Friendship | Writing | Reading | Learning | Joking | Smiling | Laughing | Comfortable
Tentang Kami
Foto saya
Grup Cafe Rusuh merupakan suatu ruang lingkup tempat di mana para anggotanya bisa berbagi tentang segala hal. Kata "Rusuh" sendiri merupakan kependekan dari "Ruang suasana hati". Sebagai sebuah grup, Cafe Rusuh menjadi sebuah jembatan di mana persahabatan, kekeluargaan dan silaturahmi antara sesama anggotanya tetap terjaga. Selain itu, Cafe Rusuh juga memberikan kebebasan kepada para anggotanya untuk berbagi tentang segala hal seperti puisi, cerita, esai, tips-tips dan info-info yang bermanfaat bagi para anggotanya.

Sabtu, 24 September 2011

BeCeKS-CR 1 : MY BUSFRIEND WAY


by Lina Rosliana

“Kosong, Mbak?” sapa seseorang ketika aku tengah menyiapkan uang untuk tiket bus. Aku menengadah. Seorang gadis dengan rambut shagi mengangguk dan tersenyum ramah padaku. Usianya mungkin hampir sama denganku. Kelihatannya teman perjalanan yang ramah, pikirku. Aku pun menjawab dengan sebuah anggukan.
“Iya kosong. Silakan...”
“Bandungnya dimana Mbak?” tanya gadis itu setelah duduk di sampingku. Aku tidak segera menjawab.
“Apa aku terlihat seperti jelmaan werewolf?” tanyanya lagi sambil membelalakan mata dan memamerkan cakar tangannya. Aku tergelak, begitu juga dia.
“Nah, begitu kan lebih baik...” katanya, membuatku malu pada diri sendiri karena pikiran burukku. Kota Metropolitan mengajarkan padaku untuk selalu waspada terhadap orang baru.
Apa salahnya mengatakannya terus terang. Toh ia tidak terlihat seperti serigala seperti apa katanya. “Aku mau ke Ciparay,” jawabku akhirnya.
Alis gadis itu bertaut. Baru kusadari, alangkah rimbunnya timbunan bulu di atas matanya itu. Pasangan yang serasi dengan mata yang bulat penuh.
“Wah jauh juga ya!” serunya kaget.
Tiba-tiba ia menyodorkan tangannya. “Kita belum kenalan. Aku Megan.”
Ups! Aku pun baru menyadarinya lalu menyambut uluran tangannya.
“Shasa,” jawabku. “Kamu sendiri, mau kemana?”
Megan mengedikan bahu. “Aku belum tahu, mau ke Ciumbuleuit dulu atau langsung ke Lembang.”
Aku mengerutkan dahi. “Lho, koq?”
“Aku disuruh Mama nengok rumah di Ciumbuleuit. Udah lama gak ditengok. Kalo ke sana dulu males gak ada temen. Tapi kalo udah di Lembang, males turun lagi.” Wajah Megan berubah murung membuatku iba dan ingin menghiburnya.
Tiba-tiba terpikir olehku untuk menemaninya. “Di Ciumbuleuitnya lama gak?”
Dia menoleh padaku. “Ya enggak lah, orang cuma nengok doang. Emang kenapa?”
“Mau ditemenin?”
Mata Megan berbinar riang. “Beneran?” tanyanya tidak percaya.
Aku mengangguk. “Ini kan masih pagi. Kalau kita selesai tengah hari, aku masih bisa sampe di Ciparay sebelum gelap. Gimana? Nggak ada tawaran kedua!”
Tiba-tiba Megan memelukku. “Makasih Shasaaa...!!! Duh... aku bener-bener gak nyangka bakal duduk deket malaikat!”
“Husy! Malaikat gak akan naik bus!”
Megan tergelak. Kami cepat sekali menjadi akrab dan membicarakan tentang banyak hal seperti sepasang sahabat yang lama tidak ketemu. Aku juga sempat cerita tentang Mas Tidar, calon suamiku yang meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan pesawat.
“Impianku untuk menikah di usia dua puluh tahun gak kesampaian...” kataku sambil mengedikkan bahu.
“Koq kamu gak kelihatan sedih?” tanyanya heran.
“Mungkin karena kejadiannya udah cukup lama ya.” Megan tidak perlu tahu, kenyataannya aku belum benar-benar bisa melupakannya dan mendapatkan cowok pengganti sebaik Mas Tidar. “Lagi pula untuk apa mengingat-ingat orang yang sudah meninggal. Masih banyak cowok lain.”
“Semua cowok buaya, tahu!” Megan kelihatan geram. “LAKI-LAKI! HUH! Tampangnya saja yang alim! Kelakuan IBLIS!”
Aku menoleh padanya. Lalu tanpa aku minta Megan bercerita tentang Destra, kekasihnya, yang tega mengkhianati cintanya.
“Dia menghamili Syiane, sahabatku sejak kecil…”
Aku benar-benar terkejut dan trenyuh mendengar cerita Megan. Ia kelihatan menahan tangis dan marah. Aku ingin memeluknya tapi ia tidak menyodorkan tubuhnya untuk kupeluk. Jadi aku pun urung melakukannya. Keinginanku untuk menemaninya semakin besar. Untungnya Megan tidak terlalu larut dengan kisah sedihnya. Topik pembicaraan kami segera beralih ke hal lain. Aku pun tidak ingin menanyakannya lagi, khawatir akan membangkitkan rasa sedihnya.
Dari Terminal Leuwi Panjang Megan menyewa taksi. Rumah tujuan Megan memang tidak dilalui angkutan umum. Dari kawasan Puncrut masih terus naik melewati jalan lengang dengan pohon-pohon pinus di sekitarnya. Rumah-rumah yang kami lewati terlihat sepi dan rata-rata memiliki kebun yang sangat luas sehingga merentang jarak cukup jauh dengan rumah yang lain.
“Kayaknya rumah-rumah di sini cuma ditungguin pembantu ya…” gumamku seperti pada  diri sendiri.
“Begitulah kira-kira.” Megan mengangguk. “Kizzy yang nungguin rumah Papa janjinya cuma pulang tiga hari, sekarang udah seminggu belum nongol juga. Ditelephon gak nyambung-nyambung. Makanya aku disuruh Mama nengok sebentar, takut ada apa-apa.”
“Siapa tadi? Kizzy?” Geli juga mendengar namanya yang aneh. “Koq kayak nama…”
“Kucing,” potongnya cepat. “Badannya ceking, rambutnya selalu cepak, tapi dia brewokan. Aku ketawa waktu pertama kali ketemu dia, apa lagi waktu dia sebutin namanya. Tapi emang itu namanya. Nulisnya keren. Ka-i-zet-zet-ye! Ki-zzy! Itu yang dia tulis di pintu kamarnya. Gak tahu asli atau panggilan. Egepe… Emang gue pikirin…? Yang penting dia jaga rumah Papa dengan baik. Tapi sekarang? Gak tahu kemana, dia! Ck anak itu! Masih butuh duit buat nyicil motor maticnya aja macem-macem! Dipotong gajih, baru nyaho!”
“Kamu bilang anak itu? Memangnya dia masih kecil, ya?”
“Nggaaaak… Umurnya dua puluh delapan tahun, sekarang.”
Aku diam. Tentu saja Megan menyebutnya ‘anak itu’ pada laki-laki yang usianya di atasnya. Kizzy kan hanya sekedar orang upahan papanya.
Tidak terasa kami sudah tiba di rumah Papa Megan. Taksi yang kami tumpangi berhenti tepat di depan pagar tinggi bercat coklat dengan balutan pelastik fiber sehingga menutupi bagian dalamnya. Sekelilingnya terlindungi benteng tinggi sehingga rumahnya baru terlihat jika kita sudah berada di dalam pagar.
 Setelah membayar taksi, Megan mengeluarkan serangkaian kunci lalu membuka gembok rantai besi pagarnya yang tinggi. Setelah kami berada di dalam pagar dan Megan mengunci kembali gembok dari dalam, aku merasakan dingin yang amat sangat, padahal matahari bersinar cukup terik. Aku mencoba menepis perasaan itu dan berusaha lebur dengan kehangatan yang ditawarkan Megan. Ia membimbing aku melintasi jalan masuk yang panjang dan berkelok menuju bangunan rumah nun jauh di ujungnya. Aku menikmati keindahan kebun yang luas, asri dan terawat di salah satu sisinya.
“Kizzy merawat semuanya sendiri?” tanyaku. 
Megan mengangguk sambil membuka kunci pintu rumahnya. “Dia butuh duit banyak buat biaya sekolah adik-adiknya. Jadi dia menyanggupi mengurus semuanya sendirian dengan kompensasi upah yang sangat besar dari Papa.”
Aku mengangguk-angguk mengerti. Kizzy tidak jauh beda denganku. Aku jauh-jauh datang ke Jakarta untuk mendapatkan gajih besar supaya kedua adikku bisa tetap bersekolah. Mungkin karena postur tubuhku yang proporsional ditambah dengan sifatku yang periang dan gesit, aku tidak kesulitan mendapatkan pekerjaan, meski hanya sebagai kasir di sebuah mini market. Bukan sembarang mini market, tapi mini market 24 jam bergengsi di pusat kota yang ramai pengunjung dan dijadikan tempat nongkrong anak-anak muda. Gajihku tergolong besar untuk pekerjaan yang sama di tempat lain.
“Kamu yang begini kaya raya, koq gak bawa mobil sendiri sih,” tanyaku dengan mata yang liar menangkap kemewahan interior dan perabotan di dalam rumah. “Malah pilih pake bus, lagi. Bukannya pake kereta api atau pesawat sekalian. Kan lebih nyaman...” 
“Sopirku sakit,” jawab Megan sambil menyodorkan kaleng softdrink untukku. “Aku gak mau nyopir sendiri, takut kebetulan ketiban sial kayak Syaiful Jamil. Sedangkan kereta api atau pesawat kan harus ngikutin jadwal mereka. Males, ah! Enak pake bus, bisa berangkat sesuai keinginanku …”
Aku mengangguk mengerti sambil menyeruput softdrink yang sudah dibuka Megan sebelumnya. Minuman dingin itu dengan cepat berpindah mengaliri kerongkonganku yang kehausan sejak dari terminal. Kepalaku sampai pusing saking hausnya.
Hei! Tapi kenapa pusingnya malah semakin bertambah? Aku merasakan sekelilingku mulai  bergerak-gerak. Apa yang terjadi denganku? Mungkinkah softdrink yang kuminum ini kadaluarsa? Atau….? Aku menggeleng-geleng mencoba mengusir rasa pening di kepalaku.
Anehnya, Megan malah tersenyum melihat keadaanku. Senyum aneh yang belum pernah kulihat sebelumnya. Megan berpindah duduk di sebelahku lalu memeluk pinggangku lembut. Hawa dingin yang kurasakan saat di luar tadi tiba-tiba kembali menjalari tubuhku.
“Lama-lama… wajah kamu mirip Syane…” bisik Megan dekat ke telingaku. Dengus nafasnya hangat di leherku. Bulu romaku merinding ngeri. Aku baru sadar telah masuk ke dalam perangkap serigala.
“Megan, sadar!” jeritku panik sambil berusaha mendorong tubuhnya. Tapi Megan menjerat tubuhku semakin kuat. Aku seperti anak rusa dalam lilitan anaconda. Kedua tanganku terkunci dalam belitan tangan Megan. “Aku bukan Syane! Aku juga gak kenal dia!”
“Aku tahu!” bentak Megan galak. “Tapi wajah kalian sama! Menyebalkan, tapi…cantik…” Dendam dan nafsu berkumpul dalam desah nafas Megan. Kelinci manis itu benar-benar telah berubah menjadi serigala. Dan aku terlambat menyadarinya.
Aku meronta dalam pelukannya, tapi perempuan itu tangguh seperti seekor banteng. Bukannya terbebas, tubuhku malah terhempas dengan Megan di atasku!
“Kita sama-sama sakit oleh laki-laki, Shasa…” Megan terlihat semakin beringas. “Tidak ada gunanya menyintai laki-laki, Shasa... Mereka semuanya jelmaan IBLIS KEPARRRRAT!”
Aku bergidik jijik, seperti sedang digerayangi sekumpulan belatung. Perutku mual.
“Jadi mari kita saling menyintai, Shasa…” Suara Megan semakin bergairah. “Tidak ada sakit… Tidak ada dendam… Tidak ada air mata…”
Aku mengerahkan seluruh tenagaku untuk melawan. Tidak henti-hentinya hatiku berdoa memohon pertolongan Tuhan. Sementara Megan semakin liar dan mulai merenggut paksa kemejaku sehingga kancingnya lepas. Kesempatan itu aku gunakan untuk meloloskan satu tanganku dari cengkramannya lalu menggapai-gapai udara berharap menemukan sesuatu yang dapat kupakai sebagai senjata.
Tiba-tiba tanganku berhasil meraih sebuah benda keras bulat panjang. Waktu semakin sempit! Aku harus selamat! Dengan sekuat tenaga, aku hantamkan benda itu ke kepala Megan. Megan terguling ke lantai. Suara kepala membentur ubin berdebum keras. Aku melesat mencapai pintu yang untungnya anak kuncinya masih tergantung di sana.
Sinar matahari yang terik segera menyambutku. Dengan doa dan tenaga yang tersisa, aku berlari secepat mungkin menuju pintu pagar. Aku harus segera meninggalkan tempat terkutuk ini! Aku tahu pintu pagarnya terkunci, tapi setidak-tidaknya aku masih bisa berteriak meminta pertolongan. Tenagaku sudah semakin terkuras. Aku tidak tahu apakah masih punya kekuatan untuk berteriak minta tolong.
Semakin dekat ke pintu pagar, sekonyong-konyong aku melihat pintu pagar itu ternyata dalam keadaan terbuka! Semangatku kembali tersulut. Semoga bukan fatamorgana karena obsesiku.
Ternyata pintu itu memang terbuka! Seseorang telah membukanya.  Aku bersyukur dan tidak sempat berpikir siapa yang telah membukanya. Pintu itu satu-satunya harapan kebebasanku. Akhirnya aku berhasil melewati pintu pagar dengan nafas terengah-engah. Mataku liar mencari pertolongan. Dan aku nyaris berteriak ketika melihat taksi yang kami tumpangi tadi masih terparkir tidak jauh dari tempatku berdiri. Aku segera berlari dan membuka pintu taksi. Tidak kupedulikan laki-laki brewok yang sedang ngobrol dengan sopirnya. Sempat kutangkap tatapannya yang bingung melihat keadaanku. Aku baru sadar kemejaku yang tanpa kancing. Spontan aku merapatkan kemejaku lalu buru-buru menyebutkan tujuanku pada sopir taksi.
Taksi berbalik arah dengan cepat lalu melesat meninggalkan laki-laki brewok yang masih bengong menatapku. Sorry man, aku lebih membutuhkannya!
Sepanjang jalan kepalaku dipenuhi dengan bermacam-macam pikiran. Siapakah yang membuka pagar itu? Apakah laki-laki brewok tadi? Oh ya, mungkin laki-laki brewok itu adalah Kizzy. Bukankah Megan pernah mengatakan kalau Kizzy itu ceking, cepak dan brewok? Laki-laki itu sama persis seperti yang digambarkan Megan. Anggaplah dia Kizzy. Lalu aku mencoba berasumsi sendiri. Kizzy baru datang dan bermaksud akan masuk. Sebelum masuk ia melihat taksi lalu bertanya pada sopir taksi itu.
Aku menghela nafas. Cepat atau lambat pada akhirnya Kizzy akan menyadari apa yang terjadi pada putri majikannya. Ia tentu tidak akan berdiam diri dan akan memanggil polisi. Aku baru menyadari tasku yang tertinggal di sana. Seluruh identitasku ada di sana. Mereka akan dengan mudah menemukan aku. Ya, aku memang tidak bisa berpikir banyak selain keselamatanku sendiri. Satu-satunya benda berharga yang sempat terbawa olehku hanyalah Blackbbery lowbat di saku celanaku.
Aku menyesali pertemuanku dengan Megan. Harusnya aku lebih berhati-hati. Harusnya aku tidak begitu saja percaya pada orang yang baru kukenal, apa lagi sampai curhat segala! Harusnya aku tidak satu kursi dengan Megan. Harusnya aku lebih peka dengan penampilan Megan yang sangat tomboy. Harusnya aku tidak menawarkan diri untuk menemaninya ke Ciumbuleuit. Harusnya aku tidak perlu merasa aman hanya karena Megan sama-sama wanita. Harusnya aku memang tidak ketemu Megan!
Tapi Megan begitu baik seperti seorang Nabi, begitu manis seperti seekor kelinci, begitu santun seperti seorang abdi dalem, begitu ramah seperti seorang SPG. Ah... kesadaran selalu hadir terlambat.
Bagaimana jika Megan tewas? Sedangkan seluruh identitasku tertinggal di sana. Tapi bagaiman juga jika Megan masih hidup? Dia pasti akan dengan mudah melacak keberadaanku baik di Bandung maupun di Jakarta.
Aku memejamkan mata, mencoba menghalau rasa panik jilid dua. Aku kembali hanya bisa menyandarkan harapanku pada kemurahan Tuhan. Bukankah Dia telah mengirimkan malaikat penyelamat padaku? Kizzy dan sopir taksi ini.
Setibanya di rumah aku segera berlari ke kamarku untuk mengambil cadangan uang dari lemari pakaianku. Setelah membayar taksi, aku segera mencari Ibu di dapur tapi ia tidak ada di sana. Begitu juga kedua adikku. Di kampung seperti ini, tidak butuh pagar tinggi atau rantai besi dengan kunci gembok raksasa. Bahkan rumah tidak terkunci pun tetap aman.
Akhirnya aku memutuskan untuk mandi. Aku ingin melarutkan bayangan Megan dengan air yang mengguyur seluruh tubuhku. Perlahan air itu surut karena grafitasi bumi lalu menghilang ke dalam saluran pembuangan air. Hanyut mengikuti arus sungai dan tidak mungkin akan kembali lagi. Sama seperti mimpi burukku, Aku tidak ingin mengalaminya lagi. Selamat tinggal Megan. Selamat tinggal mimpi buruk.
Aku tidak ingin menceritakan kejadian burukku pada Ibu dan kedua adikku. Belum genap satu tahun Ayah meninggal setelah mengalami stroke  bertahun-tahun. Kami belum sepenuhnya pulih dari suasana duka itu. Besoknya, meski masih diliputi rasa was-was, aku menguatkan diri untuk berangkat ke Jakarta. Aku sadar, sempat menceritakan pekerjaanku pada Megan. Mini market tempat aku bekerja sebagai kasir terletak di pusat keramian kota yang sangat strategis untuk dikunjungi banyak orang. Aku selalu dilanda kekhawatiran Megan akan tiba-tiba muncul sebagai salah satu pengunjung lalu menodongkan pistol padaku.  
Setiap hari aku berusaha mengikuti berita kriminal baik dari media cetak maupun elektronik. Aku dilanda ambigu tingkat tinggi tentang Megan. Aku menginginkannya mati supaya ia tidak datang menerorku. Tapi polisi tentu tidak akan berdiam diri dan akan mencari pelaku pembunuhnya. Lalu dengan mudah mereka akan menemukan aku melalui identitasku yang  ketinggalan di sana. Jadi aku menginginkannya tetap hidup. Mati ditangan Megan jauh lebih baik bagiku dari pada hidup di penjara.
Tidak terasa dua minggu berlalu sejak kejadian itu, tidak ada berita atau apa pun yang terjadi padaku. Pelan-pelan aku mulai bisa melupakan mimpi burukku dan menjalani hari-hariku dengan normal. Hingga suatu pagi, ketika aku baru masuk untuk menggantikan kasir yang safe malam, sebuah pesan masuk ke dalam Blackberry-ku. Aku tidak segera membukanya karena sibuk melayani seorang pembeli. Setelah beres barulah aku membukanya.
Temui aku di Cafe Rusuh yang terdapat di kota tua jam 5 sore ini, ingat jangan telat barang sedetikpun! Jangan juga datang sebelum jam 5 sore. Harus tepat jam 5 sore. Jangan bawa teman atau siapapun, bila tidak. Aku tidak akan menanggung akibatnya nanti. 
Satu lagi, kau tidak boleh membocorkan pada satu orangpun tentang pertemuan kita. 
Segalanya bergantung pada putusan akhir darimu. Baik buruknya, kau yang tentukan.
Aku melihat isi ВВМ yang baru kuterima lima menit yang lalu dengan bingung. Apa yang terjadi? Brengsek! Di mana letaknya Cafe Rusuh itu?
Kota Tua tentu saja aku tahu. Bukan hanya tahu tapi mengenal detailnya karena tidak jauh dari sini. Tapi Café Rusuh? Aku baru mendengar namanya. Apakah di sana dibangun café baru? Kapan mulainya? Cepat sekali? Atau ada Café yang telah mengubah namanya?
Diam-diam aku mencarinya di internet melalui Blackberry-ku. Aku menelusurinya dengan bermacam-macam keyword tapi tidak menemukan informasi apa pun tentang Café Rusuh di Kota Tua. Aku benar-benar pusing dan tidak tahu harus bertanya pada siapa, bukankah ia tidak menghendaki aku menghubungi siapa pun? Tapi siapa pengirim BBM itu? Apakah BBM itu ada hubungannya dengan Megan? Jika iya, pengirim BBM itu tentu serius dengan ancamannya yang menyangkut tentang keselamatanku! Tiba-tiba aku jadi merinding.
Aku mencoba menjawab BBM. Tidak ada Café Rusuh di Kota Tua. Mohon detailnya, supaya aku bisa datang tepat waktu!
Tidak lama, sebuah jawaban masuk. Nanti aku kirim detailnya pukul 16.00.
Tanganku berkeringat dingin. Jadi ia benar-benar serius. Aku menengok jam tanganku. Masih tersisa tujuh jam lagi menuju pukul 16.00. Masih banyak waktu untuk berpikir dan menenangkan diri. Tapi kenyataannya aku benar-benar tidak bisa berkonsentrasi dengan pekerjaanku. Beberapa kali aku nyaris salah mencantumkan harga, untungnya tidak ada yang memperhatikan. Berkali-kali aku menengok jam tanganku, tidak sabar menunggu hingga tugasku berakhir pukul 16.00.
Tepat pukul 16.00 sebuah BBM masuk. Café Gazebo Kota Tua di kolam air pukul 17.00. Tepat! Aku bawa ransel orange. Datang sendiri jika ingin selamat.
Aku mengangguk-angguk. Pilihan yang cerdas. Café Gazebo tempatnya agak tersembunyi, tertutup Café Fatahillah dan Museum Seni Rupa. Aku berdoa semoga pengirim BBM itu beritikad baik. Setidak-tidaknya ia menjamin keselamatanku jika aku datang sendiri. Dan itu cukup melegakanku.
Setelah jam pulang aku segera mencari taksi lalu melesat ke arah Museum Fatahilah. Setibanya di lokasi, tepat pukul 17.00 aku sudah berada dekat kolam air Café Gazebo seperti perintahnya. Mataku segera menangkap sosok laki-laki bertubuh tiang listrik dengan ransel oranye besar berdiri dekat kolam. Kuperkirakan usianya tidak lebih dari tiga puluhan dengan rambut cepak dan wajah klimis.  
Wajah itu… mengingatkan aku akan… Mas Tidar! Aku menggeleng. Tidak! Dia pasti bukan Mas Tidar. Mas Tidar tidak mungkin bangkit dari kuburnya. Lalu kenapa wajahnya begitu mirip? Aku tahu persis, Mas Tidar hanya punya satu adik perempuan yang juga meninggal dalam kecelakaan pesawat yang sama.
Pandangan kami beradu. Seluruh tubuhku seperti dialiri sejuta watt listrik! Wajahku menghangat.
“Aku Kizzy.” Laki-laki itu mengulurkan tangannya dengan gugup.
Aku menyambut uluran tangannya dengan kegugupan yang sama. “Shasa,” jawabku. “Apakah kamu yang waktu ngobrol dengan sopir taksi itu? Bukannya kamu….” Aku menunjuk wajahnya yang tampak klimis.
Kizzy tertawa sambil mengusap wajahnya. Ah, tawanya benar-benar mirip Mas Tidar. Jujur, ia kelihatan tampan dan bersih tanpa bulu-bulu di wajahnya. Penampilannya sangat berbeda dengan Kizzy yang kulihat pertama kali di rumah Megan.
“Eh, aku… ingin kelihatan lebih rapih,” jawabnya dengan tersipu-sipu. “Soalnya sekarang aku disuruh nemenin Non Megan kemana-mana… Ya… supaya sedikit agak imbang aja, gitu.”
“Oh ya, gimana kabar Megan?” Aku sedikit panik menyebut namanya. Kepalaku celingukan mencari-cari sosoknya. “Dia baik-baik aja kan?”
“Non Megan sedang pijat refleksi di lantai dua,” jawabnya buru-buru. “Maaf, aku gak punya banyak waktu. Aku hanya ingin mengembalikan tas ini.” Kizzy merogoh tas ransel orangenya dan mengeluarkan sesuatu yang membuat mataku berbinar. “Tas ini milik Non Shasa kan?
“Oh tasku!” pekikku tertahan sambil menerima tas milikku. “Terima kasih ya…”
Aku segera mengeluarkan dompet tempat menyimpan semua identitasku. Itu yang terpenting. Aku tidak peduli andai uangnya tidak bersisa seperak pun! Ternyata semuanya masih utuh. Sekali lagi aku berterima kasih padanya.
Kizzy menceritakan perihal Megan. Akibat benturan di kepalanya, Megan mengalami amnesia. Kizzy dianggap orang yang paling bertanggung jawab dengan peristiwa itu. Kedua orang tua Megan memberi tugas berat pada Kizzy untuk memulihkan ingatannya dengan mengawal Megan kemana pun ia pergi. Kedua orang tua Megan dan kedua kakak Megan tidak mungkin melakukannya karena mereka orang-orang yang super sibuk baik di dalam mau pun di luar negeri. Bahkan mereka tidak mengetahui Megan telah berubah menjadi seorang lesbian setelah dikhianati Destra. Hanya Kizzy satu-satunya orang di lingkungan keluarga yang mengetahuinya.
Kizzy tahu, orang yang bisa memberi penjelasan tentang amnesianya Megan adalah aku. Ia juga punya peluang besar untuk bisa menemui dan menanyai aku, tapi Kizzy malah ingin melindungi aku dengan menyembunyikan semua barang bukti milikku yang ketinggalan di sana. Ia sebenarnya bisa dengan mudah menghubungiku karena aku tinggalkan nomor HP dan PIN BB-ku dalam dompetku. Tapi Kizzy tidak ingin terburu-buru. Ia tahu aku sangat tertekan dengan kejadian itu. Maka ia membiarkan waktu dua minggu berlalu hingga aku merasa tenang dan nyaman dengan diriku sendiri. Lalu Kizzy meminta ijin Mama Megan untuk membawa Megan jalan-jalan ke Kota Tua, alasannya untuk membantu mengembalikan ingatan Megan. Padahal sebenarnya ia ingin menemui aku. Kota Tua mudah dicapai dari mini market tempat aku bekerja. Kizzy sudah mengatur pukul 17.00 Megan berada di ruang pijat refeksi ketika aku sudah selesai dengan tugasku. 
Aku sempat terkikik dengan akal bulusnya.
“Kamu bilang Café Rusuh,” tanyaku sambil mengerutkan dahi. “Sejak kapan café ini ganti nama jadi Café Rusuh?”
“Aku asal sebut aja. Rusuh artinya kan buru-buru. Aku memang terburu-buru kan?”  Kizzy tergelak. “Sebenernya aku juga baru tahu café ini koq. Aku memang sengaja nyari info di internet. Maklum gak hafal Jakarta. Nah, café ini persiiiis…. seperti yang aku butuhkan. Tempatnya tersembunyi, dan ada pijat refleksinya. Kota Tua ini dekat dengan tempat kerja Non Shasa, kan?”
“Shasa!” ralatku cepat. “Gak pake Non!”
“Iya deh…” Kizzy manggut-manggut membuatku gemas. “Maaf ya Non, eh, Shasa, aku gak bisa lama-lama. Takut Non Megan udah selesai. Dia bakalan nyari-nyari aku kalau gak lihat aku di ruang tunggu.”
Kizzy berbalik cepat.
“Kizzy!” teriakku spontan sebelum ia sempat melangkah. Laki-laki jangkung itu berbalik lagi padaku. Untuk kedua kalinya tatapan kami beradu. Kami mematung sesaat tanpa bersuara.
“Maaf...” kataku gugup sambil menunduk untuk mengambil lembar kertas dari dompetku. Kizzy segera menangkap tanganku. Untuk kedua kalinya tubuhku seperti dialiri listrik. Lebih dahsyat dari yang pertama.
Kizzy menggeleng. Tatapannya lembut langsung menembus jantungku. 
“Apakah kita… akan… ketemu lagi?” tanyaku lirih.
“Aku gak tahu…” jawabnya. “Maaf, Non, eh Shasa jangan ngikutin aku ya. Kalau Non Megan sempat lihat kita, aku khawatir dia bakal ingat kejadian itu. Kita bakalan celaka!”
Aku mengangguk mengerti. Kizzy melepas tangannya lalu berbalik dan bergegas meninggalkanku. Sebagian hatiku hilang bersama lenyapnya Kizzy ke dalam hingar bingar cafe.
Sesuai dengan pesan Kizzy, aku segera berlalu dari ‘Café Rusuh’ ciptaannya lalu segera memanggil taksi.
Di dalam taksi aku memikirkan kejadian yang baru saja kualami. Aku tidak menduga, perjumpaan kami yang super kilat itu menorehkan arti yang sangat dalam di hatiku. Apakah aku jatuh cinta padanya? Aku tidak berani berandai-andai.
Aku menghela nafas panjang lalu kembali membuka dompetku dan memeriksanya lebih teliti. Isinya masih utuh. Semua kartu identitasku, ATM, beberapa faktur, balpoin dan flashdisk di bagian luar, bahkan uangku utuh hingga ke keping recehnya.
Eit tunggu! Rasanya ada yang hilang. Apa ya?
Jantungku berdebur kencang saat menyadari benda yang hilang itu.  
Apakah Kizzy juga jatuh cinta padaku? Lalu mengapa ia mengambil salah satu fotoku? Hatiku mendadak melankolis dan bertabur harap.
Kita tidak pernah tahu, kapan sebuah hubungan dimulai dan kapan akan berakhir. Begitu juga dengan cinta. Tidak seorang pun tahu, sajak kapan rasa itu mulai hadir dan bilakah akan berakhir.
Kizzy tahu PIN BB-ku. Ia tahu bagaimana menghubungi aku. Aku akan menunggunya.

* * *

1 komentar:

  1. The Best Casino Site in Las Vegas For Real Money | ChoDieCasino
    Las choegocasino Vegas is a popular tourist attraction with many attractions. The most reliable place febcasino to 바카라 find a good casino is the Stratosphere Casino Resort.

    BalasHapus