Friendship | Writing | Reading | Learning | Joking | Smiling | Laughing | Comfortable
Tentang Kami
Foto saya
Grup Cafe Rusuh merupakan suatu ruang lingkup tempat di mana para anggotanya bisa berbagi tentang segala hal. Kata "Rusuh" sendiri merupakan kependekan dari "Ruang suasana hati". Sebagai sebuah grup, Cafe Rusuh menjadi sebuah jembatan di mana persahabatan, kekeluargaan dan silaturahmi antara sesama anggotanya tetap terjaga. Selain itu, Cafe Rusuh juga memberikan kebebasan kepada para anggotanya untuk berbagi tentang segala hal seperti puisi, cerita, esai, tips-tips dan info-info yang bermanfaat bagi para anggotanya.

Rabu, 27 Juli 2011

ACR: Aku dan Bintang

by Makkie Perdana

Cinta itu bukan sesuatu yang abadi. Itu yang aku pelajari bukan dari tempat kuliah sekarang. Bintanglah yang mengajariku hal ini. Bintang, ya, namanya Bintang. Seorang pemuda yang entah sejak kapan menjadi dekat denganku.
Dia adalah seorang pengajar dikampusku, belum bisa dikatakan sebagai dosen karena dia masih bersatus sebagai dosen percobaan. Aku tidak mengerti tentang hal itu, jadi aku tidak ingin bertanya apa-apa tentang hal yang nanti hanya bikin aku pusing dengan segala peraturan, syarat dan hal lainnya tentang menjadi dosen. Lagipula hal ini tidak terlalu penting untuk aku ceritakan.

Mungkin lebih baik aku bercerita tentang Bintang terlebih dahulu. Secara fisik, boleh dikatakan dia pemuda yang tergolong tampan. Sebagai pengajar, dia orang yang rapi tapi karena umurnya yang masih seumuran dengan mahasiswa, dia menjadi pengajar yang lebih keren dibandingkan dengan pengajar lain.

Bagaimana dia berpakaian, berbicara, dan mengajar. Semuanya sangat menyenangkan dan memudahkan meski pelajaran yang dia ajarkan sesuatu yang dia ajarkan adalah pelajaran yang sering “dimusuhi” oleh mahasiswa. Ya, termasuk aku yang tidak begitu cerdas dalam menangkap pelajaran. Namun semuanya menjadi mudah saat dia dengan gayanya yang khas memberikan pengetahuan yang bisa dimengerti oleh otak pas-pasan seperti aku.

Banyak hal yang dia ajarkan kepada kami tentang hal-hal di luar pelajaran. Terutama tentang hidup, tentang pertemanan, dan tentang cinta. Hal-hal ini yang menjadi pembicaraan yang menarik walau dia tidak pernah membicarakan pada saat mengajar.

Kami biasanya berbicara dengan santai pada saat bertemu di luar perkuliahan, entah itu saat bermain basket, bermain musik, atau sekedar duduk di atap gedung kampus. Tidak segan bahkan kami para murid ini bercanda tanpa kenal batas dengan dia.

Singkat kata, jarak antara “dosen” dan mahasiswa menjadi tidak terasa. Ya, Bintang, benar-benar seperti bintang di antara gelapnya perkuliahan.

“Cinta itu tidak ada yang abadi.” katanya dengan nada datar. Bintang duduk di pagar tembok pembatas, sementara aku berdiri di sampingnya. Meskipun tergolong tomboy tapi aku tidak berani untuk duduk seperti Bintang, aku takut terhadap ketinggian. Lagipula, aku masih memakai pakaian seragam Sekolah Kedirgantaraan ini. Tidak mungkin untuk memanjat pagar tembok pembatas setinggi hampir satu meter ini.

Aku menoleh dan menatap Bintang yang berkata sambil tetap memandang sebagian kota Jogjakarta dari atap gedung berlantai lima ini. Awalnya aku hanya mengernyitkan dahi, walau sebagian besar aku setuju dengan kata-katanya. Dikhianati pada saat merasakan cinta pertama adalah kisah hidupku, dan sampai sekarang aku tidak bisa lagi menemukan kata cinta. Bahkan terhadap mantanku yang baru saja aku putuskan karena hubungan jarak jauh, aku tidak menemukan kata cinta.

Namun Bintang mempunyai kisah lebih menyakitkan, setelah berpacaran selama 3 tahun, dia harus kehilangan sang kekasih. Dan bukan karena perselisihan atau lainnya, melainkan karena Gadis, orang yang dia cintai, harus menyerahkan nyawa terhadap penyakit yang bernama leukemia.

Dan dari sinilah aku mengetahui kelamnya dulu hidup seorang Bintang. Sesuatu yang hanya aku di antara mahasiswa lainnya, yang tahu bahwa Bintang adalah mantan junkie, dan kenakalan remaja lainnya. Bertemu dengan Gadis, adalah cahaya bagi Bintang, gadis itu yang membuat pecandu narkoba ini bersedia untuk menjalani kehidupan dengan “bersih”. Dan Gadis juga yang mengajarkan untuk menyayangi hidup semenjak dia divonis menderita leukemia.

Perkataan Gadis yang menggugah jiwa Bintang, membuatnya merasa perlu untuk menyampaikan pesan “menyayangi hidup” dari Gadis kepada remaja lainnya. Itulah mengapa dia menjadi pengajar dan giat membantu beberapa lembaga sosial masyarakat.

Kembali masalah cinta, singkat kata aku dan Bintang sepakat bahwa cinta tidak ada yang abadi. Begitulah menurut seorang yang ditinggal mati kekasihnya dan seorang yang dikhianati berkali-kali oleh cinta pertamanya.

Merasa hampir sama dalam nasib percintaan, aku dan Bintang menjadi semakin akrab. Bahkan kami berdua mempunyai satu “ritual” yang selalu kami lakukan berdua. Menatap langit malam kota Jogjakarta dari gedung ini, malam penuh bintang dan lampu kota seakan menjadi satu dalam pandangan mata. Dan kami hanya saling membisu hanyut dalam pikiran masing-masing, hanya untuk menikmati keindahan langit malam dengan Cornetto Disc Love, eskrim rasa vanilla kesukaanku. Dia tidak pernah absen untuk memberikan eskrim itu jika sedang melihat bintang-bintang.

Pertemanan aku dan Bintang semakin berkembang, bahkan kami secara sengaja menamakan hubungan kami sebagai adik dan kakak. Ya, seperti adik dan kakak kandung. Kebetulan dia anak tunggal, sehingga merasa senang mempunyai seorang adik. Aku sebagai anak bungsu pun sangat suka bisa bermanja terhadap seorang kakak.

Hubungan ini berlanjut hingga aku memasuki tahun kedua di kuliahku, Bintang semakin sibuk dengan urusan menjadi dosen tetapnya. Waktu pertemuan kami semakin berkurang seiring dengan seringnya dia pulang-pergi menuju Bandung, tempat kuliah dia.

Menyaksikan malam tanpa Bintang pun sudah mendekati bulan ketiga, kesepianku tidak bisa terobati hanya dengan SMS atau telpon dari dia. Sampai akhirnya aku menemukan Januar, teman satu kelas kuliahku. Tidak aku pungkiri kalau aku mendekati dia karena merasakan kesepian. Berawal dari seringnya kami bertemu saat mengisi acara musik tiap minggu pagi yang di adakan di salah satu daerah di Universitas Gadjah Mada.

Dengan memanfaatkan kedekatan sebagai sesama anggota band, Januar secara terang-terangan memberikan tanda kalau dia menyukaiku, mulai dari SMS atau telpon tiap malam, makan siang dan malam bersama. Bahkan Januar terang-terangan mengungkapkan perasaan sukanya terhadapku di depan yang lain. Entah itu puisi-puisi yang dia buat di Facebook kemudian dia tag ke diriku, atau kartu-kartu ucapan yang kemudian dia tempelkan di pintu kamar kos ku.

Aku tidak menyembunyikan hal ini kepada Bintang, karena aku takut dia akan menanggapi hal ini dengan berbeda. Aku khawatir kalau dia menyimpan perasaan lain terhadap aku. Dan reaksinya yang berbahagia atas diriku, membuatku lega. Dia tidak mempermasalahkan apapun asalkan aku dan Januar benar-benar bahagia. Aku tahu dia mengatakan dengan tulus dan jujur.

Aku sangat bersyukur karena Januar juga tidak mempermasalahkan hubungan adik-kakak-ku dengan Bintang. Dia berjanji tidak akan mengganggu hubungan aku dengan Bintang jika memang Bintang adalah sosok “kakak” buat aku. Dan akupun mulai membuka diri untuk melangkah maju untuk menerima Januar.

Sejak itu, hari-hariku dipenuhi dengan Januar. Bahkan jika aku boleh berlebihan, dunia ini hanya ada aku dan Januar. Meski begitu, aku tetap tidak bisa menemukan perasaan cinta. Aku tidak tahu kenapa tapi takut untuk mencintai tetap bersemayam. Meski aku akui, Januar adalah orang yang bisa dipercaya. Aku hanya bisa menyayangi Januar, sayang yang teramat sangat. Namun tetap saja hanya sayang bukan cinta.

Cornetto Disc Love, eskrim yang selalu Januar berikan tiap kali berkunjung malam ke kosku. Ya, sejak dia tahu aku menyukai eskrim rasa vanilla, dia tidak pernah absen untuk memberikan eskrim itu. Dia bilang, daripada bunga yang hanya bisa dipandang, lebih baik aku memberikanmu eskrim. Lebih sehat.

Satu April 2010, tanggal itu tidak akan bisa aku lupakan. Bukan karena orang merayakan hal itu sebagai April Mop tapi karena tepat pada pukul 7 malam, saat aku dan dia sedang duduk berdua di teras kosku. Listrik di rumah tempat aku kos, dan beberapa rumah lain di dekatnya padam. Aku mengira ini hanya pemadamam biasa dari PLN, namun saat secara samar-samar aku melihat cahaya dengan macam-macam warna aku menyadari ada yang janggal.

Cahaya merah, kuning, biru, hijau, dan entah apalagi aku tidak bisa melihat dengan jelas. Cahaya-cahaya itu bergerak di jalan depan kosku, dari arah kiri-kanan jalan, dan berhenti tepat di depan pagar rumah. Aku menoleh Januar yang hanya tersenyum dan menggandeng tanganku untuk mendekat.

Mataku yang mulai terbiasa dengan gelap, mulai menangkap bayangan-bayangan orang yang memegang lampu-lampu kecil. Berjajar membentuk barisan sehingga lampu-lampu kecil itu memperlihatkan susunan kalimat “I Love You So Much, Please Be My Girl” sementara beberapa orang lainnya membentuk bunga dengan lampu-lampu itu.

Tanpa sadar mulutku terbuka, dan sesaat setelah tersadar aku menutup mulutku dengan kedua tangan karena kagumku tidak bisa aku hentikan. Ingin rasanya aku mengucapkan kata ‘so sweet’ tapi belum sempat terucap, sayup-sayup terdengar alunan alat musik. Lagu-lagu yang aku suka dimainkan secara medley, ah aku sungguh bahagia sekali.
Dan dimalam itu, aku dan Januar resmi menjadi sepasang kekasih.

*****

“Hoi!” teriak Bintang, memanggil diriku yang masih berusaha mencari dirinya yang baru saja turun dari kereta. Dia bergerak sekuat tenaga, berdesak-desakan dengan penumpang lain yang juga berebut untuk segera pulang ke rumah atau menuju tempat lain.

Ya, hari ini Bintang kembali ke Jogjakarta. Urusan di kampusnya sudah selesai walau dia bilang harus menunggu pelantikannya. Namun, kampusku masih memperbolehkan dia untuk magang sebagai dosen sehingga dia tidak menolak untuk kembali mengajar di sini.

“Oleh-oleh!” todongku begitu Bintang mendekat. Dia tersenyum masam sambil menjitak ringan kepalaku.

“Dasar Bronto!” tawanya ringan. Bintang biasa mengejekku begitu jika aku mulai kumat gila makannya, Bronto atau Brontosaurus.

“Udah lama?” tanyanya sambil mengajakku untuk melangkah keluar dari Stasiun Tugu. Menuju mobil Januar yang diparkir di luar.

Aku menggeleng,

“Ga ko, paling sepuluh menitan.”

“Kenapa Je tidak ikut?” Bintang mengambil kunci mobil yang aku sodorkan. Je adalah nama panggilan sayangku kepada Januar tapi Bintang ikut-ikutan memanggil Januar dengan sebutan itu, entah sejak kapan aku lupa.

“Dia lagi ada rapat dikampus, biasa dia kan Ketua UKM Musik.” jelasku sambil bergegas membuka pintu mobil setelah Bintang membuka kunci dengan remote.

“Lama ga dia rapatnya? Laper ni.” kata Bintang sambil mengarahkan mobilnya keluar dari area parkir Stasiun Tugu.

“Mau makan apa emang?” tanyaku.

“Steak!” kata Bintang.

Dan aku langsung menonjok bahunya, aku tahu dia sengaja mempermalukan aku. Sejak kejadian daging mental saat aku pertama kali makan steak dengan Bintang, dia selalu mengejekku tentang hal itu. Sejak saat itu pula aku anti untuk makan steak di tempat umum.

“Nasi goreng kambing aja.” kataku sambil mencubit lengannya, untuk menyatakan bahwa aku masih sebal.

Bintang hanya tertawa kecil dan mengarahkan mobil menuju warung nasi goreng kambing yang terletak tidak jauh dari Rumah Sakit Mata Dr. Yap Jogjakarta. Warung makan kecil yang merupakan favorit kami.

*****
Mimpi, ya ini semua hanyalah mimpi. Ini tidak mungkin terjadi. Aku menangis meraung-raung, tidak peduli dengan orang lain. Aku tidak peduli lagi dengan orang lain, aku hanya ingin dia kembali. Aku hanya ingin Je kembali. Kembalikan Je!

Aku merasakan duniaku serasa dijungkirbalikkan, aku tidak bisa mengenali siapa yang ada dihadapanku. Aku tidak mengerti kata-kata yang mereka ucapkan, atau air yang sedari tadi mereka paksakan untuk masuk ke dalam mulutku. Aku terpaku pada sesosok manusia yang terbalut dengan kafan putih itu.

Aku hampir kehilangan sadar saat seseorang memelukku dengan lembut. Hangat. Sangat hangat bagi jiwa yang dingin membeku ini. Lebih hangat dari pelukan Je atau cinta pertamaku. Seperti saat Mama memelukku, ya ini hampir serupa. Mama, aku ingin Mamaku. Seseorang panggilkan Mamaku, aku butuh dia untuk bersandar. Aku memerlukan dia untuk mengerang kepada Tuhan karena mengambil Je dariku.

“Cinta itu tidak ada yang abadi.” bisik sosok itu berkali-kali.

Kalimat itu merasuk ke dalam kalbuku, menjalar ke setiap nadi-nadiku. Seakan memberi cahaya bagi gelapnya pandangan hati ini. Namun aku sudah tidak bisa menemukan kekuatan. Aku berdiam di dalam gelap.

*****
Aku terbangun, mendapati diriku terbaring di kamarku. Kepalaku terasa sakit, pusing, dan badanku sangat lemas. Aku mencoba mencerna apa yang terjadi, begitu tersadar dengan kematian Januar, aku memaksakan untuk segera berdiri. Namun sakit langsung menyerang kepalaku setelah aku menegakkan badan. Aku terjatuh kembali ke tempat tidur.

Bintang menyeruak masuk setelah membuka pintu dengan terburu, aku merasa dia mendengar saat aku terjatuh. Dia menatapku lama, airmataku kembali mengalir. Dengan segera dia mengambil tisu yang berada di atas meja belajarku.

Mama muncul dari balik pintu, wajahnya terlihat sangat khawatir. Bintang melangkah mundur dan membiarkan Mama untuk mengurusku. Mama mengusap wajah dan kepalaku, mengucapkan beberapa patah kata sambil menangis. Saat itu aku masih tidak bisa mencerna kata-katanya, mataku hanya tertuju pada Bintang. Teringat kembali dengan cerita saat dia kehilangan Gadis. Inikah rasanya kehilangan Bintang, inikah mengapa matamu selalu terlihat sedih walau kamu sedang tertawa.

*****

Dua bulan sudah berlalu sejak Januar meninggal, perasaan tersiksa setiap teringat tempat-tempat yang biasa kami kunjungi, atau benda-benda yang membuatku kembali teringat perlahan-lahan berkurang. Senyumku perlahan bisa mengembang walau hanya berupa segaris tipis tapi memang hanya setulus itu aku bisa tersenyum.

Aku semakin memperbanyak frekuensi bermain dengan teman-teman, berusaha agar tidak ada waktu bagiku untuk melamun. Bahkan ke Pantai Parangtritis, Angkringan (warung makan) Kali Code, Bukit Bintang, atau tempat lain yang biasa aku datangi dengan Je, aku kunjungi bersama dengan teman-temanku. Ini adalah komitmenku untuk melangkah maju. Jika Bintang bisa, maka akupun bisa, karena aku dan dia sama-sama manusia. Begitu pikirku sederhana.

Hari ini pun aku baru saja kembali dari Plaza Ambarukmo bersama teman-teman kampus, dan aku mendapati Bintang sedang berdiri menungguku di depan rumah. Ini kesekian kalinya dia menungguku, dia selalu mengkhawatirkan diriku jika aku pulang malam.

Aku tersenyum, dan kemudian mengepalkan tanganku ke hadapannya. Dia balas memukul kepalan tanganku dengan kepalan tangannya. Salam yang sudah lama tidak kami lakukan sejak dia pergi ke Bandung.

Dia tidak berkata apapun selain mengelus kepalaku, dan berlalu menuju motornya. Aku membalikkan badan, melambaikan tangan saat dia melajukan motornya.
*****

“Eh?” aku terkejut saat Bintang menyatakan perasaannya melalui telpon.

Aku tidak menyalahkannya, sudah empat bulan sejak saat itu aku dan dia dekat dalam artian yang berbeda. Aku sudah menyadari perasaan Bintang saat dia sering menemani diriku tiap malam melalui telpon. Sejak aku kembali kesulitan tidur malam, Bintang selalu menelponku dan menemani hingga aku tertidur. Dia dengan rela harus tidur hanya tiga-empat jam sehari walau harus bekerja di siang harinya.

“Kenapa ‘eh’?” kata Bintang saat aku terdiam cukup lama. Aku bisa mendengar suara nafasnya, mungkin dia juga sedang berbaring di tempat tidur seperti diriku.

“Aku takut..” kataku pelan.

“Takut dengan apa?” suara Bintang terdengar lembut.

“Takut jatuh cinta.” entah kenapa aku berkata seperti itu, walau yang aku maksud adalah takut untuk kehilangan lagi.

“Aku akan membuatmu jatuh cinta padaku. Aku janji.” kata Bintang dan kemudian melanjutkan untuk menutup telpon terlebih dahulu. Sesuatu yang tidak pernah dia lakukan karena dia selalu menunggu sampai aku tertidur.

Aku menghembuskan nafas, aku tidak tahu harus bagaimana. Aku akui aku sudah menjadi ketergantungan dengan Bintang, karena hampir 24 jam tiap hari dia selalu mengisi hariku. Entah hanya sekedar lewat sms, telpon, atau mengunjungiku. Dan yang lebih membuatku semakin tergantung dengan Bintang, adalah telpon malam ini.

Tanganku bergerak dengan sendirinya. Mengirimkan sebuah pesan singkat kepada Bintang.
Klo kmu bs menunjukkan bintang-bintang di siang hari, aku akan mencoba untuk mencintaimu.

*****
Bintang bergegas menarik diriku untuk segera turun dari motor, menuju gedung serba guna yang ada dibagian tengah. Aku tidak mengerti, hari ini tidak ada yang ulang tahun. Tidak aku ataupun dia. Pikiranku malah masih memikirkan kenapa Bintang menjauh sejak aku mengirimkan pesan itu.

“Tutup mata.” katanya saat kami berdiri di depan pintu ganda tempat masuk ruang serba guna.

Aku mengikuti saja, berusaha agar tidak membuat Bintang marah atau kenapa. Aku khawatir dia marah karena SMS konyolku itu.

Rupanya dia tidak percaya denganku, kemudian menutup mataku dengan jaketnya. Aku tertawa kecil, kemudian kau mendengar suara pintu dibuka perlahan. Bintang menarik tanganku perlahan memasuki ruang serbaguna, beberapa detik kemudian dia berhenti. Kemudian dia membisikkan sesuatu.

“Bukalah matamu jika pintu hatimu juga terbuka.” bisiknya di telinga kananku. Kemudian dia beralih ke telinga kiriku, “Tapi berteriaklah jika kamu tidak bisa membukanya.”

Aku tidak begitu paham dengan kata-kata Bintang, aku berdiam diri. Lama aku tidak lagi mendengar suara dari Bintang. Hening, sangat hening. Membuat semua pikiranku berlari-lari, begitu banyak namun tidak sedikitpun memberatkan. Aku merasa tenang, nyaman dengan kesunyian ini. Sampai seperti saat aku melihat bintang-bintang bersama Bintang.

Tanganku bergerak dengan sendirinya, membuka jaket yang menutup mataku. Gelap, keadaan di dalam ruangan sangat gelap, dan aku menemukan titik-titik cahaya kecil. Saat mataku terbiasa dengan keadaan gelap, aku baru menyadari bahwa itu bukan sekedar cahaya. Susunan-susunan ratusan bahkan ribuan cahaya itu adalah bintang. Ya, mirip dengan bintang-bintang yang asli. Semua sudut ruangan penuh dengan bintang, membuat diriku seakan-akan berada di angkasa.

Bintang-bintang di siang hari gumamku dan kemudian aku terdiam lama di antara bintang-bintang.
*****

Aku mempercepat langkahku, mendekat ke arah Bintang yang sedang duduk di pagar tembok pembatas dari atap gedung berlantai lima di kampus. Dia menyadari kedatanganku, namun tidak menoleh sedikitpun. Dia terus mengamati matahari yang semakin merendah di ufuk barat.

Aku berdiri di samping Bintang duduk, dengan satu tarikan nafas aku berteriak dengan keras.
Bintang menolehku kemudian menyodorkan Cornetto Disc Love kepadaku.

“Apa kamu masih takut jatuh cinta?”
#####

Tidak ada komentar:

Posting Komentar