Friendship | Writing | Reading | Learning | Joking | Smiling | Laughing | Comfortable
Tentang Kami
Foto saya
Grup Cafe Rusuh merupakan suatu ruang lingkup tempat di mana para anggotanya bisa berbagi tentang segala hal. Kata "Rusuh" sendiri merupakan kependekan dari "Ruang suasana hati". Sebagai sebuah grup, Cafe Rusuh menjadi sebuah jembatan di mana persahabatan, kekeluargaan dan silaturahmi antara sesama anggotanya tetap terjaga. Selain itu, Cafe Rusuh juga memberikan kebebasan kepada para anggotanya untuk berbagi tentang segala hal seperti puisi, cerita, esai, tips-tips dan info-info yang bermanfaat bagi para anggotanya.

Rabu, 27 Juli 2011

ACR: Maaf

by An An Chie

“Shim Jong Kyu!”

Begitu si anak perempuan memanggil anak laki-laki yang duduk membenamkan kepala di atas meja. Yang dipanggil pun segera mendongak. Dia kurus, badannya lebih kecil dibandingkan anak-anak seumurannya, sekalipun pipinya tembam—memberikan kesan menggemaskan pada raut wajahnya yang seolah selalu cemas.

Sedang si anak perempuan adalah kebalikan dari si anak laki-laki yang dipanggil Jong Kyu itu. Tubuhnya tinggi dan berisi. Wajahnya bundar, berkeringat, dan penuh semangat dengan puncak hidung terangkat pongah. Matanya menyipit licik menatap Jong Kyu. Sudut-sudut mulutnya terangkat membentuk seringai jail. Tangan kanannya teracung tinggi, menggenggam sebuah gantungan kunci boneka kecil anjing berbulu putih.

Sepasang mata kecoklatan Jong Kyu membulat dan seketika itu juga dia bangun dari duduknya, berlari nyaris melompat menerjang si anak perempuan, yang dengan gesit langsung menghindar. Jong Kyu jatuh mendarat di lantai kelas yang dingin. Beberapa anak yang masih tinggal di kelas pada masa istirahat itu tertawa cekikikan.

“Kembalikan padaku!” teriaknya antara kesal dan memelas. Entah dari mana si anak perempuan mendapatkan benda itu.

“Ini.” Tanpa ragu-ragu si anak perempuan mengulurkan boneka gantungannya. Sebuah senyum manis tersimpul di wajahnya. Senyuman palsu. Anak perempuan itu sudah merencanakan apa yang akan dilakukannya apabila Jong Kyu benar-benar tertipu. Pun sebenarnya Jong Kyu tidak langsung mempercayai uluran yang baik itu. Namun boneka gantungan berbulu itu benar-benar berharga buatnya, sebab itu adalah oleh-oleh yang diberikan oleh ayahnya yang kini sedang menjalani wajib militer. Jong Kyu sudah tidak berjumpa dengan beliau selama satu setengah tahun. Sebagai pelampiasan rindu, barang apapun yang dikirimkan ayahnya pasti dia jaga baik-baik.

Maka dari itu, tanpa berpikir panjang, Jong Kyu menjulurkan tangannya untuk meraih benda tersebut. Namun seperti yang sudah direncanakan si anak perempuan, ditariknya kembali si gantungan kunci lalu disembunyikannya di balik punggung.

“Mi Na-yah!” protes Jong Kyu. Gemas dan marah, dia mengambil jalan memutar ke belakang Mi Na untuk merebut gantungan kuncinya, tapi anak perempuan itu betul-betul tangkas. Dengan segera dia berbalik, sehingga Jong Kyu hanya bisa berputar-putar mengelilinginya dengan tangan berusaha melewati pundaknya.

“Ambil saja sendiri!”

Jong Kyu menoleh panik mengikuti luncuran terbangnya si gantungan kunci. Mi Na, anak nakal itu baru saja melemparkan benda itu ke udara lepas. Dengan panik Jong Kyu melangkah lebar-lebar, berusaha menangkapnya, tetapi gagal. Benda itu mendarat di atas lemari penyimpanan yang berdebu.

Shim Jong Kyu bukan anak berusia lima tahun yang pertumbuhannya pesat. Meski lemari penyimpanan itu hanya seukuran tiga perempat tinggi badan manusia dewasa, namun tetap saja hanya seruas jemarinya yang dapat meraih ujung-ujung permukaan lemari sambil berjinjit. Habis akal, setengah dipanjatnya lemari itu. Kakinya bergelantungan di udara. Sebelah tangannya menahan berat tubuh, sebelahnya lagi dipakainya untuk meraba-raba permukaan lemari sampai ke pojok. Ketika dirasakannya jemarinya menyentuh ekor berbulu si anjing putih, dia berusaha menyeretnya mendekat.

Keseimbangan lemari penyimpanan itu mulai goyah dan menjadi condong mengikuti berat tubuh Jong Kyu. Menyadari bahaya, anak laki-laki itu buru-buru menyambar gantungan kunci kesayangannya. Dalam perjalanan tarikannya, tanpa sengaja tangan Jong Kyu menabrak globe besar yang diam dan berdebu di sisi kiri permukaan lemari. Lemari penyimpanan tidak lagi condong ketika Jong Kyu telah melompat turun, namun globe itu melayang jatuh. Beberapa murid perempuan menjerit, namun tidak ada yang mampu mencegah globe itu menjatuhi kepala Jong Kyu dengan bunyi debuk menyeramkan. Jong Kyu berdiri limbung, selama sesaat nampaknya masih bingung akan apa yang terjadi. Disentuhnya puncak dahinya sendiri, kemudian dipandanginya cairan merah yang menempel di jemarinya. Lalu entah karena rasa sakitnya ataupun karena ketakutannya melihat darah, Jong Kyu ambruk tak sadarkan diri di lantai.

Sementara itu bola globe lepas dari porosnya, menggelinding di lantai, kemudian berhenti di sebelah sepatu Mi Na dengan memampangkan daerah Amerika Serikat. Anak perempuan itu sendiri membatu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Wajahnya pucat berkeringat dingin. Mulutnya terngaga.

Pintu menjeblak terbuka. Seorang wanita bersetelan rapih, berkacamata, dan bersanggul masuk diiringi suara langkah-langkah tegas kaki berselimut stiletto.

“Anak-anak, waktu istirahat sudah selesai...”

Kemudian tatapannya bersirobok dengan pemandangan salah satu muridnya yang terkapar di lantai. Kelas hening, hingga anak perempuan di deretan belakang mulai terisak. Tak lama, seisi sekolah sudah mendengar jeritan ngeri Soo Kyung-seonsaengnim yang meminta pertolongan.

***

Mi Na duduk tertunduk di deretan kursi di depan ruang kepala sekolah. Wajahnya pias. Di dalam sana, ibu Jong Kyu sedang berbicara dengan sang kepsek. Berdasarkan apa yang didengarnya secara sembunyi-sembunyi, nampaknya insiden itu menyebabkan kepala Jong Kyu bocor dan harus menjalani rawat inap di rumah sakit.

Selain itu, ibu Jong Kyu nampaknya khawatir. Selama ini anaknya memang pemalu dan tidak percaya diri sehingga sulit bergaul. Dipikirnya, masalah ini akan membuat Jong Kyu semakin mengalami trauma bersosialisasi. Wanita itu juga mengeluh tentang betapa Jong Kyu sering bercerita bahwa dia seringkali menjadi korban kejahilan teman-temannya.

Sebenarnya, sekalipun Mi Na termasuk salah satu dari anak yang paling sering mengerjai Jong Kyu, dia tidak pernah bermaksud jahat padanya. Bahkan sebenarnya, dia merasa tertarik pada anak laki-laki yang pendiam namun cerdas itu. Sekali waktu, Mi Na pernah melihatnya memberikan makanan yang sengaja dia sisihkan untuk seekor kucing jalanan yang sering ditendang-tendang dan dilempari batu oleh anak-anak. Mi Na suka kucing. Diam-diam, tindakan itu membuatnya mengagumi Jong Kyu. Tetapi dia gemas karena sekalipun sering diolok-olok, anak laki-laki itu selalu hanya diam, tidak pernah melawan. Entah mengapa Mi Na ingin sekali melihatnya berontak sekali-sekali, maka dari itu Mi Na mulai bergabung dengan para pengolok-olok secara rutin.

Sungguh, dia tidak bermaksud mencelakai anak itu.

Pintu di sebelahnya membuka. Seorang wanita bergerak keluar dari ruangan, diikuti oleh pria jangkung gemuk berkumis yang dikenali Mi Na sebagai kepala sekolahnya. Otomatis Mi Na langsung duduk tegak. Jantungnya berdebar-debar oleh perasaan takut sekaligus bersalah.

“Terima kasih banyak atas kesedian Anda untuk datang dan bercerita pada saya,  Shim Cheon Hee-ssi.” Kepala Sekolah menyalami tangan wanita itu, yang tampak anggun dengan rambut ikal tergerai menjatuhi kedua sisi bahunya yang kecil. “Sungguh saya menyayangkan keputusan Anda untuk memindahkan anak Anda dari sekolah ini. Jong Kyu memang pendiam, tetapi dia siswa yang berprestasi...”

Mi Na duduk dengan mulut setengah terbuka. Dia tidak percaya apa yang didengarnya. Shim Jong Kyu... akan dipindahkan ke sekolah lain?

“...yah, saya hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk anak Anda,” lanjut sang Kepala Sekolah. Keduanya nampak tidak menyadari keberadaan Mi Na yang hanya beberapa meter jauhnya. Ibu Jong Kyu hanya mengangguk tersenyum seraya mengucapkan terima kasih dengan nada formal.

Segera saja keduanya saling menunduk berpamitan. Kepala Sekolah masuk kembali menuju ruangannya, meninggalkan Ibu Jong Kyu di muka pintu ruangannya yang menutup pelan. Wanita itu diam sejenak, mendesah, nampak lelah dan berat. Jemarinya mengusap dahi untuk menghilangkan kerutan dari sana sebelum berbalik pergi.

Mi Na panik. Dia tidak yakin harus melakukan apa. Satu-satunya hal yang ada di kepalanya hanyalah—dia tidak terima Jong Kyu harus pergi dari sekolah ini karena kesalahannya. Setengah sadar, Mi Na berlari mengejar wanita itu menuruni tangga.

“Jong Kyu-omonee!” panggilnya.

Wanita itu berhenti melangkah di salah satu anak tangga dan berpaling. Bingung mengapa ada anak perempuan seumuran anaknya mengejar-ngejar dia. “Ada apa?” tanyanya enteng seraya agak mengernyit.

“Apa benar Jong Kyu akan dipindahkan ke sekolah lain?” Mi Na bertanya, agak terengah.

“Ya.” Ibu Jong Kyu langsung menjawab dengan anggukan.

“Tolong jangan pindahkan dia!” pinta Mi Na sekonyong-konyong. “A-aku sangat menyesal karena sudah menjahilinya kemarin...”

Sepasang mata Ibu Jongkyu menyipit dengan pemahaman, membuat Mi Na mengalami semacam penyesalan lain atas penjelasannya. “Jadi kamu anak perempuan yang bernama Ryom Mi Na?” tanya wanita itu dingin sekaligus berapi-api. Setelah terlebih dahulu menelan ludahnya dengan susah payah, Mi Na mengangguk kuat-kuat, bersiap menghadapi apa yang nampaknya sudah pasti terjadi setelah ini.

“Gara-gara kamu, kepala anakku bocor—lalu asal kamu tahu, sampai sekarang dia masih belum mau masuk sekolah lagi saking ketakutannya, hingga aku terpaksa membujuknya agar mau kembali bersekolah di sekolah lain!” Ibu Jong Kyu membentak Mi Na dalam sekali tarikan napas, kemudian dicengkramnya bahu anak perempuan itu dan diguncangnya. “Memangnya anakku berbuat salah apa padamu?”

Mi Na menggeleng ketakutan. “M-m-maafkan aku...” cicitnya, hampir menangis. “A-aku tidak sengaja...”

Ibu Jong Kyu mendengus tertawa sinis. “Tidak sengaja? Bukannya kamu mengerjai anakku hampir setiap hari?” tanyanya tidak percaya, namun akhirnya melepaskan cengkramannya di bahu Mi Na. Wanita itu berdiri tegak, menghembuskan napas keras—kelihatannya berusaha menenangkan dirinya sendiri.

“Sudah kuputuskan agar Jong Kyu dipindahkan ke sekolah lain. Semakin dia berjauhan dengan anak-anak nakal sepertimu, semakin baik,” tukasnya dingin pada si anak perempuan, yang tidak berani mengangkat kepalanya lagi. Dan ketika tak lama kemudian Mi Na memberanikan dirinya untuk mendongak, ibu Jong Kyu sudah jauh meninggalkan tempat.

***

Laki-laki itu bernama Shim Jong Kyu.

Dan nampaknya ini serius.

Mi Na sendiri tidak percaya ketika dihadapkan pada nama anak laki-laki yang dicelakakannya sepuluh tahun lalu. Tetapi memang itulah nama yang tercetak pada daftar anggota kelasnya di papan pengumuman. Tentu saja, nama itu menguatkan banyak hal yang memang masih tidak bisa dia lupakan atau hilangkan sampai sekarang. Perasaan bersalah, rasa menyesal, beserta kenangan-kenangan yang separuh lucu separuh tidak menyenangkan.

Jong Kyu masih pendiam, meski tidak seperti dulu. Dia bicara ala kadarnya, tetapi sifatnya yang tenang dan santai memikat banyak orang untuk menjadi temannya. Pun dia bukan lagi anak laki-laki yang cengeng dan penakut. Perawakannya pun sudah jauh berbeda. Sekarang Jong Kyu adalah pemuda jangkung berdada bidang. Wajahnya, meski tidak begitu tampan, sudah tidak lagi mengesankan anak yang senantiasa cemas.

Sekalipun Mi Na ditempatkan sekelas dengannya, mereka tidak pernah bicara banyak. Lagipula, walau Mi Na mati-matian tidak bisa melupakan perasaan bersalahnya terhadap laki-laki itu, bukan berarti Jong Kyu terlihat menyimpan dendam ataupun sedikit ketidaksukaan. Malah sepertinya dia tidak bisa mengingat siapa Mi Na, serta apa yang dilakukan gadis itu kepadanya dulu waktu mereka masih TK.  Setelah lama mengamat-amati dan berusaha menyimpulkan, Mi Na memutuskan bahwa itu mungkin salah satu akibat dari benturan di kepalanya.

Tetapi bagaimanapun juga, Mi Na tidak bisa menghilangkan apa yang terjadi di antara mereka dulu dari kepalanya. Lebih dari dua-tiga kali, Mi Na selalu mendapati dirinya sendiri memperhatikan pemuda itu di kelas secara tidak wajar, seolah-olah jauh dalam hatinya dia ketakutan Jong Kyu akan jatuh kejang-kejang di lantai sewaktu-waktu. Rasanya seperti kekhawatiran yang tidak ada alasannya. Pernah sekali waktu Mi Na tanpa sengaja mengulurkan tisu lebih cepat dari siapapun ketika wajah Jong Kyu terhantam bola sampai mimisan di pelajaran olahraga, meskipun mereka mungkin baru bicara sekitar lima kalimat sepanjang tahun ajaran. Waktu itu dia merasa tangannya bergerak secara otomatis.

“Mi Na-yah, aku tidak tahu kau suka laki-laki macam itu.” Beberapa hari setelah kejadian itu, salah satu teman sekelasnya, Jung Ae Cha, mengajaknya bicara sambil terkikik geli ketika anak-anak perempuan mengobrol bersama di kelas pada jam istirahat.

“Macam apa?” Waktu itu Mi Na sama sekali tidak punya gambaran.

“Jangan pura-pura, aku tahu kau sering memperhatikannya diam-diam,” celetuk Jin Ah di barisan depan, nampaknya antusias.

“Tapi yang tempo hari itu sungguh tidak terduga,” sahut Ae Cha lagi, “Kau langsung berlari menghampirinya dari seberang lapangan begitu...”

Mi Na menahan napas, merasa tertampar. Dia terlalu berkonsentrasi pada perasaan bersalahnya hingga mengabaikan pandangan teman-temannya terhadap tingkah lakunya selama ini. Dan Jong Kyu sendiri. Entah apa pendapatnya mengenai hal itu.

“Bukan begitu!” sanggahnya buru-buru. Tapi lalu dipikirnya, apa yang harus dia jelaskan pada gadis-gadis reseh ini? Kejadian bertahun-tahun lampau itu? Apa faedahnya jika Jong Kyu sendiri sudah menghapus kenangan buruk ini dari ingatannya? Mengungkit kembali hal itu tidak akan memperbaiki situasi—atau malah memperburuk masalahnya saat ini.

Seolah sanggahan yang berhenti di tengah jalan itu belum cukup buruk, bel pertanda istirahat selesai berbunyi dan para siswa masuk kembali ke kelas. Saat itu, Mi Na terlanjur tak bisa mencegah para siswi yang menoleh-noleh kepadanya, atau mendesis-desis memanggil namanya, ketika Jong Kyu sendiri lewat dengan pandangan bertanya. Bahkan teman sebangkunya pun turut menyikutnya.

Kemudian hal itu tidak membaik di minggu-minggu selanjutnya. Firasat Mi Na sendiri mengatakan bahwa Jong Kyu tentu saja sudah mendengar gosip-gosip yang beredar. Beberapa kali kedapatan sedang curi-curi pandang ke arahnya dulu jelas tidak membantu. Mi Na segera pasrah. Sebisa mungkin Mi Na menahan diri untuk tidak mengerlingnya, atau berpapasan dengannya di koridor sekolah. Dari awalnya dia tidak bisa tidak memperhatikan pemuda itu berkat perasaan bersalahnya, seketika berganti menjadi usaha untuk menghilangkan perasaan bersalah itu sendiri.

Kalau insiden kepala bocor itu sendiri sudah tidak ada di dalam kamus ingatan Jong Kyu, kenapa Mi Na masih harus merasa bersalah dan tidak ikut melupakannya saja?

***

Namun ternyata yang terburuk masih belum dan akan segera terjadi.

Tidak ada yang salah dengan hari yang dijalani Mi Na sampai sekolah dibubarkan. Udara petang musim gugur terasa membekukan. Mi Na keluar dari gerbang, agak gontai menyangga ranselnya yang dijejali buku-buku berat. Salah satu yang terberat terpaksa dipegangnya dengan tangan karena tidak muat. Di jalan, dia berpapasan dengan Nam Bong Cha, gadis maha cantik yang konon merupakan seorang trainee di salah satu perusahan entertainment ternama—yang artinya beberapa tahun kemudian dia akan debut menjadi seorang idola.

Selagi  sibuk berpikir bagaimana bisa seorang gadis tetap terlihat berkilauan setelah menjalani penyiksaan di sekolah sepanjang hari, Mi Na mendengar suara-suara dari balik pepohonan yang berjejer di sepanjang jalur menuju gerbang luar sekolah. Menyadari siapa salah satunya, jantung Mi Na langsung mencelos. Dari kejauhan pun dia bisa mengenali sosok Jong Kyu yang jangkung dan bertopi kupluk. Dia bersama seorang temannya yang rambutnya dicat merah menyala.

“Jadi... menurutmu apa dia akan menerimanya?” Jong Kyu terdengar ragu-ragu. Dia memegang sebuah amplop putih tertutup dengan sangat hati-hati seolah itu barang pecah belah.

“Pokoknya cukup panggil namanya, lalu kau serahkan saja ke tangannya. Tidak usah bilang apa-apa dulu,” kata si rambut merah meyakinkan. “Dia tidak akan punya cukup waktu untuk berpikir. Cepatlah—ah, mobilnya sudah tiba. Ayo ayo!”

Jong Kyu bergidik seolah-olah dia masih tidak yakin, tapi lalu berlari keluar dari persembunyiannya menuju tempat Nam Bong Cha menunggu mobil penjemputnya berhenti di tepian jalan.

“Nam Bong Cha-ssi!” Dia memanggil.

Nam Bong Cha, gadis itu, seketika menoleh ke belakang. Rambutnya yang cokelat tebal seolah melayang halus di udara dalam gerakan slow motion ketika dia berbalik, menatap Jong Kyu dari atas ke bawah seraya mengerjapkan matanya yang berbulu panjang nan lentik. “Ya?” sahutnya kalem.

“Errr...” Jong Kyu macet sejenak, meski lebih kelihatan bingung daripada terpesona. “Ini... untukmu,” katanya kemudian, langsung mengulurkan suratnya kepada Bong Cha, tetapi matanya lurus menatap trotoar. Bong Cha melirik surat itu dengan tatapan datar, kemudian mengangguk dan menerimanya dengan senyum agak kecut—seolah-olah dia sudah terlalu sering dicegat untuk disodori surat oleh laki-laki.

Detik itu juga mobil mewahnya berhenti persis di hadapan mereka.

“Terima kasih,” katanya seraya melambai, lalu membuka pintu mobil, masuk dan duduk ke dalamnya tanpa menoleh lagi.

Teman Jong Kyu yang berambut merah, yang sejak tadi mengintip dari balik pohon, langsung melompat keluar dengan cengiran lebar. Jong Kyu menghela napas panjang, berbalik menghadapi temannya itu, lalu ikut nyengir juga. Mereka melakukan tos di udara. Keduanya tertawa-tawa seraya berjalan masuk kembali menuju gedung sekolah, tetapi langkah Jong Kyu entah bagaimana terhenti begitu dia melihat Mi Na. Begitu juga tawanya surut seketika.

Mi Na tidak sadar sudah berapa lama dia membeku di tempatnya. Seolah dirinya juga sudah lupa akan eksistensinya sendiri. Mereka saling tatap begitu saja selama beberapa detik. Si rambut merah bertanya, “Ada apa?” memecahkan keheningan. Tetapi Mi Na juga tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi. Satu-satunya yang dia tahu adalah betapa mual perutnya sekarang. Sesuatu yang buruk—atau lebih memalukan lagi, akan terjadi jika dia tidak segera pergi dari sana. Dan memang itu yang dilakukannya. Mi Na kabur.

***

Dia tidak mengerti.

Sudah dua hari Mi Na uring-uringan. Setiap kali dia teringat akan adegan surat cinta dua hari lalu, perutnya terus menerus terasa tidak enak seperti mau muntah. Selain itu, napasnya jadi berat. Semua ini sama sekali tidak berhubungan dengannya, tetapi wajah Jong Kyu yang seolah terkejut melihatnya membuat Mi Na merasa lebih bingung lagi.

Mi Na meletakkan keranjang berisi barang belanjaannya di meja kasir. Dengan sigap si petugas mini market mengeluarkan barang-barang satu persatu lalu menghitung harganya dengan mesin. Mi Na mengeluarkan uang dari dalam dompetnya dan menyerahkannya kepada si petugas, yang ganti menyerahkan kantong plastik berisi barang belanjannya. Kemudian Mi Na mendorong pintu terbuka dan keluar menuju udara malam Seoul yang dingin. Dikancingkannya mantelnya supaya lebih hangat sebelum melangkah menyusuri jalanan perumahan yang agak menanjak.

Di kepalanya hanya ada kata “tidak mengerti,” “bukan urusanku,” dan “tidak mengerti.”

Mungkin Jong Kyu hanya mendengar selentingan tolol dari gadis-gadis yang bergosip di kelas, kemudian benar-benar menyangka Mi Na naksir padanya atau apa. Mungkin dia merasa tidak enak karena tanpa sengaja memperlihatkan adegan yang akan menghancurkan hati Mi Na. Bodoh sekali. Padahal selama ini Mi Na hanya terjebak perasaan bersalahnya sendiri, yang sangat konyol, terhadap insiden masa kecil yang Jong Kyu sendiri sudah lupa.

Tapi perasaan bersalahnya sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah percintaan Jong Kyu.

Lalu kenapa saat ini dia merasa tidak nyaman?

Atau memang ada sesuatu yang terlewat olehnya di sana, ketika dengan penuh penyesalan dia memandangi kursi Jong Kyu yang kosong selama berhari-hari setelah kepindahannya?

Mi Na melangkah melintasi tikungan, melewati daerah taman yang berpenerangan remang-remang. Di pagi, siang, dan sore hari, taman ini biasanya dipenuhi dengan anak-anak yang bermain pasir, perosotan, jungkat-jungkit, ataupun hanya sekedar kejar-kejaran di tepi kolam. Di malam hari, tempat ini berubah drastis menjadi tempat perkumpulan remaja-remaja brutal sekaligus sarana memadu kasih. Tak terhitung banyaknya kenalan Mi Na yang mengaku menyatakan perasaannya, lalu jadian di tempat ini. Dia sendiri tidak tertarik, melainkan terus saja berlalu melintasi pinggiran taman, ketika akhirnya dia melihat seseorang yang dikenalnya. Di bawah cahaya bulan, rambut kemerahan si pemuda terlihat lebih terang. Dia temannya Jong Kyu. Lalu di sebelahnya itu pasti...

Entah setan apa yang membawakan kebetulan tidak menyenangkan sampai berturut-turut begini. Mi Na mengusap wajahnya dan meratap. Kalau mereka sampai ada di taman ini, itu berarti kejadian menyatakan perasaannya akan atau sedang berlangsung. Tidak, dia tidak berminat menyaksikannya. Dia mau pulang saja.

Setidaknya dia berpikir begitu sampai sesuatu yang janggal terjadi.

“Yang mana dari kalian yang bernama Park Chin Hwa?” tanya sebuah suara bass menyeramkan.

Otomatis Mi Na diam di tempatnya, dengan tidak percaya menyaksikan bukan sosok mungil dan ramping berbaju renda milik Nam Bong Cha menghampiri tempat Jong Kyu dan temannya duduk, melainkan segerombolan remaja berwajah seram dan berambut warna-warni. Berdiri paling dekat dengan mereka berdua adalah seorang laki-laki tampan berwajah licik. Tubuhnya tinggi dan kekar.

“A-aku. Ada masalah?” sahut si laki-laki berambut merah dengan suara hampir tidak kedengaran.

“Masalah?” dengus si tampan. Dengan satu gerakan cepat disambarnya ujung-ujung kerah baju Chin Hwa dan diangkatnya hingga wajah mereka berdekatan. Chin Hwa bertengger lemas dengan kaki menggapai-gapai tanah. “Tindakanmu jelas-jelas mengganggu pacarku, Chin Hwa-goon. Belum cukup kau menerornya melalui telpon, email, dan kiriman bunga, sekarang sampai mengirim surat cinta segala pula! Mau cari gara-gara ya?!”

“Tunggu!” Mi Na mendengar suara Jong Kyu. “Dia tidak tahu kalau Nam Bong Cha sudah punya pacar.”

Pembelaan yang salah. Si tampan ganti melirik Jong Kyu dengan dingin. Tangannya menjatuhkan Chin Hwa ke tanah, yang langsung mengelus dada dengan ketakutan.

“Jadi maksudmu itu salah pacarku, begitu?” geramnya. “Atau maksudmu aku yang tidak terkenal sebagai pacarnya?!”

“Tolong jangan berpikiran negatif dulu,” kata Jong Kyu sambil meringis. “Dia hanya tidak tahu dan tidak bermaksud apa-apa. Toh kau akan berhenti mengejar-ngejar Nam Bong Cha karena dia sudah punya pacar, iya kan, Chin Hwa-yah?”

Tetapi Pak Chin Hwa sudah berdiri, dan dari wajahnya, jelas sudah bahwa dia tidak berniat mengiyakan pernyataan barusan.

“Aku tidak akan menyeraaaaaaaaaaahh!”

Lalu diarahkannya tinjunya ke pipi si tampan.

Dengan tenaga seperti itu, tentunya pada keadaan biasa dia sudah bisa memukul lawan hingga jatuh. Namun berhubung lawannya ini jauh lebih kekar dan tinggi, bergeming pun si tampan tidak. Walau wajahnya memang tampak sedikit memar. Jong Kyu tampak syok berat, begitu pula Chin Hwa. Si tampan mengelus pipinya yang ditinju dengan ibu jari, kemudian meludah ke tanah. Sekarang matanya mendelik.

“Dan ini artinya?” Dia bertanya, tapi itu pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban.

Tiga orang anak buahnya dengan segera menyemburkan teriakan perang, lalu maju berombongan. Mi Na panik dan menjerit, tapi tidak ada gunanya. Diedarkannya pandang ke sekeliling, tapi hampir tidak ada orang yang lewat. Keributan seperti ini biasanya terdengar oleh petugas keamanan, tapi entah kapan dia akan tiba.

Walaupun begitu, Mi Na mendapati dirinya sendiri lumayan terkejut menyaksikan betapa cepatnya Jong Kyu mengendalikan sutuasi. Berdasarkan pengamatannya selama ini, tentu dia sudah tahu bahwa pemuda itu adalah salah satu siswa angkatan mereka yang pertama kali bergabung menjadi anggota klub Taekwondo. Tetapi melihatnya merobohkan dua orang ke tanah dengan begitu cepatnya mau tidak mau membuat Mi Na merasakan sesak yang tidak berhubungan dengan kepanikan, ataupun udara dingin.

Mengalihkan perhatian semua orang dengan erangan tertahan yang membangkitkan bulu kuduk, Mi Na menahan napasnya melihat pemandangan berikutnya. Park Chin Hwa baru saja disudutkan ke batang pohon oleh si tampan, lalu dipukuli berulang kali. Bisa dilihat Mi Na bahwa Jong Kyu mencemaskan temannya. Detik itu juga, orang yang baru saja dirobohkan beringsut bangkit dan meraih batang pohon berbonggol yang teronggok tak jauh darinya.

Mendadak saja Mi Na merasa tahu apa yang akan dilakukan orang itu. Tanpa berpikir, dia berlari menerobos. Dalam ingatannya, globe melayang jatuh. Berpusing pelan-pelan. Mendekati kepala anak laki-laki itu.

***

“Jong Kyu-yah!”

“Apa?”

“Kenapa kau tidak pernah melawan? Tidak bosan dijahili terus?”

“Kau sendiri apa tidak bosan menjahiliku terus?”

“Umma bilang anak laki-laki sebaiknya tidak hanya bersikap baik dan suka membaca buku. Anak laki-laki juga harus gagah dan kuat.”

Shim Jong Kyu menurunkan buku yang menutupi wajahnya selama sesaat, melirik kesal anak perempuan manis bermata bundar yang duduk di hadapannya dengan dagu bertumpu di sandaran kursi. Dia memikirkan bagaimana cara terbaik supaya anak itu berhenti menggerecokinya.

“Kalau aku jadi gagah dan kuat seperti katamu nanti, Mi Na mau jadi pacarku?”

Anak perempuan itu, Ryom Mi Na, begitu terkejutnya hingga dia tidak bisa menutup mulutnya. Menyadari seberapa besar dampak ucapannya, wajah Jong Kyu berubah ungu. Diangkatnya kembali buku yang sedang dia baca hingga setinggi mungkin dan menyembunyikan wajahnya.

“Lupakan saja.” Begitu gumamnya.

***

“Oi, Ryom Mi Na!” seru Jong Kyu, membungkuk untuk menolongnya. Dibalikannya tubuh gadis itu dengan memegang pundaknya—yang membuat Mi Na menjerit tertahan. Itu bagian yang telak diremukkan oleh pukulan barusan. Rasanya sakit sekali sampai kedua matanya berair dan pandangannya berkabut.

“Sori,” ringis Jong Kyu tak enak hati.

“Dimana mereka...?” tanya Mi Na, tidak bisa merasakan kehadiran yang lain.

“Sebagian kabur, sebagian dibawa petugas keamanan.” Jong Kyu menjawab dengan nada agak muram. “Kau baik-baik saja? Tulangmu pasti retak. Sebaiknya kita ke rumah sakit.”

Tetapi Mi Na menahan lengan mantel pemuda itu sebelum dia bergerak.

“Maaf.”

Itu kata yang sudah bertahun-tahun tersangkut di kerongkongannya.

“Aku tidak pernah bermaksud mencelakaimu,” sambungnya lagi.

Hening menelusup bersama dengan berakhirnya kalimat itu. Air mata, entah penyesalan atau kelegaan, mulai mengaliri pipi Mi Na yang kotor terkena debu tanah. Kedua matanya sendiri masih setengah tertutup menahan sakit. Dia tidak peduli lagi apakah Jong Kyu, yang masih terdiam seribu bahasa, mengingat insiden itu atau tidak. Mengatakannya membuat perasaannya seringan bulu, dan hangat—sekalipun semilir dingin musim gugur masih berhembus di sekitar mereka.

“Aku mengerti.”

Jong Kyu mengangkat tangan Mi Na yang tidak terluka, kemudian menyampirkannya ke balik lehernya sendiri. Tak lama, Mi Na sudah mendapati tubuhnya bertumpu pada kedua tangan pemuda itu. Dia merasa tenang sekaligus bingung. Jadi selama ini Jong Kyu masih mengingatnya?

Seolah menjawab pertanyaannya yang tidak terucapkan, pemuda itu nyengir padanya. “Hanya ingat sedikit.” Diangkatnya Mi Na seraya berdiri. “Ingatanku sebelum terbentur itu cuma tersisa sedikit sekali. Tapi samar-samar aku ingat anak perempuan usil bernama Mi Na yang konon menyebabkan kecelakaan itu. Ketika berjumpa denganmu lagi untuk pertama kalinya, aku langsung tahu bahwa kau adalah dia.”

“Aku bahkan tidak membayangkan kau masih merasa bersalah selama bertahun-tahun,” sambung pemuda itu lagi ketika dia membawa Mi Na, dalam gendongannya, menyusuri jalanan menuju rumah sakit. “Kukira selama ini kau yang melupakanku, dan aku harus bilang aku senang karena ternyata itu tidak benar. Ternyata kecelakaan itu ada gunanya juga.”

Mi Na tidak merasa perlu bertanya apa maksudnya dengan kegunaan. Maka dia menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu, menyembunyikan wajahnya yang merona merah di dalam keremangan malam jalanan lengang kota Seoul.

***

-yah: imbuhan nama untuk panggilan akrab
-seonsaengnim: panggilan untuk guru
-ssi: imbuhan nama untuk panggilan formal
-omonee: sebutan untuk ‘ibu dari’
-goon: tuan muda
-umma: ibu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar