstadt, aku terkejut melihat keramaian di sepanjang jalan. Sial! Hari ini ada perayaan UNITE PARADE, perayaan para gay dan lesbian. Semua orang tumpah di jalanan, ada sekitar 18 truck semi-trailer bergerak lambat di jalan, dengan suara musik yang menghentak keras keluar dari sound system dari belakang masing-masing truck dan orang-orang menari dan menikmati musik di belakang truck. Jalanan sangat padat dan menyusahkanku untuk menuju ke Radisson Blu Altstadt Hotel.

Blackberry di saku rokku bergetar, cepat-cepat aku membukanya. BBM dari Jurgen.

Where the hell are you?
Waktumu tinggal sepuluh menit lagi
Atau Kizzy...

Aku terus berusaha menerobos kerumunan. Dengan miniatur yang cukup besar di dalam tas punggungku, membuatku kesusahan melewati keramaian orang-orang. Keringatku sudah mengucur deras, kelelahan dan panik mengingat waktu terus berjalan. Aku harus segera ke Radisson.

Bangunan hotel yang sudah tampak dekat di mataku jadi terasa bermil-mil oleh kepadatan orang yang menutupi jalanan. Dengan tenaga yang tersisa aku terus berlari, tak peduli menyenggol keras atau bahkan membuat seorang pria terjatuh.

Radisson Blu Alstadt Hotel, Salzburg, Salzburg, Austria

Setelah membaca nomor kamar yang diberikan Jurgen lewat BBM, aku bergegas mencari kamar itu. Sesampainya di depan pintu aku langsung mengetuknya keras-keras. Aku sangat takut. Aku sudah terlambat sekitar lima menit dari waktu yang Jurgen tentukan.

Jurgen membuka pintu dengan ponsel yang melekat di telinganya.

“Aku baru saja mau meneleponmu. Masuk,” ucap Jurgen dingin, tanpa ekspresi, membuatku makin khawatir.

Kulangkahkan kakiku masuk ke dalam kamar hotel. Aku terkejut melihat seorang pria kurus yang duduk dan diikat di sebuah kursi dengan tali tambang. Ada memar-memar di wajahnya. Di sampingnya berdiri seorang pria bertubuh besar dengan sebuah senapan laras panjang di tangannya.

“Kizzy!” teriakku langsung mencoba menghampiri Kizzy sebelum tangan Jurgen dengan kuat memegang pergelangan tanganku.

“Lepaskan aku!” berontakku.

“Lepaskan dia!” teriak Kizzy.

“Kau punya urusan denganku, nona... kau sudah terlambat, dan beruntung aku sedang tidak ingin bermain-main. Aku membutuhkan miniatur itu sekarang!... ” Jurgen menatapku tajam sebelum melemparkan tatapan ke arah Kizzy,”... dan kau sebaiknya tutup mulutmu!”

“Cepat berikan padaku miniatur itu!” perintah Jurgen membuatku membuka tas punggungku. Segera kuberikan miniatur kerajaan itu padanya.

“Kizzy, kau tidak apa-apa?” tanyaku pada Kizzy yang dijawab dengan anggukannya, “Aku tidak apa-apa, Sha. Seharusnya kamu tidak perlu melakukan itu semua untukku.”

“Sudahlah, hentikan drama picisan itu!” teriak Jurgen.

“Apa maksudmu dia tidak ada di rumahnya?” tiba-tiba aku mendengar suara ayah di dalam kamar hotel. Suaranya berasal dari perangkat suond komputer yang berada di sebuah meja. Jurgen menghampiri komputer itu.

“A-apa itu?” tanyaku pada Jurgen. Jurgen mengatupkan telunjuk pada bibirnya memintaku diam.

Apa gunanya kalian kuberi uang untuk perjalanan ke Salzburg kalau pada akhirnya kalian tidak bisa menemukannya?! Aku tidak mau tahu, temukan Shasa! Dia sudah membawa pergi miniatur itu, dia pasti tahu sesuatu tentang Afrika! Cepat temukan dia!” suara ayah berakhir dengan suara sesuatu dibanting, langkah kaki cepat kemudian pintu yang ditutup secara keras.

Aku terkejut. Afrika?! Apa maksud ayah sebenarnya? Dan bagaimana bisa suara ayah bisa kudengar...

“Alat yang kau minta aku tempelkan di bawah meja kerja ayahku, itu... alat penyadap suara?” tanyaku pada Jurgen.

Yeah... kau dengar itu? Ayahmu pasti baru saja menelepon anak buahnya untuk memburumu. Kau tidak aman, Sha. Kau lebih aman bersamaku di sini,” ucap Jurgen.

“Kau bilang lebih aman bersama penjahat sepertimu?”

Jurgen tertawa, “Kuberitahu padamu siapa penjahat yang sebenarnya,” dia merogoh pintu yang terdapat di miniatur bangunan kerajaan dan mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. Sepertinya memory card.

“Sha, jangan dengarkan apapun kata-katanya! Jangan percaya apapun yang akan dia...” Kizzy berucap namun tak sempat menyelesaikan ucapannya saat pria bertubuh besar di sampingnya langsung memukulnya.

“Berhentilah memukulnya!” teriakku benar-benar tidak tega melihat Kizzy disiksa seperti itu.

“Itu hadiah untuk orang yang tidak bisa diam!...” ucap Jurgen lalu memasukkan memory card itu ke dalam laptopnya, “... tutup mulutnya!”

Pria besar dengan senjata langsung mencari lakban dan menutup mulut Kizzy. Aku hanya bisa mendengar suara berontak Kizzy yang tertahan.

“Kau lihat baik-baik, Sha,” Jurgen memperlihatkan sesuatu dari layar laptopnya. Penasaran, aku melihat layar laptop itu. Ada foto-foto perhiasan, kalung, cincin, gelang, anting, dan beberapa jenis aksesoris. Semuanya perhiasan dari berlian. Aku tidak mengerti. Sepertinya itu semacam katalog produk perhiasan.

“Kau tahu ini apa?” tanya Jurgen. Aku tak menjawab.

“Ini adalah katalog penjualan berlian, yang dijual ayahmu secara ilegal ke black market. Di dalam memory card ini juga terdapat dokumen-dokumen transaksi penjualan,” ucap Jurgen membuatku terkejut. Apakah aku harus mempercayainya? Kizzy terdengar berontak. Mungkin Jurgen bohong, itu sebabnya tadi Kizzy minta aku tidak mempercayainya.

“Kau bohong! Tidak mungkin ayahku menjual berlian!”

“Kau pikir apa yang ayahmu lakukan di Afrika dulu? Apa yang ayahmu lakukan tiap kali dia mengatakan akan pergi ke Afrika?” Jurgen bertanya.

“Ayahku sering ke Afrika, karena bisnisnya adalah menjual peralatan bangunan ke sana!”

Jurgen tertawa,”Itu yang dia katakan padamu? Dia menambang berlian di sana, dan apa kau tahu kalau dia memperbudak orang-orang di desa untuk menambang berlian untuknya? Kau dengar apa kataku? Mem-per-bu-dak! Dengan kasar dan tidak berperikemanusiaan!”

Jurgen tampak membuka sebuah folder berisi foto-foto yang memperlihatkan para wanita dan pria berkulit hitam tengah menambang berlian di sungai-sungai, dengan beberapa pria bersenjata mengawasi mereka. Aku juga melihat beberapa foto yang menunjukkan pria bersenjata memukul para penambang itu. Ada ayah di antara mereka. Tampak memerintah para penambang.

Mulutku ternganga melihatnya.

“Aku mengambil foto itu secara diam-diam.”

“Si-siapa kau... sebenarnya?!” tanyaku. Terdengar pintu yang digedor. Tanpa disuruh, si pria besar melihat melalui kaca pintu kemudian membukanya. Seorang pria yang pernah kulihat sebagai penjual koran di luar Cafe Rusuh tampak memasuki ruangan kamar hotel.

“Mereka menuju kemari!” ucap pria itu pada Jurgen.

“Kalian berdua bawa dia pergi sekarang. Aku akan menyusul,” perintah Jurgen. Dua pria itu melepas ikatan Kizzy dan membawa Kizzy keluar.

*-*-*-*

Jurgen membawaku keluar dari hotel, mengendarai sebuah mobil van yang di bagian belakangnya terdapat seperangkat peralatan komputer, layar-layar monitor dan kabel-kabel yang tidak aku mengerti.

“Jadi sekarang kau menculikku. Kau mau membawaku ke mana?” tanyaku.

“Ke tempat yang aman.”

“Ayahku tidak mungkin menyakitiku. Bagaimana bisa kau bilang aku lebih aman bersamamu?”

Jurgen kembali tertawa sinis, yang sepanjang aku bertemu dengannya, entah sudah berapa kali dia menunjukkan tawa semacam itu.

Believe me, dia sanggup menyakitimu.”

“Tidak mungkin!”

“Sudahlah, lebih baik kau diam saja.”

“Kau pasti bohong! Semua ini... entah bagaimana... kau pasti membohongiku. Kizzy bilang...”

“Kau tidak bisa berhenti bicara ya?! Dan jangan percaya apa yang dikatakan lelaki sialan itu! Aku lah yang harus kau percayai!...” ucapan Jurgen terhenti oleh suara dering telepon. Dia langsung mengangkatnya, masih sambil menyetir, “Ya?... apa kau bilang?! Bagaimana bisa dia kabur?! Kalian cari dia!”

“Sialan!” umpat Jurgen memukul setir mobil dengan kepalan tangannya.

“Kizzy kabur?” tanyaku yang sama sekali tidak dia jawab. Hingga akhirnya kami sampai di sebuah pondok. Pondok itu berada di tempat terpencil di dekat Wolfgang Lake, daerah utara Salzburg.

Wolfgang Lake, Salzburg, Austria

“Kenapa diam saja?” Jurgen bertanya setelah sekitar setengah jam kami sampai di pondok. Dia menyodorkan sepiring pizza yang berasal dari pizza beku yang sudah dihangatkan di hadapanku.

“Aku tidak percaya ayahku bisa sekejam itu. Dia memang angkuh dan keras, tapi aku tidak menyangka dia bisa sekejam itu,” ucapku. Aku masih bingung dengan semua kejadian ini.

“Maaf sudah membukakan matamu untuk kenyataan itu...” Jurgen berucap lembut. Aku sedikit terkejut dengan intonasi ucapannya, “... makanlah dulu pizza itu. Kau pasti lapar sudah bolak-balik Salzburg – Vienna. Aku yakin kau pasti belum makan,” dan dalam sekejap Jurgen berubah menjadi pria yang baik. Seolah seperti dua pria yang berbeda dengan sosok Jurgen sebelum kami sampai di pondok ini.

Aku mengambil pizza itu dan memakannya. Perutku memang sangat lapar. Setelah makan, aku begitu mengantuk. Jurgen menyuruhku tidur sebelum berpesan agar aku tidak khawatir karena dia tidak akan macam-macam denganku saat aku tidur. Aku sangat lelah hingga cepat tertidur lelap. Sebelum tertidur aku sempat merasakan Jurgen menyelimuti tubuhku dengan selimut tebal.

*-*-*-*

Aku membuka mataku dan menerima silau matahari yang menerobos masuk lewat jendela. Sesosok pria berdiri di dekat jendela, melihatku. Ada sebuah pistol di tangannya.

“Kizzy?”

“Iya, Sha. Aku datang untuk menjemputmu pulang. Kamu tidak perlu khawatir lagi.”

“Di mana Jurgen?” tanyaku.

“Di depan. Aku menembaknya. Dia sudah menerima akibatnya. Dia pasti telah berbuat kasar padamu, Sha?”

Aku menggeleng-geleng, “Tidak, dia tidak kasar.”

“Ayo kita pulang.”

Kizzy membantuku bangun dari ranjang. Entah kenapa aku merasa ragu. Kizzy menggandengku melewati tubuh Jurgen yang tertelungkup di lantai ruang depan. Ada lubang peluru di punggungnya.

Ketika mencapai pintu depan, langkahku terhenti oleh suara yang memanggil namaku.

“Shasa, jangan... ikut... dia,”

Aku menoleh dan melihat Jurgen yang berusaha bangun.

“Tunggu apa lagi, Sha? Ayo kita pergi! Jangan dengarkan dia! Kau harus ikut aku!” suara Kizzy meninggi. Dia menodongkan pistol ke arah Jurgen. Kali ini aku merasa tidak mengenal Kizzy.

“Dia membawa... memory card itu... jangan ikut dia... dia telah menipumu selama ini!”

Aku terkejut. Entah kenapa, hatiku memintaku percaya pada ucapan Jurgen.

“Jangan buat aku membunuhmu!” teriak Kizzy pada Jurgen membuatku semakin bingung dan panik.

Jurgen masih sanggup berdiri dan mencoba menghampiri kami yang sudah di ambang pintu. Dia meraih pistol yang digantungkan di celananya.

“Jangan mendekat, atau aku akan menembaknya!” Kizzy kini menodongkan pistol ke kepalaku, membuatku sangat terkejut.

“Kizzy? Apa yang kau lakukan?!” aku sangat terkejut sekaligus merasakan sakit yang begitu hebat di hatiku.

“Jangan berani... kau... sakiti dia!” teriak Jurgen.

Kizzy mencengkeram tanganku kuat dan menggeretku menuju ke motor automatic Ridley nya.

“Cepat naik!” paksanya. Air mataku berjatuhan. Seseorang yang sangat kucintai ternyata sama sekali tidak kukenal.

Ketika Kizzy hendak naik, aku mendengar suara tembakan, yang seketika membuat Kizzy terjatuh. Aku menoleh ke arah rumah, Jurgen berdiri berpegangan pada ambang pintu dengan pistol di tangannya. Aku membeku sesaat. Sebelum kemudian berlari kembali ke rumah. Entah kenapa aku merasa kasihan pada Jurgen. Keringat dingin membasahi tubuhnya.

“Kau...” aku tak sanggup berkata-kata.

“Bantu aku... mencabut peluru di punggungku... akan kuberitahu... caranya...”

Aku mengangguk.

*-*-*-*

Malam itu, dua orang pria yang sudah kukenal dari hotel Radisson sebagai anak buah Jurgen sudah datang ke pondok. Mereka berdua sudah membereskan Kizzy. Jurgen tertidur di dalam kamar setelah peluru di punggungnya kuambil, sementara aku berada di ruang depan bersama seorang pria yang sebaya Jurgen. Pria satunya lagi yang bertubuh besar sedang merokok di luar pondok.

“Kami dulu bekerja pada ayahmu di Afrika. Ketika ayahmu makin kejam pada mereka, kami berencana untuk membuat dia dihukum. Kami kabur dari Afrika tiga bulan lalu dan menyusun rencana, seperti menculik Kizzy dan memintamu melakukan semua yang kau lakukan kemarin. Kami bersembunyi di Cafe Rusuh itu. Jurgen memberikan tenggat waktu agar kau mau melakukan permintaannya dengan cepat. Itu hanya bumbu untuk rencana kami,” ucap pria itu.

“Lalu... siapa Kizzy sebenarnya?”

“Kizzy dulu juga kerja pada ayahmu. Jurgen dan Kizzy bersahabat sewaktu di Afrika. Namun, karena gelap mata dan mengikuti keserakahannya, Kizzy mencuri berlian dari ayahmu dan kembali ke Austria. Ayahmu tidak bisa memburu Kizzy karena dia mengancam akan membunuhmu jika ayahmu memburunya atau membawamu pulang kembali ke Vienna. Kizzy memiliki seorang teman yang selalu mengawasimu. Dia mengancam, jika terjadi sesuatu padanya, temannya akan membunuhmu. Tapi tenang saja, teman Kizzy sudah kami bereskan.”

Aku tertegun mendengar cerita dari pria itu. Terlalu banyak kejutan yang telingaku dengar belakangan ini.

“Dia menjadikanmu alat untuk mengancam ayahmu, Sha. Dia mengambil memory card itu tadi karena dia ingin mengancam ayahmu lagi, untuk mendapatkan uang yang lebih banyak.”

Air mataku menetes. Menyesali kebodohanku telah jatuh cinta bahkan hampir menikah dengan Kizzy.

Pria itu membuka notebook dan membuka sebuah file, “Rekaman suara ini kami dapatkan sebelum kau sampai di hotel kemarin. Ayahmu sudah tidak peduli lagi denganmu.”

Tak lama kemudian kudengar suara ayahku berbicara.

“Aku tidak peduli lagi! Aku sudah berbaik hati pada mereka dan kesabaranku sudah habis! Memory card itu harus kembali padaku! Temukan Jurgen dan Shasa, habisi mereka kalau perlu! Mereka tidak tahu berterima kasih! Aku tidak peduli meski mereka anakku!”

Aku sangat terkejut. Aku berdiri dari kursiku dengan shock dan menengok ke arah kamar tempat Jurgen tidur.

“Dia menahan kuat luapan perasaannya saat pertama kali bertemu denganmu. Jurgen tidak memberitahumu sejak awal karena kau pasti tidak akan percaya. Dia selama ini ada di Afrika. Saat kau lahir, orang tuamu langsung membawamu ke Austria. Sejak kecil Jurgen dititipkan pada orang kepercayaan ayahmu di sana, untuk dididik dan melanjutkan bisnis haram ayahmu.”

“Kenapa... aku tidak pernah tahu?”

 “Ayahmu tidak ingin kau tahu sedikitpun tentang Afrika. Di rumahnya bahkan sama sekali tidak ada anak buahnya yang bersenjata bukan? Ayahmu ingin memalsukan diri sebagai orang baik-baik di Austria. Ibumu tak tahan lagi dan menceraikan ayahmu. Ayahmu memisahkan kalian, mengancam ibumu untuk tidak menghubungimu lagi atau dia akan menyakitimu.”

Aku menggeleng-geleng. Air mataku mulai berjatuhan. Kulangkahkan kaki ke dalam kamar dan menghampiri Jurgen. Aku menatapnya lama. Beragam perasaan berkecamuk di dalam hatiku. Kulihat Jurgen terbangun dan membuka matanya tak lama kemudian. Dia menatapku.

Aku membuka mulutku pelan-pelan, “Ka... kakak?”

Jurgen tersenyum, “Sudah kubilang pada akhirnya kau akan berterima kasih padaku... my dear sister...”

THE END


Tidak ada komentar:

Posting Komentar