Friendship | Writing | Reading | Learning | Joking | Smiling | Laughing | Comfortable
Tentang Kami
Foto saya
Grup Cafe Rusuh merupakan suatu ruang lingkup tempat di mana para anggotanya bisa berbagi tentang segala hal. Kata "Rusuh" sendiri merupakan kependekan dari "Ruang suasana hati". Sebagai sebuah grup, Cafe Rusuh menjadi sebuah jembatan di mana persahabatan, kekeluargaan dan silaturahmi antara sesama anggotanya tetap terjaga. Selain itu, Cafe Rusuh juga memberikan kebebasan kepada para anggotanya untuk berbagi tentang segala hal seperti puisi, cerita, esai, tips-tips dan info-info yang bermanfaat bagi para anggotanya.

Rabu, 13 Juli 2011

ACR: Pumpkin Party

by Rere Nanda Utama

Okinawa-shi, Japan


Aku menggeliat dari tidurku, terbangun karna jam weker di sebelah ranjang berdering. Ada cahaya suram berkabut menerobos masuk melalui kaca-kaca jendela, miring dan datang dari sudut yang aneh. Hampir seolah-olah hari sudah sore.

Aku menguap dan menggeliat lagi, jari-jariku mencari-cari jam weker dan menghentikan deringnya yang sangat mengganggu. Mataku terbuka dan kulihat waktu sudah menunjukan jam 5 sore. Di luar jendela cuaca gelap berkabut, benar-benar sempurna. Aku melompat dari tempat tidur dan mengerang ngeri.
Lapisan salju yang sempurna menutupi halaman, dan membuat jalanan jadi putih. Tapi bukan itu bagian terburuknya. Hujan yang turun kemaren telah membeku melapisi pepohonan membentuk jarum dalam pola sangat indah, dan menjadikan jalan setapak licin dan berbahaya.

Aku berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diriku, karna ku ingat jam7 malam aku harus datang ke rumah Elang. Ada pesta disana, aku menyebutnya pesta pumpkin.
Ku buka lemariku dan mencari tube dress berwarna hijau diatas lutut, kemudian megenakannya. Dilapisi mantel hijau dan sepatu boot hijau juga. Ku ikat rambutku kebelakang, agak tinggi lalu ku pakai glitter wings-ku. Dengan sedikit make-up, aku tlah merubah diriku menjadi Tinker Bell, dan siap merayakan pesta pumpkin konyol itu.

Jalan menuju rumah Elang begitu gelap ketika menjelang malam, dan tertutupi pepohonan, semak-semak di sekitar jalan masuk. Di tambah lagi jalanan licin akibat salju yang menyebalkan ini. Mustahil sekali menemukan letak rumahnya di malam hari seperti ini.

Kegelapan yang hitampekat mendadak sirna di depan, tepat di jalan masuk menuju rumahnya. Seseorang melilitkan ribuan lampu kecil berkelap-kelip di pepohonan yang terlapisi salju di sisi kiri dan kanan jalan, jadi mustahil terlewatkan. Bukan hanya dua pohon di ujung jalan yang dihiasi lampu. Setiap beberapa meter, sebuah mercusuar menyala membimbing para tamu menuju rumah putih besar itu. Sepanjang jalan.

Ketika sampai di depannya, aku mendesah lalu bergegas menaiki tangga berandanya.

"Pelangi?"
Suara lembut Elang terdengar dari belakangku. Aku berbalik dan melihatnya berlari lincah menuruni undakan teras, dan rambutnya berantakan karena berlari.

Elang terlihat sangat tampan dan sedikit kekanak-kanakan dengan kostum ala Peter Pan itu. Rambutnya berwarna perunggu, dihiasi topi kerucut berwarna hijau. Dengan kaos hijau setengah lengan dan celana tanggung sebetis yang agak berantakan. Lalu di ikat pinggangnya terselip sebuah belati. Ia mematung di sampingku, menyunggingkan senyum separonya yang sangat ku sukai.

"Ayo, cepat kita akhiri pesta konyol ini," gumamku, tak sanggup menatap matanya.

Elang merengkuh wajahku dengan dua tangannya, menunggu sampai aku mendongak.

"Apa?" tanyaku datar, ketika aku mendongak tapi tetap berpaling dari matanya.

Elang tersenyum lagi dan memutar bola matanya, lalu tangannya memaksa wajahku untuk menatapnya.
"Kamu lucu banget pake baju ini," kata Elang terkekeh.

Dan aku mengerang, "Udah deh, gak penting banget tau bahasin baju."

Elang tersenyum kecil dan mengacak sedikit rambutku, bergumam sendiri. "Dasar peri langit."

Elang memegangi pintu untukku, lengannya tetap memeluk pinggangku. Sejenak aku berdiri membeku diantara pintu masuk, udara di luar terlalu ingin jika di bandingkan udara di dalam ruangan. Kurasa Elang elah memasang beberapa penghangat ruangan di dalamnya. Tapi bukan itu yang membuatku takjub. Tak bisa di percaya. Bagian dalam rumahnya telah di ubah menjadi klub malam, seperti yang hanya ada di TV.

"Sepertinya kostumku kurang heboh." gerutuku sendiri, aku tak menyadari kalau Elang mendengarnya.

"Gak kok, kamu sempurna." bantah Elang tak sependapat.

"Sempurna apanya?" tuntutku. "Liat aja, aku kaya peri bodoh yang nyasar di sarang penyihir dan setan-setan. Harusnya aku tadi pake kostumya Harry Potter."

"Hei, liat aku." perintah Elang, dan aku memandanginya. "Peter Pan itu kan slalu bersama Tinker Bell. Perfect match kan?" Elang tersenyum puas.
Dan aku dapat merasakan pipiku memerah, tersipu malu.

Pestanya seru. Lampu-lampunya membuat ruangan menjadi remang-remang dan terkesan misterius. Tapi atmosfer seperti itu justru membuat orang-orang terlihat rilex dengan harajuku halloween yang mereka kenakan.
Jelas pesta ini sukses besar. Musiknya menular, lampunya nyaris menghipnotis, dan makanannya cepat habis, hidangan pestanya pasti lezat. Sebentar saja ruangan sudah penuh, meski tidak sampai menyesakan. Tubuh-tubuh bergoyang mengikuti irama yang bergetar dibawah telapak kaki mereka, nyaris seperti ajang dansa-dansi.

Aku dan Elang sudah mengitari ruangan satu kali. Ia tetap mendampingiku, berdiri di sebelahku, tetap menolak membiarkanku sendirian, dan tangannya tetap melingkar di pinggangku.
Itulah sebabnya aku langsung curiga waktu ia melepaskan pelukannya dari pinggangku dan menjauhiku.

"Jangan kemana-mana," bisiknya di telingaku. "Sebentar lagi aku kembali."

Elang berjalan anggun menerobos kerumunan, begitu cepatnya ia lenyap sampai-sampai aku tak sempat bertanya kenapa ia pergi.
Aku berusaha mengejarnya, menerobos kerumunan, terdorong-dorong sedikit. Beberapa orang kini berjoget. Aku bergegas menuju pintu utama.
Elang sudah pergi entah kemana, dan tanpa kuduga aku bertemu Yukito.

"Lala?"
Suara Yuki yang berat berkumandang saat musik berhenti sejenak, dan meski tak ingin, wajahku otomatis terangkat begitu mendengar ia memanggil namaku dengan panggilan dia.
Aku mengerenyitkan wajah.

Yuki melambai padaku, aku balas melambai (lambaian perpisahan), dan berbalik mencari Elang. Aku memaksakan diri menyelinap diantara punggung-punggung orang.
Ia muncul entah darimana, tangannya mendarat di bahuku dan menarikku kembali ke keremangan. Aku mengelak dan melepaskan diri dari cengkramannya, tapi pemuda itu menyambar pergelangan tanganku dan menyentakku dari kerumunan.

"Sambutan yang ramah." komentar Yuki.

Aku menarik tanganku dan menatapnya cemberut. "Apaan sih?"
Aku bersedekap. Aku sedang tidak ingin bertengkar dengannya sekarang. Aku hanya ingin mencari Elang. Aku menjulurkan leher panjang-panjang, melihat ke balik punggung Yuki untuk mencari-carinya. Yuki bergerak menutupi pandanganku, menuntut perhatianku. Lagi-lagi aku mencondongkan tubuh ke balik tubuhnya tapi Elang tetap tak tampak. Mataku menyapu seluruh penjuru ruangan yang gelap itu.

"Oh, c'mon, La. Jangan berlagak seolah-olah aku gak ada disini!" ujar Yuki sepertinya kesal.

"Aku bukannya berlagak, tapi aku lagi nyari orang."

Yuki meletakan tangannya di bawah daguku dab mendongakkan wajahku. "Boleh minta waktu anda beberapa detik saja tanpa terbagi-bagi Lala-chan?

Aku mengerenyitkan wajah. "Jaga tangan kamu yah!" desisku.

"Yurushi!" seru Yuki, mengangkat kedua tangannya seperti menyerah. "Ayamaru, aku cuma mau kasih kamu halloween treat." Yuki menunjukan sebuah kotak kayu kecil berwarna cokelat.

Kembaliin aja ke tokonya, Ki. Kamu kan tau aku gak suka orang beli hadiah gak penting buat aku kaya gitu." paparku acuh tak acuh.

"Aku gak bisa mengembalikannya. Aku gak beli inu di toko, aku membuatnya sendiri. Butuh waktu yang cukup lama pula."

"Okay, aku terima nanti. Sekarang aku permisi sebentar, kyoka..."

"Okay," gumam Yuki, nadanya sangat berbeda dari sebelumnya hingga aku berhenti mencari Elang dan mengamati wajahnya. Yuki menunduk memandang lantai, menyembunyikan matanya. Bibir bawahnya sedikit mencebik.

Well, aku rasa aku menipu diriku sendiri dengan mengira kamu menginginkan kehadiranku. Ternyata kamu gak menganggap aku teman sekalipun, he's your everything." tukasnya dengan nada kalah. "Watashi wa omoiyori no aru."

Aku mengerang. "Aduh, kamu tau aku gak bermzksud kaya gitu."

"Emangnya aku tau?"

"Seharusnya kamu tau," aku mencondongkan tubuh ke depan, menyipitkan mata, berusaha menatap matanya. Yuki mendongak, menghindari mataku.

"Yukito..?"

Yuki tak mau melihatku.

"Hei, katanya kamu buatin aku sesuatu? Mana?" tanyaku. "Where's my halloween's treat?" Upayaku berpura-pura antusias tampak sangat menyedihkan, tapi berhasil. Yuki memutar bola matanya dan kemudian nyengir padaku.

Aku tetap mempertahankan sikap pura-puraku yang menyedihkan, menyodorkan telapak tangan. "I'm waiting."

"Yang bene aja," gerutu Yuki sarkastis. Tapi ia merogoh salah satu jubah sihir yang ia kenakam dan megeluarkan kotak kayu tadi. Seutas tali mengikat kotak itu. Diletakannya kotak itu di telapak tanganku.
Aku mencoba membukanya namun sulit sekali. Yuki mendesah dan mengambil kotak itu dariku.

"Alohomora!" serunya, berpura-pura mengayunkan tongkat sihirnya ala Harry Potter. Dan ia membuka kotak itu dengan mudah sekali.

Aku menyodorkan telapak tanganku tapi Yuki hanya mengembalikan kotaknya saja padaku, ia mengeluarkan sesuatu yang berwarna keperakan ke tanganku. Pantulan dari lampu membuatnya cantik sekali.

"Hei... cantik banget Ki. Arigato."

"Bukan aku yang membuat kalungnya," Yuki mengakui. "Aku cuma membuat bandulnya aja."

Aku mengamati kalung itu dengan seksama. Sungguh menakjubkan betapa detailnya patung bandul itu, miniatur lumba-lumba itu terlihat seperti sungguhan. Bahkan warnanya pun aquamarine.

"Kamu suka?"

Aku mengangguk antusias, "Iya, suka banget!"

Yuki tersenyum, awalnya senang, tapi kemudian ekspresinya berubah masam. "Well, aku pikir mungkin itu bisa membuat kamu ingat aku sesekali. Kamu tau, kata orang jauh di mata jauh juga di hati."

Aku tak menggubris sikapnya. "Sini, bantu aku pake kalung ini."

"Kamu mau memakainya?" tanya Yuki terkejut.

"Of course!"

Yuki nyengir padaku, senyum bahagia. Dan aku senang melihat wajahnya tersenyum seperti itu. Yuki memakaikan kalung itu di leherku, lalu beberapa saat kemudian mataku kembali mengitari ruangan, dengan gugup aku mencari-cari Elang diantara kerumunan.

"Kenapa kamu gelisah gitu, La?" tanya Yuki.

"Nothing really," dustaku, mencoba berkonsentrasi. "Makasih buat hadiahnya, aku bener-bener suka."

"Lala?" alis Yuki bertaut sehingga matanya tenggelam jauh dibalik bayang-bayang. "Pasti ada masalah kan?"

"Aku gak papa kok, beneran."

"Jangan bohong, kamu gak pinter bohong di depan aku."

Mulutku terbuka, sejenak ingin ku katakan aku gak papa, tapi apa gunanya lagi? Ia terlalu mengenalku. "Aku kehilangan Elang, gak tau dimana dia sekarang."

Yuki menatapku sesaat, kemudian matanya menyapu ruangan sama sepertiku. Kemudian aku melihat Elang menuruni tangga.

"Elang!" pekikku lega.

Elang langsung melihat ke arahku, padahal suara bass yang berdentum-dentum menenggelamkan suaraku. Aku melambai-lambai penuh semangat. Elang menghampiriku, matanya menyipit tertuju pada Yuki dan kalung yang melingkar di leherku. Wajahnya tampak datar, tak memperlihatkan emosi apapun.

"Aku perlu ngomong sama kamu," bisik Elang di telingaku.

"Eh, Ki, sampe ketemu lagi nanti...." gumamku saat Elang menarik pergelangan tanganku menjauh dari Yuki.

Tapi Yuki mengukurkan lengan menghalangi jalan kami. "Hei, jangan buru-buru gitu dong."

Elang mendongak menatap Yuki, matanya menyipit. "Maaf, apa kata kamu? Its none of your bussines!"

"Hei... hei... ini pesta, ingat!" seruku, mengumandangkan tawa sedikit histeris.

Yuki pelan-pelan menarik lengannya lagi, dan membiarkan kami pergi. Sepertinya itu tidakan paling bagus jika Yuki memang ingin mempertahankan lengannya.

Elang membawaku ke lantai atas menjauhi keramaian pesta menuju ruang tengah diantara kamar-kamar. Dan kami berhenti disitu. Elang memandangi leherku. Aku menunduk.

"Boleh aku lihat?" tanyanya, meraih bandul lumba-lumba itu.

"Eh, tentu." aku menelan dengan suara berbisik.

Aku meleaskan kalung itu, dan membetikannya pada Elang.
Elang menyeimbagkan patung mungil itu di telapak tangannya. Sesaat aku hampir takut, hanya dengan sedikit remasan jari-jarinya bandul itu bakal remuk. Tapi tentu saja Elang tak kan berbuat begitu. Punya pikiran seperti itu saja sudah membuatku malu. Elang hanya menimang-nimang lumba-lumba itu di telapak tangannya beberapa saat, lalu memberikannya lagi padaku.

Aku mencoba membaca ekspresi di matanya. Yagnku lihat hanya ekspresi berpikir, semua yang lain di pendamnya, kalau memang ada yang lain.

"Yukito boleh kasih kamu hadiah."

Itu bukan pertanyaan, atau tuduhan. Itu hanya pernyataan fakta.

"Kamu kan udah sering kasih aku hadiah," akunmengingatkan dia. "Kamu tau, aku suka barang-barang buatan sendiri."

Elang mengerucutkan bibirnya sejenak. "Gimana kalo barang yang udah lama aku simpen? Apa itu bisa diterima?"

"Maksud kamu?"

"Kalung ini, telunjuk Elang menelusuri kalung yang melingkar di leherku. "Kamu bakal sering memakainya kan?"

"I think so."

"Karna kamu gak mau melukai perasaannya." duga Elang dengan cerdik.

Aku hanya mengangkat bahu.

"Adilkah menurut kamu, kalo kaya gitu?" tanya Elang menunduk. "Kalo aku kasih kamu sesuatu yang bisa mempresentasikan aku?"

"Mempresentasikan kamu?"

"Iya, sesuatu yang bisa kamu pakai, sesuatu yang membuatmu mengingatku."

"Aku selalu inget kamu, jadi aku gak perlu pengingat lain."

"Kalo aku kasih kamu sesuatu, apa kamu mau memakainya?" desak Elang.

"Kamu gak buang-buang uang kamu untuk beli itu kan?" aku mengecek.

"Gak, itu udah lama aku simpen." Elang menyunggingkan senyum malaikatnya.

Kalau hanya ini reaksi Elang terhadap hadiah Yuki, aku akan menerimanya dengan senang hati. "Apa aja asal kamu senang."

"Kamu nyadarin ketidakseimbangannya gak?" tanyanya, nada suaranya berubah menuduh. "Karna aku jelas menyadarinya."

"Ketidakseimbangan apa?"

Mata Elang menyipit. "Yuki boleh kasih kamu hadiah halloween sesuka dia, sedangkan aku gak karna kamu melarangku melakukan itu. Padahal aku pengen banget kasih kamu hadiah halloween. Its unfair! Coba kamu jelasin kenapa?"

"Gampang." aku mengangkat bahu. "Kamu lebih penting daripada dia, dan kamu udah kasih aku diri kamu. Itu lebih dari yang pantas aku terima, dan hadiah lain, apapun itu, hanya akan membuat posisi kita jadi makin gak seimbang."

Elang mencerna penjelasanku sesaat, kemudian memutar bola matanya. "Caramu menghargaiku benar-benar konyol."

"Terus... mana hadiahnya?"

Elang tertawa. "Tunggu bentar, aku ambil dulu di kamerku." Elang berjalan menjauhiku. Lalu berhenti setelah beberapa langkah dan menoleh ke arahku. "Atau kamu mau kita ambil bersama saja ke kamerku?" Elang tersenyum jail.

Kamar Elang? Tawaran yang menggoda.
"Okay..." aku setuju, merasa sangat licik saat menautkan jari-jariku ke jari-jarinya. "yuk..."

Hanya membutuhkan beberapa langkah saja untuk menuju kamar Elang. Aku berjalan menghampiri ranjang emas itu, menghempaskan tubuhku ke pinggir tempat tidur lalu bergeser ke tengah. Sedangkan Elang membuka lemarinya dan ku lihat ia mengambil kotak berwarna hitam. Aku meringkuk seperti bola, kedua lengan memeluk lutut.

Dan Elang naik ke tempat tidur dan duduk di sebelahku. Detak jantungku langsung berantakan. Mudah-mudahan Elang mengira aku gugup karna ingin di beri hadiah.
Elang menatapku, di tariknya pergelangan kiriku, dan memasangkan gelang perak lalu melepaskan tnganku kembali. Aku mengamatinya dengan hati-hati, gelang itu berbandul kristal cemerlang berbentuk hati. Kristal itu memiliki jutaan segi, sehingga bahkan di bawah cahaya lampu yang temaram, benda itu berkilau cemerlang. Aku terpesona, takjub.

"Dulu itu punya ibuku," Elang mengangkat bahu, seolah-olah itu masalah sepele. "Tapi aku pikir, ini bisa mewakili aku dengan tepat, karna keras dan dingin." Elang tertawa. "Dan ini membiaskan warna-warna pelangi kalo terkena cahaya matahari.

"Kamu lupa sama kemiripan yang paling penting," gumamku. "Ini cantik banget."

"Hati aku juga bisu kaya kristal itu," renung Elang. "Dan hati aku juga milik kamu."

Ku putar pergelangan tanganku agar hatinya berkilauan.

"Makasih. Untuk kristal dan hati kamu."

Ku tatap matanya, berusaha menebak-nebak emosi apa yang membara tepat di balik wajahnya. Elang membalas tatapanku, kepura-puraanya mendadak lenyap. Ia berseri-seri, wajah malaikatnya cemerlang karna kegembiraan. Ia begitu tampan hingga membuatku tersentak karna terpesona.
Sebelum aku sempat pulih dar kekagetanku, Elang sudah menciumku, bibirnya menunjukan kegembiraannya. Kepalaku ringan saat ia memindahkan bibirnya untuk berbisik di telingaku, tapi nafasnya sama memburunya dengan nafasku.

"Ya, aku suka kamu nerima itu. Kamu gak tau gimana rasanya." bisik Elang.

Aku tertawa, terkesiap sedikit. "Aku percaya kamu."



******


Halloween on 30 October

Tidak ada komentar:

Posting Komentar