Friendship | Writing | Reading | Learning | Joking | Smiling | Laughing | Comfortable
Tentang Kami
Foto saya
Grup Cafe Rusuh merupakan suatu ruang lingkup tempat di mana para anggotanya bisa berbagi tentang segala hal. Kata "Rusuh" sendiri merupakan kependekan dari "Ruang suasana hati". Sebagai sebuah grup, Cafe Rusuh menjadi sebuah jembatan di mana persahabatan, kekeluargaan dan silaturahmi antara sesama anggotanya tetap terjaga. Selain itu, Cafe Rusuh juga memberikan kebebasan kepada para anggotanya untuk berbagi tentang segala hal seperti puisi, cerita, esai, tips-tips dan info-info yang bermanfaat bagi para anggotanya.

Rabu, 27 Juli 2011

ACR: Arti Kebahagiaannya

by Dya Ragil

Wajah langit mengelabu, menutupi jajaran bintang-bintang yang tersusun secara indah dalam bentuk rasi-rasi. Tak lama, udara pun basah, meski hanya rinai saja. Di bawahnya, sebuah mobil SUV perak melaju pelan di jalanan yang basah, baru saja melewati Tsurugaoka Hachiman-gū—kuil terbesar di Kamakura.

Dua orang lelaki yang usianya hampir menginjak kepala tiga berada di dalam mobil. Miyano Eisuke yang berbadan agak gemuk dengan rambut hitam pendek berantakannya tengah duduk tenang di belakang setir. Di sebelahnya, seorang yang lebih kurus duduk bersedekap, kepala ditelengkan, dengan tatapan yang tertuju lurus pada deretan pohon-pohon sakura yang berbaris rapi sepanjang Wakamiya Ōji. Matanya kemudian terfokus pada lampion-lampion putih yang diikat sedemikian rupa hingga berjejer lurus dan rapat di sepanjang jalur. Ia pun tersenyum. Esok hari, momen hanami di Dankazura pasti akan sempurna, seperti di masa lalu. Ia hanya berharap cuaca akan mendukung, tidak seperti malam ini.

Lelaki kurus itu—Hayakawa Shiro—mendesah, lantas memejam. Disimaknya lagu yang teralun lembut dari gerimis. Terdengar lirih dan syahdu. Ah, hal itu semakin mengobati kerinduannya selama sepuluh tahun pada kampung halamannya ini.

Secepat kesyahduan itu datang, secepat itu pula ia hilang. Diikuti oleh erangan tertahan, sambil ia meremas pinggang kanannya. Rasa sakit setelah sebulan berlalu itu datang kembali. Ia hanya bisa berharap bahwa pria di sebelahnya tidak menyadari erangannya tadi. Dan Miyano memang tidak menyadarinya. Sebab ia masih sibuk berkonsentrasi pada jalanan di hadapannya. Tanpa tahu bahwa penumpangnya tengah menahan sakit.

Dering ponsel menyibak keheningan malam, mengejutkan keduanya. Miyano diam saja. Ia tahu bahwa yang berdering itu bukan ponselnya, nadanya berbeda. Hayakawa pun mengambil ponselnya. Sebuah nama berkedip-kedip di layarnya.

Ema Turbun.

Hayakawa mengerang cepat. Nama rekan kerjanya dari Institut Teknologi di Cambridge itu membuat perutnya bergejolak tidak menyenangkan. Ia mengernyit, lantas me-reject panggilan itu.

“Kenapa tidak kamu angkat?”

Hayakawa menoleh, menatap wajah kaku pria di sebelahnya. Miyano meliriknya sebentar, lalu kembali berkonsentrasi menghadapi jalanan.

“Hanya rekan kerja yang cerewet. Aku sedang tak ingin membahas soal pekerjaan saat ini.”

“Seorang wanita?”

“Eisuke.” Miyano hanya menggumam, dibalas dengan dengusan cepat oleh Hayakawa. “Sudah, menyetir sajalah.”

Miyano langsung tertawa. “Kamu tahu? Aku kaget sekali waktu kamu meneleponku tiba-tiba dan minta dijemput di bandara. Kamu juga minta aku merahasiakannya dari Ayako. Kenapa?”

“Adikku itu mulutnya bocor. Kalau dia tahu aku pulang, seluruh keluargaku akan tahu juga.”

“Jangan bicarakan istriku seperti itu.”

Hayakawa hanya terkekeh.

“Kenapa kamu tidak mau menemui Gifu dan yang lainnya?”

Hayakawa terdiam. Mengingat tentang keluarganya membuat perasaannya galau seketika. Ia sudah sangat senang mengetahui bahwa mereka baik-baik saja. Tapi, untuk menemui mereka? “Aku hanya punya waktu malam ini dan besok. Dalam waktu sebentar itu, aku tak mau ada pertengkaran. Dan itu pasti terjadi kalau aku bertatap-muka dengan Otousan. Akan lebih baik kalau aku tidak muncul.”

“Kamu ini kelewatan, Shiro,” sahutnya. “Kamu hanya memberitahuku, dan melarangku menceritakannya pada siapapun. Belum lagi, kamu minta aku jadi sopirmu sampai besok. Apa kamu tahu betapa sulitnya mengarang alasan pada Ayako?”

“Maaf.”

“Ah, itu tidak terlalu penting sih,” lanjutnya kemudian. “Yang lebih membuatku tidak paham, kenapa kamu memintaku mengantarmu ke tempatnya?”

“Aku hanya ingin melihat keadaan suaminya.”

“Apa maksudmu?”

Hayakawa terdiam kembali.

“Sudahlah, jangan ganggu mereka. Yuki sudah punya kehidupan baru yang bahagia bersama suaminya. Cari saja wanita lain. Kamu tidak lupa kan kalau kamu sendiri yang sudah meninggalkannya?”

“Apa kamu pikir aku ini sebrengsek itu? Aku hanya ingin tahu apa operasinya berhasil atau tidak.”

Mobil SUV itu melambat tiba-tiba, lalu menepi. Tepat setelah perempatan di bawah jalan layang kereta, mobil berhenti. Di dalam mobil, Hayakawa mengangkat kedua alisnya, matanya menyorot penuh tanda tanya pada adik iparnya itu. “Kenapa berhenti tiba-tiba?”

Miyano menoleh seketika, balas memandang. Tajam.

“Dari mana kamu tahu kalau Uehara-san baru saja dioperasi?”

“Aku hanya tahu saja,” jawabnya sambil membuang muka.

Miyano menatap sahabatnya itu tak percaya. Ia tahu dari nada bicara Hayakawa, bahwa lelaki itu sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Bagaimana mungkin? Mereka sudah saling kenal sejak kecil. Mereka sudah saling memahami satu sama lain bahkan tanpa perlu kata-kata. Mereka begitu dekat, melebihi saudara. Tapi sekarang, ada rahasia. Ya, ia tak mungkin memungkiri. Sepuluh tahun tak bertemu membuat jarak di antara mereka merenggang.

“Shiro,” katanya lagi.

Hayakawa menghela panjang, diikuti sorot mata sendu yang terarah pada Miyano. “Sepuluh tahun jauh dari kampung halaman membuatku berubah jadi stalker. Kamu puas?”

“Jangan bilang kamu memakai fasilitas institut hanya untuk mencari tahu segala sesuatu tentang Yuki. Dosen macam apa kamu ini? Menggunakan fasilitas kampus hanya untuk urusan pribadi.”

Hayakawa hanya mengangkat bahu, lalu membuang muka kembali. Hal itu sudah cukup untuk menjawab semuanya. Tentang bagaimana Hayakawa tahu tentang operasi itu. Dan tentang bagaimana Hayakawa sama sekali tidak terkejut mendapati kenyataan bahwa sekarang mereka sudah benar-benar menjadi saudara, melalui Ayako. Miyano hanya tergelak. Seharusnya ia sudah tahu hal ini. Hayakawa selalu punya cara untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Bahkan sejak dulu. “Jadi, apa kamu tahu siapa yang mendonorkan ginjal untuk Uehara-san?”

“Aku tidak meretas data rumah sakit sampai sejauh itu. Lebih tepatnya tidak perlu. Aku hanya ingin tahu apa mereka baik-baik saja. Tidak lebih.”

“Begitu?” Miyano menghela panjang. “Tapi, syukurlah. Aku sempat dibuat panik saat tahu Uehara-san butuh donor ginjal. Mana satu-satunya orang yang punya hubungan darah dengannya punya penyakit jantung, pula. Juga tak satu pun dari kami yang ginjalnya cocok.”

“Kami?”

“Aku, Yuki, dan beberapa teman Uehara-san. Ngomong-ngomong, sejak kapan kamu tahu hal ini?”

“Sejak awal.”

Miyano menaikkan sebelah alisnya, bingung. “Apa?”

“Maksudku, sejak aku tahu dia menikahi Yuki. Aku hanya penasaran, orang seperti apa dia. Dan bagaimana dia bisa membuat Yuki bersedia menikah dengannya, aku ingin tahu.”

“Jadi, kamu mengetahui fakta sakitnya Uehara-san mendahului aku?”

“Catatan kesehatannya mencurigakan,” sahutnya dingin. “Aku paling benci kalau tak tahu apa yang ada di baliknya. Salah ya kalau aku cari tahu lebih banyak?”

Miyano hanya tergelak mendengarnya. “Kamu memang tak pernah berubah.”

Miyano kembali menginjak pedal gas. Mereka pun meninggalkan jalan layang kereta, menuju kawasan sekitar perpustakaan kota tempat Yuki tinggal.

***

Tawa kebahagiaan terdengar dari rumah mungil berlantai dua di pojok jalan. Dari jendela besar dengan tirai yang terbuka, terlihat seorang wanita bertubuh semampai dengan rambut panjang sepinggang tengah menggendong seorang gadis kecil, usianya mungkin tiga atau empat tahun. Mungkin, ia sedang menidurkan anak itu. Seorang pria berkacamata menghampirinya, lantas membelai lembut gadis kecil itu. Sepasang suami-istri itu pun tertawa.

Hayakawa mendesah lega. Seringai senang bercampur sedih terlukis di wajahnya kala dilihatnya pemandangan itu. Ia bersyukur melihat keduanya baik-baik saja. Tawa itu sudah cukup untuk membuatnya bisa selangkah lagi meninggalkan masa lalunya. Hatinya bergejolak, sungguh kebahagiaan yang perih. Tapi, bukan hanya itu. Erangan itu terdengar lagi. Sekali lagi, Hayakawa meremas erat pinggangnya. Kali ini, hal itu disadari oleh Miyano.

“Kamu baik-baik saja, Shiro? Wajahmu pucat.”

“Aku baik-baik saja.”

Miyano mengerutkan kening. Ia tak terbiasa melihat Hayakawa kepayahan seperti itu. Apakah selama bertahun-tahun berkawan akrab dengan komputer—yang mungkin saja sudah dianggapnya seperti istri sendiri—telah membuatnya selemah ini? Ia menggeleng pelan, itu tidak mungkin. Ia coba bertanya lagi, dan membujuk Hayakawa pergi ke klinik. Hayakawa menggeleng. Dan Miyano tahu tabiat kakak iparnya itu. Sekali sudah memutuskan, siapa yang bisa membengkokkan pendiriannya?

Sebuah nada berdering. Nada yang sama seperti yang tadi terdengar saat mereka melewati Wakamiya Ōji. Hayawaka merogoh saku celananya kembali, lalu memeriksa ponselnya. Tak lebih dari sedetik, ia sudah mengerang lagi. Kali ini bukan erangan kesakitan.

Miyano yang memperhatikan semua itu hanya mengangkat sebelah alisnya. Ditelengkannya kepalanya sedikit. “Rekan kerjamu lagi?”

Hayakawa tak menjawab. Tapi, wajah kesal itu sudah menjawab pertanyaannya.

“Sudah, angkat saja.”

Hayakawa menatap sebuah nama yang berkedip-kedip di layar. Bimbang. Jedanya tak sampai sejam dengan telepon yang tadi, tidak biasanya. Apakah sepenting itu? Lalu, ia ingat. Bukankah sudah dua hari ini ia mengabaikan telepon dari rekan kerjanya itu? Akhirnya, diangkatnya panggilan itu, sambil mencoba untuk tidak menyesali keputusannya.

“Apa?”

“Turun dari mobil. Sekarang!”

Hayakawa hanya terbengong. Suruhan semacam itu hanya berarti bahwa dia ada di dekatnya saat ini. Ia pun menengadah, tak tampak seorang pun di depan mobil. Lalu, ia memutar badan ke belakang. Samar-samar, terlihat olehnya sesosok wanita berambut cokelat sebahu sedang berdiri kaku di belakang mobil. Kedua permata biru itu menyorot tajam, membuat rahang Hayakawa mengeras seketika. Ia pun segera turun dari mobil.

“Ema? Apa yang kamu lakukan di sini?”

“Kenapa kamu tidak pernah angkat telepon dariku sejak dua hari lalu? Apa kamu lupa kalau kuliah sudah mulai?”

Hayakawa hanya mendesah cepat. “Ini masih awal musim semi. Hitungannya masih libur.”

“Masih libur apanya? Musim semi ini kamu dapat jatah mengajar mata kuliah Komputer dan Keamanan Jaringan kan? Seharusnya kamu sudah mulai dua hari yang lalu.”

“Aku sudah mengajukan ijin.”

“Ijin? Setelah sebulan lalu kamu terkapar di rumah sakit selama seminggu, kamu masih bisa minta ijin dalam jangka waktu sesingkat ini?”

Tak jauh dari mereka, Miyano hanya terbengong menatap Hayakawa. Bingung. “Rumah sakit? Ada apa ini?”

“Bukan apa-apa,” katanya diikuti erangan kembali. Pinggangnya kembali sakit, membuatnya harus bersandar pada badan belakang mobil. Ema bergegas menujunya. Dipeganginya lengan Hayakawa agar tidak jatuh.

“Kita ke klinik saja,” bujuk Ema. “Bagaimana kalau ada masalah setelah operasi waktu itu?”

“Aku baik-baik saja.”

Miyano memandangi kedua orang di depannya bergantian. Ia bertambah bingung. Dan cemas. “Operasi apa?”

Ema menengadah padanya, matanya menyelidik. “Anda siapa?”

“Aku Miyano Eisuke. Suami adiknya.”

Jawaban itu melegakan Ema. Matanya berubah cerah saat ia mulai menjelaskan. “Bulan lalu, Shiro….”

“Tutup mulut, Ema!”

Seruan itu meski mengejutkan Ema, tetap tak mampu meredakan bara di matanya. Ia menatap Hayakawa tak percaya. Bagaimana mungkin ia masih bisa berseru dalam kondisi seperti ini? Hanya sebentar, lalu tatapan itu berganti dengan kemarahan. Bukan karena dibentak, melainkan karena lelaki itu masih saja bersikap sok kuat. “Mana bisa aku tutup mulut. Kamu ini! Apa kamu pikir gampang hidup dengan satu ginjal?!”

“Apa?!” Miyano membelalak, menatap keduanya minta penjelasan. “Apa maksudnya satu ginjal?”

Belum sempat Ema menjawab, Hayakawa sudah melepaskan diri darinya dengan sigap. Masih memegangi pinggangnya, ia beranjak menuju pintu mobil. Miyano segera menyusulnya sebelum ia membuka pintu mobil.

“Kamu di bangku belakang saja,” katanya sambil membukakan pintu belakang mobil.

“Apa?”

“Di belakang tempatnya lebih luang.” Ia kemudian menoleh pada Ema. “Maaf, Nona….”

“Turbun. Ema Turbun.”

“Turbun-san, bisa tolong bantu menjaganya?”

Ema seketika mengangguk. Dengan sigap, ia membantu Hayakawa masuk ke mobil, dan menyusul setelahnya. Miyano memutar, lantas mengambil duduk di belakang setir. “Shiro, kita ke klinik ya?”

Hayakawa menggeleng cepat. “Aku tidak butuh klinik. Kita ke Shichirigahama saja.”

Miyano memutar badannya. Ia memandangi kakak iparnya itu dengan tatapan bingung, yang dibalas tajam oleh Hayakawa. Ia hendak membuka mulutnya, protes. Tapi ditutupnya kembali tak lama kemudian. Ia tahu. Ia seharusnya sudah bisa menebaknya. Shichirigahama…. Ah, laut memang selalu memberi ketenangan pada Hayakawa melebihi semua tempat. Akhirnya, ia tak mendebat lagi. Meski begitu, tidak menyenangkan rasanya kalau tidak mengatakan sepatah pun kata kepada lelaki kurus itu. “Baiklah. Tapi, kamu bukannya mau melihat Enoshima kan?”

“Siapa bilang aku ingin melihat-lihat?”

Miyano tertawa mendengarnya. Dihidupkannya mesin, lalu melajukan mobil SUV miliknya menuju pantai yang terkenal karena pemandangannya itu. Suara berisik di belakangnya hanya membuatnya makin tergelak.

Ema begitu ribut menginterogasi Hayakawa. Apakah ia telat lagi minum obat? Apakah ia kekurangan cairan akhir-akhir ini? Apakah ia kurang istirahat? Apakah makanannya tidak dimasak dengan benar? Sampai akhirnya Hayakawa mendengus kesal.

“Ema, sini.”

“Kamu butuh sesuatu?” katanya sambil mencondongkan badan sedikit.

Hayakawa memiringkan badan ke arah Ema. Ia mengangkat tangannya dan perlahan mengarahkannya ke wajah Ema. Mereka bersitatap lama. Ia bisa merasakan mata biru itu bergerak-gerak gelisah. Kelopak lentik itu berkedut cepat. Dan napas yang menghangat dari hidung itu, menyapu telapak tangannya perlahan. Senyum tipis langsung terhias di wajahnya, yang segera dihapusnya cepat-cepat. Ia mengarahkan jemarinya, lantas menyentil hidung Ema. Refleks, Ema pun mengaduh sambil menggosok-gosok hidungnya.

“Aku mau tidur sebentar, jadi tutup mulutmu.”

Hayakawa sudah memejam. Tak berselang lama, suara napas yang stabil terdengar darinya. Di sebelahnya, wajah cemberut Ema telah berganti senyum yang lembut. Ia mengambil sehelai kain dan melipatnya. Lalu, diraihnya kepala yang bersandar secara tidak nyaman pada jok sopir itu, menyandarkannya ke belakang, dan meletakkan kain terlipat tadi sebagai alas kepala.

Miyano yang memperhatikan semua itu dari kaca spion langsung tersenyum.

***

Suara ombak menderu malam. Desir angin pun sepoi menyibak udara. Tak jauh, tampak deretan lampu jingga sepanjang Pulau Enoshima. Kehadirannya membuat suasana malam dingin ini menghangat. Sayang, cuaca masih saja tidak mendukung. Gulungan awan kelabu itu masih tidak bosan menggantung di langit.

Sebuah mobil SUV perak diparkir di tempat parkir tepi jalan. Di dalamnya, Miyano tertidur pulas di bangku belakang. Tak jauh darinya, Ema tengah mencari-cari sesuatu dari dalam tasnya. Diambilnya dua botol air mineral yang sempat dibelinya tadi di mesin penjual minuman di pinggir jalan. Ia hendak menutup pintu dan pergi, tapi gerakannya terhenti. Ia kemudian mengambil selimut dari dalam tas dan menyelimutkannya pada Miyano yang tertidur dengan hanya berbekal sebuah jaket tipis.

Setelah menutup pintu mobil, ia berjalan cepat menuju tangga. Ia pun menuruni tangga itu. Setelah sampai di bawah, ia melepas sepatu dan menentengnya. Lembutnya pasir pantai segera menyambut kakinya yang telanjang. Ia memutar tubuh dan mendapati Hayakawa tengah bersandar sambil menengadah dengan mata terpejam. Tapi, ia tahu bahwa lelaki itu tidak sedang tidur.

Ema berjalan pelan, nyaris tanpa suara. Ia tak mau mengganggu keasyikan lelaki itu dalam menikmati suasana malam ini. Tapi, kehadirannya tetap saja terdeteksi. Hayakawa membuka mata, memandang kosong pada Ema. Diulurkannya sebelah tangan pada Ema, yang dibalas dengan tatapan bingung.

“Air,” katanya pelan. Ema pun tersadar, dan menyerahkan salah satu botol air mineral yang dibawanya. Setelah Hayakawa mengambilnya, Ema duduk di sebelahnya, ikut bersandar.

“Kamu baik-baik saja?”

Hayakawa tak menyahut. Ia hanya sibuk membuka botol itu dan meminumnya satu-dua teguk, lantas menghela panjang. Ditelengkan kepalanya kepada Ema. Ia pun mengangguk kecil, sambil bergumam.

“Kamu masih punya perasaan padanya, kan?”

Hayakawa langsung tergelak. “Apa pedulimu?”

“Tentu aku peduli. Kita sama-sama bertepuk sebelah tangan, kan?”

Hayakawa tergelak kembali. Dilihatnya Ema yang hanya tersenyum sedih. Hayakawa terbungkam. Apakah Ema sedang mengasihaninya atau apa? Akhirnya, ia membuang muka. Ia tercenung. Sudah lama sekali mereka tidak membicarakan masalah pribadi seperti ini. Tahun-tahun terakhir ini, obrolan di antara mereka hanya seputar pekerjaan, pekerjaan, dan pekerjaan. Dan ia sudah sangat yakin, bahwa sepulangnya mereka ke Cambridge nanti, obrolan seperti ini akan sulit dilakukan. Apakah harus ia sia-siakan?

“Aku yang meninggalkannya.” Ucapan itu menandai bahwa Hayakawa cukup siap untuk membuka masa lalu itu. Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun, akhirnya ia mampu mencurahkan masalahnya kepada Ema kembali. Terakhir kali ia melakukannya adalah saat mereka masih kuliah. “Demi memenuhi undangan dari MIT, aku mencampakkannya. Aku masih ingat bagaimana aku membuatnya menangis hari itu. Hari saat aku bilang bahwa aku sudah memutuskan untuk pergi. Sejak itu, aku tak pernah lagi melihatnya tertawa. Sampai hari ini. Aku benar-benar lega sekarang.”

“Wanita … tidak selemah yang kamu pikirkan.”

Bibirnya melengkung perlahan. Tipis. Ya, Hayakawa tahu itu. Di saat-saat kritis, terkadang wanita justru lebih kuat daripada pria. Ia menoleh, memperhatikan bahu kecil Ema. Perlahan, ingatan akan semua wanita dalam hidupnya bergelayutan di benaknya. Ibunya. Kakak perempuannya. Ayako. Juga Yuki. Berapa banyak sebenarnya beban yang sanggup ditanggung oleh bahu kecil mereka?

Perlahan, namun mengejutkan. Sebuah sentuhan lembut di lengannya cukup untuk memaksanya bersitatap. Sepasang safir biru menembusnya bagai rontgen. Dalam, seolah sedang mencari celah untuk menyibak pintu hatinya yang terkatup rapat. Apakah gagal? Karena usaha itu berubah menjadi gedoran, terasa lebih lantang dan cepat dibandingkan dengan degupan jantungnya saat ini. Ataukah suara itu memang debar jantungnya?

Ia berpaling dari pemilik safir biru di sampingnya sebelum wajahnya sempat terasa lebih menghangat lagi. “Berhenti memandangku seperti itu. Apa kamu sedang mengasihaniku?”

Ia menoleh kembali. Berharap dapat menemukan jawaban dari sepasang mata biru yang tengah menatapnya sendu. Tapi, hanya itu. Ia tidak tahu apa yang dipikirkan Ema. Ia tak bisa lagi menebak arti senyum lembut itu. Ia juga tak bisa lagi memahami arti pandangan itu. Dan yang membuatnya lebih tersiksa, keheningan yang tercipta akibat pertanyaan tadi.

“Kamu yang seharusnya berhenti.”

“Apa?”

“Berhenti bersikap bodoh! Apa kamu ingin terus menderita hanya untuk bisa melihatnya bahagia? Kamu yang seharusnya membuatnya bahagia.”

“Ini caraku membuatnya bahagia.”

Ema pun tergelak. “Cara yang aneh. Semestinya, kamu ikut bahagia bersamanya. Karena itulah yang akan kulakukan jika aku di posisimu.”

“Caramu melakukannya?”

“Tetap di sisinya, hapus kesedihannya, buat dia tersenyum, dan tidak melepasnya lagi apapun yang terjadi.”

Hayakawa tertegun. Entah bagaimana kata-kata itu menyesap mulus ke dalam ruang hatinya yang lama kosong. Ia bahkan tidak tahu kenapa hatinya bisa sedemikian kacau hanya karena kata-kata barusan. Apakah mungkin perasaan itu datang kembali? Tapi, sejak kapan perasaan bersalah begitu mendominasi rasa sakit di dadanya? Sekarang, ia tak sanggup lagi memberikan balasan apapun. Bahkan hanya sekadar kata-kata sekalipun.

“Meski mungkin ia akan mengusirku, atau menyakitiku, aku takkan pergi ke mana-mana,” lanjut Ema.

“Meski hatinya masih milik orang lain? Kamu tidak bisa menjebol dinding tebal hanya dengan melemparinya lumpur.”

“Paling tidak, lumpurku bisa membekas di dindingnya.”

Hayakawa tahu, tak ada kebohongan dalam kata-katanya, ataupun nada suaranya. Tatapan penuh yang ditangkapnya dari sepasang safir biru di sebelahnya itu, membuatnya semakin merasa jijik pada dirinya sendiri. Ia tahu, meski Ema berkata seperti itu, hatinya pasti terluka.

Ema berpaling, memandang lautan di hadapannya. Mata sayu itu menohok langsung ulu hati Hayakawa. Rasanya sakit melihat wanita di sebelahnya itu kehilangan sorot tajamnya. Ia sendiri tidak mengerti kenapa rasanya selalu sakit. Perlahan, diraihnya lengan Ema, memaksanya saling bersitatap. Mata biru itu membalasnya, masih sesayu tadi.

“Kenapa kamu tidak bisa menyerah saja?”

“Kenapa aku harus menyerah?”

Hayakawa terdiam. Kenapa Ema harus menyerah? Ia tidak tahu. Yang ia tahu, ia tak lagi sanggup melihat Ema tersakiti lebih dalam dari ini. “Karena aku tak ingin kehilangan teman sepertimu. Jangan biarkan aku melukaimu.”

“Memangnya aku pernah bilang bahwa kamu sudah melukaiku?”

Lagi, tak satu jawaban pun bisa meluncur dari bibirnya. Yang bisa dilakukannya sekarang hanyalah berdiri dan beranjak menuju muka tangga. Ia tak bisa lagi menghadapi kekerasan hati Ema. Baru beberapa langkah ia berjalan, seruan Ema menghentikannya.

“Aku takkan menyerah.”

Ia berputar, demi mendapati mata biru Ema yang menabrak lurus matanya.

“Meski butuh waktu selamanya, aku takkan menyerah.”

Pada saat itu, angin berdesau lirih. Membawa kata-kata itu hingga ke lubuk hatinya yang paling dalam. Di sana, mereka berubah menjadi ribuan katana yang telak menusuknya.

***

Miyano berdiri di depan sebuah mesin penjual minuman, menatap ceruk di bagian bawah mesin tempat ketiga botol minuman ion—yang dipesannya lewat tombol-tombol berjejer di bawah sampel minuman di balik kaca—seharusnya keluar. Tak lama, terdengar suara dari ceruk, tanda bahwa penantiannya berakhir. Ia pun mengambil tiga botol itu dari ceruk.

Ia beranjak menuju zebra cross, lalu menyeberang saat lampu lalu lintas telah mengijinkan. Lantas, diterobosnya sungai manusia sepanjang Wakamiya Ōji. Matahari masih naik sepenggalah, tapi orang-orang sudah berkerumun sepanjang jalur yang memisah sisi kanan-kiri jalan. Semacam trotoar, tapi lebih lebar. Cukup untuk delapan orang berbaris melintang jalur.

Dankazura memang selalu ramai di musim semi. Apa lagi tujuan orang-orang itu kalau bukan untuk hanami? Bukan hanya orang lokal, melainkan juga para wisatawan asing. Tidak sedikit orang-orang yang memotret jejeran pohon sakura yang membatasi Dankazura dari kedua sisi jalan. Hal yang selalu membuat Miyano menghela tertahan.

Di musim seperti ini, seharusnya ia dan Ayako-lah yang berada di tempat ini, menikmati masa-masa akhir mereka sebagai pasangan selayaknya sepasang remaja di kencan pertama. Ya, masa-masa akhir. Bukannya ia mengeluh. Ia justru senang. Hanya tinggal dua bulan lagi sebelum penghuni rumah kecil mereka bertambah. Mungkin satu. Mungkin juga dua. Yang mana pun tidak masalah. Ia sama sekali tak keberatan punya anak kembar. Perlahan, bibirnya melengkung tipis. Dalam hati, ia berjanji akan mengajak Ayako jalan-jalan keliling kota minggu depan. Apa boleh buat, ia harus menunggu weekend, kan?

Di jalur tengah, akhirnya ia melihat Hayakawa dan Ema tengah memandangi hujan kelopak sakura yang sedikit demi sedikit melumuri jalur itu. Miyano mendesah lega, ini pertama kalinya sejak bertemu kembali, ia bisa melihat Hayakawa tersenyum selega itu. Dan tertawa selepas itu. Bersama seorang wanita, pula. Ia sebenarnya enggan mengganggu mereka. Tapi, minuman mereka ada padanya. Dipandanginya sebentar kedua botol minuman yang dijepitnya di antara jari-jemarinya itu. Akhirnya ia memutuskan mendekat.

“Kenapa? Kamu kangen hanami?”

Pertanyaan itu membuat Miyano berhenti seketika. Tak seberapa jauh darinya, Hayakawa memandang penuh Ema. Sebuah suara lembut membalas tak lama kemudian. “Wajar kan? Sudah bertahun-tahun aku tak lagi berkunjung ke Jepang. Meskipun … aura tempat ini berbeda dengan Kyoto. Dulu, aku kan pernah tinggal di Kyoto bersama Kakek.”

“Kakekmu yang pelukis atau yang pengusaha?”

“Kakek dari pihak Ibu, yang pelukis.” Mata Ema berubah sendu. “Aku … ingin mengunjungi makam Kakek di Kyoto sebelum kita pulang ke Cambridge. Ini peringatan lima tahun meninggalnya Kakek.”

“Jadi, kamu ke sini bukan cuma untuk menjemputku? Kamu punya tujuan lain. Pantas saja. Awalnya aku heran, untuk apa kamu datang jauh-jauh kalau hanya untuk itu? Ternyata….”

Ema menatap lurus sepasang permata coklat menyala di hadapannya, penuh harap. Mereka berpandangan lama. Lantas, Hayakawa mendesah panjang. “Baiklah. Khusus hari ini. Untukmu, Miss Associate Professor Turbun.”

Shut up. Aku masih Assistant Professor. Kamu juga sama, jadi tak usah meledek.”

Hayakawa hanya tergelak. Perlahan, sebuah pukulan lembut bersarang di lengan Hayakawa, membuatnya mengaduh kecil. Tapi, Miyano tahu bahwa itu hanya pura-pura. Ia pun mendekati mereka. Pelan. Disambut dengan senyum hangat keduanya. Miyano pun menyerahkan minuman kepada masing-masing.

Ketiganya beranjak menelusuri jalur Dankazura menuju gerbang ketiga. Belum beranjak jauh, Hayakawa terhenti tiba-tiba. Begitu pula Miyano dan Ema. Keduanya menatap bingung Hayakawa. “Ada apa?”

Hayakawa tak menjawab. Ia hanya membeliak. Penasaran, keduanya pun mengikuti arah pandangan itu, yang berakhir pada sepasang mata hitam jernih milik seorang wanita berambut hitam panjang yang juga membeliak pada Hayakawa. Miyano tertegun seketika. “Yu—Yuki….”

Wanita itu berpaling sejenak ke arah suara yang memanggilnya. “Ei-kun?” sahutnya, masih tampak seterkejut tadi. Sebuah tarikan pelan di lengan bajunya membuat wanita itu tersadar. Ia berpaling demi menemukan sejurus tatapan polos dari gadis kecil di sebelahnya.

“Haha? Kenapa Haha belenti? Mau hanami di cini ya?”

Miyano yang  menyadari bahwa Yuki terlalu terkejut untuk menjawab, segera bergegas ke arahnya. Ia membungkuk pada gadis kecil itu. “Ayumi-chan, mau ikut Ei-jichan sebentar?”

“Ojichan mau beliin Ayu ec klim lagi?”

Miyano mengangguk cepat, yang segera disambut seruan senang oleh Ayumi. “Gendong?”

Miyano tertawa, lantas menggendong gadis kecil itu. Sebelum pergi, ia menoleh pada Yuki. “Biar kujaga Ayumi sebentar. Kamu bicaralah padanya.”

“Ei-kun,” katanya ragu. Lalu, ia berpaling pada gadis kecilnya, membelainya, dan mencium pipinya. “Jangan bikin repot Ei-jichan ya?”

“Iya, Haha.”

Miyano segera beranjak, sambil memberi tanda pada Ema agar mengikutinya. Sebelum pergi, ia sempat melirik Hayakawa, hanya untuk memastikan bahwa lelaki itu akan baik-baik saja. Perlahan, ia meninggalkan tempat itu. Menembus sungai manusia itu bersama Miyano dan Ayumi.

Setelah ketiganya pergi, setelah jeda beberapa lama hanya untuk mengatasi rasa terkejut, Yuki berjalan perlahan menuju Hayakawa. Ia berhenti, hanya semeter dari lelaki itu. “Sudah lama sekali ya?”

Hayakawa tak menjawab. Ia bahkan tak berani membalas tatapan Yuki.

“Shiro-kun?”

“K—kamu kelihatan … baik-baik saja. Suamimu bagaimana? Eisuke bilang, Uehara-san habis operasi pencangkokan ginjal. Tidak ada reaksi penolakan dari ginjal baru itu kan?”

“Ei-kun cerita semuanya padamu ya? Kenapa kamu mau tahu?”

“Tidak perlu menjawabku kalau kamu tidak mau.”

Yuki menatap Hayakawa. Nanar. Pada akhirnya, ia mendengus cepat. “Tak ada reaksi penolakan. Ginjal dari pendonor itu berfungsi dengan sangat baik.”

“Begitukah? Syukurlah.”

Keduanya pun terdiam. Meski keramaian begitu mewarnai tempat itu, keheningan di antara keduanya cukup untuk membuat Hayakawa merasa sedang berada di pemakaman. “Maaf—”

“Aku tidak tahu siapa pendonor itu. Tapi, kudengar ginjal itu didonorkan dari Amerika.” Tatapan Yuki menajam, membuat Hayakawa memucat. “Padahal, dia bahkan tidak mengenal Kaoru-san.”

Kata-kata itu membuat isi perut Hayakawa bergemuruh tak nyaman. “Y—yang penting ... Uehara-san baik-baik saja.”

“Iya, Kaoru-san baik-baik saja. Sebenarnya, kamu tak perlu repot-repot mencemaskannya.”

Hayakawa mengangguk. “Maafkan aku.”

“Minta maaf untuk apa? Karena baru kembali? Atau karena tidak memintaku menunggumu?”

Pertanyaan itu sederhana. Terlalu sederhana, tapi cukup untuk menikam perasaan Hayakawa begitu dalam. Ia tertegun. Tentu saja, bagaimana bisa ia berharap dimaafkan? Kenyataan bahwa ia begitu tega menyia-nyiakan Yuki hanya untuk membuktikan pada ayahnya bahwa ia bisa berdiri sendiri, membuat perasaan jijik itu bertambah.

Dalam diam, ia semakin mengutuk dirinya sendiri yang tak bisa mempercayai Yuki. Meninggalkan Yuki hanya karena perasaan takut tak bisa menghidupi wanita itu setelah Hayakawa bisa lepas dari keluarganya? Sekali lagi, ia menyalahkan dirinya sendiri. Karena tak bisa percaya bahwa Yuki sanggup bertahan bersamanya. Karena tak bisa percaya bahwa finansialnya setelah lepas dari keluarganya akan sanggup menghidupi dua orang. Juga karena tak bisa percaya pada kemampuannya sendiri.

Seandainya waktu itu ia meminta Yuki menunggu, seandainya ia segera kembali setelah menyelesaikan program sarjananya dan mengambil program master di Jepang saja, ia mungkin takkan kehilangan Yuki. Tapi, melihat kondisi Yuki sekarang, entah kenapa ia tidak menyesalinya. Ia pun tersenyum. Ya, ia sama sekali tak menyesal. “Mungkin karena keduanya. Tapi, melihat gadis kecil tadi, aku bersyukur kamu tidak menunggu.”

“Sepertinya, kamu pun sudah punya orang lain.”

Hayakawa terdiam. Tak lama, ia pun mengerti arah pembicaraan Yuki. “Maksudmu Ema? Bukan, sebenarnya dia—” Tatapan mata Yuki kembali menohoknya. Hayakawa pun tepekur. Kalau Yuki tahu bahwa perasaannya masih sama seperti dulu, itu pasti akan mengganggunya. Akhirnya, ia mendesah cepat. “Ya, semacam itu.”

“Apa kamu akan memberitahuku kalau kalian menikah nanti?”

“Dari mana kamu tahu bahwa aku belum menikah?”

“Jari-jemarimu masih polos dari jejak cincin.”

Ia hanya bisa tersenyum tipis. Begitu pula Yuki. Sorot mata keduanya berubah cerah. Bisa tersenyum seperti ini setelah bertahun-tahun putus kontak, benar-benar melegakan. Meskipun hanya sebagai teman, meskipun tetap berjarak, ia tetap bersyukur.

***

“Dadah Ojichan, Obachan,” seru Ayumi pada ketiga orang yang balas melambaikan tangannya. “Nanti main lagi ya?”

Setelah Yuki sedikit membungkuk sebagai tanda salam, sepasang ibu-anak itu beranjak pergi. Hayakawa tersenyum tipis melihat bahu kecil Yuki yang makin mengecil. Bahu itu, benar-benar bisa menanggung beban yang begitu berat. Mulai detik itu, ia berjanji takkan lagi tak percaya bahwa wanita tak bisa bertahan. Ia bertekad akan merubah mindset-nya. Lagipula, tak ada ruginya berusaha percaya pada wanita. Seperti yang selama ini berusaha dilakukannya pada Ema.

Tiba-tiba sebuah nada berdering. Suara ponsel, dan Hayakawa tahu itu bukan miliknya ataupun milik Ema. Ia hafal nada dering ponsel mereka. Ia pun menoleh pada Miyano yang gelagapan mencari ponselnya. Setelah menemukannya, ia segera memeriksa layar. Seketika ia mengernyit.

“Moshi moshi, Oneesan?” sahut Miyano kemudian. “Eh? Iya, iya. Apa? Rumah sakit? Tapi, seharusnya masih dua bulan—apa?! Iya, aku segera ke sana.”

Setelah menutup telepon, wajah Miyano memucat seketika. Tapi, tidak lama. Ia pun segera meminta keduanya cepat-cepat ke mobil. Mereka pun berlari. Saat berlari itu, pinggang Hayakawa kembali sakit, tapi ia berusaha mengabaikannya. Sepertinya situasi sedang darurat, ia takkan punya waktu untuk mengeluh. Setelah sampai di mobil, Hayakawa langsung menanyakan masalahnya.

“Ayako akan melahirkan.”

Hayakawa langsung membeliak padanya. “Kamu bilang baru 7 bulan!”

“Sepertinya prematur,” sahutnya sambil menyalakan mesin mobil. Lantas, diinjaknya pedal gas. Mobil itu melaju kencang menuju rumah sakit. Terlalu kencang. Miyano terlalu panik untuk menurunkan kecepatan berkendaranya. Kedua penumpangnya sampai harus berpegangan pada sesuatu.

Sesampainya di rumah sakit, Miyano segera keluar dari mobil dan hendak berlari ke arah gedung. Tapi, sesuatu membuatnya berhenti. “Kalian tidak ikut?”

“Aku belum siap bertemu mereka. Tapi, nanti pasti kususul.”

Miyano tak membuang waktu lagi untuk membujuk. Ia pun segera berlari memasuki gedung.

“Jangan ditahan lagi.”

Hayakawa menoleh bingung. “Apa?”

“Kamu tidak bisa menyusulnya bukan karena belum siap kan? Saat berlari tadi, pasti pinggangmu kumat lagi. Sekarang Miyano sudah pergi. Jangan ditahan lagi.”

Bersama kata-kata itu, Hayakawa menyandarkan kepalanya pada jok di depannya sambil memegang erat pinggangnya. Di sampingnya, Ema sudah hampir menangis. Ia menyentuh bahu Hayakawa perlahan. Lantas tangan itu membimbingnya untuk berbaring miring, dengan kepala yang berbantal pangkuan Ema.

“Kamu yakin tidak perlu memeriksanya? Mumpung kita di rumah sakit.”

“Aku hanya kelelahan karena tadi berlari, ditambah menumpang mobil yang ngebut. Aku cuma butuh istirahat.”

Ema tak membantah lagi. Kali ini, yang bisa dilakukannya hanya membiarkan Hayakawa istirahat. Perlahan, Ema membelai kepala Hayakawa dengan sebelah tangannya sambil mengusap keringat di dahi lelaki itu dengan tangannya yang lain. Ia tergugu. Hayakawa selalu membagi kebahagiaannya bersama semua orang, tapi ia selalu menyimpan penderitaannya untuk dirinya sendiri. Hal itu selalu membuat Ema kesal.

Keringat Hayakawa begitu banyak, dan wajah yang tampak kesakitan itu … mau tak mau, hal itu membuat bulir-bulir yang sejak tadi ingin menjejal keluar tak tertahan lagi oleh mata Ema.

Menyadari ada air menetes di wajahnya, Hayakawa membuka mata sebentar, lalu menutupnya lagi. Tanpa dilihat pun, ia sudah tahu dari mana asalnya. “Ini yang kamu bilang bahwa aku tidak melukaimu?”

Pertanyaan itu membuat Ema tersentak. Tak butuh waktu lama baginya untuk mengerti arti dari pertanyaan itu. Ia pun menunduk, mendekatkan bibirnya pada telinga Hayakawa. Dengan nada getir, ia berbisik, “Tidak bisakah kamu membagi penderitaanmu bersamaku?”

Tak satu pun kata, bahkan suara gumaman sekalipun. Hayakawa membisu. Ia tak sanggup menjawab pertanyaan itu. Keheningan yang terjadi berikutnya hanya membuat perasaannya makin kacau. Tak lama, ia bisa merasakan wajahnya makin basah. Meski tak terdengar suara tangis sedikit pun, meski tak ada isak sedikit pun, ia tetap merasa hatinya bergejolak tidak menyenangkan. Perasaan bersalah itu menguasainya lagi. Dan kali ini, hanya suara sayatan menyakitkan yang terdengar olehnya. Suara pilu yang berasal dari dalam hatinya sendiri. “Kalau aku mau membaginya, apa kamu akan berhenti merengek?”

Ema tertegun, diperhatikannya Hayakawa yang tampak sedang tidur. Ia pun tersenyum tipis sambil menyeka air matanya. “Iya.”

“Kamu akan berhenti protes?”

“Iya.”

“Jangan menyesal.”

“Iya.”

“Aku sudah memperingatkanmu.”

“Aku tahu.”

Hayakawa merubah posisi berbaringnya agar bisa menatap wajah Ema. “Bantu aku bangun.”

Tanpa disuruh dua kali, Ema bergegas membantu lelaki itu duduk. “Kamu mau masuk sekarang? Tidak apa-apa?”

“Bukankah kamu bilang akan berhenti protes?”

Ema terbungkam. Ia hanya bisa menggerutu dalam hati, bagaimana mungkin pertanyaannya barusan bisa digolongkan dalam kategori protes?

“Tidak apa-apa,” tukas Hayakawa. “Bagaimanapun, aku harus menghadapi keluargaku. Cepat atau lambat. Lagipula, aku ingin berada di sana saat keponakanku lahir.”

Ema tersenyum. Ia pun mengangguk pelan.

Bersama-sama, keduanya turun dari mobil. Lantas, perlahan memasuki gedung rumah sakit. Berharap pertemuan kembali itu tidak akan menemui masalah berarti. Juga berharap akan kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang. Tanpa saling menyakiti. Tanpa kecurigaan. Tanpa penyesalan. Dan tanpa perasaan bersalah. Karena yang dibutuhkan Hayakawa sekarang hanyalah rasa saling percaya. Darinya, dan juga kepadanya. Itu saja.

--------------------------------------------------

Hanami        :  melihat bunga
Gifu             :  ayah mertua
Otousan      :  ayah
Haha           :  mama
Ojichan       :  paman
Obachan     :  bibi/tante
Oneesan     :  kakak perempuan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar