Friendship | Writing | Reading | Learning | Joking | Smiling | Laughing | Comfortable
Tentang Kami
Foto saya
Grup Cafe Rusuh merupakan suatu ruang lingkup tempat di mana para anggotanya bisa berbagi tentang segala hal. Kata "Rusuh" sendiri merupakan kependekan dari "Ruang suasana hati". Sebagai sebuah grup, Cafe Rusuh menjadi sebuah jembatan di mana persahabatan, kekeluargaan dan silaturahmi antara sesama anggotanya tetap terjaga. Selain itu, Cafe Rusuh juga memberikan kebebasan kepada para anggotanya untuk berbagi tentang segala hal seperti puisi, cerita, esai, tips-tips dan info-info yang bermanfaat bagi para anggotanya.

Rabu, 13 Juli 2011

ACR: A Roman's Oath

by Liz Levin

Londinium, Roman Empire, AD150

Aku duduk di samping Cassian, kurasakan wajahku berkerut murung. Bukan kali pertama aku diajak oleh calon suamiku itu menonton chariot racing di sebuah hippodrome, tempat pertunjukan balap kereta kuda. Padahal aku paling tidak suka berada diantara jajaran penonton yang duduk membentuk huruf U yang mengelilingi arena balap itu.

“Ayolah, Tullia, tunjukkan sedikit wajah senang. Hari ini Antoninus Pius datang menonton!” ujar Cassian yang akhirnya protes setelah menyadari bagaikan mengajak sebuah patung yang terus mendiamkannya semenjak dia menjemputku.

“Apa peduliku kalau Emperor sampai datang? Sudah berapa kali aku bilang padamu, aku benci balap kereta kuda!” aku masih memasang ekspresi kesal. Berkali-kali kubenahi tunik yang kukenakan. Tunikku yang baru ini tampak terlalu besar untuk melekat di tubuhku. Aku tak berhenti mengumpat kesal di dalam hati. Mengapa para wanita harus melekatkan banyak perhiasan di tubuh hanya untuk menonton sebuah balap kereta kuda? Menurutku itu tradisi yang konyol.

“Bahkan kuda-kuda itu mengenakan mutiara yang teruntai di ekor mereka…” gumamku.

“Kamu bilang apa?” tanya Cassian.

“Tidak, aku tidak bilang apa-apa,” aku kembali memasang wajah bosanku.

“Setidaknya hargai hari ulang tahunku ini,” ucap Cassian kemudian. Aku melirik ke lelaki dengan rambut pirang di sampingku. Aku tak memungkiri bahwa Cassian memang tampak agak lebih menarik dengan toga virilis-nya, toga yang baru kali ini dia pakai mengingat usianya hari ini baru genap 16 tahun. Sayangnya sifatnya sangat buruk. Toga sebagus apapun tidak akan membuatnya terlihat menawan.

Otakku tidak pernah bisa berlama-lama untuk memikirkan hal lain selain apa yang selalu kupikirkan di dalam benakku saat ini. Anganku melayang pada lelaki lain.


“Berikan aku sepuluh buah aprikot, sebotol anggur putih dan anggur passum,” ucapku pada penjual bahan makanan. Aku tengah berjalan-jalan di pasar siang itu sekitar setahun lalu. Si penjual bahan makanan hanya mengangguk dan segera menyiapkan pesananku.

Gustum De Praecoquis?” seorang lelaki yang ternyata berdiri di sampingku diantara para pembeli lain, tiba-tiba berucap, mengejutkanku.

Aku menoleh ke lelaki itu. Sejenak aku bagai terbius oleh ketampanan lelaki itu.

“Ya… aku… memang akan membuat makanan itu,” aku agak terkejut lelaki itu bisa menebak masakan apa yang hendak kubuat.

“Makanan favoritmu,” ucap lelaki itu kemudian, membuatku makin terkejut.

“Maaf?”

Gustum De Praecoquis, makanan favoritmu bukan?”

“Bagaimana kamu tahu?”

“Tentu saja aku tahu,” ucap lelaki itu kemudian tersenyum dan meninggalkanku begitu saja, menerobos diantara hiruk pikuk keramaian pasar.
*-*-*-*

Lamunanku terhenti saat mendengar keriuhan penonton yang terdengar bagai dikomando, ketika Emperor Antoninus Pius menjatuhkan selembar kain, menandakan balap dapat dimulai. Masing-masing kereta kuda ditarik empat ekor kuda dan dijalankan secara cepat, berbalapan sebanyak tujuh kali mengelilingi arena. Ada empat tim di sana, tim merah, putih, biru, dan hijau, sewarna dengan pakaian yang dikenakan para penggemar masing-masing tim di bangku penonton di seluruh penjuru hippodrome.

“Aku bertaruh untuk tim merah!” ujar Cassian bersemangat.

“Berapa aureus kaupertaruhkan?” sanggahku sama sekali tidak berniat untuk bertanya sebenarnya. Dan Cassian tampaknya tidak mendengar pertanyaanku, dia hanya berteriak-teriak menyemangati tim favoritnya. Cassian sudah sering bertaruh, tidak hanya beberapa denarius, namun hingga beberapa aureus.

Pikiranku kembali melayang pada Domitius Flavianus, lelaki yang telah membuatku jatuh cinta dan bermimpi untuk dapat lepas dari ikatan dengan Cassian Aquilinus.


Aku mencoba membuntuti lelaki yang membuatku penasaran di pasar siang itu. Namun lelaki itu entah bagaimana menghilang dari pandanganku.

“Mencariku?”  aku terkejut dan menjatuhkan bahan masakan yang baru saja kubeli tadi. Kudapati lelaki yang membuatku penasaran tadi tiba-tiba berada di belakangku.

“Aku… tidak…” aku tak sanggup menjawab.

Lelaki itu tersenyum dan mengambilkan barang belanjaanku.

“Terima kasih. Siapa dirimu sebenarnya?” tanyaku memberanikan diri.

“Aku hanyalah orang yang tidak penting, Tullia.”

Aku merasa jantungku berdebar kencang, antara takut dan penasaran, “Apakah aku mengenalmu? Bagaimana kamu bisa tahu namaku?”

“Tentu saja aku tahu,” jawab lelaki itu, mengulang kalimat yang sama sebelum dia menghilang tadi.

“Berhentilah membuatku bingung,” ucapku menuntut penjelasan.

“Kuberitahu sesuatu, tapi…”

“Tapi apa?” tanyaku refleks saat lelaki itu menggantung kalimatnya. Aku sudah terlanjur tertarik pada lelaki itu hingga ingin mengenalnya lebih jauh.

Lelaki itu tersenyum,”Baiklah. Kuberitahu saja. Tapi… jangan katakan pada siapapun ya? Aku sudah sangat lama menantikan apa yang terjadi saat ini. Saat dimana aku berada dekat denganmu dan berbicara denganmu…”

Jantungku makin berdebar-debar. Apa maksudnya? Mengapa dia berkata seperti itu? Siapa dia sebenarnya? Apakah aku harus tersanjung atau harus takut karena mungkin dia orang jahat? Tapi… mengapa jantungku berdebar-debar? Mendebarkan sebuah rasa yang menakjubkan, yang belum pernah kurasakan sebelumnya?

“Namaku Domitius Flavianus. Sekedar informasi saja,” lanjut lelaki itu kemudian berlalu, meninggalkanku lagi untuk kedua kalinya di siang itu. Menyisakan rasa penasaran bagiku. Sejak saat itu, aku terus mencari tahu mengenai nama Domitius Flavianus. Pertanyaan yang membutuhkan waktu yang lama untuk terjawab, hingga akhirnya terungkap di suatu sore di sebuah kebun anggur.


“Dari sinilah, anggur-anggur nikmat yang tersaji di meja-meja makan mewah di seluruh Londinium berasal. Bacchus sedang berbaik hati pada kita! Panen kita melimpah… aku harus lebih sering mengunjungi kuilnya…” ucap Davius Lesterius, seorang pemilik kebun anggur yang juga kerabat dekat dari keluarga Cassian, menerangkan padaku.

“Lalu ke mana saja Anda menjual hasil panen dari kebun ini?” tanyaku, mencoba berbasa-basi meski dalam hati aku sudah sangat bosan. Cassian seharusnya sudah menjemputku setengah jam yang lalu. Aku merasa bagaikan barang saja, yang dititipkan pada Davius sore itu, sementara Cassian pergi berburu bersama ayahnya di dekat perkebunan.

“Kami menjualnya ke Calleva, kadang ke Augusta Trevorum juga. Meski Augusta Trevorum juga menjual anggurnya pada kita, tapi kualitasnya masih kalah dengan kualitas anggur kita...” Davius tertawa puas. Rambut putihnya yang tinggal beberapa helai melingkupi kepalanya yang hampir botak, tampak tidak menyurutkan semangatnya bercerita panjang lebar dan membanggakan kebun anggurnya. Aku hanya diam mendengarkan sambil melihat-lihat ke segala penjuru kebun anggur. Para budak pekerja masih sibuk di kebun itu. Mereka tampak tengah memanen.

Rasa kantuk yang sudah menggelayuti mataku tiba-tiba hilang ketika aku melihat ke salah seorang pekerja yang berada tak jauh dari tempatku berdiri. Aku mengenal rambut coklat dan mata coklat itu. Aku sangat yakin dengan siapa yang kulihat. Ada rasa bingung dan terkejut hinggap di pikiranku, namun aku masih yakin bahwa penglihatanku masih sangat normal.

“Umm, bisakah saya minta tolong?” tanyaku pada Davius kemudian.

“Tentu saja. Apa yang bisa saya bantu?”

“Maaf, bukannya saya jenuh berada di kebun yang sangat luar biasa ini. Tapi, saya rasa, saya harus segera pulang. Saya tidak akan menunggu Cassian. Dia bisa lupa waktu jika sedang berburu. Saya yakin Cassian tidak akan keberatan jika saya pulang sendiri.”

“Oh, baiklah. Tunggu di sini sebentar, saya akan segera menyiapkan kereta kuda dan menjemput Anda di sini.”
Tepat sesuai keinginanku, pria tua itu berlalu meninggalkanku, membuatku bebas untuk mendekati seorang lelaki pekerja yang menarik perhatianku.

“Domitius…” panggilku agak ragu. Lelaki itu tidak langsung menoleh. Dia masih sibuk menenggelamkan diri diantara daun-daun anggur.

“Domitius Flavianus?” aku mengulang. Pelan-pelan lelaki itu menoleh dan menatapku.

“Kamu benar-benar Domitius. Apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa kamu…”

“Aku bekerja di sini,” ucap Domitius memotong pertanyaanku.

“Maksudmu?”

Domitius menghela nafas,”Aku hanyalah budak, Tullia,”

“Tapi… kalau kamu memang bekerja di sini, bagaimana mungkin saat itu kamu bisa…”

“Bisa bebas berjalan-jalan di pasar?” Domitius memotong kalimatku,”Apa kamu lupa kalau hari itu adalah hari festival Saturnalia?”

Aku mulai mengerti. Davius Lesterius tentu saja membebaskan Domitius dari pekerjaannya di hari festival Saturnalia, hari dimana majikan dan budak bertukar peran.

“Apakah kamu masih ingin mengenalku? Karena… kupikir siang itu di pasar… aku merasa kamu ingin mengenalku,” ucap Domitius.

“Tullia!” perbincangan kami yang terbilang sangat singkat langsung terhenti oleh suara Cassian yang tiba-tiba berjalan mendekat.

“Temui aku di amphitheatre besok. Jika kamu masih ingin mengenalku. Aku… sangat berharap kamu ingin mengenalku lebih jauh,” ucap Domitius kemudian berlalu dari hadapanku.

“Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu berbicara dengan budak?” tanya Cassian langsung.

“Memangnya kenapa?”

“Dengarkan aku, Tullia, aku tidak ingin kamu berbicara dengannya lagi,” ucap Cassian tajam membuatku heran. Cassian tidak pernah melarangku untuk melakukan sesuatu setegas itu.

“Tapi… memangnya kenapa? Toh aku tidak akan bertemu dengannya lagi. Apa yang membuatmu begitu tegas melarangku?”

Sejenak terlihat ekspresi bingung di wajah Cassian,”Pokoknya tidak boleh! Dia adalah budak! Ayo, kita pulang sekarang!” jawab Cassian membuatku tidak puas.
*-*-*-*

Aku makin gelisah. Kereta-kereta kuda yang tengah bertanding tampak tidak bisa mengalihkan pikiranku. Begitu juga ocehan Cassian di sampingku mengenai rencana jamuan makan malam nanti untuk hari ulang tahunnya yang ke-16 itu. Pikiranku sedang digelayuti kebingungan dan keraguan. Otakku terus menjelajahi saat-saat aku mengenal dan dekat dengan Domitius.


“Tumben kamu mau kuajak menonton pertandingan gladiator,” ucap Cassian senang pagi itu. Kami tengah duduk diantara tempat duduk penonton di dalam sebuah amphitheatre.

“Aku hanya tidak ingin mendengar penyesalanmu karena harus menyiakan kesempatan untuk menonton pertandingan ini secara gratis,” ucapku beralasan, menyembunyikan maksud sebenarnya dibalik kesediaanku menemani Cassian.

Cassian tertawa,”Kamu memang gadis pintar! Bukankah ini hebat? Davius Lesterius telah membayar untuk semua tempat duduk di amphitheatre ini. Sayang kan kalau disia-siakan?”

Seorang lelaki mengenakan baju berlapis baja muncul ke dalam arena, bertarung menghadapi seekor harimau. Aku lebih sering memejamkan mata dan memilih tidak menonton pertarungan itu. Di pikiranku hanyalah janji Domitius yang akan menemuiku hari itu, entah kapan dan di mana tepatnya. Aku berusaha menepis keinginanku untuk bisa bertemu dengan Domitius. Aku merasa tidak akan mungkin bertemu dengan Domitius di tempat seramai itu. Amphitheatre  hari itu penuh sesak, selain karena tempat duduk gratis, juga karena hampir semua orang percaya bahwa dengan datang dan menonton, mereka telah melakukan kegiatan religius, karena dewa-dewa menyukai pertandingan gladiator.

Hingga saat jeda istirahat siangnya, aku tak juga melihat tanda-tanda keberadaan Domitius.

“Tullia, makanlah juga roti yang sudah kaubawa itu,” ucap Cassian menyuruhku memakan roti dan keju yang sudah kusiapkan untuk bekal kami siang itu.

Aku tak menjawab, pikiranku terus tertuju pada Domitius. Aku sama sekali tidak menikmati penyanyi dan penari yang sedang tampil untuk mengisi waktu istirahat, apalagi acara penghukuman penjahat yang diikat dan diserang oleh seekor beruang. Aku benar-benar tidak berselera makan dan ingin muntah.

Ada kalanya aku berharap Domitius akan datang berpura-pura sebagai penjaja roti atau anggur yang berkeliling amphitheatre, lalu berhenti di hadapanku untuk bertemu denganku. Tapi lagi-lagi kutepis kemungkinan itu. Bagaimana mungkin Domitius akan datang di hadapanku ketika ada Cassian di sampingku? Dan lagi, apakah mungkin Davius Lesterius mengijinkan Domitius untuk pergi ke amphitheatre dan meninggalkan pekerjaannya di kebun anggur?

Aku tidak peduli bahwa Domitius adalah seorang budak, aku tetap ingin mengenal Domitius.

“Bagaimana aku bisa makan sambil melihat pembantaian seperti itu?” ucapku kesal.

“Itu bukan pembantaian, Tullia. Dewa-dewa suka jika keadilan ditegakkan!” sanggah Cassian yang masih mengunyah rotinya.

Di mana kamu, Domitius? Aku masih berharap hingga pertarungan gladiator kembali dimulai. Kulihat dua orang gladiator yang tengah bertarung di dalam arena. Keduanya sangat kuat saling mengayunkan pedang dan tamengnya. Ketika salah satu gladiator terjatuh dan tidak sanggup berdiri lagi, kontan lawan yang menjatuhkannya beserta seluruh pasang mata penonton di dalam amphitheatre tertuju pada Emperor Antoninus Pius yang berdiri di balkon kehormatan, didampingi istrinya, Annia Galeria. Mereka semua menanti keputusan dari Emperor. Terdengar teriakan-teriakan dari penonton yang menginginkan gladiator yang kalah untuk dibunuh atau dibiarkan hidup. Dan pada akhirnya Emperor membuka telapak tangannya, bukan mengepalkan tangannya. Sebagian besar penonton tampak kecewa. Hal itu membuatku heran, mengapa orang-orang lebih suka melihat orang lain dibunuh?

Emperor terlalu baik hari ini,” ucap Cassian. Tampaknya Cassian juga termasuk salah satu penonton yang kecewa.

“Bukankah itu bagus? Kenapa harus saling membunuh hanya untuk hiburan? Kejam sekali,” kataku menanggapi.

“Kamu kenapa mau ikut denganku kalau tidak suka melihat mereka saling bunuh?”

Aku hanya diam, malas mendebat Cassian. Setelah rangkaian pertunjukan selesai dan orang-orang berduyun-duyun keluar dari amphitheatre, aku mencoba memisahkan diri dari Cassian. Aku tidak peduli kalaupun Cassian kebingungan mencariku. Aku menghilang diantara orang-orang, memilih salah satu sudut di luar amphitheatre. Aku berharap bisa menemukan Domitius. Maka aku pun menunggu.

“Kamu datang juga,” suara seorang lelaki mengejutkanku, tak lama kemudian.

“Apakah kemunculanmu harus selalu mengejutkanku?” ucapku, menyembunyikan perasaan senangku telah bertemu lagi dengan laki-laki berambut coklat gelap dan bertubuh kekar itu.

“Jika memang itu lebih menyenangkanmu, aku akan terus mengejutkanmu,” Domitius tersenyum, membuatku merasa telah takluk pada pesonanya detik itu juga.

“Domitius, apakah kamu sudah lama mengenalku?” tanyaku.

“Aku baru mengenalmu saat di pasar kan?”

Aku merasa salah tingkah,”Maksudku… kamu pernah bilang… sudah menantikan saat dimana kamu pada akhirnya berbicara denganku. Jadi apa kamu sudah mengetahui banyak tentang diriku?”

“Umm… bisa dibilang begitu. Jadi, apa kamu mau pergi denganku sekarang?”

Aku memandangi Domitius. Lelaki itu tampak berpeluh dan terengah,”Memangnya kamu mau membawaku ke mana?”

“Jalan-jalan saja sebentar.”

“Tapi apakah Davius Lesterius tidak akan mencarimu? Dan… bagaimana kamu bisa kemari? Ini bahkan bukan hari festival Saturnalia.”

“Kenapa kamu harus menyebut Saturnalia? Apakah kamu tidak mau pergi denganku yang hanya budak ini?”

“Tidak, bukan begitu… aku tidak peduli meski kamu budak…” aku heran, kenapa aku selalu tidak mampu berkata-kata di hadapan Domitius.

“Kalau begitu mari kita pergi. Tidak perlu kaupertanyakan kenapa dan bagaimana. Ikutlah denganku, dan kita akan bersenang-senang. Setuju?” Domitius menatapku lekat, membuatku langsung mengangguk bagai terhipnotis.

“Tapi kamu terlihat kelelahan. Apa kamu yakin mau mengajakku berjalan-jalan?”

Domitius menggeleng-geleng,”Kamu tadi sudah setuju untuk tidak bertanya lagi bukan?”

Aku tersenyum dan langsung mengikuti Domitius, beranjak menjauhi amphitheatre.
*-*-*-*

“Ayolah! Cepat, cepat! Lebih cepat!” teriak Cassian menyemangati pengendara kereta kuda yang dia dukung di dalam arena hippodrome. Aku masih gelisah. Aku teringat dengan janji yang diucapkan Domitius. Domitius bilang akan menemuiku hari ini, entah kapan dan di mana. Ada yang berbeda dengan janji pertemuan yang diatur Domitius kali ini. Entah kenapa. Sementara aku bingung bagaimana cara Domitius akan menemuiku, mengingat seharian ini, aku harus menemani Cassian yang sedang berulang tahun ke-16.


“Domitius, boleh aku bertanya?” tanyaku di tengah salah satu pertemuan kami yang sering berlangsung sejak aku makin dekat dengan Domitius.

Kubenamkan diriku di dalam pelukan Domitius. Kami menghabiskan waktu di salah satu sudut kebun anggur milik Davius Lesterius. Di kebun anggur itulah, kami biasa bertemu. Saat itu Domitius tengah beristirahat dan aku mendatanginya, seperti yang sering kulakukan sebelumnya.

“Tentu saja. Apa?”

“Apa kamu tidak ingin bebas? Maksudku…”

“Tidak menjadi budak?” potong Domitius langsung. Aku mengangguk.

“Jangan katakan kamu akan membeliku, Tullia…” ucap Domitius kemudian, seakan membaca pikiranku.

“Kenapa? Aku ingin bersamamu.”

“Aku tidak mau kaubeli. Jangan pernah berpikiran seperti itu, karena aku akan sangat kecewa jika kamu melakukannya,” Domitius berkata tegas, membuatku menyesal karena sepertinya aku telah menyinggungnya.

“Domitius, maafkan aku. Bukan maksudku tidak menghargaimu dengan membelimu. Hanya saja, aku benar-benar ingin bersamamu. Kalau memang caranya hanya dengan.. maaf… membelimu dari Davius…”

“Hentikan, Tullia! Jangan pernah katakan hal itu lagi!” saat itulah pertama kali kulihat Domitius begitu marah hingga melepasku dari pelukannya, membuatku terdiam dan menunduk. Kami terdiam untuk beberapa saat.

“Maafkan aku, Tullia. Aku tidak bermaksud marah padamu. Hanya saja, kalaupun aku ingin bebas, aku ingin melakukannya sendiri atas kemampuanku,” Domitius kembali merengkuhku dalam pelukannya.

“Ada salah satu sisi dalam diriku, ingin membuktikan pada dunia, bahwa aku bisa bangkit, dan semua orang akan menghargaiku. Suatu saat kamu akan tahu kenapa aku begini, suatu saat kamu akan mengerti,” lanjut Domitius.

“Baiklah, maafkan aku, Domitius. Aku tidak akan berpikiran seperti itu lagi. Aku mencintaimu, Domitius. Venus telah memantraiku dengan cinta yang begitu besar untuk kurasakan kepadamu. Kamu… merasakannya juga bukan?”

Domitius mengangguk,”Tentu saja aku merasakannya.”

Kubiarkan diriku menikmati belaian lembut tangan Domitius di rambutku.

“Kamu tahu apa mimpiku, Domitius?” tanyaku.

“Apa?”

“Aku ingin menikah denganmu.”

Domitius terkejut, dia hanya terdiam mendengar ucapanku.

“Aku sendiri tidak tahu kenapa tiba-tiba aku berpikiran seperti itu, Domitius. Kenapa Cassian yang dijodohkan denganku sejak kecil, kenapa bukan kamu?” protesku.

Domitius terdiam sejenak sebelum menjawab,“Mungkin karena dia lebih baik dariku, Tullia,” lelaki tampan dengan rambut coklat gelap itu sekilas terlihat tidak percaya diri, berbeda dengan biasanya. Membuatku pesimis dengan impianku.

“Selamatkan aku, Domitius! Aku tidak ingin menikah dengan lelaki yang sangat tidak kusukai itu! Usia kami sudah menjelang 16 tahun, keluarga kami akan menikahkan kami mungkin setahun lagi. Kalau saja aku tidak terus minta untuk menunda, kami sudah menikah di usia 14 kemarin. Aku tidak mau itu terjadi, Domitius!”

“Tullia, kamu tenang saja. Aku akan memperjuangkanmu,”

“Memperjuangkanku? Bagaimana caranya?”

“Kamu tenang saja. Suatu saat kita pasti bisa bersama, Tullia,”


Lamunanku kembali buyar ketika Cassian berteriak,”Bagus! Habislah kau!”

Seorang penunggang kereta kuda tiba-tiba terjatuh dari keretanya, entah bagaimana. Aku tidak begitu memperhatikan pertandingan balap kereta kuda yang tampaknya sebentar lagi selesai itu.
*-*-*-*

Aku berjalan ke luar rumah Cassian saat Cassian tengah sibuk menyapa teman-temannya yang hadir di pesta ulang tahunnya. Sepanjang hari sejak pagi tadi di hippodrome, aku terus menanti kedatangan Domitius. Namun hingga malam menjelang, Domitius tak kunjung datang. Aku sudah terjebak dalam perjamuan makan malam ulang tahun Cassian. Mungkin Domitius tidak bisa menemukan kesempatan untuk bisa menemuiku.

“Tullia Augustina?” seorang lelaki menyapaku. Aku sama sekali tak mengenal lelaki itu dan tidak tahu dari mana datangnya lelaki itu hingga bisa menemukanku berdiri di depan rumah Cassian.

“Ya?”

“Namaku Aristolus Vatsonius, aku teman dari Domitius Flavianus.”

“Di mana dia? Kenapa dia tidak datang sendiri?”

Aristolus terdiam sejenak,”Dia meminta maaf tidak bisa menemuimu…”

“Di mana dia?” aku kembali bertanya.

“… dia ingin kamu tahu, kalau dia berhasil bangkit dan membuktikan pada dunia bahwa dia bisa dihargai…” Aristolus terus berbicara.

“Aku tanya di mana dia?!” aku makin bingung mendengar penjelasan Aristolus.

“Dia minta maaf tidak bisa memenuhi janjinya untuk menyelamatkanmu dari Cassian dan menikahimu.”

“Apa maksudnya? Aku mohon, jawab aku, di mana dia sekarang?”

“Dia tidak bisa menemuimu, Tullia. Dia ada di rumah.”

Perasaanku mulai tidak enak,“Kenapa dia tidak bisa menemuiku?”

“Aku tidak bisa bicara banyak lagi. Aku harus pergi,” Aristolus langsung berbalik dan berjalan cepat ke luar area rumah Cassian.

Ada apa sebenarnya? Arsitolus membiarkanku kebingungan tanpa penjelasan.

“Kamu pikir aku tidak tahu kalau budak itu berjanji padamu akan menemuimu hari ini? Kamu pikir kalian bisa menikmati waktu kalian seperti sebelumnya, yang sudah sering kalian lakukan?!” tiba-tiba terdengar suara Cassian di belakangku. Aku langsung membalikkan tubuhku, mendapati Cassian berdiri dengan ekspresi marah pada wajahnya.

“Aku tidak bodoh, Tullia… aku tahu kalian berhubungan di belakangku. Dan kamu tahu, Tullia? Itu membuatku sangat-sangat marah. Dan kamu tahu lagi? Itu membuatku terpaksa melenyapkannya.”

“Apa maksudmu?! Apa yang kaulakukan padanya, Cassian?!” aku sangat terkejut. Aku mulai mengkorelasikan ucapan Cassian dengan apa yang dibicarakan Aristolus tadi.

“Itu tidak penting! Kamu milikku, Tullia! Dan itu tidak akan pernah berubah!”

“Katakan padaku, apa yang kaulakukan padanya?!” kuguncang-guncang tubuh Cassian dengan tanganku. Terasa ada yang menghujam hatiku.

“Benar kamu ingin tahu? Baiklah, kukatakan padamu! Kamu tahu kereta kuda yang tadi terjatuh di hippodrome? Budak itu penunggangnya, aku meracuninya sebelum dia bertanding. Dan aku sangat puas, melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana dia terjatuh di arena!” ucap Cassian dingin.

Tubuhku langsung gemetar dan lemas, desakan air mata langsung mendorong ke luar dari pelupuk mataku,”Kamu… kejam…” aku merasa kacau. Tiba-tiba aku merasa tidak punya tenaga sama sekali. Aku berusaha kuat melawan gemetar di kakiku, mencoba menggerakkan kakiku untuk berlari menjauhi Cassian.

“Pergilah! Kamu tidak akan bisa lari kemanapun, Tullia! Aku akan bisa menemukan dimanapun dirimu dan kamu akan tetap menikah denganku!” teriak Cassian yang semakin terdengar kabur di telingaku. Aku terus berlari dan berlari, menuju ke perkebunan anggur milik Davius. Aku tak peduli betapapun jauhnya.
*-*-*-*

Aku terduduk lemas, di dalam sebuah pondok kecil yang terletak di dalam areal perkebunan anggur milik Davius Lesterius. Di hadapanku, di atas tempat tidur, terbaring lemah lelaki yang sangat kucintai. Air mata tak henti mengalir deras di wajahku. Ada sedikit rasa lega dalam diriku karena masih bisa melihat Domitius.

“Kupikir kamu sudah…” aku tak sanggup melanjutkan kalimatku. Aku hanya terus menangis.

“Kenapa kamu datang?” tanya Domitius dengan suara yang sangat pelan. Aku tak menjawab.

“Domitius berjuang habis-habisan untuk bisa mendapatkanmu, Tullia…” ucap Aristolus yang berdiri di samping tempat tidur Domitius.

“Aku sudah melarangmu datang…” Domitius bersuara, memotong kalimat Aristolus. Aku hanya menggeleng-geleng dan masih saja menangis.

“… dia menerima tawaran Davius Lesterius untuk menjadi seorang gladiator. Dia bertarung terus demi mendapatkan uang. Dia bahkan meminta pada Davius untuk menjadi seorang penunggang kereta kuda. Dia terus bertanding, untuk memperkaya Davius, dan juga untuk mengumpulkan uang demi kamu…” Aristolus meneruskan kalimatnya, membuatku merasa makin tersentuh.

“Kenapa, Domitius? Kenapa kamu harus berjuang sekeras itu?” tanyaku.

“Dia ingin membeli kebebasannya, agar bisa setara denganmu dan berencana untuk menikahimu,” Aristolus yang menjawab pertanyaan Tullia.

“Sudahlah, Aristolus… tolong tinggalkan kami berdua…” pinta Domitius.

“Baiklah, aku akan coba menerobos ke luar lagi. Aku akan terus mencarikanmu ramuan. Semoga Davius tidak memergokiku,” ucap Aristolus kemudian keluar dari pondok.

“Kenapa?... kenapaa??” aku kembali bertanya di antara isak tangisku. Domitius tersenyum, menyeka air mata di pipiku.

“Jangan menangis, Tullia… dengarkan aku… ada yang ingin kubicarakan.”

“Tega sekali Cassian! Aku akan segera melaporkan tindakannya pada prefecture!”

“Cassian?”

“Cassian yang melakukan ini padamu, Domitius. Dia memberitahuku tadi, dan aku… langsung ke sini…  tidak adakah ramuan yang bisa menyembuhkanmu dari racun itu?”

Domitius menggeleng-geleng,“Sudah kuduga… Cassian yang melakukannya. Percuma kamu melaporkannya. Kamu tahu sendiri bagaimana keluarga Cassian bisa melakukan apapun…”

Aku terhenyak,“Bagaimana kamu bisa menduganya?”

“Aku ingin minta maaf padamu, Tullia…”

“Minta maaf atas apa?”

“Banyak yang harus kumohonkan maaf darimu. Tullia, maafkan aku… karena meski aku tahu kamu sangat membenci pertarungan gladiator… dan pertandingan kereta kuda… aku malah melakukan itu semua. Bertarung dan bertanding. Aku minta maaf tidak jujur padamu… saat pertama kali aku memintamu menemuiku di depan amphitheatre. Sebenarnya saat itu… aku baru saja selesai bertarung... beruntung aku menang saat itu dan bisa menemuimu…” Domitius tampak menguatkan diri untuk berbicara padaku.

Aku diam mendengarkan dan terus memandangi wajah Domitius. Kuggenggam erat tangan kiri Domitius.

“Tullia… kalau… aku tidak sanggup menyelesaikan apa yang akan kubicarakan padamu…”

“Tidak! Kamu pasti akan menyelesaikannya! Masih banyak waktu untuk kita berbicara mengenai banyak hal! Kita… perlu membicarakan… mengenai pernikahan kita! Mengenai berapa anak yang akan kita miliki nanti… Domitius, pasti ada ramuan yang bisa menyembuhkanmu. Aristolus akan menemukannya.”

Domitius tersenyum. Bahkan dalam gurat lemah di wajahnya, aku merasa Domitius tidak sedikitpun kehilangan ketampanannya.

“Maafkan aku… tidak bisa memenuhi janjiku untuk bisa menikahimu. Aku sudah mengumpulkan banyak uang… seharusnya… jika aku menang hari ini… uangku sudah cukup… untuk membeli kebebasanku, Tullia. Maafkan aku.”

“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Domitius. Tidak ada,” ujarku tak sanggup menahan haru.

“Aku tidak bisa memenuhi janjiku… untuk menyelamatkanmu dari Cassian… aku tidak berhasil membeli kebebasanku… aku tidak berhasil… untuk kembali seperti dulu…” Domitius terus bicara terpatah-patah dengan suara yang lemas.

“Kembali seperti dulu?” tanyaku.

“Tullia, maafkan aku karena telah berbohong padamu mengenai hal ini… sebenarnya… dulu aku bukanlah budak…” Domitius berucap. Kembali aku terkejut mendengar apa yang dikatakan Domitius.

“A-apa?!”

“…aku lah yang dulu sebenarnya dijodohkan denganmu sejak kecil…”

Aku makin terkejut lagi,”Apa?! Jadi… bagaimana mungkin…”

Domitius membuka tangan kanannya yang tadi terkepal. Aku melihat ada sebuah cincin di telapak tangannya. Domitius memberikan cincin itu padaku.

“… aku berhasil… membelikanmu cincin ini…” Domitius meraih tangan kiriku. Dengan tangannya yang bergetar, dia memasangkan cincin itu di jari manis tangan kiriku.

“… kalau kita menikah… di jari inilah cincin ini seharusnya terlingkar…” Domitius mengusap jari manisku yang kini terhiasi sebuah cincin,”… kamu tahu kan kalau jari di mana cincin ini terlingkar… terdapat saraf… yang langsung menuju ke jantung?... aku harap di sanalah tempatku berada bersamamu…”

Air mataku makin deras berjatuhan,”Iya, Domitius… di jantungku lah, tempatmu selalu bersamaku…”

Tak lama kemudian, aku pun harus mencium bibirnya. Sebuah ciuman yang paling tidak kuinginkan dari semua ciumanku ketika bersama Domitius. Tapi aku harus menguatkan diriku untuk melakukannya. Aku tidak mau dia tidak dihargai sebagai orang Romawi sejati jika tidak ada yang melakukan ciuman itu. Aku menganggap diriku adalah istrinya, maka akulah yang harus menciumnya. Meski aku tak rela melakukannya.
*-*-*-*

“Dia menyiapkan semua ini sejak kemarin. Katanya dia berjanji untuk menemuimu hari ini dan dia berniat akan mengajakmu ke sini,” ucap Aristolus.

Aku benar-benar terpana dengan apa yang kulihat di hadapanku. Mataku langsung berkaca-kaca.

“Sudah bertahun-tahun dia terus mengumpulkan uang. Dia baru berani mendekatimu setelah dia merasa sebentar lagi dia bisa meraihmu kembali…” Aristolus menjelaskan.

Aku kini mengerti mengapa Domitius pernah berkata bahwa dia sudah lama menantikan saat di mana dia bisa berbicara denganku. Aku juga mengerti mengapa dia tahu banyak tentangku dan tidak menyukai gagasan aku membeli kebebasannya. Domitius ingin berjuang sendiri. Demi aku.

“… mahkota laurel itu didapat dari kemenangan-kemenangannya bertanding kereta kuda. Dia berhasil membuktikan, bahwa dia bisa dihargai, Tullia, meski dia seorang budak. Dia bisa bangkit lagi, dan hampir meraih kebebasannya. Keluarga Domitius dulu adalah keluarga terpandang. Kalian dijodohkan sejak Domitius berusia enam tahun. Dia bilang saat itu usiamu dua tahun. Perjodohannya denganmu langsung dibatalkan saat Domitius berusia dua belas tahun, karena keluarga Domitius jatuh miskin. Dia merahasiakan itu padamu karena dia ingin kamu bisa mencintainya seiring waktu, bukan karena tahu bahwa dulu dia adalah calon suamimu.”

“Aku tidak pernah tahu hal itu. Keluargaku hanya memberitahuku bahwa aku dijodohkan dengan Cassian, saat usiaku sepuluh tahun,” air mataku mulai menetes.

“Tentu saja. Keluarga Cassian tidak ingin kamu mengetahui tentang perjodohanmu dengan Domitius sebelumnya. Cassian sendiri sudah lama tahu tentang Domitius. Sepertinya sejak Cassian memergokimu mengenali Domitius pertama kali di kebun anggur, dia sudah khawatir Domitius akan merebutmu…”

Dadaku terasa sesak mendengar cerita Aristolus. Ada rasa benci yang begitu besar pada Cassian, ikut mendesak di antara segala perasaan sakit dan sedih yang tengah kurasakan saat ini.

“… orang tua Domitius keduanya dikurung karena tidak mampu membayar hutang-hutangnya, sementara Domitius dijual untuk menjadi budak. Dia tidak punya saudara. Aku mengenal Domitius di pasar budak, saat aku sama-sama dijual. Davius Lesterius membeli kami. Domitius sudah sangat menyayangimu sejak dia kecil meski kamu tidak tahu. Dan dia bersumpah bahwa suatu saat, dia bisa mendapatkanmu kembali.”

Aku memandang sebuah gaun putih yang disebut tunica recta, gaun yang dipakai untuk menikah, tergelar di atas rerumputan di antara pohon-pohon anggur. Tempat dimana aku biasa menghabiskan waktu bersama Domitius. Dimana aku biasa merebahkan tubuhku di samping tubuhnya, memandang dahan-dahan anggur. Dimana Domitius selalu memelukku dengan hangat. Di samping gaun itu terdapat sebuah tali sabuk dengan Knot of Hercules, ikatan simpul lambang dari Hercules, sang penjaga kehidupan pernikahan. Gaun itu dikelilingi beberapa mahkota dari daun laurel.

Aku akan mengenakan gaun itu, melingkarkan tali sabuk di pinggangku dan mengikat Knot Of Hercules-­nya. Hanya dia yang boleh melepas Knot Of Hercules ini. Selamanya, tidak akan ada yang bisa mengambil hatiku lagi. Kuusap lembut cincin di jari manis tangan kiriku. Bagiku, Domitius Flavianus sudah memenuhi janjinya.


You can’t tell me it’s not worth trying for
I can’t help it, there’s nothing I want more
I would fight for you, I’d lie for you, Walk the wire for you, Yeah I’d die for you…
You know it’s true, everything I do, I do it for you…
-(Everything I Do) I Do It For You; by Bryan Adams-

THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar