Friendship | Writing | Reading | Learning | Joking | Smiling | Laughing | Comfortable
Tentang Kami
Foto saya
Grup Cafe Rusuh merupakan suatu ruang lingkup tempat di mana para anggotanya bisa berbagi tentang segala hal. Kata "Rusuh" sendiri merupakan kependekan dari "Ruang suasana hati". Sebagai sebuah grup, Cafe Rusuh menjadi sebuah jembatan di mana persahabatan, kekeluargaan dan silaturahmi antara sesama anggotanya tetap terjaga. Selain itu, Cafe Rusuh juga memberikan kebebasan kepada para anggotanya untuk berbagi tentang segala hal seperti puisi, cerita, esai, tips-tips dan info-info yang bermanfaat bagi para anggotanya.

Rabu, 13 Juli 2011

ACR: Cinta Pertama di Vaduz

by Daniel Dian

Sehelai daun maple jatuh menimpa rambutku ketika aku berjalan menyusuri Städtle Strasse siang ini. Sambil merapatkan mantel abu-abu dan syal fleece-ku, aku mengusap rambut coklatku, membuat daun maple yang berwarna kuning itu terjatuh dari kepalaku. Aku memperlambat langkahku, mengamati daun maple yang berubah warna akibat musim gugur itu jatuh ke permukaan paving trotoar Städtle akibat gravitasi bumi. Entah apa tujuanku mengamati daun maple yang gugur itu.

Aku mendesah, mengeluarkan uap putih dari mulutku seraya melanjutkan perjalananku. Tak heran. Saat ini pertengahan bulan November dan hendak memasuki musim dingin di Liechtenstein. Terkadang, suhu bisa kurang dari lima puluh derajat Fahrenheit dan aku tidak begitu menyukai suhu dingin karena penyakit macam-macam biasa menyerangku saat udara dingin. Namun, kalau boleh jujur, aku sangat menyukai musim gugur, terutama musim gugur di Vaduz—meski ini pertama kalinya dalam dua puluh tahun aku ke Vaduz. Musim di mana daun-daun pohon berubah warna menjadi kuning dan merah kecoklatan. Musim di mana daun-daun berjatuhan dari tangkai pohonnya, membuat jalanan bagaikan lautan daun. Dan juga musim di mana aku bertemu dengan cinta pertamaku. Di sini. Di Vaduz.

Terakhir kali aku ke Vaduz, Liechtenstein, ialah dua puluh tahun yang lalu ketika aku masih berumur tujuh. Lahir dan besar di Vaduz membuatku mampu berbahasa Jerman, bahasa resmi di Liechtenstein, dengan cukup baik, meski sekarang aku sudah lupa beberapa kalimat penting dalam bahasa Jerman.

Mum—atau dulu kupanggil Mutter—adalah seorang Inggris sedangkan Dad—atau Vater—adalah orang Jerman yang tinggal di Liechtenstein. Mum melancong ke Vaduz beberapa puluh tahun yang lalu dan kebetulan sekali ia bertemu dengan Dad di sebuah restoran kecil di Vaduz. Mereka saling jatuh cinta dan voilá! Aku lahir tak lama setelah mereka berdua menikah di sebuah kapel kecil di sini, di Vaduz, dan akhirnya menetap di sini.

Aku tinggal di Vaduz selama kurang lebih tujuh tahun. Hingga akhirnya Mum mengajak kami sekeluarga untuk pindah ke Inggris, ke kampung halamannya di London. Dad setuju. Dan begitulah! Aku meninggalkan sebuah negara kecil yang tenteram ke Inggris. Dan hingga saat ini, aku belum pernah menjejakkan kakiku sekali pun ke Liechtenstein, ke negeri indah di mana kenangan masa kecilku yang begitu berharga tersimpan.

Ketika perusahaan IT tempatku bekerja meloloskan permintaan cuti liburanku selama seminggu, aku langsung merencanakan pergi kembali ke tempat kelahiranku. Aku benar-benar tak sabar. Serius. Aku bahkan sudah mempersiapkan koperku jauh sebelum pesawat berangkat tadi pagi atau mungkin sebelum perusahaanku memberiku izin cuti. Entahlah. Dari bandara Heathrow, perjalanan berlangsung selama satu jam menuju ke bandara Kloten di Zürich, Swiss. Ini sedikit membuat perjalananku menjadi kacau sebab Liechtenstein barangkali satu-satunya negara di muka bumi ini yang tidak memiliki bandara. Tapi tak masalah bagiku asalkan bisa sampai ke Vaduz dan menepati janji lamaku.
Setelah mengurus visa dan segala macam hal trivial semacamnya di Zürich, aku melanjutkan perjalanananku dengan kereta api menuju ke Sargans, sebuah kota yang terletak di perbatasan Swiss dan Liechtenstein selama satu setengah jam. Bibirku terus-terusan melengkung ke atas ketika melihat pemandangan Zürichsee—Danau Zürich—yang airnya biru jernih dari sisi kiri kereta. Aku masih saja tersenyum lebar ketika tiba di Sargans dan harus menaiki bus untuk menuju ke Vaduz. Perjalanan bus selama setengah jam benar-benar tidak terasa.

Dan sekarang aku sudah menyusuri jalanan Vaduz, jalanan yang dulu begitu akrab bagiku saat kecil dulu. Aku hanya check-in selama beberapa menit di hotel yang terletak di Städtle Strasse, meletakkan beberapa koperku, mengambil mantel dan ransel, lalu langsung meninggalkan hotel dan langsung berpetualang di Städtle Strasse, jalan yang memang menjadi tujuan utamaku di sini. Aku bahkan tidak meletakkan pantatku sejenak di ranjang hotel yang empuk dan nyaman. Aku benar-benar tidak sabaran. Well. Whatever. Ranjang hotel masih bisa menunggu. Tapi tidak bagi urusan pentingku. Janjiku.

Perutku sudah berbunyi dari tadi dan ketika aku melirik Rolex-ku, ternyata sudah lewat sejam dari waktu makan siangku di London. Tentu saja. Aku tidak payah-payah amat dalam pelajaran Geografi dan ingat kalau perbedaan waktu antara Inggris dan Liechtenstein ialah satu jam. Aku sekarang berada di bagian belakang balaikota Vaduz dan mempercepat langkahku di trotoar Städtle sambil melihat sisi kiri, mencari café atau restoran. Seorang pria dewasa yang kelaparan bisa saja bertingkah liar, terutama aku.

Ketika aku menemukan sebuah restoran kecil dengan dinding luarnya terbuat dari bata merah, aku nyaris saja menabrak seorang pria paruh baya bermantel coklatnya saat aku berbelok mendadak. Pria asing itu bergumam, “Pardon.” walau seharusnya aku yang meminta maaf. Aku hanya tersenyum dan mengangguk, takut salah mengucapkan kalimat yang tidak benar. Bukannya meminta maaf, barangkali aku bisa mengucapkan kalimat umpatan. Entahlah. Pria itu tersenyum dan berlalu pergi. Mungkin ia menduga aku adalah orang bisu atau apa.

Setelah yakin pria itu tidak menghubungi polisi untuk menuntutku, aku mendongak dan melihat restoran di depanku. Restoran itu bernama Roten-Apfel—Apel Merah—dan terletak di samping Gemälde-Galerie—galeri lukisan. Tak ada yang perlu kuragukan, aku segera membuka pintu kaca dan masuk ke restoran itu. Restoran Apel Merah. Oke. Nama yang—er—unik.

Sebuah ruangan mungil yang rapi dan bersih dengan lukisan-lukisan replika milik van Gogh—The Starry Night, The Café Terrace, The Yellow House, sebutkan semua lukisannya—menyambutku ketika aku memasuki bagian dalam restoran. Beberapa orang duduk di sebuah kursi kayu di setiap sudut restoran, menikmati kopi atau sepotong kecil torte. Para pelayan berseragam biru berjalan ke sana ke mari, membawakan pesanan dan membersihkan meja. Lampu gantung restoran yang sedikit remang-remang tampaknya tak menyulitkan pekerjaan mereka.

Aku memutuskan untuk duduk di sebuah kursi kayu dekat dengan kaca jendela tembus tembang. Dari kaca itu, aku bisa mengamati bermacam-macam orang yang silih berganti berjalan di trotoar Städtle dan mobil yang lalu-lalang di jalanan.

Gruezi—Selamat siang!” sapa seorang wanita tiba-tiba. Aku menoleh dan mendapati seorang wanita berambut pirang dan berseragam pelayan warna biru berdiri di dekat mejaku. Ia membawa sebuah buku menu dan meletakkannya di atas meja, lalu ia mencabut pulpen dari saku kemejanya dan sebuah buku catatan kecil dari saku roknya. Ia kemudian bertanya dalam bahasa Jerman, “Ada yang bisa saya bantu?”

Sprechen sie Englisch?” balasku. Aku memutuskan untuk berbicara dalam bahasa Inggris saja alih-alih bahasa Jerman, khawatir kalau aku memesan makanan yang salah.

Si pelayan itu tersenyum dan bergumam, ”Sure. What can I do for you?”

Aku membuka-buka buku menu sambil berusaha mengingat-ingat apa arti kata dalam bahasa Jerman yang tercetak di buku menu itu. Seharusnya aku mengusulkan untuk menambahkan terjemahan Inggris di samping menu dalam bahasa Jerman itu. Tapi itu tidak penting sekarang.

Aku akhirnya menyerah karena otakku tidak bisa diajak berkompromi dan memilih menu yang cukup populer di Liechtenstein.

Well, aku pesan Kasknopfle dan secangkir kopi hitam.”

Demi Tuhan! Aku bahkan tidak mengerti—atau tidak ingat—apa itu Kasknopfle, tapi tampaknya cukup lezat. Dan namanya juga keren.

Pelayan itu mencatat pesananku dengan segera lalu bertanya sekali lagi, “Ada lagi? Apa Anda tidak ingin memesan dessert? Torte barangkali?”

Aku mengangkat bahu dan berkata, “No, thanks. Aku tak begitu suka makanan manis. Kurasa pesananku sudah cukup.”

“Baiklah! Akan saya ulangi. Satu Kasknopfle dan secangkir kopi hitam, itu pesanan Anda? Silakan tunggu sebentar!” ujar sang pelayan ramah. Ia lalu mengaitkan pulpen ke saku kemeja seragam pelayannya, membawa buku catatannya, dan meninggalkanku sendirian.

Aku kembali memandang Städtle Strasse melalui kaca jendela tembus pandang di dekatku. Banyak orang yang lewat di trotoar Städtle Strasse karena jalan ini merupakan salah satu jalanan utama Vaduz, tempat di mana sebagian besar objek wisata di Vaduz berada. Museum, galeri, Regierungs-gebäude—gedung pemerintahan—semuanya terletak di jalan ini.

Sejauh yang kuingat, tidak banyak yang berubah di kota ini. Kota ini masih memiliki wajah ramahnya. Kota ini masih memiliki kumpulan pohon-pohon yang berbaris rapi di trotoar atau di tepi kota. Kota ini masih menyimpan banyak museum dan galeri seni. Kecuali jumlah penduduk dan turis yang semakin banyak, tidak ada yang berubah dari Vaduz, menurutku.
Sebuah bus kota meluncur dari arah utara, membawa serombongan turis asing, sedikit menarik perhatianku. Bus itu melaju ke selatan. Dan seingatku, hanya ada satu objek wisata di Städtle yang terletak di bagian selatan. Landesmuseum alias Museum Nasional Liechtenstein. Aku tersenyum ketika mendengar nama museum itu berbunyi di pikiranku. Sebuah museum yang membawa ingatanku ke dua puluh tahun yang lalu.

* * *

Masih terngiang dengan jelas di pikiranku, kenangan masa kecilku dua puluh tahun lalu, saat aku bertemu dengan gadis yang kupikir akan menjadi pendamping hidupku. Yang kupikir, biar kuulangi. Aku terkadang tak habis pikir bagaimana cara kerja pikiranku. Aku bisa mengingat kenangan dua puluh tahun lalu sedangkan aku bahkan nyaris tidak ingat siapa perdana menteri Inggris saat ini.

Saat itu aku masih berusia sekitar tujuh dan beberapa minggu sebelum kepindahanku ke London. Aku sedang mengunjungi Landesmuseum yang letaknya tidak jauh dari rumahku, hanya lima menit berjalan kaki, pada suatu hari Sabtu yang cerah di musim gugur dua puluh tahun lalu. Dulu, museum bagaikan rumah keduaku dan aku selalu nyaris lupa waktu begitu melihat berbagai macam terakota, fosil, patung, dan benda-benda kuno lainnya yang tersimpan di Landesmuseum. Sekarang aku begitu penasaran ke mana rasa cintaku pada museum dulu. Aku bahkan pernah menguap lebar-lebar ketika temanku, Lewis, mengajakku ke Louvre dua tahun yang lalu.

Ketika aku sedang membaca deskripsi sebuah jambangan kuno di salah satu bagian museum, seseorang menyenggolku, membuatku kehilangan keseimbangan, dan aku bisa saja terpeleset jika tidak ada pagar pembatas kokoh yang bisa kucengkeram. Aku menahan amarahku segera berdiri dan melihat seorang gadis kecil berambut pirang terkejut melihat akibat perbuatannya. Ia buru-buru minta maaf dengan segera dan amarahku mulai mereda.

“Maaf,” kata gadis itu dalam bahasa Jerman. “Aku tidak sengaja melakukannya.”

Aku menghela napas dan berkata dengan nada tinggi, “Akan kumaafkan kali ini, tapi lain kali kau harus berhati-hati.”

Gadis itu mengangguk dan tersenyum lebar. Ia segera berbalik untuk melanjutkan kunjungannya di museum ini saat aku yang masih kecil tanpa sadar menggamit lengan gadis itu, berusaha mencegahnya untuk pergi. Aku benar-benar tidak tahu apa yang kupikirkan saat itu, tapi yang aku ingat ialah aku jelas-jelas terkejut melihat perbuatan tanpa sadarku. Gadis itu menoleh dan tersenyum lebar. Rambut pirang panjangnya yang dikelabang menari mengikuti arah gelak kepalanya. Jantungku berdetak sedikit lebih kencang saat melihatnya tersenyum.

“Ada apa?” tanya si gadis itu dengan nada ceria.

Aku melepaskan tanganku dari lengan gadis itu dan berkata, “Maafkan aku. Er, apa kita boleh kenalan? Namaku Axel. Axel Klutz. Aku berumur tujuh. Boleh aku tahu siapa namamu?”

“Laura. Laura Wagner,” jawab gadis kecil bernama Laura itu. Ia masih saja menyunggingkan senyum cerahnya lebar-lebar dan entah kenapa jantungku berjungkir-balik. “Aku juga berumur tujuh, lho dan tempat tinggalku tidak jauh dari Städtle.”

“Hei!” seruku. “Aku juga tinggal di sekitar sini. Di mana rumahmu?”

Laura menyebutkan sebuah alamat yang tidak jauh dari Landesmuseum, sepengetahuanku.
“Aku bahkan bisa melihat Schloss Vaduz dari rumahku,” tambahnya masih sambil tersenyum. Aku mau tak mau mengamati Laura yang selalu menyipitkan matanya setiap kali ia tersenyum atau tertawa. Dan entah kenapa itu membuat mukaku bersemu merah.

Dan sejak pertemuan pertamaku dengan Laura itulah, kami berdua selalu bertemu setiap hari di Landesmuseum. Kami tak perlu membayar karena tiket untuk anak-anak di bawah enam belas tahun gratis. Setiap hari kami bermain di depan pelataran museum, menjelajahi setiap sudut museum, melihat-lihat barang-barang koleksi museum, dan mengunjungi kedai es krim di samping museum. Kami berdua benar-benar sangat akrab. Tapi saat itu aku merasakan hal yang berbeda. Aku selalu merasakan desir-desir aneh di dalam diriku setiap kali Laura berada di dekatku. Aku belum tahu apa arti desir itu, tapi wajahku selalu memerah ketika melihat Laura tersenyum maupun tertawa. Itu benar-benar saat yang membahagiakan dalam hidupku hingga saat ini. Meski pertemananku dengannya hanya berlangsung beberapa minggu, desir-desir aneh itu rasanya makin menguat.

Hingga akhirnya, hari keberangkatanku ke Inggris pun tiba.

“Maafkan aku, Laura,” kataku di depan museum. Saat itu pagi hari sebelum keberangkatanku. Sebuah pagi yang mendung di pertengahan bulan November. “Aku harus pergi ke Inggris. Mutter ingin sekali kembali ke sana.”
Ia mengangguk sambil sesenggukan. Air mata berjatuhan dari mata hazel-nya, yang selalu berubah warna, kadang hijau, kadang coklat. Jemarinya yang mungil basah karena ia terus-terusan mengusap air matanya yang terus menetes. Aku, tentu saja, tak tega melihatnya.

Aku merogoh saku jaketku dan menyodorkan secarik saputangan biru kepadanya sambil berbisik, “Jangan nangis, dong! Kapan-kapan aku pasti kembali ke Vaduz. Percayalah!”
Laura mengambil saputangan itu dariku, mengusap matanya dengan lembut. Serius. Saat itu aku benar-benar tak tahu apa yang harus kulakukan untuk menenangkan seorang teman baik—atau cinta pertamaku, kalau boleh kutambahkan—yang tampak begitu merana.

“Tapi kita tak akan bisa bermain bersama lagi, Axel,” ujar Laura di sela-sela isak tangisnya. Rambut pirangnya yang panjang terkulai lemas seolah-olah juga merasa sedih karena kepergianku.

Tentu saja. Itu juga membuatku sedih. Lagipula ada perasaan aneh yang belum kusampaikan padanya. Dan akhirnya aku pun memutuskan untuk membuat sebuah janji. Sebuah janji yang sakral.

“Dengar,” kataku, “aku akan membuat sebuah janji denganmu, Laura.”

Laura tampak terpana mendengarkan perkataanku. Aku menggenggam telapak tangannya yang mungil dengan erat. Aku menatap matanya yang benar-benar indah itu dengan tajam, tetapi penuh dengan kelambatan. Dan ia balas menatap mata biruku. Melalui tepi mataku, aku bisa melihat tangan yang satunya, yang tidak kugenggam, memasukkan saputanganku ke dalam saku jaket merah yang dipakainya.

“Aku pasti akan kembali suatu hari nanti. Itu pasti. Setiap sepuluh tahun mulai dari sekarang, kau harus menungguku di depan museum ini. Setiap tanggal pada hari ini. Dua puluh November. Aku pasti akan menemuimu di sini, aku janji.”

Laura menggeleng.

“Tidak, Axel. Kenapa harus sepuluh tahun? Itu lama sekali,” katanya sambil terisak. Ia menunduk.

“Itu karena aku akan melamarmu suatu hari nanti dan kupikir aku sudah cukup dewasa sepuluh tahun lagi.”
Aku tak tahu setan mana yang merasukiku saat itu. Tentu saja aku benar-benar terkejut dengan perkataan spontanku. Maksudku, mana mungkin seorang anak kecil berumur tujuh berpikiran soal melamar? Meski yang kulamar ialah gadis yang kusukai.

Laura mendongak dan tampak sangat terkejut. Wajahnya besemu merah ketika aku mengucapkan kalimatku tadi. Dan aku juga masih ingat bagaimana merahnya wajahku, meski aku tak bisa melihat wajahku sendiri. Rasanya aku ingin sekali agar trotoar yang kupijak terbuka lebar-lebar dan mengisapku ke dalamnya, bersembunyi dari rasa maluku.

“Ma-maksud—” kataku dengan grogi.

Laura memotong perkataanku dan sedikit senyuman mulai merekah di bibirnya. Ia masih tampak sedih saat itu, tentu saja. Itu terbukti ada bekas aliran air mata di pipinya. Namun, ia mulai sedikit ceria dan menggelengkan kepalanya dengan cepat dan berkali-kali sambil berseru, “Tidak, Axel! Aku mau menerima lamaranmu.”

Aku sedikit tertegun saat mendengar perkataan Laura. Apa dia yakin? Apa ia tahu apa yang kubicarakan saat itu? Namun, kemudian aku tersenyum dan menggenggam tangannya semakin erat.

“Kau harus menyimpan saputanganku baik-baik, Laura,” kataku. “Itu sebagai tanda perjanjian kita berdua. Aku akan mengambilnya sepuluh tahun lagi. Atau dua puluh tahun lagi. Dan percayalah, saat aku kembali ke sini lagi suatu hari nanti, aku akan membawakanmu cincin terindah sedunia. Kau harus menungguku, Laura!”

Ia mengangguk dengan mantap. Ia semakin membenamkan tangannya ke dalam saku jaketnya dan aku tahu ia sedang menggenggam saputanganku erat-erat.

“Aku harus pergi sekarang, Laura,” kataku. “Vater dan Mutter sudah menungguku di rumah dan kami harus segera naik bus ke Schaan sebentar lagi.”

Laura menatapku dengan ekspresi sedih dan itu membuatku semakin tak tega untuk meninggalkannya. Namun, hal yang ia lakukan berikutnya membuatku amat terkejut. Ia memelukku dengan begitu erat seakan-akan tak mengizinkanku untuk pergi. Aku shock selama beberapa detik, tapi kemudian aku balas memeluknya dengan erat sambil menepuk-nepuk pundaknya dengan lembut.

“Ingat janjiku, ya, Laura,” bisikku tepat di telinganya.

Aku melepaskan diriku dari pelukannya, meski aku sebetulnya tak ingin melakukannya saat itu. Ia menatapku sedih dan aku langsung mengecup dahinya, membuat wajah kami berdua sama-sama bersemu merah. Aku bisa melihatnya dengan jelas di wajah Laura yang putih.

Tidak. Aku tidak ingin berlama-lama di sini. Bukan karena Mum dan Dad sudah menungguku, tapi karena akan semakin susah mengucapkan selamat tinggal kepada orang yang kusayangi jika aku terlalu lama bersamanya. Aku berbalik begitu saja, meninggalkannya di depan Landesmuseum, dan berusaha menahan air mataku agar tidak terjatuh dari mataku.

“Aku akan menunggumu di sini, Axel!” teriak Laura dari kejauhan dengan suara parau.

Dan aku pun memaksakan diri untuk tersenyum waktu itu.

* * *

“Ini pesanan Anda, Tuan!” kata sang pelayan tiba-tiba, membuyarkan kenanganku dua puluh tahun yang lalu. “Satu Kasknopfle dan secangkir kopi hitam. Silakan dinikmati!”

Aku tersentak lalu memandang si pelayan itu yang tersenyum ramah padaku. Setelah mengucapkan terima kasih dalam bahasa Jerman (Danke schön), ia meninggalkanku sendirian dan membiarkanku kembali ke dalam lautan kenangan dua puluh tahun yang lalu.

Sambil menikmati Kasknopfle, yang ternyata semacam dumpling dengan campuran keju dan taburan bawang di atasnya, aku mengingat-ingat lagi kenangan masa kecilku bersama Laura.

Apa Laura masih mengingatku? Apa ia masih tinggal di Vaduz? Apa Laura masih mengingat janjiku dua puluh tahun yang lalu? Apa Laura masih menyimpan saputanganku? Berjuta-juta pertanyaan terlintas di benakku ketika aku berusaha melahap Kasknopfle-ku, yang ternyata sangat enak. Aku tak ingat pernah menikmati Kasknopfle dulu.

Jujur saja, aku benar-benar menyesal kenapa aku tidak kembali ke Vaduz sepuluh tahun yang lalu. Aku benar-benar lupa dengan janjiku sendiri sepuluh tahun yang lalu. Saat itu aku sedang konsentrasi pada ujian GCSE-ku dan benar-benar lupa. Jika saja aku tidak mengacak-acak gudang dan menemukan barang-barangku semasa kecil dulu setelah ujian GCSE berakhir, barangkali aku bakal melupakan janjiku sendiri sama sekali. Aku benar-benar pria yang payah.

Tapi sekarang, aku sudah bertekad untuk menepati janji yang kuucapkan dua puluh tahun lalu. Aku akan menemui Laura di depan Landesmuseum pada hari ini, tanggal dua puluh November. Semua janjiku. Kecuali bagian—well—melamar Laura. Aku yakin sekali Laura pasti sudah tumbuh menjadi seorang wanita yang luar biasa cantik dan pasti ia sudah memiliki seorang pacar tampan dan mapan atau bahkan—kemungkinan yang paling mengerikan—seorang suami saat ini. Lagipula, aku sendiri tak yakin kalau Laura masih mengingatku.

Selesai membayar makan siang, aku berjalan keluar dari restoran Roten-Apfel dan berjanji akan kembali ke sana suatu hari nanti karena makanannya benar-benar enak. Aku menyusuri kembali Städtle Strasse ke arah selatan. Ke Landesmuseum. Ke tempat di mana aku bertemu dengan cinta pertamaku. Ke tempat di mana aku mengucapkan janjiku dua puluh tahun yang lalu.

Serombongan turis berbahasa Prancis sedikit menghalangiku untuk lewat. Mereka berdesak-desakan di dekat toko souvenir dan mengoceh dalam bahasa Prancis dengan cepat. Terpaksa aku harus berusaha lewat di sela-sela rombongan turis itu. Aku memasukkan kedua tangan ke dalam saku mantelku dan terus berjalan ke selatan setelah berhasil melewati serombongan turis itu.

Aku mendongak dan memandang ke arah timur. Sebuah bangunan kastil berdiri kokoh di puncak bukit dengan latar pohon-pohon evergreen di belakangnya. Schloss Vaduz. Kastil Vaduz. Bangunan bergaya gothic itu terlihat jelas, berdiri kokoh di atas puncak bukit di sisi kiri Städtle Strasse. Kastil tempat tinggal keluarga kerajaan Liechtenstein yang indah. Aku memandang kastil itu dari kejauhan dan tersenyum. Aku masih bisa mengingat dengan jelas cerita Laura tentang rumahnya dua puluh tahun yang lalu. Ia bisa melihat Schloss Vaduz dari rumahnya. Tentu saja. Semua penduduk Vaduz bisa melihat kastil itu karena terletak di puncak bukit yang tinggi, tapi aku tak membantahnya saat itu. Barangkali karena terpukau dengan kecantikan Laura. Apa yang aku pikirkan saat masih kecil dulu, sih?

Ketika akhirnya aku menjejakkan kakiku di pelataran depan Landesmuseum untuk pertama kalinya dalam dua puluh tahun, mau tak mau jantungku berdebar-debar. Mungkinkah Laura mengingat janjinya? Sekarang tanggal dua puluh November dan tepat dua puluh tahun yang lalu aku berdiri di sini, mengucapkan salam perpisahan dan sebuah janji kepada Laura. Dan sepanjang penglihatanku, aku tidak melihat seorang wanita di depan pelataran museum ini.
Seorang anak laki-laki dan perempuan tiba-tiba berlari di depanku, membuatku sedikit terperanjat. Mereka saling berteriak satu sama lain, berlomba siapa di antara mereka berdua yang paling cepat. Lagi-lagi aku tersenyum. Kedua anak itu mengingatkanku akan kelakuanku bersama Laura dulu. Kami berdua sering melakukan lomba lari dari pelataran museum ke bagian paling belakangnya.

Pelataran depan Landesmuseum tidak begitu ramai hari ini dan sepertinya tidak ada tanda-tanda kehadiran Laura. Rombongan turis yang menaiki bus kota yang kulihat tadi barangkali sudah berada di dalam, berusaha menyerap segala data dan informasi objek-objek dalam museum dan akhirnya merasa muak.

Tidak. Aku tak ingin masuk ke dalam museum. Rasa antusiasku saat mengunjungi museum rasanya sudah lenyap. Mengunjungi museum hanya akan menambah rasa kantuk dan lelah yang sedari tadi kutahan begitu tiba di Liechtenstein. Aku memandang sekelilingku dan akhirnya memutuskan untuk berdiri di bawah sebuah pohon maple yang daunnya menguning dan bersandar pada batangnya.

Aku menghela napas. Laura pasti sudah melupakanku dan aku yakin sekali akan hal itu. Tapi kalau boleh jujur, aku sendiri juga tidak berharap muluk-muluk. Mana mungkin ada orang yang mengingat janji seseorang selama dua puluh tahun? Aku tak mungkin menyalahkan Laura? Siapa aku? Aku hanya teman masa kecilnya, tidak lebih. Lagipula, pertemuan kami berdua semasa kecil tampaknya kurang begitu berkesan baginya karena kami hanya berteman selama beberapa minggu saja. Namun, bagiku, pertemuan yang singkat itu mampu mengubah hidupku. Mampu mengubah perasaanku saat masih kecil dulu. Hingga saat ini.

Aku belum pernah berhubungan dengan wanita sebelumnya. Teman-temanku sampai menduga aku seorang gay. Bukannya aku payah—atau gay—atau bagaimana, tapi karena aku selalu mengingat sosok Laura, terutama setelah aku melupakan janjiku sepuluh tahun yang lalu. Setiap kali ada wanita yang mengungkapkan perasaannya padaku (dan ini berlangsung setelah aku melupakan janjiku sepuluh tahun yang lalu), aku selalu menolaknya dengan lembut, selalu teringat akan sosok Laura yang mungkin sudah melupakanku. Tapi aku tak peduli. Aku masih memiliki perasaan yang sama kepada Laura. Perasaan yang sama sejak dua puluh tahun yang lalu.

Ini benar-benar aneh. Mana mungkin seseorang bisa menyimpan cinta masa kecilnya selama itu? Benar-benar tidak logis dan salah. Cinta masa kecil yang tidak pernah berubah sama seperti ketika aku salah mengetikkan satu angka saat melakukan pengkodean dan hasilnya program menjadi kacau. Itu benar. Aku benar-benar kacau saat ini. Haya sosok Laura yang selalu terbayang di benakku padahal aku sudah lama sekali tak melihatnya.

Sepasang pria tua dan wanita tua berjalan di depanku dengan lambat. Sang pria tua membawa bungkusan belanja berisi sejumlah roti baguette hangat mencuat dari bungkusan itu dengan salah satu tangannya, sedangkan sang wanita tua menggandeng tangan suaminya yang satu lagi dengan erat.

Melihat kedua orang tua itu, aku membayangkan sesuatu dalam kepalaku. Seandainya saja, aku tidak mengobrak-abrik gudang dan melupakan janjiku hari ini. Atau sepuluh tahun lagi. Atau dua puluh tahun lagi. Atau tiga puluh tahun lagi hingga aku menjadi seorang kakek dan menikahi orang lain. Akankah hidupku bahagia? Melupakan cinta pertamaku begitu saja?

Aku sudah mempersiapkan segalanya jika saja Laura sudah melihat pria lain dalam hidupnya alih-alih aku. Tak apa. Jelas-jelas aku tak mungkin memaksa Laura untuk melihatku apalagi menikahiku, tentu saja. Aku bukan pria yang sejahat itu. Sudah bisa melihatnya bahagia, meski itu bersama pria lain, kurasa itu sudah lebih dari cukup. Akan tetapi, jauh di lubuk hatiku, aku berharap ia belum memiliki pria selain diriku. Egois memang, tapi aku merasa ia adalah jodoh yang ditetapkan Tuhan untukku. Laura adalah tulang rusuk yang selama ini kucari, meski aku tak begitu yakin kalau Laura memiliki perasaan yang sama denganku.

Lamunanku buyar ketika seseorang menyenggol sikuku. Seorang wanita yang bersandar di sisi lain pohon menyenggolku, membuatku sedikit kaget. Ia tampak terkejut dan segera meminta maaf.

“Maaf,” katanya dalam bahasa Jerman.”Apa aku mengganggumu?”

Aku menggeleng dan mengamati wanita di hadapanku. Ia mengenakan topi fedora dan kacamata hitam. Sebuah kamera Nikon tergantung di lehernya. Ia juga mengenakan sweater wol hangat bermotif garis-garis yang menempel dengan pas pada tubuhnya yang langsing. Tampaknya ia seorang turis.

“Kau bisa berbahasa Jerman?” tanya wanita itu. Aku yakin sekali ia menatapku penasaran dari balik kacamata hitamnya.

“Sedikit,” kataku dalam bahasa Jerman patah-patah, “aku dulu pernah tinggal di sini sebelum akhirnya pindah ke London. Kau seorang turis? Dari mana?”

Wanita itu tersenyum dan menjawab dalam bahasa Inggris, “Tak perlu repot-repot berkata dalam bahasa Jerman. Turis? Yah, bisa dibilang semacam itu. Aku dulu juga tinggal di sini, tapi sekarang aku bekerja di Vienna, Austria. Ada urusan yang harus kuselesaikan di sini pada hari ini. Jadi, aku di sini sekarang.”

Angin berembus sepoi-sepoi membuat rambutnya yang pirang panjang itu berkibar. Jantungku berdegup kencang. Ada sesuatu yang familiar dengannya.

Aku mengangguk dan kemudian aku bersandar kembali pada pohon maple. Wanita itu juga bersandar pada batang yang sama tak jauh dariku. Dalam keheningan. Kurasa ia sedang menunggu seseorang, barangkali hendak berkencan buta? Dan aku sendiri juga sedang sibuk meratapi nasibku, meski sebetulnya tidak parah-parah amat.

Tepat saat itulah, aku melihat apa yang dilakukan wanita itu melalui sudut mataku. Ia mengeluarkan secarik kain dekil dari saku jinsnya. Secarik kain yang tampak tidak asing lagi bagiku. Secarik kain berwarna biru dengan sulaman huruf A.K. di tepinya. Dari mana aku tahu apa yang tersulam di kain itu sedikit membuatku terkejut. Itu adalah saputangan yang dulu kuberikan kepada Laura. Dua puluh tahun yang lalu. Bagaimana wanita itu memiliki saputanganku?

Kecuali kalau dia—

“Maaf?” tanyaku. “Apa kau bernama Laura? Laura Wagner?”

Wanita itu menoleh dan tertegun sejenak, lalu mengernyitkan alisnya. Apa aku salah?

“Dari mana kau tahu?” tanyanyanya dengan nada curiga. “Benar, aku Laura Wagner.”

Gelombang perasaan lega menjalari seluruh tubuhku. Jadi, Laura tidak melupakan janjiku selama ini. Ia selalu menungguku di sini, aku tahu itu. Dan entah kenapa aku mendadak tampak seperti seorang pria hina.
Aku nyengir dan berseru, “Apa kau melupakanku, Laura? Dua puluh tahun yang lalu? Setiap tanggal dua puluh November? Janjiku untuk menemuimu?”

Ia tidak merespons perkataanku selama beberapa saat, tapi kemudian wanita itu membuka mulutnya lebar-lebar. Ia melepas kacamata hitamnya dan menelitiku dengan sepasang mata hazel yang indah dengan ekspresi terkejut.

“Kau Axel?” serunya dengan nada tak percaya. “Axel Klutz?”

Aku tak menjawab apa-apa dan hanya mengangguk sekali. Tanggapan yang kudapatkan jauh lebih dari yang kuharapkan. Ia memelukku erat-erat dan membuatku sulit bernapas. Yeah, aku tak menolak dipeluk olehnya. Kuharap ia tidak membawa pacar atau suaminya yang kekar ke sini. Aku tak mau pulang ke London dengan babak-belur karena balas memeluknya.

“Kau kembali ke sini, Axel,” bisiknya.

“Tentu saja, Laura,” balasku. “Aku menepati janjiku, kan?”

Ia melepaskan pelukannya dan itu sedikit membuatku kecewa, tapi itu mungkin karena ia takut pacar atau suaminya akan menghajarku habis-habisan.

“Ya Tuhan!” seru Laura. “Kau tak tahu betapa senangnya aku saat ini, Axel. Aku sudah menunggumu di sini, sepuluh tahun yang lalu, tapi kau tak datang. Aku nyaris putus asa. Aku sudah mencari namamu lewat Facebook, Myspace, semuanya, tapi tak berhasil menemukan namamu di sana. Satu-satunya kesempatanku ialah janjimu, meski aku sendiri tak yakin kau mengingatnya. Dan kau sekarang di sini, Axel. Wow, kau semakin tampan saja!”

Aku menunduk malu dan bergumam, “Well, aku minta maaf karena lupa dengan janjiku sendiri sepuluh tahun yang lalu, Laura. Maafkan aku, kumohon. Kau boleh saja meninjuku atau memukuliku di mana saja, asal bukan di wajahku. Ini aset berharga, kau tahu. Tapi sekarang aku sudah menepati janjiku padamu, bukan? Dan, kalau aku boleh jujur, kau bertambah cantik, Laura.”

Ia bersemu merah saat mendengar pujianku. Ia lalu memukul lenganku berkali-kali sambil menyunggingkan senyumnya lebar-lebar. Matanya masih menyipit setiap kali tersenyum.

“Dasar kau pria jahat!” serunya. “Aku menunggumu di sini sepuluh tahun yang lalu dan tampak seperti seorang perempuan tolol saat itu. Bersandar di pohon maple ini, menunggu pria bodoh yang tak akan datang!”

Aku nyengir kesakitan, tapi aku benar-benar merasa sangat gembira saat ini. Laura masih mengingatku dan janjiku. Kurasa ini sudah lebih dari cukup. Kurasa aku sudah bisa merelakannya bersama pria lain. Tapi mungkinkah ini bisa menjadi lebih baik?

“Mana saputanganku?” tanyaku setelah Laura berhenti memukuliku habis-habisan.

Ia menatapku tak percaya lalu menghela napas.

“Ini,” katanya sambil menyerahkan secarik kain biru yang ia keluarkan tadi kepadaku. “Kau tahu, setiap hari aku selalu membawa saputangan dekil itu untuk mengingatmu, bertanya-tanya kapan kau akan kembali ke Vaduz untuk mengambilnya.”

“Kau tidak mencucinya?” tanyaku polos, tapi ia tidak menjawab dan masih tersenyum padaku. Jantungku masih berdebar setiap kali melihatnya, sama seperti dua puluh tahun yang lalu.

Saat itulah. Saat ia menyodorkan saputanganku dengan tangan kanannya, mau tak mau aku melihat sesuatu hal yang sangat mencolok. Kelima jarinya bersih. Tidak ada cincin di jari manisnya. Tak mungkin, pikirku. Barangkali ia bukan tipe wanita yang suka menggembar-gemborkan kalau ia sudah menikah. Atau mungkin ia memasang cincin kawinnya di tangan kiri. Entahlah.

“Hei, kau sudah makan siang?” tanyanya. “Aku datang sendirian hari ini dan belum makan siang.”
Datang sendiri? Apa ia masih sendiri? Apa aku masih memiliki kesempatan?

Aku menggeleng dan terpaksa membohonginya. Aku masih ingin sekali menghabiskan waktu bersamanya lebih lama dan aku memutuskan untuk ikut bersamanya makan siang.

“Kalau begitu kau akan kutraktir, Axel. Apa pacarmu tidak akan marah? Atau barangkali istrimu?” tanyanya dengan nada menggoda. Namun, aku bisa mendengar ada nada penasaran dan cemburu di sana. Apa ini perasaanku saja?

“Apa maksudmu?” balasku sambil berjalan di sampingnya ke utara. “Aku masih single. Seharusnya aku yang bertanya itu padamu.”

“Apa kau gay?” tanyanya sambil nyengir. Ya Tuhan! Sekarang ia nyengir dan jantungku jungkir-balik. “Just kidding. Aku juga baru putus dengan pacarku beberapa bulan yang lalu.”

Aku berusaha untuk tidak tampak terlalu antusias dan hanya tersenyum kecil dan bergumam, “Maaf.”

“Tak masalah. Lagipula ia pria yang payah,” kata Laura. “Kupikir kita harus menghabiskan waktu hari ini dengan sangat lama, Axel. Aku rasa kita tidak akan memiliki kesempatan untuk bersama seperti ini lagi sambil mengingat kekonyolan kita berdua dulu. Hei, kau tahu kedai es krim di samping museum? Sekarang sudah digantikan dengan butik payah. Kau lihat?”

Aku menggeleng dan berusaha mencerna perkataan Laura tadi soal kesempatan bersama. Entah kenapa aku memiliki perasaan kalau kami berdua akan memiliki banyak sekali waktu bersama. Di sebuah rumah kecil di Vaduz. Atau di Vienna. Atau di London. Bersama seorang bayi kecil. Beberapa bulan lagi paling cepat. Atau beberapa tahun lagi.

Sehelai daun maple jatuh di atas topi fedoranya dan aku mengusapnya lembut. Ia tertawa dan aku ikut tertawa.

Well, yang aku tahu hanyalah aku yakin sekali hal itu akan terjadi.

1 komentar: