Friendship | Writing | Reading | Learning | Joking | Smiling | Laughing | Comfortable
Tentang Kami
Foto saya
Grup Cafe Rusuh merupakan suatu ruang lingkup tempat di mana para anggotanya bisa berbagi tentang segala hal. Kata "Rusuh" sendiri merupakan kependekan dari "Ruang suasana hati". Sebagai sebuah grup, Cafe Rusuh menjadi sebuah jembatan di mana persahabatan, kekeluargaan dan silaturahmi antara sesama anggotanya tetap terjaga. Selain itu, Cafe Rusuh juga memberikan kebebasan kepada para anggotanya untuk berbagi tentang segala hal seperti puisi, cerita, esai, tips-tips dan info-info yang bermanfaat bagi para anggotanya.

Rabu, 13 Juli 2011

ACR: Once Upon A Spring

by Cherry Zhang

Inggris, 1820

            Lady Sarah membuka pintu menuju balkon dan membiarkan angin dingin menusuk tubuhnya yang terbalut gaun musim dingin yang tebal.  Sarah bergerak maju sampai ia bisa mengedarkan pandangannya ke hamparan tanaman di bawahnya.  Tak ada warna-warni indah seperti di musim semi.  Tak ada keharuman manis yang terbawa hembusan angin hangat.  Sarah merindukan saat-saat di mana bunga-bunga bermekaran di bawahnya, sehingga ia bisa menatap keindahan itu setiap paginya.  Tak lama lagi, musim yang ditunggunya akan datang.  Mungkin dengan membawa harapan baru untuknya.

            Gerakan tidak biasa di samping taman bunga luas tersebut menarik perhatian Sarah.  Sesosok tubuh tegap berkulit gelap berdiri menatap ke arah yang sama dengannya.  Sarah mengalihkan perhatiannya, menggerakkan matanya untuk menikmati pemandangan maskulin di bawahnya.  Maskulin ya, batinnya pelan dalam hati.  Mungkin di seluruh Inggris, Jordan adalah tukang kebun paling besar dan paling maskulin yang pernah ditemui siapa pun.  Sekaligus juga pria yang paling mengesankan.  Tidak akan ada yang menyangka bahwa pria seperti itu akan memiliki kelembutan terhadap bunga-bunga yang cenderung rapuh.  Namun itulah Jordan, pria yang memperlakukan bunga selembut memperlakukan kekasihnya.

            Seolah-olah menyadari ada yang memperhatikannya, Jordan menoleh.  Darah dalam tubuh Sarah berdesir saat menangkap tatapan sekelam malam yang dilemparkan pria itu.  Jordan menatapnya lama dan dalam, sementara Sarah hanya bisa berdiri diam.  Seluruh tubuhnya melemas dan jantungnya memompa keras.  Sejak dulu... sejak ia masih berumur empat belas tahun, Sarah sadar bahwa hatinya sudah dimiliki oleh Jordan.  Tukang kebun yang sama sekali tidak pantas disandingkan dengan wanita terhormat seperti dirinya.  Lalu... pria itu melakukan sesuatu yang sangat dibencinya.  Jordan membungkuk hormat padanya dan berbalik pergi.  Meninggalkan Sarah dalam keputusasaan yang nyaris mencabik kewarasannya.  Seandainya... seandainya pria itu mau memberikan sedikit harapan padanya.  Sarah tidak akan lagi peduli pada segala kehormatan, pada gelar dan kemewahan menjemukan yang membuat hidupnya berlalu datar.

            Jordan...

            ”My lady,” suara pelayan pribadinya menyadarkan Sarah dari lamunannya.  Ia berbalik.  ”Lord Davon menunggu Anda di ruang sarapan.”

            Sarah mendesah di dalam hati.  Prospek untuk sarapan bersama ayahnya bukanlah sesuatu yang akan mencerahkan harinya.  Namun, ia tidak punya pilihan selain menuruti apa yang selalu dituntut darinya.

            Sarah memasuki ruang sarapan resmi estat Davon House yang luas dan mewah dengan langkah anggun yang tak bercela.  Setelah memberi hormat kepada ayahnya yang duduk di kepala meja, Sarah bergerak ke kursinya.

            ”Kau akan berumur sembilan belas tahun di awal musim semi ini.”

            Tentunya Lord Davon tidak perlu mengingatkan Sarah akan hal tersebut.  Mengenal ayahnya, ia tahu bahwa ucapan itu bukanlah pernyataan sederhana semata.  Sarah lalu mengangguk pelan.  ”Ya, Father.”

            ”Putriku akan menjadi wanita dewasa seutuhnya.  Wanita cantik.  Persis seperti ibumu.”  Tapi sayangnya, Sarah tidak bisa menemukan nada antusias dalam setiap ucapan ayahnya.

            ”Terima kasih, Father.”

            ”Mengenai debutmu...”

            Seumur hidupnya, Sarah tidak pernah sekali pun memotong ucapan ayahnya.  Tapi hari ini, ia melakukannya.  Kendali dirinya sedikit goyah setelah melihat Jordan.  Dan pembicaraan mengenai debutnya di London bukanlah topik yang bisa memperbaiki suasana hatinya yang kacau.  ”Aku ingin menundanya satu musim lagi, Father.”  Dan Sarah menunggu ayahnya menunjukkan kemurkaannya.

            Tapi hal itu tidak pernah terjadi.  Sebaliknya, Lord Davon menunjukkan sikap yang sama sekali tidak pernah dibayangkan oleh Sarah sebelumnya.  Pria itu menyetujui rencananya.  Sepertinya Lord Davon sendiri pun merasa heran bahwa Sarah bisa sepakat dengannya mengenai satu hal.  ”Aku tak pernah menyangka kita akan pernah sepakat mengenai hal apa pun.  Tentu saja, kau akan mendapatkan keinginanmu, putriku.  Kau tidak perlu ikut berlomba-lomba memburu suami seperti wanita-wanita muda lainnya.”

            Tapi kelegaannya tidak bertahan lama saat ayahnya kembali berbicara.  ”Wanita secantik dan seberbakat dirimu sama sekali tidak perlu melakukan perburuan suami.  Malah sebaliknya.”

            Ini tidak berjalan seperti yang direncanakannya.  Tubuh Sarah menegang pelan.

            ”Aku tidak begitu mengerti, Father.”

            Pria itu hanya tertawa pelan mendengar ucapan Sarah.  ”Oh, aku yakin kau akan segera mengerti, putriku.  Lord Landell sangat menghargai bakat-bakatmu, di samping kecantikanmu, tentu saja.  Dia berkata padaku bahwa dia akan merasa sangat terhormat bila kau ingin menjadi istrinya.  Singkat kata, dia melamarmu.”

            Kata-kata ayahnya berdengung di telinga Sarah tanpa ia benar-benar menangkap maksudnya.  Namun ucapan terakhir ayahnya tertangkap cukup jelas di indera pendengarannya.  Pelan-pelan, seolah menggerakkan tubuhnya memerlukan tenaga ekstra yang besar, Sarah menoleh untuk menatap wajah ayahnya yang kini terlihat berseri-seri bahagia.  Ia bahkan sudah tahu jawabannya sebelum melontarkan pertanyaan tersebut.  ”Dan apa yang Father katakan?”

            Lord Davon menatapnya seolah ia hilang akal.  ”Menerimanya, tentu saja.  Tak ada alasan untuk menolak pria terhormat seperti Lord Landell.  Kau seharusnya merasa beruntung.”

            ”Kau menyetujuinya tanpa bertanya padaku?” juga tak pernah sekali pun dalam hidupnya, Sarah menaikkan suaranya saat berbicara dengan ayahnya.  Wajah pria itu mengeras saat mendengar nada bicara Sarah.  Memicingkan matanya, pria itu kembali berujar tegas.

            ”Tidak perlu.  Kau tahu tanggungjawabmu sebagai seorang Davon.  Pernikahanmu sudah ditetapkan.  Kau akan bertunangan dengan Lord Landell musim semi ini.  Pernikahan kalian akan dilaksanakan setelahnya.”

            Sikap diam Sarah bukan karena ia memutuskan untuk menerima sikap semena-mena ayahnya.  Tapi lebih karena ia gemetar menahan amarah.  Kemarahan bergolak di dalam perutnya, menguar keluar dari setiap pori-pori tubuhnya.  Sarah merasa muak.  Ia sudah muak dengan kehidupan kaku seperti ini.  Ia ingin bebas.  Ia ingin memiliki kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.  Dan sekali lagi, Sarah melakukan hal yang tak pernah dilakukannya sebelum ini.  Ia meninggalkan meja di tengah-tengah sarapan tanpa mengucapkan apa-apa pada ayahnya.

            Persetan dengan semuanya.  Ia tidak hidup untuk menyenangkan orang lain.  Cukup sudah.

                                                                                           ♥ ♥ ♥

            Ia menemukan Jordan.  Seperti biasanya.  Di pondok kecilnya yang selalu hangat, di tepi sungai yang mengalir melewati tanah keluarga Davon selama beberapa generasi.  Tentu saja, di musim dingin seperti ini, tak terdengar aliran air karena sungai itu masih membeku.  Sarah merapatkan mantel tebalnya dan menarik kerudung mantel agar menutupi wajahnya, sementara ia berjalan dengan kepala merunduk, di tengah kegelapan yang menyembunyikan sosok langsingnya.  Syukurlah, masih ada sedikit cahaya rembulan yang jatuh samar-samar di atas jalan setapak kecil yang mengarah ke pondok tersebut.  Sarah pun bergegas.

            Saat berdiri di depan pintu pondok itu, jantung Sarah berdebar keras.  Apa yang akan dikatakan oleh Jordan bila dia melihat Sarah berdiri di depan pintu pondoknya?  Di tengah malam bercuaca dingin seperti ini?  Memikirkan reaksi Jordan nyaris membuat Sarah mengurungkan niatnya.  Tapi ia sudah membulatkan tekadnya.  Ia sudah menyusun rencana ini sambil mengesampingkan semua resikonya.  Dan memberanikan diri melaksanakan rencana gilanya.  Tak boleh berhenti sampai di sini.  Tidak ketika ia sudah berada begitu dekat dengan pria itu.  Ia mengangkat tangannya dan mulai mengetuk pelan.

            Hening sejenak, seolah Jordan menghentikan semua kegiatannya saat mendengar ketukan di pintunya.  Sarah menyembunyikan senyumnya.  Pastinya pria itu tidak pernah mendapatkan kunjungan di tengah malam.  ”Siapa?” akhirnya suara berat itu mengalir keluar.

            Sarah menimbang-nimbang sejenak.  Lalu menjawab jujur.  ”Aku... Sarah.”

            Keheningan kali ini bertambah semakin panjang.  Lalu terlihat gerakan cahaya dari celah-celah jendela pondok saat Jordan bergerak mendekat ke arah pintu.  Dia membukanya cepat, nyaris menyentakkan daun pintu tersebut.  Di bawah cahaya lilin yang dipegangnya, wajah pria itu terlihat keras dan menakutkan.  Sarah membuka mulut, mencoba mengatakan sesuatu namun ia tidak pernah diberi kesempatan.  Lengan yang kuat terulur ke arahnya, menyentaknya keras dan menariknya dengan kasar.  Detik berikutnya, pintu pondok terhempas menutup.

            Jordan berbalik dan menatapnya dengan tajam – nyaris kejam, sehingga Sarah kehilangan semua kata-katanya.  ”Kenapa kau ada di sini?” tuntutnya marah.  Hilang sudah sikap penuh hormat yang sempat ditunjukkannya tadi pagi.

            Sarah menyentak kerudungnya hingga terbuka dan memperlihatkan rambut pirangnya yang sengaja dibiarkan tergerai indah hingga ke balik mantel hitamnya.  ”Aku datang untuk bertemu denganmu.”

            ”Apa kau sudah gila?”

            ”Ya, ya, ya.  Aku memang sudah gila.”  Sarah bergerak maju, namun Jordan melangkah mundur.  Terpaku atas penolakan tersebut, Sarah berdiri bergeming di tengah ruangan sempit tersebut.  ”Kenapa?”

            ”Tidak pantas bagi seorang lady untuk berkeliaran malam-malam, apalagi mengunjungi pondok pelayannya.  Apa kau sudah memikirkan konsekuensinya?”

            Sarah menggeleng keras.  Dan sekali ini ia kembali bergerak ke arah Jordan, tak peduli bila pria itu menolaknya.  Tapi sekali ini Jordan diam tak bergerak.  Sarah merebahkan dirinya ke dada lebar Jordan sementara lengannya mengait erat di punggung pria itu.  Ia menghirup masuk aroma pria itu dan merasakan sensasi menyenangkan mulai menggelitik hidungnya.  Bagaimana mungkin ia bisa menikahi orang lain sementara pria itu yang memiliki hatinya?  Bagaimana mungkin Jordan sanggup menyerahkannya pada orang lain padahal pria itu hanya menginginkan Sarah untuk dirinya sendiri?  ”Tolong, jangan berpura-pura lagi.  Jangan bersikap dingin padaku.  Jangan lagi menghindariku.”

            Tangan-tangan pria itu mendorong bahunya menjauh.  Sarah menurut hanya karena ia ingin mendongak untuk menatap mata gelap tersebut.  Mata Jordan berkilat tajam namun ekspresinya tak terbaca oleh Sarah.  Ia tidak tahu apakah pria itu marah padanya, merasa senang, merasa bergairah atau mungkin campuran dari semuanya.  ”Jordan, apa yang kau pikirkan tentang aku?  Kenapa tidak kita buka saja kebenarannya?  Kau sudah tahu, sejak dari dulu, aku selalu mencintaimu.  Hanya kau, Jordan.  Bukan yang lainnya.  Dan aku tahu kau merasakan hal yang sama walaupun kau menggunakan seluruh usahamu untuk membuktikan yang sebaliknya padaku.”

            Jordan mendesah keras dan sekali ini mendorong tubuh Sarah semakin kuat.  Saat berhasil melepaskan dirinya dari pelukan wanita itu, dia bergerak mundur selangkah.  ”Tidak ada kebenaran apa pun yang kusembunyikan dari Anda, my lady.  Dulu, kita mungkin berteman baik.  Dan keabraban kita di masa lalu bisa jadi memberikan Anda persepsi yang salah tentang perasaanku.  Baik dulu maupun sekarang, saya tetap menganggap Anda sebagai majikan saya.  Dan tidak lebih.”

            ”Bohong!”

            ”My lady, kelakuan Anda tidak pantas.  Mari saya antarkan Anda kembali ke...”

            ”Persetan dengan kepantasan!”

            Mungkin karena kalimatnya barusan, Jordan sepertinya terhenyak.  Dia mengerjap sekali sebelum menghembuskan napas berat.  Disisirnya rambut tebal ikalnya dengan jari-jemarinya sementara ia pergi duduk di kursi di pojok ruangan pondoknya.  ”Apa yang kau inginkan, Sarah?!  Apa yang membuatmu berpikir bahwa aku menginginkan wanita bangsawan manja sepertimu?” akhirnya dia menurunkan tirai kesopanan dan berbicara dengan nada yang kasar, sambil menambahkan makian pelan.

            Sarah tahu kalau pria itu hanya berusaha menyakitinya, hanya berusaha menjauhkan Sarah dari dirinya.  ”Aku tahu kau menginginkanku.”

            ”Omong kosong macam apa itu?”

            ”Kau menciumku musim panas yang lalu.”

            ”Kekonyolan apa yang kau katakan?”

            Sarah menegakkan tubuhnya dan mengangkat tinggi kepalanya, berbicara dengan angkuh lebih karena ia benci pada sikap penuh pura-pura yang ditunjukkan Jordan.  Sialan pria itu!  Setelah semua yang dilaluinya demi Jordan, pria itu malah bersikap seperti pengecut.  ”Baik.  Aku akan menyegarkan ingatanmu kalau begitu.  Musim panas tahun lalu, saat aku terjatuh ke dalam sungai dan kau yang menyelamatkanku.  Kau pikir aku pingsan, padahal aku hanya berpura-pura.  Dan kau menciumku!  Oh... jangan beralasan bahwa kau sedang berusaha menolongku, pria mulia.  Aku bisa membedakannya!”

            Terdengar kesiap tajam Jordan.  Sarah berpikir bahwa ia salah lihat, namun wajah pria itu tampak memerah samar.  Lalu, pria itu bangkit kembali sambil menghela napas berat.  Dia berjalan ke arah Sarah namun buru-buru menghentikan langkahnya sebelum mencapai wanita itu.  ”Dengar, Sarah.  Lupakan saja.  Aku mungkin pernah mendambakanmu.  Siapa yang tidak?  Kau seorang wanita bangsawan yang cantik, aku yakin lebih dari setengah pelayan-pelayan ayahmu pernah merasakan hal yang sama denganku.”

            Sarah menelan ludahnya dengan susah payah dan mencoba menahan rasa nyeri di dadanya.  Ia berharap bahwa Jordan tidak serius.  Tapi kata-kata itu tetap menyakiti perasaannya.  ”Jadi begitu?” tanyanya pahit.

            Pria itu diam tak menjawab.

            ”Jadi, kau menyamakan dirimu dengan mereka.  Para pria yang hanya melihatku dengan nafsu semata?”

            ”My lady!”

            ”Oh, tidak,” potong Sarah panas.  ”Aku akan mengatakan apa pun yang kusuka.  Dasar kau bajingan pengecut.  Kau merendahkan perasaanmu sendiri hingga setara dengan orang-orang itu.  Sedangkan aku memujamu setengah mati.  Aku mencintaimu.  Tapi kau tidak peduli pada perasaanku.  Baik!  Jadi, kau tidak keberatan bila aku menjadi milik pria lain?  Kau tidak akan menjadi gila karena aku menikahi pria lain, bukan?  Kalau memang begitu, maka tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan.  Semoga setan membawa jiwamu pergi!”

            Setelah menumpahkan kemarahannya, Sarah berbalik kasar dan menghambur ke pintu keluar.  Air matanya sudah sampai di ujung kelopaknya dan nyaris jatuh.  Tapi, ia tidak sempat membuka pintu pondok.  Tubuhnya dibalikkan dengan kasar dan wajahnya didongakkan dengan keras.  Berikutnya, bibir Jordan yang keras sudah menjelajah bibirnya.  Sarah menarik napas tajam, matanya terbelalak untuk sedetik sebelum menyerah sepenuhnya.

            Sampai akhirnya pria itu mengangkat wajahnya, lutut Sarah sudah melemas.  Pria itu kemudian mendekapnya erat, menempelkan wajahnya di dadanya yang berdegup keras.  Napasnya berhembus di puncak kepala Sarah saat dia mengungkap perasaannya dengan napas yang berat.  ”Bagaimana mungkin kau berkata seperti itu, Sarah?  Saat hari-hariku hanya dipenuhi dengan dirimu.  Di mataku hanya ada kau.  Malam-malamku selalu dipenuhi dengan bayanganmu.  Aku nyaris gila karena mendambakanmu.  Tapi aku tidak mungkin bisa memilikimu.  Jadi, jangan siksa aku dengan kata-kata seperti itu lagi.  Kau membuatku nyaris mati karena cemburu.  Aku tidak ingin melihatmu menjadi milik siapa pun.”

            Jantung Sarah memukul cepat sementara rasa lega mengundang isakan yang sedari tadi ditahannya.  ”Kalau begitu jadikan aku milikmu.”

            ”Sarah...” erang pria itu.

            ”Bawa aku pergi, Jordan.  Jauh dari tempat ini.  Aku tak peduli ke mana kita akan pergi, asal bersamamu.  Jangan biarkan Father menikahkanku dengan Lord Landall.  Aku mohon.”

            ”Apa katamu?”

            Sarah menjauh dan menatap Jordan dengan mata berkaca-kaca.  Lalu dengan terbantah-bantah, ia menjelaskan semuanya.  ”Father sudah memutuskan pertunanganku dengan Lord Landall.  Musim semi ini.  Kita tidak punya waktu lagi.  Bawa aku kabur bersamamu, Jordan.”

            Jordan mematung mendengar kata-kata Sarah.  ”Jordan...?”

            ”Tidak bisa, Sarah.”

            ”Jordan!”

            ”Aku tidak mungkin membawamu bersamaku,” ucap pria itu lagi.

            Kegembiraan yang sejenak dirasakan Sarah menghilang pergi.  Wajahnya memucat saat mendengar jawaban pria
itu.  ”Kau bilang...”

            Namun Jordan memotong cepat.  ”Tidak ada gunanya, Sarah.  Tidak peduli seberapa besar rasa aku menginginkanmu, aku tidak akan pernah bisa memilikimu.  Kau tidak akan bahagia bersamaku.  Tempatmu bukanlah di sisiku.”

            ”Tapi sedetik yang lalu, kau tidak berkata seperti itu,” Sarah melanjutkan, menekankan sikap pria itu yang membingungkan.

            ”Kata-kata itu... hanyalah bentuk keegoisanku.  Apa pun itu, aku tidak bersedia membawamu pergi dari sini, Sarah.”

            ”Aku tidak akan...”

            ”Pulanglah, Sarah.  Dan jangan pernah datang lagi.”

            Sarah menggertakkan giginya dengan marah, kesal melihat kekeraskepalaan pria itu.  Tapi, ia akan membuat Jordan menyerah.  Sampai pria itu tidak bisa menolaknya lagi.  ”Aku akan datang lagi,” ancamnya halus sebelum berbalik pergi.  Tapi ia tidak berhasil menyingkirkan pria itu saat Jordan berkeras mengikutinya pulang.  Mereka berjalan dalam diam, sama-sama marah dengan kekeraskepalaan masing-masing.

                                                                                               ♥ ♥ ♥

            Apa pun yang dilakukan Sarah, pria itu tak juga luluh.  Pendiriannya yang kuat nyaris membuat Sarah mati dalam kekecewaan.  Wanita itu sudah mendesak, mengancam, merayu bahkan memaksa.  Dan puncaknya, ia nyaris mengakibatkan kepergian Jordan.

            ”Aku mencintaimu, Jordan.”

            ”Demi Tuhan, Sarah.  Jangan pernah mengatakannya lagi.”  Bentakan itu serta-merta membuat mata wanita itu berair.  Kenapa?  Kenapa Jordan memperlakukannya seperti ini?  Kenapa pria itu tidak juga mengerti bahwa hidupnya tak berarti tanpa pria itu.  Tak ada apa pun di dunia ini yang bisa menggantikan Jordan.

            ”Jordan... aku tidak bisa.  Aku tidak bisa menghentikan perasaanku.  Tolong, bawalah aku pergi.”  Sarah mendekat, tatapannya memohon, nada suaranya pilu membujuk.  ”Bawalah aku sejauh mungkin, ke tempat di mana tak ada seorang pun yang akan mengenali kita.”

            ”Sarah!  Apa kau tahu kegilaan seperti apa yang kau katakan?  Aku tidak mungkin melakukannya!” jelas Jordan, jelas terdengar seputus asa Sarah – walau untuk alasan yang berbeda.

            ”Tapi, kenapa?!  Kupikir kau mencintaiku!”

            Sejenak, Jordan kehilangan kata-katanya.  Pria itu menggosok wajahnya dengan kasar sebelum menjambak keras rambutnya.  ”Tolong, lupakan saja semua perkataanku, Sarah.  Kita tidak mungkin bersama.  Aku bukan orang yang tepat untukmu.  Bersamaku, kau hanya akan menghancurkan hidupmu sendiri.”

            ”Biarkan aku yang memutuskannya.”

            ”Tidak, aku tidak akan melakukan itu padamu,” tegas Jordan lagi.  ”Jangan pernah memintanya lagi, Sarah.  Atau aku akan pergi dari sini.”

            Penegasan atas kata-kata itu menampar Sarah sehingga ia terdiam.  Matanya melebar dalam rasa ngeri yang tidak ditahan-tahan.  ”Tidak...” bisiknya dengan bibir gemetar.  Ia menutupi wajahnya untuk menyembunyikan air mata putus asanya.  ”Tidak... aku mohon jangan pergi.  Aku... aku akan pergi sekarang.”

            Masih setengah menutupi wajahnya, Sarah berbalik.  Setelah memunggungi pria itu, barulah ia berani menurunkan tangannya.  Pria itu terlalu kejam.  Tak mampu melakukan apa pun, Sarah mulai berjalan menjauh.

            ”Sarah...”

            Langkahnya terhenti.  Harapan membumbung tinggi dalam diri Sarah.  Ia menunggu dalam ketegangan saat pria itu berjalan mendekat sebelum berhenti di belakangnya.  ”Maafkan aku, Sarah.”

            Dan harapan itu pun mati.

            Tak mampu menahan dirinya lagi, Sarah berbalik dan melempar dirinya ke dalam pelukan kuat Jordan.  ”Aku tidak bisa...”

            ”Kau bisa.”

            ”Tidak...”

            ”Ketahuilah, Sarah.  Aku menginginkan yang terbaik untukmu.  Suatu saat, kau akan menyadari bahwa aku benar.”

            Sarah menjauh dan menatap Jordan dengan tatapan marah.  Namun, suaranya tercekat saat ia menatap ke dalam mata pria itu dan menyadari bahwa pria itu sama menderitanya seperti dirinya.  Ada banyak tidak bisa disampaikan pria itu lewat kata-kata.  Dan Sarah tahu ia telah kalah.

                                                                                           ♥ ♥ ♥


            Musim semi datang terlalu cepat bagi Sarah. Tirai masa depannya sudah mulai terangkat.  Pertunangannya dengan Lord Landell akan diumumkan sore ini.  Dengan begitu, menyegel takdirnya pada pria pilihan ayahnya.  Bangsawan terhormat yang kaya-raya.  Yah, Sarah bisa melihatnya - nasib pernikahannya sudah terlihat di depan mata.  Memiliki suami aristokrat yang akan menuntutnya untuk melahirkan pewaris baginya.  Bergelut dalam kehidupan mewah yang akan membuat iri orang-orang kebanyakan.  Musim semi di London, musim panas di estate pedesaan, belum lagi menemani suaminya selama musim berburu.  Hidup yang didambakan banyak wanita – tapi Sarah dengan senang hati membuang semuanya.  Semuanya!  Seandainya, ia memiliki pilihan.

            Sarah kembali berjalan ke arah balkon dan membuka pintu penghubung itu tanpa semangat.  Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia menjejakkan kakinya di tempat ini.  Karena, Sarah tak mampu memandang Jordan tanpa merasakan sakit tak terperi di ulu hatinya.  Tapi hari ini...  Desakan untuk melihat pria itu tak lagi tertahankan.

            Seperti di musim-musim semi yang pernah dilaluinya, keharuman manis yang dihembuskan angin hangat memenuhi hidungnya.  Sarah menarik napas dalam dan bergerak ke pembatas balkon.  Matanya melebar dalam keterkejutan saat menatap hamparan bunga yang bermekaran di depannya.  Taman itu dipenuhi bunga-bunga berwarna merah gelap, beratus-ratus tangkai bunga anyelir merah menutupi tempat tersebut.  Sarah menangkupkan tangan ke mulutnya saat air matanya menetes jatuh.

            Akhirnya tersampaikan, apa yang tidak bisa disampaikan Jordan lewat kata-katanya.  Pria itu mencintainya.  Dan taman bunga itu adalah bukti nyata yang tak bisa dibantah.

            Sarah tak lagi berpikir.  Ia tidak ingin berpikir.  Mengangkat tepian gaunnya, wanita itu berlari keluar dari ruang tidurnya, menyusuri lorong-lorong panjang dan berliku sebelum menghambur ke arah taman.  Sarah tak berhenti sampai ia menemukan Jordan.

            Dengan napas terengah-engah, Sarah berhenti.  Dan seakan menyadari kehadirannya, Jordan berbalik pelan.  Raut wajahnya tak berubah saat dia mendapati Sarah berdiri di depannya.  Wanita itu menelan ludah untuk menurunkan gumpalan di tenggorokannya tatkala Jordan membungkuk hormat.

            ”Selamat pagi, my lady.  Ada yang bisa saya lakukan untuk Anda?”

            Sarah mengangkat dagunya dan menjawab lancar.  ”Bunga-bunga itu mekar dengan indah, Jordan.  Aku... aku sangat menyukainya.”

            Apa yang dikatakannya, pikir Sarah sesaat.

            ”Terima kasih atas pujiannya, my lady.  Tapi, itu memang sudah menjadi tugas saya.”

            ”Kenapa?  Apakah itu tidak berarti sesuatu?  Karena bagiku...”

            ”My lady,” Jordan segera memotong cepat, jelas tidak ingin mendengar kelanjutan kata-kata Sarah.  ”Saya hanyalah seorang tukang kebun.  Tugas saya adalah merawat dan menjaga tanaman-tanaman itu dengan sepenuh hati.  Sampai dia mekar dan mengundang decak kagum pemujanya.”

            ”Tapi bunga-bunga itu milikmu.  Keindahannya adalah milikmu.  Mereka mekar untukmu,” Sarah kembali berkeras.

            Tapi Jordan hanya tersenyum lalu menggeleng pelan.  ”Saya tidak bisa bersikap seegois itu.  Saya harus merelakan bunga-bunga itu dipetik untuk dipajang di tempat yang paling baik.  Di mana semua orang bisa terus mengagumi keindahannya.  Bukankah seperti itu, my lady?”

            ”Dipajang...  Hiasan belaka.”

            ”My lady, suatu saat Anda akan mengerti ucapan saya hari ini.  Sekarang, biarkan saya mengucapkan selamat atas pertunangan Anda dengan Lord Landell.”

            Jordan kembali membungkuk dan meraih tangan kanan Sarah yang terbalut sarung tangan sutra.  Dia menggesekkan bibirnya pelan di atas punggung tangannya lalu melepaskannya dengan cepat seolah-olah dia tidak tahan berlama-lama menyentuhnya.

            ”Berbahagialah, my lady.”

            Tenggorokan Sarah tercekat saat ia menatap Jordan dalam gelombang keputusasaan.  ”Jordan, please... kau, bagiku kau adalah...”

            ”Saya hanyalah tukang kebun biasa, my lady.  Di sinilah tempat saya.  Kelak, biarkan saya menikmati keindahan Anda dari jauh.  Begitu saja, saya sudah cukup puas.  Dan... Anda tidak akan menjadi hiasan, my lady.  Saya percaya Anda akan menemukan tempat Anda di sana.  Bersama Lord Landell.”

            ”Kau tidak tahu itu.”

            ”Saya tahu.  Karena Anda istimewa.  Anda tidak hanya terlahir sebagai bangsawan.  Anda memang bangsawan sejati.  Dan wanita yang istimewa.  Jangan biarkan hal itu terbuang sia-sia.”

            Lalu, tersenyum untuk terakhir kalinya, Jordan berbalik pergi.  Dan Sarah harus mengeluarkan usaha yang keras agar ia tidak jatuh limbung ke tanah di bawahnya.  Ia bergerak menjauh dengan langkah yang tersandung-sandung.  Tak peduli apa pun yang dikatakan Jordan, tak peduli seberapa jauh jalan hidup memisahkan mereka.  Tak peduli seberapa keras Jordan mencoba menolaknya, Sarah sudah merelakan hatinya untuk dibawa pergi oleh pria itu.

            Dan ia tahu, walau tanpa kata-kata, pria itu juga membiarkannya membawa separuh dari dirinya bersama Sarah.  Hanya dengan pemikiran itu, ia bisa memaksa dirinya menjalani peran yang harus dibawakannya.  Lalu... lalu... mungkin suatu hari... takdir bisa berbalik memihaknya.



                                                                                   ~Fin~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar