Friendship | Writing | Reading | Learning | Joking | Smiling | Laughing | Comfortable
Tentang Kami
Foto saya
Grup Cafe Rusuh merupakan suatu ruang lingkup tempat di mana para anggotanya bisa berbagi tentang segala hal. Kata "Rusuh" sendiri merupakan kependekan dari "Ruang suasana hati". Sebagai sebuah grup, Cafe Rusuh menjadi sebuah jembatan di mana persahabatan, kekeluargaan dan silaturahmi antara sesama anggotanya tetap terjaga. Selain itu, Cafe Rusuh juga memberikan kebebasan kepada para anggotanya untuk berbagi tentang segala hal seperti puisi, cerita, esai, tips-tips dan info-info yang bermanfaat bagi para anggotanya.

Rabu, 27 Juli 2011

ACR: Seandainya Saja

by Herjuno Tisnoaji

Seandainya saja aku tidak menerima tawaran Shinji untuk minum-minum terlebih dahulu, mungkin aku tidak akan ketinggalan kereta.

Benar, sepulang rapat yang membuatku harus berada di kantor tiga setengah jam lebih lama, temanku yang berambut keriting itu mengajakku untuk mampir ke kedai sake baru dekat kantor. Aku sendiri sebenarnya bukan tipe orang yang suka menghabiskan uangku untuk minuman beralkohol macam sake dan bir, jadi awalnya, aku sudah bersiap-siap menolak. Namun, karena Kachou—Kepala Seksi--ternyata juga tertarik untuk ikut pergi ke sana, maka mau tak mau aku pun berakhir di kedai tersebut. Untunglah, dengan alasan aku tidak kuat minum dan masih ada pekerjaan lain yang harus kuselesaikan di rumah, aku berhasil “melarikan diri” dari mereka. Namun, tetap saja malam sudah terlalu larut saat aku keluar dari kedai itu—sudah menjelang tengah malam—dan kereta terakhir dari Kamigyo-ku menuju Higashimuko adalah pukul setengah dua belas. Beruntung ada taksi yang kebetulan parkir di dekat kedai malam itu, jadi setidaknya aku tidak harus berjalan kaki menuju apartemen. Ini sudah awal bulan Desember, dan hanya orang yang tidak punya otak yang mau berjalan selama nyaris tiga jam di tengah udara beku seperti ini.

Aku tiba di dekat apartemenku menjelang pukul satu, dan udara beku jahanam itu langsung menyergapku saat aku keluar dari taksi. Setengah menggigil, aku buru-buru membayarkan sejumlah yen kepada sang supir taksi. Kurapatkan jaket kulitku saat sebuah angin malam yang dingin berhembus. Jaket itu memang membuatku badanku cukup hangat, tapi ia tidak berhasil menjadikanku lebih baik. Terlebih salju juga sudah mulai turun, jadi aku tahu kalau aku harus segera masuk ke kamar apartemenku dan menghangatkan diriku di bawah kotatsu.

Gang depan apartemenku tampak gelap saat aku berjalan melewatinya. Kentaro-kun, putra pemilik apartemen, pastilah belum mengganti lampu beranda, padahal ayahnya sudah memintanya sejak pagi. Aku mendesah. Aku tidak pernah menyukai jalanan yang gelap dan sepi karena membuatku merasa tidak aman (lagi pula, siapa yang suka?). Namun, untunglah hanya ada seorang gadis berjaket hitam yang tengah berjalan ke arahku. Aku tidak tahu apa yang dilakukannya malam-malam begini di tempat seperti ini—dan aku juga tidak peduli—tapi yang pasti, ia tampak tidak berbahaya. Kuputuskan untuk mengabaikan gadis itu dan membiarkan dirinya memapasiku. Untunglah apartemenku sudah dekat, jadi aku bisa segera....

Bruk.

Eh? Suara apa itu dari belakang? Kutolehkan kepalaku melewati punggung, dan saat menyadari apa yang kulihat, aku langsung terkesiap. Sesosok tubuh perempuan yang mengenakan jaket hitam—gadis yang tadi—kudapati tengah tertelungkup di tengah salju, terdiam tanpa suara.

***

Seandainya saja aku tidak menerima tawaran Shinji untuk minum-minum terlebih dahulu, mungkin aku tidak akan bertemu dengan gadis itu. Lebih tepatnya lagi, aku mungkin tidak akan mendapati gadis itu pingsan di luar apartemenku. Aku mungkin juga tidak akan bersusah payah membopong gadis itu melewati tangga, dan lalu membaringkannya di futon setelah sebelumnya menukar jaket ungunya (benar, ternyata warnanya ungu) yang basah dan lembap dengan selimut kering.

Tiga jam berlalu sejak aku membawa gadis itu ke kamar apartemenku, dan selama itu pulalah aku tidak memejamkan mata barang sedetik pun. Aku memutuskan untuk tetap terjaga seraya bersimpuh di dekat futon, berharap gadis ini akan segera tersadar. Setelah itu, aku akan dapat menanyai siapa dirinya, dari mana asalnya, dan apa yang ia lakukan. Akan lebih baik kalau aku dapat segera mengantarnya pulang. Tentu saja, aku harus menjelaskan apa pada Kentaro apabila ia meliat ada seorang gadis di kamar apartemenku?

“...Uh.”

Sebuah gumaman yang dilontarkan gadis itu membuatku berpaling kepadanya. Aku dapat melihat matanya terkerjap, dan tidak lama kemudian, mata itu lantas membuka. Gadis itu kemudian bangkit dari posisi berbaringnya, setelah itu, mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar apartemenku. Ia tampaknya tidak melihatku, karena aku memang berada di balik punggungnya
.
“Sudah sadar?” Itu adalah kalimat pertamaku kepadanya; sebuah kalimat yang sekaligus membuat gadis itu terlonjak kaget. Ia lalu menoleh kepadaku, dan sebagai tanggapan, mengedikkan kepalanya sekali—sebuah pertanda bahwa ia bingung dengan keadaannya sekarang.

“Ini di mana? Kenapa aku di sini? Dan kamu...siapa?”

Aku tersenyum sejenak kepada gadis itu, berusaha memberinya pandangan menenangkan. Kemudian, dengan sebuah suara yang kubuat selembut mungkin, aku berucap, “Aku menemukanmu pingsan di depan apartemenku tadi malam, jadi aku membawamu ke sini.”
“Begitu, ya,” gumamnya lirih. Ia lalu melirik ke arahku sejenak, dan seteah itu, dengan suara yang masih bergetar, berkata, “Arigatou—terima kasih."

Dou itashimashitte—sama-sama,” jawabku. “Perkenalkan, aku Mizuno Hiroshi, tapi kamu bisa memanggilku Mizuno,” ucapku seraya membungkukkan kepalaku sedikit. “Dan kamu adalah...?”

Gadis itu tidak segera menjawab. Alih-alih, ia justru memandangiku cukup lama dengan mata sipitnya yang hitam. “Aku...namaku Haruka,” jawabnya. “Haruka...Haruka.... Aku tidak ingat nama keluargaku!”

Hilang ingatan? Sial, hal seperti ini tidak hanya terjadi di film-film saja, ternyata. Akan menjadi repot kalau seperti ini kejadiannya.... “Kamu ingat di mana rumahmu?” tanyaku, berharap ia akan mengiyakan. Siapa tahu dia hanya lupa nama keluarganya, tapi ia ingat tempat tinggalnya?

“Rumah...ku?” tanyanya. Ia lalu menempelkan jari tengah dan telunjuk kanannya di bibir, setelah itu, menerawang ke arah langit-langit. “Aku...tidak ingat. Yang kutahu adalah aku dari Osaka, tapi aku tidak tahu lebih jauh! Tapi aku merasa ada sesuatu yang harus kulakukan sehingga aku pergi ke sini,” ucapnya. Yah, setidaknya dia tahu kota asalnya, meski tentu saja hal ini tidak membantu banyak mengingat Osaka adalah kota yang luas.

“Kamu punya tanda pengenal?” Aku mencoba menggali lebih jauh setitik informasi yang mungkin mengenai dirinya. Ia lantas mulai menelusuri seluruh kantungnya, dan setelah menemukan sebuah dompet dari saku belakangnya, ia menggeleng. Ah, sial. Perdana Menteri Jepang sepertinya harus mengganti peraturan bodoh yang tidak mewajibkan penduduk Jepang untuk memiliki kartu identitas....

KRIIIING....!

Suara weker yang bersumber dari meja kecil dekat futon itu memberitahukan diriku bahwa kini sudah pukul lima pagi (dan sekaligus berhasil membuat gadis itu—Haruka—terlonjak). Itu artinya, aku harus bersiap-siap kembali ke kantor. Aku menghela nafas dalam-dalam. Kuharap aku tidak tertidur di kereta, karena kelopak mataku terasa cukup berat kini. “Baiklah, eh, Haruka,” ucapku seraya mematikan weker yang terus membunyikan suara nyaring sialan itu. “Aku harus pergi bekerja. Kamu tetaplah di sini...”

“Ja...jangan pergi,” tukasnya. “Bagaimana denganku? Aku tidak mau sendirian!”

“Tenang saja, aku tidak akan lama,” balasku sambil mengira-ngira alasan apa yang dapat kugunakan kepada Kachou. Janjian dengan dokter mungkin ide yang bagus—aku akan memikirkan penyakitnya nanti. “Jangan membukakan pintu bagi siapa pun, oke? Untuk makan siang, ada beberapa ramen instan di kulkas, jadi kamu bisa memakannya,” lanjutku. Tiba-tiba, aku jadi merasa menjadi seorang ayah yang menasihati putrinya. Atau mungkin lebih tepatnya lagi, seorang kakak yang menasihati adiknya, karena umurku belum sampai empat puluh dan gadis ini juga sepertinya tidak bisa dibilang anak-anak.

“Baiklah,” ia berucap lirih. Aku lalu memberikan sebuah senyuman kecil kepadanya, dan setelah itu, beranjak pergi meninggalkan kamar. Kalau aku tidak salah ingat, selain ramen instan, masih ada sebungkus roti di kulkas—aku memasukkannya agar tidak dimakan tikus—jadi setidaknya, aku tidak membiarkannya perutnya kosong pagi ini.

***

Kachou, untunglah, memberiku izin untuk pulang lebih awal, meski aku yakin ia tidak percaya sepenuhnya saat aku berkata aku harus memeriksa jantungku. Namun, sebagai kompensasinya, ia memintaku untuk bekerja lembur besok (yang tentu saja terpaksa harus kusetujui). Aku pun memutuskan untuk mampir ke pos polisi sepulangnya dari kantor, setelah sebelumnya mencoba mencari informasi mengenai gadis itu lewat Internet ponselku. Ternyata, itu merupakan langkah paling konyol yang pernah kulakukan. Ada ribuan nama Haruka di Osaka, dan hal itu semakin sulit karena gadis itu lupa dengan nama belakangnya.

“Permisi, Pak,” ucapku kepada seorang polisi yang tengah berjaga di sebuah pos. “Saya hendak melaporkan sebuah penemuan...”

Polisi itu langsung menurunkan tangannya yang sedari tadi berada di balik punggung, dan kemudian, memintaku masuk ke dalam pos. Seorang polisi lain yang lebih muda lantas menanyakan sejumlah identitasku—seperti nama lengkap dan pekerjaanku. “Jadi,” ucap polisi muda itu tanpa berpaling dari layar komputer di hadapannya, “apa yang Anda temukan? Dompet? ”

“Sebenarnya, Pak, saya menemukan seorang gadis.”

Perkataanku berhasil membuat dirinya menatapku kali ini—sebuah kebingungan jelas terpancar dari tatapan tersebut. Tapi aku bisa paham. Tidak setiap hari ada orang yang melaporkan bahwa ia menemukan seorang gadis, bukan? “Maksud Anda, Pak?” tanyanya dengan keraguan yang kentara.

“Jadi begini,” balasku, “ada seorang gadis yang pingsan di depan apartemen saya tadi malam, dan ia sepertinya hilang ingatan. Ia tidak memiliki apa pun yang dapat menunjukkan siapa dirinya, kecuali bahwa ia mengaku bernama Haruka dan berasal dari Osaka.”

Polisi muda itu mengangguk sekali mendengar penjelasanku. Untunglah ia sepertinya mengerti, dan bukannya menuduhku sebagai penculik atau semacamnya. Tentu saja, mana ada seorang penculik yang melapor ke kantor polisi? “Bisa Anda jelaskan ciri-cirinya?” ucapnya setelah menambahkan keteranganku di komputernya.

“Rambutnya hitam sebahu, wajahnya oval, dan hidungnya cukup mancung,” jawabku, meski aku tidak yakin dengan penjabaran terakhirku. Aku lantas membiarkan polisi itu mengetik segala ucapanku sebelum akhirnya aku melanjutkan, “Ia juga agak kurus. Selan itu, ia mengenakan jaket ungu, rok selutut warna cokelat, legging ungu, dan sepatu bot hitam.”

“Ada fitur spesifik? Mungkin tahi lalat atau tato, atau semacamnya?”

Tahi lalat? Aku tidak memperhatikan gadis itu secara mendetail (lagi pula, saat itu gelap), jadi aku tidak tahu. Mungkin kali lain aku harus memfoto wajahnya dengan ponselku.... “Tidak, saya tidak ingat,” aku menjawab jujur.
Polisi itu kembali membubuhkan informasiku ke dalam komputer. Setelah mengulang deskripsiku mengenai orang tersebut (dan setelah aku mengonfirmasinya), ia lalu berkata, “Baiklah Mizuno Hiroshi-san. Kami akan mengisukan hal ini dan mengontak Kepolisian Osaka, jadi harap tunggu kabar selanjutnya dari kami. Tolong tinggalkan nomor Anda yang bisa kami hubungi.”

Aku mengangguk mendengar kata-kata polisi itu. Baguslah. Setidaknya, aku memperoleh bantuan untuk mengidentifikasi gadis itu. Aku kemudian mengucapkan terima kasih kepada polisi tersebut, dan setelah memberikan nomor ponselku, aku bergegas kembali ke apartemenku. Haruka pastilah tengah mengharapkan kepulanganku kini, jadi tentu saja aku tak akan membiarkan ia menunggu lebih lama!

***

Ketika aku membuka pintu kamar apartemenku, aku serta-merta mendapati Haruka tengah berjalan melintasi ruangan. Sesekali, ia terlihat membalik-balik bantal dudukku, atau merogoh-rogoh jaket yang tadi pagi kusampirkan dengan asal di lantai. Sepertinya, ia tengah mencari sesuatu. “Ada apa, Haruka?” tanyaku seraya beranjak ke arahnya.
Haruka menoleh kepadaku, dan kemudian, berkata dengan nada cemas, “Ponselku! Ponselku tidak ada! Seharusnya ada di jaketku, tapi....”

Ponsel? Ternyata dia punya ponsel? Ah, ini berita bagus, karena dari ponsel itu, aku dapat menghubungi orang yang mungkin ia kenal. Ia pastilah menyimpan nama orang tuanya di ponsel itu, bukan? Namun, hal pertama yang harus kulakukan adalah membantunya menemukan ponsel itu, jadi itulah sebabnya aku langsung menawarkan diri untuk membantunya. “Baiklah ponselmu seperti apa?”

“Warnanya merah, lalu ada gantungan bonekanya....”

Belum sempat Haruka menyelesaikan kalimatnya, aku mendengar suara ketukan di pintu. Tak lama, suara seorang lelaki mengikutinya. “Mizuno-san? Kau di dalam? Otousan melihatmu sudah pulang tadi.”

Sial, itu Kentaro-kun! Ia hampir tidak pernah mampir ke ruanganku sebelumnya, jadi kenapa dia mampir hari ini? “Ha, Haruka,” panggilku kepada gadis yang masih terlihat kebingungan itu. “Ayo sembunyi. Jangan sampai ada yang melihatmu,” aku menambahkan dengan suara yang kubuat rendah. Kemudian, aku buru-buru menggamit lengan gadis itu, menjejalkannya ke dalam kotatsu, dan lalu menutup kainnya.

“Mizuno-san?” Suara Kentaro kembali terdengar.

“Ya sebentar!” aku membalas. Setelah memastikan kain futon itu cukup rapat untuk menyembunyikan tubuh Haruka, aku kemudian buru-buru beranjak untuk membukakan pintu bagi Kentaro. Seorang remaja jangkung dengan pakaian dekil pun langsung menoleh kepadaku saat aku menyibakkan pintu. “Ada apa?” tanyaku.

“Mizuno-san, Otousan menemukan ini tadi pagi di tangga,” balas Kentaro seraya mengaduk-aduk kantung celananya yang lusuh. Ia lantas mengambil sesuatu dari sana. Sesuatu yang membuatku terbelalak, karena benda itu adalah benda yang dicari-cari oleh kami berdua. Benar,benda itu adalah sebuah ponsel berwarna merah dengan gantungan boneka di salah satu sudutnya—ponsel milik Haruka. “Apa ini punya Mizuno-san? Aku sudah menanyakannya ke penghuni apartemen yang lain, tapi tidak ada yang mengaku.”

“Be...benar, itu punyaku,” aku buru-buru menjawab. Tanganku langsung merebut ponsel itu dari tangan Kentaro, dan dengan sigap, mengamankannya di saku kemejaku. “Terima kasih, Kentaro-kun.”

“Akhirnya,” balas Kentaro. “Ponsel itu membuatku kelabakan, tahu? Otousan ribut seharian ini; ia terus-menerus menyuruhku mengembalikan ponsel itu.”

“Ah, ma, maaf,” ucapku seraya mengelus-elus tengkuk. “Baiklah kalau begitu, Kentaro-kun. Terima kasih sekali lagi.”
Kentaro-kun hanya mengedikkan kepalanya sekali sebagai jawaban, dan kemudian, berjalan menuruni tangga tanpa berkata apa pun lagi. Anak yang aneh, rutukku. Ia harus bersikap lebih sopan lagi, atau tak akan ada yang mau menempati apartemen ini. Ah, sudahlah. Yang penting, aku sudah memperoleh ponsel ini. “Oi, Haruka, kau boleh keluar sekarang.” Perlahan, kepala Haruka pun menyembul dari balik kotatsu, yang dilanjutkan dengan seluruh badannya.

“Siapa orang tadi?”

 “Ah, hanya anak pemilik apartemenku,” jawabku singkat. “Dan coba tebak? Dia membawakan ini kepada kita,” aku melanjutkan seraya mengambil ponsel berwarna merah itu dari sakuku.

Haruka langsung kudapati tersenyum lega saat aku menunjukkan ponsel itu . “Yokatta—syukurlah,” ucapnya.
“Baik, dari sini, kita bisa melacak siapa dirimu,” balasku. Ponsel itu berada dalam keadaan mati saat aku memberikannya pada Haruka, dan ia pun dengan segera menyalakannya. Akhirnya, ucapku dalam hati. Akhirnya, aku dapat mengetahui siapa jati diri gadis ini sebenarnya.

Sebuah suara nyaring langsung dikeluarkan oleh ponsel itu begitu benda kecil itu sudah menyala sepenuhnya. Tak lama kemudian, aku melihat sebuah notifikasi e-mail masuk. E-mail itu terkirim kemarin malam, pukul 22.34, dengan nama pengirimnya adalah seseorang yang Haruka sebut dengan “@ori”. Taruhan, itu pasti berarti Aori. Haruka pun dengan segera membuka e-mail tersebut, membuatku dapat membaca isinya. Bagus, ada alamat e-mail Aori di sana, jadi aku bisa.... Hei, tu...tunggu! Tunggu, jangan mati dulu!

Ah, sial! Kenapa baterai telepon itu harus habis di saat-saat seperti ini? Aku pun buru-buru mengambil ponselku—ponselku yang asli—dari saku celanaku, dan kemudian, cepat-cepat menulis alamat e-mail Aori yang sempat kubaca. Itu adalah satu-satunya informasi berharga yang sempat kutangkap dari ponsel itu, jadi mana bisa aku membiarkannya begitu saja!

“Mizuno-san,” kata Haruka sambil memandangku. “Bagaimana ini? Ponselnya mati....”

“Tenanglah,” sahutku. “Aku sudah mencatat alamat e-mail Aori temanmu—atau entah siapa pun itu. Jadi, setidaknya kita punya titik terang,” aku melanjutkan. Sebenarnya, aku hendak menambahkan kata “berharap” dalam kalimatku, tapi aku memutuskan untuk tidak melakukannya karena aku tidak ingin membuat Haruka—atau diriku lebih tepatnya—pesimis. Baik, mari kita hubungi Aori ini.

***

 (?・・)σ you?

Simbol aneh apa ini? Dan kenapa pula ia mengirimkannya saat aku bertanya apa dia mengenal Haruka dari Osaka?

“Oh, itu artinya ‘kamu siapa?’,” jelas Haruka. “Mizuno-san tidak pernah pakai kaomoji?”

Kaomoji? Oh ya, sepertinya aku pernah melihatnya. Saat itu, seorang bawahanku yang bernama Yuna mengirimkan e-mail dengan akhiran simbol aneh ini kepadaku, tapi karena waktu itu aku sedang mengetik dokumen yang harus kuberikan pada Kachou besok pagi, aku jadi tidak begitu memedulikannya. Baik, karena dia bertanya siapa diriku, maka aku harus memperkenalkan diriku dengan baik. Kutulis bahwa aku adalah Mizuno Hiroshi, usia 33 tahun, dan bahwa Haruka yang kubicarakan kini berada di apartemenku di Kyoto, sedang kebingungan karena sebagian ingatannya hilang. Baik, terkirim.

Uso—bohong!
(゚Д゚)

Sore o shoumei—buktikan!
( ̄Д ̄)

Bukti...dia minta bukti, ya...? Bukti apa, ya?

“Bagaimana kalau foto diriku?”

Aku menoleh ke arah Haruka sesaat setelah ia berkata demikian. Ah, benar juga! Dengan cepat aku lantas memotret wajah Haruka, dan setelah itu mengirimkannya kembali ke Aori. Butuh wktu agak lama hingga ia membalas; mungkin ia agak terkejut juga.

Ii no... Nani o shitai?—baik...apa yang kauinginkan?

Saigo—akhirnya! Dengan bersemangat , aku lantas bertanya apakah ia mengenal Haruka, atau apakah ia memiliki informasi apa pun mengenai gadis itu. Aori lantas menjawab bahwa ia dan Haruka pertama kali bertemu di 2channel dalam sebuah forum mengenai fashion, dan dari situ, mereka jadi cukup sering chatting bersama. Saat aku bertanya apakah Aori pernah bertemu Haruka, ia menyangkal, meski ia mengaku bahwa mereka pernah saling berkirim foto. Haruka sendiri, menurut Aori, tidak banyak bercerita mengenai dirinya atau keluarganya. Ia hanya tahu bahwa Haruka memiliki seorang kakak dan tengah berkuliah di sebuah akademi keperawatan khusus wanita di Osaka.

 Beberapa hari lalu, Haruka berkata bahwa ia hendak ke Kyoto untuk mencari seseorang. Setelah itu, kami putus kontak, sampai kau menghubungiku kembali. Selebihnya, aku tidak tahu.

 Begitu isi e-mail terakhir yang Aori kirimkan kepadaku.

Baik, sepertinya ini sudah cukup. Meskipun aku tidak banyak memperoleh latar belakang Haruka, setidaknya aku tahu apa tujuannya berada di sini. Aku kemudian mengucapkan terima kasih kepada Aori, dan setelah ia berpesan kepada Haruka untuk segera pulang, aku lantas memutuskan komunikasi dengannya. “Haruka-san,” panggilku, “kalau begitu bagaimana kalau besok Minggu kita berkeliling Kyoto? Siapa tahu kamu dapat menemukan sesuatu.” Aku tahu bahwa itu hampir mustahil, tapi apa salahnya mencoba?

“Baiklah,” balas Haruka. “Ne, Mizuno-san, arigatou,” ia melanjutkan seraya memandang ke arahku. “Kita belum pernah saling mengenal sebelumnya, tapi kau rela melakukan berbagai hal untukku.”

“I...iya, tidak apa-apa,” jawabku. Aku kemudian ganti memandang mata gadis itu, dan tiba-tiba saja, mukaku terasa panas. Aku lantas buru-buru mengalihkan wajahku dari Haruka, sambil berharap ia tidak melihat rona merah itu. Bukan cuma itu, aku juga berharap ia tidak mendengar bunyi dentuman yang menggema dalam dadaku, atau mendapati keringat dingin yang membasahi telapak tanganku.

Sial, kenapa aku jadi merasa seperti ini?

***

Seandainya saja aku tidak menerima tawaran Shinji untuk minum-minum hari Rabu lalu, aku pastilah tengah berada di apartemenku kini, menghabiskan waktu untuk membaca majalah pria yang belum sempat kubaca. Aku mungkin juga tidak akan mengendarai taksi berkeliling Kyoto bersama seorang gadis amnesia yang—awalnya—tak kukenal. Namun, kenyataannya aku melakukannya. Dan, sekali lagi, aku kembali melakukan sebuah tindakan bodoh, karena bahkan setelah berjam-berjam mengitari Kyoto, Haruka tidak berhasil mengingat apa pun. Tidak setelah kami berkunjung ke Muko, Fukuakusa, dan sejumlah tempat lain yang tak kuingat. Pada akhirnya, kami memutuskan untuk mengunjungi Pasar Nishiki setelah aku harus berhenti menggunakan jasa taksi karena aku merasa uangku tak akan cukup. Aku masih harus membeli telur dan gula di sana. Oh, ya, roti juga hampir habis.

Hari sudah menjelang malam saat kami mengunjungi pasar tersebut. Lampu-lampu berwarna jingga tampak sudah dinyalakan, menerangi kios-kios yang menjual berbagai jenis makanan; mulai dari jamur matsutake, ikan fugu, hingga okonomiyaki yang baunya membuatku lapar. Udara yang dingin dan salju yang mulai turun tidak mengurangi keramaian di Pasar Nishiki. Pasar ini memang dikenal di seantaro Tokyo dengan sebutan Kyoto no Daidakoro—Dapur Kyoto—jadi tidak heran kalau banyak turis datang ke sini.

Haruka  berkata bahwa ingin melihat-lihat berbagai kios di sini, jadi aku lantas menemaninya berkeliling. Gadis itu tertarik dengan sebuah dashimaki—dadar gulung Jepang, dan saat aku berkata bahwa aku akan membelikannya, ia menolak. Alasannya, ia masih memiliki sejumlah uang di dompetnya sehingga aku tidak perlu  repot-repot membayarinya makanan itu.

Ne, Mizuno-san,” ucap Haruka saat kami makan malam di Fumiya, sebuah kedai udon yang terletak dekat Jalan Sakaimachi. “Sekali lagi, terima kasih banyak. Mizu—Hiro-niisan sudah banyak membantuku seharian ini.”

Aku hampir tersedak saat Haruka mengubah panggilannya. Hiro-niisan? Terdengar agak aneh datang dari lidah seorang gadis yang baru kukenal selama empat hari, meski, harus kuakui, aku senang mendengarnya. “Tidak apa-apa,” jawabku.
“Tapi omong-omong, kenapa Hiro-niisan mau membantuku sampai sebegini jauh?” Haruka kembali bertanya kepadaku setelah menelan takoyaki-nya (ia tidak memesan udon karena berkata sudah cukup kenyang setelah memakan dashimaki). Aku sendiri langsung mengelus-elus daguku saat mendengar pertanyaan Haruka itu. Benar juga...kenapa aku melakukannya? Kenapa aku mau-maunya berkeliling Kyoto bersama gadis ini, padahal aku bisa saja menghabiskan hari Mingguku dengan membaca majalah pria itu?

Karena aku menyukainya...?

Tidak, sangkalku. Aku tidak boleh menyukainya. Aku tidak boleh jatuh hati pada seorang gadis yang bahkan lupa siapa nama keluarganya. Akhirnya, aku memutuskan untuk berkilah dengan berucap, “Mau bagaimana lagi? Aku sudah sejak awal menolongmu, jadi aku merasa harus terlibat.”

Sou ka—begitu,” balas Haruka. Kami lantas tenggelam dalam sebuah momen yang sunyu selama beberapa saat, sebelum akhirnya, Haruka bertanya, “Hiro-niisan, boleh aku pinjam ponselmu? Aku bosan.”

Ponsel, ya...kurasa tidak apa-apa. Toh aku yakin dia juga tidak akan berbuat apa-apa.Itulah sebabnya aku lantas menyodorkan ponselku kepadanya, yang ia balas dengan sebuah senyman. Sementara Haruka melihat-lihat ponselku, aku kembali melanjutkan menyantap udon-ku. Aku baru sekali menyeruput udon itu ketika tba-tiba Haruka menunjukkan ponsel itu kepadaku seraya bertanya, “Ne, Hiro-niisan, ini siapa?”

“Itu...” balasku sambil mendekatkan wajahku ke arah ponsel tersebut. “Ah, itu ayahku, tapi dia meninggal dua tahun lalu. Dia memintaku untuk memfotonya saat aku baru pertama kali membeli ponsel itu. Konyol, ya?” ucapku, berusaha untuk melucu. Namun, Haruka tidak tertawa. Alih-alih, ia justru memandangi foto itu lekat-lekat. “Doushita no—ada apa, Haruka-san?”

“Ah, tidak, bukan apa-apa,” sahut Haruka. Ia kemudian buru-buru menggeletakkan ponsel itu di atas meja, dan setelah itu menyunggingkan sebuah senyum. Dadaku kembali berdegup saat melihat senyumannya, sehingga aku pun langsung beralih ke udon-ku.

Tak salah lagi. Mau sekuat apa pun aku menyangkalnya, aku tetap tak bisa menolak bahwa aku menyukainya. Dan sepanjang sore itu akhirnya kuhabiskan dengan sebuah kecanggungan yang, menurutku, amat ganjil, sambil berhadap Haruka tidak akan menyadari perilaku anehku ini.

***

Aku tengah menunggu kereta yang akan membawaku ke Higashimuko ketika ponselku berdering. Tanganku buru-buru meraih ponsel itu dari saku jaketku—aku tidak ingin bunyi deringnya mengganggu penumpang lain terlalu lama—dan tanpa melihat siapa yang menelepon, aku langsung menyapa, “Moshi-moshi, dengan siapa saya berbicara?”

“Mizuno Hiroshi-senpai?” tanya suara yang di seberang, yang kusahut dengan pernyataan afirmatif. “Kami dari Kepolisian Kyoto. Jika tidak salah, Anda pernah melaporkan—etto—menemukan seorang gadis?”

“Ya, ya, benar,” sahutku. Kepolisian Kyoto? “Ada apa, ya?” tanyaku. Jangan-jangan mereka....

“Kami memperoleh laporan kehilangan anak dari seorang perempuan, semenjak Senin satu minggu lalu,” sahut polisi yang kini tengah berbicara denganku, “dengan ciri-ciri fisik mirip yang Anda gambarkan.”

Aku sedikit terkesiap mendengar berita itu. Di satu sisi, aku merasa gembira karena akhirnya Haruka dapat menemukan kembali siapa dirinya, dan mungkin dapat menemukan orang yang ia cari. Namun, di sisi lain, ada bagian dari diriku yang tidak merelakan kepergiannya....

“Mizuno-san? Anda di sana?”

“Eh, ya, ya,” balasku cepat. “Jadi, kapan ia akan menjemputnya?” tanyaku, meski bibirku sedikit berat mengucapkan kata terakhir.

“Besok siang, sekitar pukul tiga sore,” sahut polisi tersebut. “Akan kami berikan nama dan nomor telepon pelapor, sehingga Anda bisa menghubunginya,” tambahnya. Aku pun buru-buru mengambil sebuah catatan kecil dan bolpen dari saku dalam jaket kulitku—beruntung aku punya kebiasaan menyimpannya di sana. Kemudian, aku lantas meminta polisi itu melanjutkan kata-katanya, dan detik berikutnya, ia sudah menyebutkan sebuah nama....

Ah, tidak. Marga itu ada banyak di Jepang, jadi kemungkinannya kecil sekali. Saat aku menyadari bahwa aku kehilangan sebagian nomor telepon dari ibu Haruka, aku lalu meminta polisi itu mengulanginya. Dengan lebih lambat, ia kembali mengucapkan deretan nomor telepon tersebut. Aku kemudian mengulangi nomot yang ia ucapkan, dan setelah polisi itu memastikan bahwa nomor yang kusebutkan tepat, ia mengucapkan terima kasih atas laporanku dan lalu memutus sambungan.

Aku membisu. Seharusnya, aku senang Haruka dapat kembali kepada keluarganya. Seharusnya, aku senang karena aku tidak perlu lagi menyisihkan uangku untuk membayari makan seorang gadis yang bahkan tak kuketahui asal-usulnya. Namun, aku justru merasa hampa, seolah aku akan kehilangan dirinya.

Dan memang aku akan kehilangan Haruka besok, pukul tiga sore saat ibunya menjemputnya.

***

“Haruka-san, aku punya kabar gembira untukmu,” ucapku saat aku sudah tiba di kamar apartemenku.

Haruka yang kudapati tengah memakan ramen instan itu pun menoleh kepadaku.  “Kabar apa itu, Hiro-niisan?” tanyanya seraya menyunggingkan senyum.

Aku kemudian menelan ludah sejenak, sebelum akhirnya melanjutkan dengan suara yang kubuat seringan mungkin, “Ibumu akan menjemputmu besok, pukul tiga sore. Jadi bersiaplah!”

Senyum di wajah Haruka entah kenapa tiba-tiba saja kudapati mengendur. Hei, ini bukan reaksi yang kuharapkan. Kukira ia akan bersorak gembira dan menunjukkan wajah riangnya, sebagaiamana yang ia tunjukkan kepadaku saat berada di Pasar Nishiki kemarin. “Hiro-niisan...kalau boleh tahu, siapa nama ibuku?” tanyanya dengan nada yang, secara mengejutkan, sangat rendah.

“Tentu saja. Nama ibumu adalah Mizuno Shiori,” jawabku dengan hati yang mengganjal. Selain masih memikirkan sikap Haruka barusan, aku juga masih gamang dengan nama marga ibu Haruka itu. Jika benar begitu, maka seharusnya Haruka memiliki marga Mizuno—sebagaimana halnya diriku. Namun, marga Mizuno itu cukup umum di Jepang, kan?

“Ternyata benar, ya," gumam Haruka. Ia lantas menaruh gelas ramen-nya di atas meja kotatsu, kemudian menatap kepadaku. “Hiro-niisan,” panggilnya kepada diriku, “saat aku  lulus SMA, Otousan meninggal.”

Aku sedikit terkesiap saat mendengar kata-kata Haruka itu. Apa ini...kenapa ia bercerita seperti ini?

"Sebelum meninggal, aku sempat mendengar Otousan berkata pada Okaasan,” Haruka melanjutkan.Ia menahan kalimatnya sejenak dan  lalu melanjutkan,, “Ia berkata bahwa aku sudah seharusnya diperkenalkan pada keluarganya yang lai—istrinya yang lain dan juga anaknya yang lain. Saat itu Okaasan setuju, tapi entah kenapa ia tidak pernah melakukannya.”

Keringat dingin tiba-tiba saja kurasakan mengalir di pelipisku. Dengan tegang, kutatapi mata Haruka yang kini mengarah ke arah mataku.  Ja...jangan bilang kalau....

“Karena itu, aku berinisiatif mencari tahu siapa keluarga lain yang Otousan katakan.” Kudengar Haruka berkata lagi. “Aku akhirnya tahu bahwa istrinya yang lain sama-sama tinggal di Osaka, dan dari istrinya, itu, aku tahu bahwa anaknya—saudaraku—merantau ke Kyoto.”

Mataku semakin membelalak. Kebetulan, yah ini pasti kebetulan semata!

“Aku juga tidak sadar pada awalnya, tapi saat aku melihat foto ayah Hiro-niisan, aku langusng dapat mengingat semuanya. Rasanya seperti ada yang menjejerkan slide-slide film kepadaku” ucap Haruka lagi. "Aku akhirnya tahu kenapa aku ada di sini, di Kyoto ini." IDihembuskannya nafasnya perlahan, dan kemudian, ia  berkata kepadaku setelah menunjukkan sebuah senyum. Senyum temanis yang pernah kulihat darinya.

Mitsuketara, Oniisan—aku akhirnya menemukanmu, Oniisan.”

Aku langsung merasa lemas begitu Haruka mengucapkan dua kata terakhir. Bibirku tak mampu berkata apa pun lagi, dan lidahku juga terasa kaku. Seandainya saja aku tidak menerima tawaran Shinji untuk minum-minum satu minggu lalu, mungkin aku tidak akan mencintai adikku sendiri.

***

 Cerita ini diikutsertakan dalam Lomba Arisan Cerpen Romantis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar