Friendship | Writing | Reading | Learning | Joking | Smiling | Laughing | Comfortable
Tentang Kami
Foto saya
Grup Cafe Rusuh merupakan suatu ruang lingkup tempat di mana para anggotanya bisa berbagi tentang segala hal. Kata "Rusuh" sendiri merupakan kependekan dari "Ruang suasana hati". Sebagai sebuah grup, Cafe Rusuh menjadi sebuah jembatan di mana persahabatan, kekeluargaan dan silaturahmi antara sesama anggotanya tetap terjaga. Selain itu, Cafe Rusuh juga memberikan kebebasan kepada para anggotanya untuk berbagi tentang segala hal seperti puisi, cerita, esai, tips-tips dan info-info yang bermanfaat bagi para anggotanya.

Minggu, 15 Mei 2011

Rucer (Rusuhin Cerita): 100 kata The Way To Home



BUNDA JAHAT
oleh : Lily Zhang



Ucapku kasar, membanting pintu dan beranjak pergi.
“Monic...” Panggil Bunda pelan.
Kejadian pagi ini membawaku pada sisi jalan yang terasa menyindir langkahku. Tidak terasa langkah ini membawaku tiba di daerah kumuh di pinggiran kota. Jalanan yang tidak diaspal, penuh sampah yang berserakan menghias jalanan yang terhimpit gubuk yang hampir ambruk. Banyak suara keras terdengar, samar-samar kuketahui banyak pertengkaran kerasnya kehidupan yang mewarnai, sedangkan aku tidak bersyukur. Menuntut bundaku untuk kulanjutkan kuliah S2. Sedangkan banyak yang jauh tidak beruntung, kulangkahkan kaki di jalan beraspal, menuju rumahku.
“Maafin Monic Bunda...” Ucapku menyesal, senyum lembut Bunda menyadarkanku betapa aku sangat beruntung.




Cerita di jalan setapak
oleh : Catz Link Tristan


Di jalan setapak itu kembali dia bercerita padaku. Kadang sambil melompat kecil, berputar, atau dengan langkah gontai.

Hari ini salju di minggu ke dua. Dia mengenggam payung yang terlupakan. Terlalu asyik menghitung langkah dan menikmati salju.

“Kau tahu kenapa aku terus menghitung langkahku?” tanyanya padaku.
“Karena aku berencana untuk terus hidup. Aku yakin suatu pagi nanti , aku tidak perlu menghidupkan recorder untuk mendengarkan rekaman suara asing yang ternyata diriku sendiri.”
“Suara yang mengingatkan siapa aku. Kejadian kemarin yang aku lalui serta jalan setapak menuju rumahku.”

Tombol off ditekan, tanda akhir perjumpaan kami siang itu.

by Cat _ khuntien, 10 Mei 2011




-satu episode pulang-
oleh : Ai Reen

Aku singgah pada langit di sebuah tanah laknat. Aku mengucapnya seperti itu seakan kota ini terlalu kejam untukku. Kerap aku menyebutnya genangan langit yang tak dikenal. Dia, menyebutnya tanah tak bertuah, tempat segala hitam dan putih bersatu menjadi absurd. Tapi bagiku, akulah yang ambigu.

Semua rutunitas hanyalah gempita ibukota dengan sekelumit risalah juga problematika dan dilema berkepanjangan. Sementara aku seringnya melihat kota ini dari balik jendela bilik bulan berukuran 3x3, saksi bisu aku yang tergugu dan terpukul . Tapi ternyata kini aku terlalu lelah untuk bertahan
Hei, biar kunyanyikan sebuah refrain “jangan lagi pulang, jangan lagi datang…pergi jauh. Dan lalu…dan lalu…
Bandung, 11.05.2011





Kembali Berpijak
oleh : Dhini Aprilio

Aku akan pulang. Menapak kembali pada tempatku berpijak. Menjalin mimpi yang sempat meretas. Terkoyak angan yang terlalu jauh melayang. Terampas oleh resah yang menggetarkan. Melayang bersama pesona anak Adam, yang terpampang pada dunia fatamorgana.

Duhai, inilah saat pembuktian. Ketika sebuah rasa harus dipertahankan di atas untaian benang cinta yang semakin menipis. Karena hidup tak sekedar pesona yang hadir di masa kini. Jalinan masa yang saling terkait, dulu, kini dan nanti terbukti akan saling menguatkan. Cinta adalah semu, kan hilang dan membeku dengan siapapun kau berpadu. Kasih sayang adalah abadi, tak tererosi oleh jarak dan waktu.

Pulanglah. Kembali pada tempat kuberpijak. Meski perih mengiris sebuah asa yang menggigil berpeluk kecewa. Hanguskan sebuah warna yang tengah membara. Tapi, biarlah. Jalan terbaik adalah pulang berpayung gemawan yang bersahutan. Seolah menyampaikan salam damai untukku. Lepaskan saja sauh itu. Terbangkan harap pada dua kepaknya. Biarkan ia melesat menuju muara cintanya.





Air Mata Senyuman
oleh : Cahya Furi Purnama

Pada jalan ini terdapat jejak langkah kita, dimana karat besi dan kereta tua menjadi saksi ketika kita menikmati indahnya senja. Saat itu engkau pernah berkata “Jalan ini akan menjadi bukti bahwa kita adalah satu”, aku hanya bisa tersenyum dan membiarkanmu memainkan rambutku yang terurai oleh hembusan nakal sang bayu.

Saat ini aku kembali menyusuri jalan kita, melengkapi sebuah monolog rindu yang tak juga usai. Aku tahu engkau sedang melihatku sambil tersenyum dari gerbang nirwana, maka dari itu aku membawa sebuah payang hitam jika air mata sudah tak sanggup ku bendung.

Tepat satu tahun berlalu, namun hadirmu selalu menghiasi rona senyumku.





Serenade Beranda Rumahku
oleh : Sinyo Manteman

Sudah hampir setahun aku bekerja di perantauan. Hampir setiap malam pula sepulang kerja, aku menghabiskan waktu duduk di beranda rumah kontrakan. Tak seperti di beranda rumahku sendiri, riuh bocah berlarian sepulang mengaji, sapaan tetangga yang lewat, juga suara denting wajan dan sodet tukang nasi goreng yang mangkal di depan rumah.

Seorang perempuan berpayung hitam mengingatkanku pada ibu. Dulu, ibu kerap bertanya, "ngapain bengong aja..?" ketika mendapatiku di beranda rumah. Aku rindu itu, rindu pertanyaan ibu sembari duduk di sebelahku.

Tapi, aku di sini sekarang. Berteman gitar dan segelas kopi sambil memainkan serenade tentang beranda rumahku. Ya, perantauan, jalanku menuju pulang.

Batavia, 110511





Aku pulang
oleh : Aimie Keiko

Hujan mereda dan aku teringat seseorang di ujung jalan sana. Berapa tahun lalu saat hujan melebat, ia tersenyum meringis menunjukkan giginya yang reges. Bocah itu memberiku payung hitam yang lebar. Katanya biar aku tidak ikut kehujanan saat mengojek payung. Katanya juga kalau hujan datang, berarti Ayah Ibu di surga sedang merinduku. Tangisku pecah seketika.

Ahh.. andai bocah lelaki itu tahu, bahwa tanpanya dulu, aku takkan bisa sesukses ini.

Kamu tahu musikalisasi puisi ini?

‘Ada gadis kecil diseberangkan gerimis. Di tangan kanannya bergoyang payung, tangan kirinya mengibaskan tangis...di pinggir padang, ada pohon dan seekor burung...’

Ia sering menyanyikannya untukku.





Permohonan Terakhir
oleh : Ragil Prityasning Dyah


Apa yang kaulihat pada pertengahan pagi? Bilah-bilah cahaya itu menyusup mulus melewati gumpalan air di langit kelabu. Perlahan, meneteskan bebannya satu demi satu. Aku masih ingat bagaimana kau memberiku sebuah payung hitam dalam perjalanan pulangku. Apakah kau akan menyusulku?

Aku berjalan di tepi rangkaian besi tua yang menopang kereta berkecepatan tinggi selama puluhan tahun. Memandangnya pilu sambil terus berjalan sampai kutemui ujung buntu rel itu. Aku terhenti. Apakah aku juga akan bernasib sama? Dilewati begitu saja, lantas teronggok tak berdaya karena kautinggalkan?

Katakan padaku … apa kau akan mengejarku? Ataukah kau hanya akan berlalu pergi? Ini permohonan terakhirku. Pulanglah, Kak.





Pepatah itu (si Penari)
oleh : Nandi Ari


~sedia payung sebelum hujan~

Mungkin mendengarnya dari Guru Bahasa Indonesia. Tapi bukan hujan akan datang itu ditegaskan, melainkan payung diartikan seribu penjelasan. Kadang aku lupa, payung hitam ada di tangan. Basah

Sekrup kecil terlepas dari belah rel kereta mengelinding di ujung kali. Mesti aku melompat atau menginjaknya.seperti langit sedih. tiap Dia menangis, apa aku mesti menutup diri atau membiarkan aku ikut merasakannya. Seharusnya aku berani menentang segala, sama halnya jaket merah ini. Tetap menari

Belakangan Langit menangis tanpa musim, saat dia marah dan saat dia sedih. Meluap-luap, semuanya meluap. Tapi apa mesti disediakan sebelum benar meluap? Bukan angan janji..





Aku Ingin Pulang
oleh : Naning Radysha


Kutapaki kembali jalan ini, satu jalan kehidupan yang tak memiliki banyak warna – hitam putih. Tak ada cerah, tak ada mejikuhibiniu warna pelangi. Buram, suram, sunyi, sepi, mati. Hanya cerah jaket merahku pertanda aku di sini, sendiri.
Iya, di sinilah aku dengan payung hitam di tangan kanan sebagai pelindung. Mungkin hujan akan membuatku basah atau terik matahari membakar kulitku. Entah, aku tak tahu karena langit pun berwarna senada – hitam putih.
Dengan langkah goyah kutelusuri jalan ini selangkah demi selangkah. Sesungguhnya aku lelah, aku ingin pulang ke rumah. Rumah dimana tempat cinta itu berada.
: tunjukkan aku jalan pulang …..





TANPA ARAH
oleh : Lamhot Susanti Saragih


Kita sama-sama tahu perjalanan ini takkan mudah. Tapi kau meyakinkan, bila tidak pernah mencoba maka tidak akan tahu seberapa kuat kita menghadapi segala rintangan. Sungguh, aku ingin percaya, sepertimu, percaya pada sesuatu yang tak pasti, tapi membayangkannya saja membuatku ketakutan. Aku merasa, suatu saat, entah kapan, aku tersesat dan tak bisa kembali. Sampai kapan?
“Biar waktu yang menjawab, sayang. kita hanya pelaku dan kau tahu pasti, takdir sangat suka bermain-main dengan sabar bahkan ketika kita hampir mati tersedak getir.”
Dan kita tidak punya tujuan yang pasti selain perasaan-perasaan ini. Menyedihkan. Seperti rel ini, kau dan aku berjalan beriringan tapi tidak pernah bersatu pada satu titik temu.





Bunda aku pulang
oleh : Dina Taz Mardiana


Terombang-ambing dalam gulungan ombak dan angin laut yang mulai tidak bersahabat, sudah 3 hari 3 malam awan gelap mengiringi perjalananku. Demi sebuah pengabdian untuk sepasang mata teduh yang hampir lima tahun tidak kutemui. Hanya suara berharap dari sebingkai kisah tentang rasa sakit yang selalu ditutup-tutupinya. Tapi sungguh sangat kuhapal tarikan nafasnya, nada suaranya ketika hatinya dicandai dengan senyuman atau sebingkai kesedihan.
Satu hari lagi kapal ini berlabuh, akan kutemui sosok yang selama ini selalu menari-nari dipikiran, bahkan mimpi-mimpiku setiap malam. Bagai dejavu, sekelebat kulihat lambaian tangannya, aku ingin memeluknya, dan akan kuhadiahkan satu kecupan hangat di keningnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar