Friendship | Writing | Reading | Learning | Joking | Smiling | Laughing | Comfortable
Tentang Kami
Foto saya
Grup Cafe Rusuh merupakan suatu ruang lingkup tempat di mana para anggotanya bisa berbagi tentang segala hal. Kata "Rusuh" sendiri merupakan kependekan dari "Ruang suasana hati". Sebagai sebuah grup, Cafe Rusuh menjadi sebuah jembatan di mana persahabatan, kekeluargaan dan silaturahmi antara sesama anggotanya tetap terjaga. Selain itu, Cafe Rusuh juga memberikan kebebasan kepada para anggotanya untuk berbagi tentang segala hal seperti puisi, cerita, esai, tips-tips dan info-info yang bermanfaat bagi para anggotanya.

Rabu, 13 Juli 2011

ACR: Kenang-Kenangan Musim Panas



by Feby Anggra
Hikari menghirup sebanyak mungkin udara dalam sekali tarikan nafas. Matanya memejam, kedua tangannya direntangkan. Angannya berkelana liar, terbang melintasi waktu menuju kenangan masa lalu yang mulai samar.

Sayup-sayup alunan nada deburan ombak di hadapannya menjadi simfoni kerinduan. Sapuan lembut gelombang kecil pada kakinya yang telanjang mendekapnya erat dalam kehangatan masa silam.

Satoshi...

Satu nama dengan ribuan kisah. Ditambah dengan segala suasana membuatnya merasa seakan-akan pemuda itu akan ada di belakangnya. Merentangkan tangan seperti dirinya, sambil mengulum senyuman manis yang penuh pesona.

Tetapi tidak.

Hikari membuka matanya. Sudut kenyataan dalam kepalanya mengembalikan kesadarannya. Lantas kedua tangannya diturunkan, seiring dengan kekosongan yang langsung menerpa jiwanya. Hal yang akan selalu terjadi bila ia membiarkan dirinya terbang terlalu tinggi dalam angan kenangan.

“Hikari-chan!”

Seruan itu menyelamatkannya dari pikiran-pikiran yang menyakitkan. Gadis itu berbalik menyambut seorang perempuan berbalut kimono sederhana dengan sanggul yang sudah acak-acakan, sedang berlari ke arahnya.

“Misa-neesan.”

Perempuan itu, Misa, membungkukkan badannya, terengah-engah begitu sampai di depan Hikari. Mencoba mengambil nafas yang hilang akibat berlari.

“Ternyata kamu di sini. Aku mencarimu ke mana-mana.”

Hikari menatapnya bingung. “Apa ada sesuatu yang terjadi, Oneesan?”

Misa menggeleng. “Bukan. Bukan. Kami sedang memotong semangka yang baru dipanen. Ayo kau pulang dulu. Kalau nanti-nanti, semangkanya keburu habis dimakan Ryota.”

Hikari tersenyum. “Ryota kan masih kecil. Apa bisa makan sebanyak itu?”

“Kau belum tahu saja.” Misa kedengaran serius, tetapi juga geli. “Dia sama saja dengan ayahnya. Tukang makan!”

Hikari tersenyum lagi. Sangat menikmati cara Misa membicarakan suami dan anaknya. Ia menggerutu, tetapi kedua bola matanya memancarkan kasih sayang mendalam.

Mendadak sepotong wajah penuh senyuman terbersit di kepalanya. Menyesakkan. Menimbulkan satu pertanyaan untuk hatinya tanpa bisa dicegah otak sadarnya.

Bila aku bersamanya, apa kelak aku akan seperti Misa-oneesan bila membicarakan dia?

Rasa bersalah menyergapnya lagi seperti kutukan yang tak ada obatnya. Bagaimana bisa ia memikirkan orang lain, sementara sekarang ia sedang dalam perjalanan mengenang Satoshi!

"Hikari-chan? Apa kau baik-baik saja?"

Ah, rupanya ia menggeleng-gelengkan kepalanya tanpa sadar. "Y...ya, Oneesan. Aku cuma kepanasan. Sepertinya butuh dua atau tiga potong semangga untuk mendinginkan tubuhku."

Misa tersenyum melihat tingkah gadis itu. Kata-katanya selanjutnya membuat kedua pipi Hikari bersemu merah. "Kamu memang gadis lucu, Hikari-chan. Pantas saja dulu Satoshi tergila-gila padamu."
***

Hikari berkumpul bersama keluarga Satoshi di teras belakang rumah keluarga Yamada, menikmati semangka yang dibelah Ichirou, kakak ipar Satoshi. Tidak pernah ada kecanggungan di antara dirinya dan anggota keluarga itu. Karena dulu ketika Hikari dan Satoshi masih menjalin hubungan, hampir setiap musim panas mereka datang mengunjungi rumah ini. Kebiasaan itu terhenti setelah kecelakaan pesawat terbang yang dialami Satoshi dua tahun silam.

“Tambah lagi, Hikari-chan?” tanya seorang perempuan setengah baya berperawakan mungil yang adalah ibu Satoshi, Akane.

“Tak usah, Obasan. Terima kasih.” Hikari memang sudah kenyang. Apalagi ia sempat memergoki Ryota berkali-kali melirik penuh minat dua potong semangka yang tersisa, walaupun sebelumnya bocah sepuluh tahun itu sudah melahap tiga potongan besar.

"Sering-seringlah datang kemari," ujar suara berat milik ayah Satoshi, Goro, sambil menghisap pipa rokoknya. "Rasanya seperti Satoshi datang mengunjungi kami."

“Jangan bicara begitu, Goro-san,” tegur Akane. "Jangan mengingatkan Hikari-chan pada hal yang sedih-sedih.”

“Tidak apa-apa, Obasan,” sahut Hikari cepat-cepat. “Justru saya datang kemari untuk mengenang Satoshi."

“Memangnya kau belum punya pacar lagi, Hikari-chan?” Ichirou ikut nimbrung. "Kau gadis yang cantik. Apa laki-laki di Tokyo itu buta semua?"

Hanya pertanyaan sederhana dan biasa saja. Seharusnya pun wajar bila ditanyakan pada gadis lajang seperti dirinya. Tetapi entah mengapa terasa menusuk sanubarinya.

Nampaknya Misa dan Akane menyadari apa yang dirasakannya. Dalam hati, ia mengutuk dirinya sendiri yang tak pandai menyembunyikan perasaannya, sehingga membuat suasana berubah kurang enak. Sementara Akane langsung menawarinya teh hijau, Misa memarahi suaminya. "Mau tahu saja urusan orang! Urus saja perut gendutmu itu!"

Tetapi pertanyaan itu masih terngiang di telinga Hikari hingga hari-hari selanjutnya. Disusul dengan berbagai macam pertanyaan baru dalam benaknya. Tak wajarkah dirinya masih terus mencintai almahrum tunangannya? Dan bagaimana dengan mencintai orang lain selagi masih memikirkan orang yang telah tiada? Bolehkah?

Dilema. Dadanya terasa begitu penuh dan hampir meledak.

Di depan altar kuil kecil, ia menjatuhkan lututnya ke tanah. Serbuan kenangan membanjiri ingatannya. Sebab ini adalah tempat di mana Satoshi melamarnya.

Satoshi, mengapa kamu tinggalkan aku?!

Ia terisak dalam diam. Air mata kesedihan dan kemarahan mengalir deras dari kedua matanya. Ia marah. Marah pada takdir. Marah pada dirinya sendiri. Ini adalah perjalanan untuk mengenang Satoshi, tetapi bagaimana mungkin ketika bibirnya menyebut nama Satoshi, tetapi wajah yang muncul di kepalanya adalah wajah...

Tiba-tiba saja suasana di antara mereka menjadi aneh. Mereka berteman. Dulu selalu bertiga dengan Satoshi, sekarang hanya ada mereka berdua. Namun selama dua tahun ini tak pernah ada yang berubah.

Tak pernah ada yang berubah?

Benarkah?

Hikari tak yakin dengan perasaannya sendiri.

Ia menahan nafas. Pemuda itu mendekatkan wajahnya perlahan pada wajah Hikari. Begitu dekat, hingga Hikari dapat merasakan hembusan nafasnya. Suara debaran liar jantungnya memekakkan telinganya. Dunia seakan berhenti berputar. Ia membeku. Terpaku. Tak mampu melepaskan diri dari jeratan mata hitam jernih yang menatapnya begitu serius, begitu penuh....

“Maukah kau menikah denganku, Hikari?”

Entah berapa lama Hikari hanya duduk dan terdiam di tempat penuh kenangan dengan Satoshi itu. Merenung. Membereskan semua keraguan. Hal yang seharusnya dilakukannya sejak awal. Ya, untuk itulah ia datang ke tempat ini. Dan ketika sore menjelang malam, ia menarik nafas panjang dan memejamkan matanya sebentar.

Ia sudah mengambil keputusan.

Besok ia akan kembali ke Tokyo dan –diabaikan hatinya yang tiba-tiba nyeri- menolak lamaran itu. Tak mungkin ia menikahi orang lain selagi masih mengingat Satoshi seperti ini. Ia pun bangkit berdiri. Ada kelegaan setelah berhasil mengambil sebuah keputusan. Tak peduli seberapa menyakitkannya keputusan itu.

Sambil melewati jalanan berbatu, bunyi jangkrik yang mengiringi langkahnya terdengar bersukacita di telinganya karena akhirnya ia telah memantapkan hati bimbangnya. Langkahnya ringan. Namun semakin lama ia melangkah, semakin dirasakannya ada kecemasan melanda. Dapat dirasakannya, ada seseorang yang sedang mengikutinya. Langkahnya pun dipercepat, sambil mengutuki diri sendiri karena tak sadar hari sudah terlalu sore ketika memutuskan untuk pulang.

Jarak dari kuil itu hingga rumah keluarga Satoshi memang tak terlalu jauh, bahkan sudah dapat terlihat samar-samar kebun bunga matahari milik ayah Satoshi dari kejauhan. Tetapi  saat ini rasanya lebih jauh dari biasanya. Juga, berbeda dengan di Tokyo, tak banyak penerangan di desa ini. Ditambah lagi sore kian cepat terhapus oleh kegelapan malam.

Orang itu semakin mendekat. Membuat semburan adrenalin mempengaruhi jantungnya berdetak lebih cepat. Akhirnya ia berlari. Dan orang itu pun mengejar sambil meneriakkan sesuatu, tetapi ia sama sekali tak dapat mendengarnya.

Di satu belokan akhirnya orang itu berhasil mencengkeram lengannya. Hikari panik bukan kepalang. Ia menjerit sekencang-kencangnya. Namun segera tangan besar dan kuat langsung membekap mulutnya.

"Oi, Hikari! Ini aku!"

Matanya membelalak lebar. Suara itu tak asing. Lantas ia menoleh untuk memastikan dirinya tak salah mengenali orang. Cahaya samar dari sisa matahari sore membuktikan dirinya tak salah. Bekapan orang itu pun mengendur, menyadari gadis itu mengenalinya.

“Natsu?”

Rasanya tak percaya pemuda itu bisa ada di sini. Jantungnya berdebar cepat lagi. Kali ini akibat kehadiran pemuda itu yang tak disangka-sangkanya. Wangi khas maskulin dari tubuh pemuda itu membuatnya mabuk. Mata hitam jernihnya menatapnya begitu dalam.

“Ke...kenapa kau ada di sini?”

Jiwanya serasa meninggalkan tubuhnya saat jemari pemuda itu menyentuh sebelah pipinya. Lembut.

“Tentu saja untuk menemukanmu, gadis bodoh. Kau menghilang sejak...” Natsu terdiam sejenak. “Sejak malam itu.”

Wajahnya memanas. Yang dimaksud Natsu adalah malam itu. Malam di mana Natsu melamarnya. Malam di mana keesokan harinya ia meninggalkan apartemennya tanpa sepatah kata apapun untuk Natsu dan mengunjungi kampung halaman Satoshi.

“A...aku hanya teringat pada cutiku yang masih bersisa.” Hikari tak mampu menatap kedua bola mata jernih itu. Tak ingin tertawan pesona yang dipancarkan pemuda itu dan menggagalkan dustanya. “Dan... sudah lama aku tidak mengunjungi keluarga Satoshi. Aku hanya sedikit teringat padanya.”

Kedua alis Natsu naik. “Sedikit? Kau selalu mengingat Satoshi.” Ada nada gusar, tetapi tak ada nada cemburu dalam suaranya. “Tapi setidaknya kau bisa memberitahuku kan? Apa kau tidak tahu aku hampir mengelilingi seluruh Tokyo seperti orang bodoh mencarimu? Hingga kemudian aku sadar, kau mungkin memikirkan Satoshi setelah.... malam itu.” Dua kata terakhir diucapkannya dengan volume suara lebih kecil.

Kata-kata itu membuat Hikari tersentuh. Rasa nyeri di dadanya bertambah. Mati-matian ditahan tangannya supaya tidak diulurnya untuk menyentuh wajah berekspresi keras itu. Walaupun perasaan Natsu mengenai Satoshi tak tertebak, tetapi pemuda itu jelas menyayanginya. Bagaimana pun juga, ia tak boleh menyakiti Natsu dengan menunda-nunda memberitahunya keputusan yang menyakitkan.

“Maafkan aku, Natsu,” ucapnya akhirnya sambil berjuang tidak mengeluarkan suara bergetar. “Aku tak bermaksud membuatmu khawatir, tapi...” Hikari mengangkat kepalanya dan matanya menemukan mata jernih Natsu. Lantas mata itu menawannya. Dan ia kehilangan kata-kata.

“Tetapi apa, Hikari?”

Hikari menggelengkan kepalanya keras. “Kau benar, Natsu,” katanya cepat-cepat. Ia harus segera mengatakan semuanya sebelum pesona pemuda ini mencegahnya lagi. “Aku memang selalu mengingat Satoshi dan bila kau memintaku untuk melupakannya, aku tak mungkin bisa. Jadi aku...”

“Kapan aku memintamu melupakan Satoshi?”

Hikari terdiam. Benar. Tak sekalipun Natsu pernah memintanya melupakan Satoshi. Bahkan tidak saat lamaran itu.
Kemudian Hikari dapat merasakan tatapan Natsu terpaku padanya. Seperti malam itu, tercipta keheningan yang memabukkan. Bagaikan magnet, tatapan itu menarik tatapannya juga. Sekali lagi dunia berhenti berputar. Kegelapan malam seakan mendekatkan mereka.

"Hikari-chan! Natsuki-kun!"

Suara Misa membuat Hikari spontan mendorong Natsu menjauh.

"O..oneesan. Oniisan." ucapnya salah tingkah. Kakak perempuan Satoshi dan suaminya mendekati mereka.

"Aduh, kau kemana saja sih? Kami sampai khawatir. Untung Natsuki-kun berhasil menemukanmu."

"Tadi aku sempat ketiduran di kuil. Maafkan aku."

Hikari gelisah. Selain karena merasa bersalah sudah membuat mereka khawatir, ia pun masih kesulitan mengendalikan salah tingkahnya. Ia tidak ingin mereka tahu apa yang sedang dirasakannya.

Entah karena tak peka atau berpura-pura bodoh, Misa tidak menunjukkan reaksi apa-apa kecuali menghela nafas lega. "Ya sudah. Yang penting kau tidak apa-apa, Hikari-chan. Ayo kita pulang. Ryota sudah tidak sabar ingin main kembang api."
***

“Ini untuk Hikari-obachan,” ujar Ryota menyerahkan sebatang kembang api yang belum dinyalakan, lalu berlari ke arah kakeknya yang sedag mencari-cari korek api di sakunya.

Hikari tersenyum melihat suasana keakraban yang terasa di halaman belakang rumah ini. Semuanya mengingatkannya pada masa lalu. Pada Satoshi. Di satu sudut, Ichirou sedang memasang obat nyamuk bakar di sekeliling kebun. Sementara Misa dibantu oleh -Hikari menahan nafasnya- Natsu, sedang mempersiapkan kue-kue manju dan teh hijau sebagai hidangan malam. Seperti dirinya, Natsu bukanlah orang asing bagi keluarga ini. Dulu, terkadang ia ikut dengannya dan Satoshi bertandang kemari.

Tiba-tiba pandangan mereka bertemu, dan dirasakannya wajahnya memanas. Ia melengos, tak sanggup menahan rasa itu lebih lama lagi. Ia tahu, perasaan seperti inilah yang tak ingin dirasakannya. Entah sejak kapan, Satoshi selalu terlupakan bila ada Natsu di dekatnya. Dosanya yang terbesar.

Aku harus mengatakan keputusanku itu kepadanya.

"Hikari-chan." Didapatinya ibu Satoshi berdiri di sebelahnya.

"Obasan."

Perempuan setengah baya itu tersenyum dan menepuk lembut tangannya. "Natsuki-kun itu pria yang baik."

Hikari tergagap mendadak. Panik. "O... Obasan, a... aku..."

Akane mengangkat sebelah tangannya mengisyaratkan supaya gadis itu diam. "Aku senang mengetahui bahwa kau begitu mencintai putraku dan aku pun telah menganggapmu sebagai anakku sendiri." Ditepuknya tangan gadis itu sekali lagi. "Hikari-chan, aku menyayangimu dan menginginkan kebahagiaanmu."

Hikari merasa ada titik air mata haru pada sudut matanya. “Saya tahu, Obasan. Saya yang sudah yatim piatu ini pun telah menganggap Obasan dan Ojisan sebagai orangtua saya sendiri.”

Akane mengangguk, kemudian menghela nafas panjang. “Hikari-chan, jangan sampai kau merasa bersalah bila kau mencintai orang lain selain Satoshi.”

Kali ini Hikari benar-benar terkejut. Kalimat itu benar-benar menembus tepat pada titik lemah dalam hatinya. “O... Obasan, anda salah paham. S...Saya tidak...”

“Nak, semuanya tampak jelas di mata tuaku ini,” potong perempuan setengah baya itu dengan senyum keibuan. “Aku pun yakin, Satoshi menginginkan kebahagiaanmu.” Kemudian perempuan setengah baya itu menepuk sekali lagi tangan Hikari sebelum beranjak meninggalkannya. “Kalian butuh bicara.”

Hikari mendongak dan melihat alasan kepergian Akane. Natsu berdiri tepat di hadapannya. Sebelah tangannya memegang sebatang kembang api yang menyala. Sementara di belakangnya, keluarga Yamada sudah asyik menikmati nyalanya kembang api. Ryota nampak berseru kesenangan melihat ayahnya memegang tiga kembang api sekaligus.

“Mau kunyalakan?”

Hikari menyodorkan batangan kembang apinya.

“Apa kau tahu mengapa Satoshi selalu mengajak kita kemari setiap musim panas?” tanya Natsu lagi, sambil menyalakan batangan kembang api itu.

Hikari diam sejenak memikirkan maksudnya, tetapi tak ada satu pun jawaban yang terpikir. Ia pun menggeleng. “Tidak.”

Natsu mendengus tawa geli. “Karena menurutnya kita adalah musim panasnya.”

Jawaban itu malah membuat Hikari mengernyitkan dahinya tak mengerti.

“Kau tak menyadarinya?” Pemuda itu masih tertawa kecil. “Nama kita. Natsu. Hikari.” Dikembalikannya kembang api yang telah dinyalakan pada Hikari, sambil duduk di bangku taman di dekat mereka.

Setelah sejenak berpikir, Hikari mengerti. Nama Natsu yang berarti musim panas dan namanya sendiri yang melambangkan kembang api yang kerap kali dimainkan saat musim panas. Satoshi memang pernah mengatakan bahwa dari semua hal tentang musim panas yang disukainya, saat di mana seluruh teman dan keluarganya berkumpul bersama memainkan kembang api adalah yang paling disukainya.

Walaupun begitu, tetap saja sebenarnya tak ada hubungannya dengan saat favorit Satoshi itu dengan Natsu dan dirinya yang dikatakan Satoshi sebagai musim panasnya. Satoshi memang ahlinya mengarang logika aneh yang tak menyambung. Hikari pun ikut mendengus tawa dan tak lama, bersama Natsu, mereka tertawa bersama mengenang Satoshi. Masa bodoh dengan lima kepala di pojok lain yang melirik-lirik tertarik ke arah mereka.

“Jangan lupakan Satoshi.”

Sekali lagi didapatinya Natsu sedang menatapnya penuh kelembutan. Tawanya pun terhenti.

“Karena aku pun tak mungkin bisa melupakannya. Bagaimana pun juga, kita berdua adalah musim panasnya.”

Tanpa dapat dicegahnya, mata Hikari terasa panas dan beberapa saat kemudian air mata turun membasahi kedua pipinya. Natsu membawanya ke dalam dekapannya.

“Jangan menangis, Hikari.”

Dekapannya begitu nyaman. Membuatnya dengan mudah melepaskan pertahanan terakhirnya. Air matanya turun semakin deras bagaikan sungai meluap.

“A... Aku... Aku selalu merasa bersalah... karena... karena setiap kali aku bersamamu, Satoshi terlupakan,” ucapnya di sela-sela senggukannya. “Jadi aku... aku datang kemari untuk mengingatnya lagi... tapi....”

Natsu diam. Menunggu.

“Tapi yang kuingat malah kau...”

Setiap jalan yang pernah dilaluinya dengan Satoshi. Setiap tempat yang pernah didatanginya dengan Satoshi. Semuanya justru semakin mengingatkannya bahwa Satoshi telah tiada. Namun semua keindahan yang pernah dilihatnya bersama Satoshi, ingin sekali dirasakannya juga bersama Natsu. Orang yang telah menemaninya tanpa kenal lelah semenjak bulan-bulan awal kepergian Satoshi. Orang yang selalu ada ketika ia membutuhkan.

Satoshi, salahkah aku bila aku mencintainya?

“Aku... mencintaimu, Natsu.” Akhirnya diucapkannya kata-kata itu. Kata-kata yang telah diyakini kebenarannya sejak lama, bahkan sebelum Natsu menyatakan cintanya di malam itu. Namun takut diakuinya.

Pemuda itu mengecup lembut keningnya. “Ah, senang mendengar kata-kata itu.” Suaranya penuh dengan nada bahagia. “Menikahlah denganku, Hikari. Bersama-sama kita akan mengenang Satoshi.”

Hikari tak lagi membutuhkan waktu barang sedikit pun untuk menjawab. Ia mengangguk. Hatinya kini yakin, Satoshi pasti menginginkannya mengangguk. Menginginkan kebahagiaannya.

Dan Natsu membawanya semakin erat dalam dekapannya, sambil berseru penuh rasa sukacita. Seruannya menjadi pertanda bagi keluarga Yamada yang semenjak tadi mengawasi mereka dari jauh untuk mendekat dan turut dalam kebahagiaan bersama mereka.
***


--------------------------------
ojisan = paman.
oneesan = kakak perempuan (dalam hal ini bukan kakak perempuan sebenarnya. cuma panggilan saja)
oniisan = kakak laki-laki (idem dengan oneechan)
obasan = bibi
Natsu = musim panas
Hikari = cahaya

2 komentar:

  1. it's a heart-warming story. Suka sama tokoh Hikari-nya :)

    BalasHapus
  2. Jepaaaaaaaaaaaang!!!
    Heeheehh... ^^

    Endingnya enak, kebalikan ceritaku... ^^

    BalasHapus