Friendship | Writing | Reading | Learning | Joking | Smiling | Laughing | Comfortable
Tentang Kami
Foto saya
Grup Cafe Rusuh merupakan suatu ruang lingkup tempat di mana para anggotanya bisa berbagi tentang segala hal. Kata "Rusuh" sendiri merupakan kependekan dari "Ruang suasana hati". Sebagai sebuah grup, Cafe Rusuh menjadi sebuah jembatan di mana persahabatan, kekeluargaan dan silaturahmi antara sesama anggotanya tetap terjaga. Selain itu, Cafe Rusuh juga memberikan kebebasan kepada para anggotanya untuk berbagi tentang segala hal seperti puisi, cerita, esai, tips-tips dan info-info yang bermanfaat bagi para anggotanya.

Rabu, 27 Juli 2011

ACR: I Think I Miss You

by Gem My

Aku bersandar pada sofa cafe yang empuk dan hangat. Musim dingin berlalu lebih cepat kurasa. Tanpa aku sadari musim semi sudah tiba. Bukan. Bukan salah cuaca atau dunia yang sudah tua. Tapi, aku yang tak pernah ingat bahwa hari-hari telah memiliki kalender dan jam yang nyata. Aku sering melewatkan kesenangan melihat dua benda penunjuk waktu itu. Kesibukan, alasanku. Aku habiskan duniaku berputar-putar di dalam kehidupan perusahaan yang mungkin hanya akan menenggelamkan aku semakin dalam pada dunia yang tanpa perasaan.

Inginnya aku tak punya perasaan saja memang. Tapi, aku manusia biasa. Luar biasa sih, kadang-kadang, menurut teman-temanku. Luar biasa aku bisa hidup dengan tidak mempedulikan semuanya jika aku sudah berkeinginan demikian.

Suara musik yang tak asing mengalun mengisi telingaku. Kiss The Rain yang disuguhkan dengan permainan piano Yiruma benar-benar musik yang bisa kudengarkan berulang-ulang tanpa bosan.

Dengan malas-malasan aku merogoh saku hoodie-ku, mengambil telepon genggam. Masih dengan ngantuk berat aku menempelkan telepon genggam itu ke telingaku. “Hallo…” Aneh. Aku tak mendengar ada nada telepon yang terputus atau suara apapun dari telepon genggam itu. Aku membuka mata dan melihat layar hanphone-ku. Tak ada panggilan ataupun pesan masuk. Alunan suara piano itu terdengar lagi. Dari arah di depanku.

Saat aku mencari darimana suara itu berasal, aku menemukan seorang pria berpenampilan rapi dengan sikap santai duduk seraya meneguk kopi dihadapanku. Rasa kantukku hilang dalam sekejap.

A, apa yang dia lakukan di sini?

Senyum melintas di wajah pria itu ketika ia meletakkan cangkir kopinya di meja dan mendapati aku begitu terkejut akan kehadirannya. “Sudah bangun? Maaf, suara handphone-ku membangunkan putri tidur.”

“Sedang apa kau di sini?” Aku menegakkan posisi dudukku seraya sekenanya merapikan rambutku yang kusut.

Mata pria itu memandangku geli. “Minum kopi.” Ia menjawab singkat pertanyaanku.

“Se, sejak kapan duduk di situ?” Aku tak tahu kenapa dia selalu bisa membuatku gugup.

“Sejak lima cangkir kopi.” Ia menjawab begitu santai.

Lima cangkir… seharusnya dia minum lima cangkir racun saja! Jadi, aku tak harus melihat wajahnya lagi.

Aku beranjak dari kursiku. Aku tak ingin melanjutkan percakapan dengan pria itu.

“Kenapa?” Suara pria itu seketika terdengar serius, nada santai yang sejak tadi tersuguh hilang entah kemana.

Langkahku terhenti  disamping kursinya. “Apa?”

“Kenapa kau pergi?”

Aku mengernyitkan dahi. “Jemputanku sepertinya sudah datang.” Aku menjawab seadanya, lalu meninggalkan dia di kursi itu. Dia bukan pria asing buatku. Tapi, aku sangat ingin menjadikannya asing seperti sebelum pertama kali kami bertemu. Satu tahun yang lalu.

***

Maret 2010. Musim semi itu memang mencairkan salju.

Sembari menikmati langit biru jernih dan keramaian yang ingin berteman, aku menarik garis-garis tegas di atas buku sketsaku, goresan pinsilku menghasilkan sebuah gambar sepasang muda-mudi yang tersenyum bahagia. Begitu gambar selesai, aku segera menyerahkannya kepada gadis remaja yang sejak lima menit lalu menunggu hasil sketsa itu.

Ucapan terima kasih dan senyuman tulus seperti yang diberikan gadis remaja berpenampilan ala kogal[1] dan pemuda berbalut nuansa penyanyi idola Korea itu aku lihat setiap hari saat aku telah menyelesaikan sketsaku. Kepuasan akan senyuman itulah yang menyeretku ke dalam dunia goresan kisah di atas kertas.

Aku kembali bersandar pada monumen patung perunggu di depan Stasiun Shibuya itu. Mataku menyapu keramaian sekali lagi, merekam dalam-dalam dunia manusia aneka gaya. Masing-masing semuanya punya warna. Menatap warna-warna itu, aku terpaku. Satu hal tentang itu. Mereka semua seperti kebanyakan sedang menunggu. Mengingatkan aku pada kisah si patung perunggu yang kusandari sejak tadi.

Hachiko. Entah menurutmu, tapi bagiku kisahnya yang begitu nyata terasa lebih menyentuh saja dibandingkan dengan kisah cinta klasik Romeo & Juliet ataupun Titanic. Kisah tentangnya hidup pada masa delapan puluh enam tahun silam. Melalui seorang perantara Hachiko dipungut oleh keluarga Ueno yang sangat ingin memelihara anjing jenis Akita Inu. Hachiko dipelihara oleh Profesor Hidesaburo Ueno yang mengajar ilmu pertanian di Universitas Kekaisaran Tokyo. Daya tarik kisah Hachiko yang menggerakkan perasaanku adalah suatu momen ketika Hachiko setiap hari selalu mengantar dan menjemput sang majikan di stasiun setiap kali majikannya pergi dan pulang dari bekerja. Hingga setelah sang majikan meninggal di tempat kerjanya, Hachiko tetap menunggu sang majikan yang tidak kunjung pulang di Stasiun Shibuya. Ia terus menunggu dengan setia hingga akhir nyawanya. Jasad Hachiko kemudian dimakamkan di samping makam sang majikan.

Kisah tentang Hachiko tak hanya menggerakkan perasaanku, tetapi cerita itupun menyentuh banyak orang yang hidup dan menyaksikan kisahnya di kala itu. Hingga kemudian seorang pematung bernama Teru Andō mengabadikan kesetiaan Hachiko dalam sebuah patung perunggu yang lalu diletakkan di depan stasiun shibuya.

Hari ini seperti kemarin. Ramai disekitar monumennya. Begitu khas, ia menjadi tempat bertemu bagi banyak orang yang membuat janji untuk bertemu di Shibuya. Hari ini banyak yang berjanji untuk bertemu sepertinya. Mungkin karena ini adalah white day[2], hari istimewa lain bagi remaja Jepang dimana setiap pria akan memberikan balasan atas suatu pemberian dari teman perempuan mereka pada hari Valentine Februari lalu.

“Buatkan satu sketsa untukku.” Sebuah suara membuatku mengalihkan pandangan dari sekelompok remaja yang sedang bercanda dan berfoto di sekitar patung Hachiko.

Seorang pria berdiri dihadapanku, perawakannya asing khas Asia Selatan, rambutnya berwarna gelap, matanya coklat terang, tubuhnya tinggi dan ia rapi. “Ya?”

“Buatkan sketsa untukku dan pasanganku.”

Aku mengangguk. “Baiklah.” Dan, beberapa saat aku terdiam. Aku melihat ke arah kiri dan kanan. Ia tak terlihat bersama pasangannya. “Kelihatannya pasanganmu belum datang, ya?”

“Sudah datang.”

“Oke.” Aku mengangguk. “Dimana dia?”

“Di depanku.” Pria itu tersenyum dan mengeluarkan sebatang lollipop dari balik punggungnya, ia berlutut dihadapanku dan menyerahkan lollipop itu ke dalam genggamanku. “Aku harap, ada gadis secantik dirimu untuk menjadi pasangan seorang penyendiri sepertiku.”

“Hah?”

“Hai, Pianka! Kuharap kau tidak lupa padaku.” Dia mengulurkan tangan untuk bersalaman.

Dengan canggung kusambut tangan itu. Hangat.

“Nathan.” Dia menyebutkan namanya. “Aku tetanggamu di apartemen tingkat atas. Di Jakarta. Aneh ya, kau tak pernah menyadari kalau aku ada, padahal kita selalu berpapasan setiap pagi saat berangkat kerja.”

Aku sungguh tak tahu tentang itu. Aku tersenyum. “Oh, maaf. Aku nggak tau.”

Nathan tersenyum. Senyumnya adalah senyum paling menggoda yang pernah ada. Seperti senyuman anak kecil yang polos dan manis. Karena sikap itu, kurasa, dia bisa membuat seluruh dunia tersenyum padanya.

Aku tersenyum. Tulus. Bukan karena tergoda dirinya. “Jadi, apa masih mau kulukis?”

Nathan tersenyum. “Aku ingin dilukis berdua denganmu, Piya.”

Aku tertawa tanpa terasa. “Apa?” Kalimatnya membuatku segera tahu dia pria seperti apa.

“Piya, aku ingin kau menjadi pasanganku di White Day ini.”

Aku geleng-geleng kepala. “Kau sangat lucu.” Aku tersenyum. “Ya. Baiklah. Kurasa aku bisa menemanimu mengobrol. Hari ini aku tak begitu sibuk.”

“Hanya mengobrol?”

“Ya?”

“Hanya menemaniku hari ini?”

“Ya. Kenapa?” Aku menaikkan alis. “Oh! Jika hari lain kau ingin ditemani jalan-jalan juga… kupikir, tak masalah.”

“Hari ini. Hari lain. Mengobrol. Jalan-jalan.” Nathan menghembuskan nafas, seperti tak terima. “Piya, aku ingin kau menemaniku selamanya.”

Tawaku pecah seketika. Dia terlalu pandai bicara dan suka menggoda. Dia tak bisa dipercaya. Otakku memberi peringatan waspada.

___

Kewaspadaanku luntur.

Berbicara seharian dengannya. Berhari-hari tanpa henti. Mendengarkan segala leluconnya. Mendengarkan semua kata-kata bernada mesra. Dia tak mebuatku bosan. Keajaiban. Biasanya aku orang yang cepat bosan. Sungguh!

“Hai, My Piya. Apa kabarmu?” Suaranya terdengar ceria seperti biasanya.

“Hai, Nat. Ada apa? Do you miss me?”

“No.” Dia menjawab singkat.

“No?”

“I’m not a bad shooter, Piya.”

Aku tertawa. Aku mengerti maksudnya. “Ya. Ya. You’re not a bad shooter. Jadi, sudah berapa banyak gadis yang terjebak, penembak jitu?”

“Uhmmm. Banyak. Aku tak bisa menghitungnya.”

“Jadi, aku juga sedang berjalan menuju jebakan, ya?” Aku bertanya dengan santai, setengah bercanda.

“Kau sangat sulit dijebak. Jadi, aku tak perlu menjebakmu. Aku hanya perlu menunggumu menerimaku saja. Apa adanya.”

“Manis sekali.” Aku tersenyum seraya mencoba menatap jam di atas meja hotel di samping tempat tidurku. Pukul tiga pagi. “Ada apa menelponku sepagi ini?”

"Untuk memberikan kejutan.”

“Kejutan?”

Suara bel pintu kamarku berbunyi. Mengagetkanku. Siapa yang iseng begitu? Membunyikan bel pintu jam dua pagi. Malas rasanya meladeni tamu atau orang iseng pada jam segini. Aku masih ngantuk sekali. Suara bel itu berbunyi berkali-kali, tak berhenti. Dengan malas aku beranjak dari tempat tidurku, menuju pintu.

Ku buka pintu tanpa curiga. Dan, senyum menggoda itupun menyambutku. “Nathan? Apa yang…”

“Ikut aku!”

“Apa…” Aku tak diberi kesempatan bertanya, dia menarik tanganku dan membawaku pergi bersamanya. Kenapa harus jam tiga pagi dan dalam kondisiku yang masih mengenakan piyama?!

Sebuah mobil sport hitam metalik–Aston Martin DBS Carbon Black–dan  kain penutup mata. Itu yang aku dapatkan begitu keluar dari tempatku menginap, Shibuya Tokyu Inn Hotel. 
           
 Entah kejutan yang seperti apa yang ingin dia berikan hingga aku harus duduk cukup lama dengan mata tertutup di dalam mobil yang akan membawaku entah kemana. Sepanjang perjalanan aku terus mendengar candanya. Katanya, tidak susah ternyata menculik seorang gadis dan sepertinya pekerjaan itu cocok untuknya. Aku menanggapinya dengan tertawa, ya, kurasa dia benar, dia bisa menculik siapa saja dengan mudah jika dia mau. Mungkin karena keahliannya bicara dan menggoda.

Ketika kemudian kendaraan dihentikan, dia menuntunku keluar dari mobil dan berjalan menuju ke suatu tempat. Kami melewati udara hangat yang nyaman. Suasana yang tak ramai meski terdengar beberapa orang sedang bercengkerama, aku rasa kami sedang memasuki suatu bangunan. Lalu berjalan terus menuju ke suatu tempat yang kupikir sebuah ruangan, karena aku mendengar suara pintu yang bergeser.
Dan, kami berhenti.

“Dimana ini?”

Penutup mataku dibuka. Senyuman menggoda pria itu menjadi pemandangan pertama yang tertangkap oleh penglihatanku.

“Kita di sebuah hotel.”

“Hotel???”

Tawa Nathan meledak. “Dirty mind.”

“No. I’m not!” Aku kesal. Dirty mind? What?!

Tersenyum puas dia tampaknya setelah bisa membuatku kesal. “Kau tak mau melihat kejutannya?”

“Oke.”

Ia menatap ke arah belakangku. “Di sana.”

Aku berbalik segera dan kejutan itu sungguh tak kuduga. Kejutan yang sangat luar biasa, indah. Inilah salah satu alasan kenapa aku begitu suka suasana pagi. Cahaya jingga matahari yang membara di ufuk timur beraroma nyala dunia. Ronanya begitu sempurna menggetarkan rasa yang memberi jiwa. Senyumanku mengembang tanpa terasa.

“Cantik sekali.”

“Cantik seperti kau, Piya.”

Aku mengernyitkan dahi dan menoleh ke arah Nathan. “Apa?”

“Cantik.”

Aku tertawa. Dia selalu bisa membuatku tertawa. “Pemandangan paginya benar-benar indah. Dimana ini? ”

“Kujukurihama. Iioka Onsen.”

“Chiba?” Prefektur Chiba, wilayah yang terletak di sebelah Timur Tokyo. Sebuah wilayah dimana kita dapat menikmati pemandangan Samudera Pasifik dan menikmati udara yang nyaman di berbagai musim. Musim seminya yang paling aku suka, kita dapat menemukan bunga cherry yang mekar dimana-mana. Senyumku mengembang. Dia sungguh gila. Menjemput di Shibuya pukul tiga pagi untuk sebuah pemandangan matahari pagi di Chiba. Perlu lebih kurang dua jam perjalanan ke tempat ini kurasa. Tempat yang luar biasa, dia tak salah sama sekali. “Kau tahu, kau adalah teman jalan-jalan yang paling menyenangkan yang pernah menemaniku menghabiskan liburan.”

“Teman? Hanya teman?”

“Kenapa?”

“Aku tak ingin jadi teman, Piya.”

“Maksudnya?”

 “Aku ingin lebih dari teman.”

“Maksudnya?”

“Maksudnya, maksudnya. Piya, aku ingin kau jadi kekasihku.” Nathan berkata dengan wajah serius dan tak pernah hilang sedikitpun darinya sebingkai tatapan menggoda yang manis.

Aku tertawa. “Kau lucu sekali.”

“Aku tidak sedang melucu.” Nathan menatap dengan serius.

“Oke… tidak sedang melucu?”

“Piya… apa kau lesbian?”

“Apa???”

“Kau selalu tak pernah peduli padaku. Setiap aku serius, kau selalu tertawa. Setiap aku berusaha dekat, kau tiba-tiba menjauh. Kenapa? Apa kau tak suka pria?”

Aku menaikkan alisku. “Tentu aku suka pria. Enak saja! Aku bukan lesbian!”

“Kalau begitu, buktikan!”

“Buktikan?” Aku mengerutkan dahi. “Bagaimana membuktikan…”

Nathan membungkuk mendekat ke arahku. Wajahnya tepat di depanku, tersenyum dengan mata menggoda itu lagi. “Buktikan! Berikan aku satu ciuman saja.”

Tawaku kembali pecah. “Apa?” Aku geleng-geleng kepala. Dia benar-benar gila. “Sudahlah, jangan bercanda.” Aku melangkah pergi, meninggalkannya, menghindari tatapannya dari rona merah yang bisa saja menghias pipiku saat ini.

“Hey, Piya! Aku serius!” Nathan berkata di belakangku. “Aku cinta padamu, piya.”

Kalimat itu menghentikan langkahku. Cinta? Padaku?

“Piya, maukah kau memberi kesempatan padaku?”

Kesempatan? Aku berpikir sejenak. Logika-ku mengatakan ‘Tidak!’. Aku berbalik menoleh ke belakang. Wajah Nathan yang tampak serius membuat satu jawaban keluar dari mulutku. “Aku rasa, tak ada salahnya memberikanmu satu kesempatan.”

Senyum Nathan mengembang. Segera ia menghampiriku, memelukku hangat. “Aku tahu, kau akan memberiku kesempatan. Aku cinta padamu, Piya.”

Aku tersenyum. Semoga saja aku bisa cinta juga padanya.

___

Kisah cinta. Sebenarnya aku sangat tidak suka pada kisah cinta. Aku tidak suka akhirnya jika tidak bahagia.

Aku mengetuk pintu kamar hotel dimana Nathan menginap. Tempat yang begitu bagus untuk melihat matahari terbit yang aku suka. Di Iioka Onsen Gloria Kujukurihama, Onsen Ryokan Hotel yang terletak di Kota Asahi, Prefektur Chiba. Aku pikir, aku harus mengabarkan langsung kepulanganku ke Indonesia padanya. Masa liburanku akan berakhir.
`         
Pintu hotel terbuka. Seorang gadis yang membukanya. Bukan pelayan hotel.

“Ya?” Gadis itu memperlihatkan tatapan penuh tanda tanya.

“Aku pikir ini kamar hotel temanku.” Aku berkata ragu.

“Teman?”

“Nathan.” Masih dengan ragu aku menjawab.

“Oh, Nathan.”

“Kau kenal Nathan?”

“Ini memang kamarnya. Masuklah. Dia sedang keluar sebentar.”

Ragu aku melangkah masuk.

Lalu, minum kopi bersama gadis yang kurasa sebaya denganku, membicarakan tentang Nathan. Aku pikir ini bukan pembicaraan yang bagus, karena kurasa aku mulai sedikit terganggu. Mungkin cemburu. Entahlah. Sebab gadis itu begitu bersemangat ketika ia membicarakan tentang Nathan. Entahlah, tapi menurutku dia ingin sekali memamerkan betapa ia sangat kenal Nathan melebihi aku.

“Aku rasa, aku pernah melihat fotomu di handphone-nya. Apa kalian pacaran?” Gadis yang memperkenalkan diri bernama Katia itu bertanya.

Aku tak menjawab pertanyaannya. Aku meneguk kopi dari cangkir dan tersenyum saja. “Kenapa kau bisa ada di kamarnya?” Aku juga punya rasa ingin tahu seperti dia.

“Aku menginap di sini semalam.Itu karena aku tak mengenal Jepang. Aku tak ingin sendirian di Negara orang, jadi aku minta ditemani Nathan.”

Aku cukup kaget mendengarnya. “Kalian dekat ya?”

“Ya. Kami sudah berpacaran cukup lama.”

Beku. Aku terpaku di kursiku, seolah waktu di sekelilingku kembali saat musim salju. Beku. “Oh, ya?”

“Ya. Kenapa? Kau kelihatan terkejut. Jangan bilang kalau kau korbannya juga.”

“Apa?”

“Dia sadar kalau dia tampan. Dia memanfaatkannya untuk menarik semua orang, terutama para wanita.” Katia tertawa. “Aku sarankan jangan tanggapi leluconnya. Dia memang selalu begitu. Bahkan dia selalu menggoda adikku dengan bilang I love you.”

“Apa maksudmu bicara begitu?”

Katia tersenyum. “Aku tahu apapun tentang Nathan. Tidak ada rahasia di antara kami. Dia menceritakan banyak hal  tentangmu padaku.”

Terhenyak. Aku menelan ludah.

“Tak apa, Piya. Santailah.” Katia sepertinya membaca keterkejutanku. “Nathan pria yang sangat baik. Aku tahu kadang-kadang dia memang suka bercanda dengan para wanita, tapi jangan ditanggapi serius, ya. Kau boleh tetap berteman dengannya. Aku tak akan cemburu.”

Benar atau hanya bualan, namun kalimat Katia membuatku tahu bahwa aku harus kembali pada diriku yang dulu. Aku yang tak menggantungkan senyumanku kepada candaan seseorang. Aku beranjak dari kursiku. “Tidak Katia. Salahku. Seharusnya aku tahu, dia hanya bercanda.”

Katia tersenyum. “Lupakan saja. Kehadiranmu tak akan mengubah cintaku padanya.”

Kalimat itu menusukku. Aku merasa seperti wanita pengganggu di sini. Tidak! Aku tidak begitu. Aku tersenyum pada diriku sendiri. Aku bukan pengganggu. Jika dia inginkan Nathan, akan kuberikan padanya. Aku tak akan mengganggunya, aku tak ingin menjadi orang jahat yang merebut apapun dari siapapun atau menyakiti siapapun terutama seorang wanita. “Terima kasih kopinya. Tapi, aku harus pergi.”

“Pergi? Kau tak ingin bertemu Nathan lebih dulu? Kurasa dia akan kembali…”

“Tidak. Itu tidak perlu. Aku tak seharusnya mengganggu. Maaf, ya.”

“Hey, tidak apa-apa. Kau tidak mengganggu. Tunggulah dia datang.”

Aku tersenyum. “Terima kasih. Aku harus pergi. Bye.” Aku melangkah meninggalkan Katia dengan kata terakhir yang kupastikan merupakan satu kata yang sangat serius. Bye.

___

“Katia? Kau bertemu dia?” Suara Nathan terdengar biasa di telepon.

Aku tetap ingin penjelasan meski aku sebenarnya tak begitu ingin mendengar hal itu. Aku hanya ingin tahu siapa yang sedang menipu, apakah Katia atau pria yang telah menggodaku itu. “Aku bertemu dia.” Kalimatku datar, aku berusaha terdengar biasa, namun tak bisa. “Katia gadis yang baik.”

Nathan tertawa. “Aku juga tak mengerti kenapa, tapi kurasa dia sama sepertimu.”

Sama? Apa maksudnya? Ingin marah aku mendengar kalimat itu. Sama? Seharusnya dia tahu, kami tidak sama!

“Kalian berdua selalu bersikap begitu manis. Kalian selalu ingin melihat senyumku.” Nathan berkata tanpa tahu bahwa aku ingin sekali membanting handphone-ku ke wajahnya. “Kalian berdua teman terbaikku.”

Tahukah kau apa yang ada di dalam kepala dan di dalam hatiku ketika mendengar itu? Pikiranku segera terbahak menertawakanku. Dan, hatiku seketika membisu. Apa arti semua kalimat ‘aku cinta padamu’ itu, Nathan? Hanya canda untuk hadirkan tawaku? Hanya kata untuk seorang teman? Lalu, apa artinya kesempatan yang kau minta itu? Kesempatan untuk menjadi teman baikmu, begitu? Begitukah?
Aku pikir aku akan menangis. Namun, senyuman kaku-lah yang keluar dari parasku. “Terima kasih.”

“Piya, kau tak perlu berterima kasih, oke?”

“Terima kasih, Nathan.” Terima kasih karena telah memberiku senyum di dalam hatiku. Terima kasih karena telah mengingatkanku bahwa pikiranku patut didengar sama seperti hatiku. Terima kasih untuk memberitahukan aku bahwa membuka hati itu terkadang akan menemukan sesuatu yang palsu. Terima kasih karena telah mengembalikan sisi bodoh di dalam diriku. Dan, terima kasih karena telah menggerakkan hatiku.

“Piya, kau dimana? Aku ingin bertemu.” Ia masih mengucapkan kalimatnya seolah tak terjadi apa-apa pada duniaku. “Aku ingin memberimu kejutan.”

“Mungkin lain kali, Nathan. Jadi, berikan saja kejutanmu itu pada teman wanitamu yang lain.”

“Piya, apa maksudmu?”

“Bukankah kau punya banyak teman wanita yang tak terhitung? Kau tinggal memilih dan berikan kejutan itu pada salah satu diantara mereka.”

“Hey, tapi… Piya, aku sudah memilihmu. Kejutan ini untukmu.”

Sesak sekali aku mendengar itu. “Aku tak perlu.”

“Piya, kau dimana? Aku akan menjemputmu.”

“Jemputlah, jika kau bisa menemukan aku.”

Terdengar tawanya yang ringan. “Kau tahu, aku bisa melakukan segalanya.”

“Segalanya? Ternyata kita sangat berbeda, karena aku hanya bisa melakukan apa saja, tetapi tidak segalanya.”

“Ayolah, Piya. Katakan kau dimana.”

“Aku berada dimana aku seharusnya berada.” Aku menghembuskan nafas, ingin legakan diri. “Nathan, aku harus pergi, bye.”

“Eng… ya. Baiklah.” Nathan terdengar menghela nafas. “Bye.”

“Bye.” Aku memutuskan percakapan telepon itu. Kata terakhirku itu sungguh-sungguh kumaksudkan, meski itu kuucapkan dengan santai seperti kalimat yang biasa.

Kata itu merupakan kata yang tak kusuka sebenarnya. Aku menghembuskan nafas sekali lagi sebelum keluar dari taksi menuju bandara Narita.

Bye, Nathan.

***    

“Piya!!” Nathan mengejarku keluar café hingga ke jalanan Spain-zaka. Ia menghentikan langkahku. “Piya, kenapa?”

“Kenapa apa?”

“Kenapa kau pergi begitu saja?”

Aku menaikkan alisku. “Jemputanku sudah menunggu di ujung jalan ini.”

Nathan menghembuskan nafas. Bersabar menghadapiku, itulah yang tertangkap dari helaan itu. Aku tahu.

“I miss you, Piya.”

Aku tersenyum palsu. “I think you’re not a bad shooter, Nat.”

“I don’t know, Piya. But, I really miss you. Aku pikir, aku jatuh cinta padamu.”

Aku tak perlu itu. “Tidak usah bercanda.”

“Aku serius.”

“Kau tak pernah mencintaiku. Jadi, tak perlu berkata begitu. Kau akan membuatku berpikir bahwa kau sedang bersungguh-sungguh.”

“Jika aku tak mencintaimu, aku tak akan mencarimu.”

Senyumku masih tersuguh. “Kau cinta padaku?”

“Ya.”

“Sebagai teman baikmu?”

“Tidak, Piya. Lebih dari itu.”

Kau tahu, kalimat itu terasa sangat kukenal. Mendengarkan dia bicara seperti itu sekarang, sungguh seperti sedang membaca sebuah buku usang yang sudah terlalu sering kubaca berulang kali. Kau tentu mengerti. Meskipun buku usang itu sangat kau suka, tapi ketika kau telah membacanya berkali-kali, kau akan tahu perasaan itu. Ya. Ada keistimewaan di sana, mungkin. Tapi, keistimewaan itu lalu menjadi biasa. Terlalu biasa untuk menjadi istimewa lagi menurutku.

Aku tersenyum padanya. Aku ingin tulus, namum wajah itu membuatku menimbang-nimbang tindakanku. Aku benci wajah tampan itu. “Aku harus pergi. Kurasa kita masih bisa bicara lain kali. Bisa kan?”

Nathan mengangguk dengan kecewa. Entah itu akting atau apa.

Aku mengangguk. Langkahku lalu aku lanjutkan. Pergi dari hadapannya. Aku tak ingin bicara dengannya sekarang. Aku tak ingin karena aku takut. Sungguh takut akan menangis akibat kebodohan yang sama.

***    

“Piya, jangan lupa, keberangkatannya pukul 10.45 pagi ini.” Suara Iona, sahabatku, terdengar di telepon.

“Ya, Iona. Aku ingat.”

“Pokoknya kalau kau tidak datang, pernikahan aku batalkan!”

“Iya. Iya. Ini juga lagi mau jalan.” Sembari meladeni sahabat terbaikku yang tiba-tiba sangat cerewet, aku menyeret koperku keluar dari kamar hotel. Iona, sahabat terbaikku, akan melangsungkan pernikahannya pada 10 Maret besok pagi di Bangkok, dengan seorang pria Thailand yang entah mengapa begitu mengaguminya. Aku masih tak yakin kalau sahabatku akan menikahi pria itu.

Saat membuka pintu kamar hotel, di depan pintu sebuah amplop coklat menghentikan langkahku. Aku mengambil amplop itu sebab di atasnya tertulis namaku.

“Piya, kau dengar aku?”

Aku menghembuskan nafas. “Iya, Iona. Aku dengar. Sekarang aku akan ke Bandara Narita dan terbang ke Bangkok. Puas?”

“Puas! Cepatlah, Piya! Aku mau kau membantuku berdandan nanti.”

“Ya. Tunggulah. Aku segera ke sana.” Aku melangkah cepat meninggalkan kamar hotelku. Sahabatku itu tak pernah secerewet ini sebelumnya. Itu pasti karena semacam stress yang kabarnya sering dialami oleh para pasangan yang akan menikah.

Aku tak bisa apa-apa untuk menunda keberangkatan ke Bangkok, sebab aku telah berjanji jika dia menikah aku pasti akan datang tak peduli dimanapun aku berada.

***

Apa sungguh cerita Cinderella itu ada?

Meski bukan kisah pangeran yang menemukan pasangan hidup dengan mencari pemilik sepatu kaca yang tertinggal di pesta dansa, kisah cinta sahabatku dan pria yang kini dinikahinya tetap memiliki sentuhan klasik sang Cinderella. Itu yang kurasa saat mendengar bagaimana kisah cinta mereka bermula.

Iona, gadis biasa dengan segudang kesibukan kerja  sebagai salah seorang rekan kerjaku di sebuah perusahaan perhiasan yang kami rintis berdua di Kota Jakarta. Sangat gila akan mimpinya bahwa Cinderella itu nyata. Ia katakan padaku bahwa ia akan menikahi seorang pangeran suatu hari. Aku kira dia sedang bercanda saat itu. Namun kata-katanya benar-benar menjadi nyata. Pertemuannya dengan seorang pria asing bernama Sun di bandara Soekarno-Hatta Jakarta menjadi awal dari semuanya.

Tidak. Kisah cinta mereka tidak diawali dengan jatuh cinta pada pandangan pertama atau kisah sepatu kaca yang tertinggal di bandara. Kisah mereka berawal dari memperebutkan taksi yang ternyata sopirnya adalah kenalan dan langganan terpercaya mereka. Benar-benar gila, mereka memperdebatkan siapa yang berhak menaiki taksi dengan durasi perdebatan mencapai hampir satu jam.

Pertemuan kedua mereka terjadi kemudian, saat Iona pergi ke sebuah rumah yatim piatu tempatnya berasal –dulu, untuk menyampaikan sumbangan baju-baju baru untuk anak-anak panti yang selalu kami lakukan ketika hari raya Natal dan Lebaran tiba. Tampaknya kekaguman Sun pada Iona berawal dari pertemuan kedua mereka. Ia mungkin melihat sisi lain Iona yang lembut dan tulus. Ya, jatuh cinta bisa dari mana saja.

Kebetulan yang diciptakan Tuhan tak pernah bisa ditebak oleh siapapun. Karena kebetulan-kebetulan itu dapat memberikan satu jalan bagi dua orang manusia dari dua tempat berbeda untuk menjadi dekat, hingga mereka saling jatuh cinta tanpa mereka kira.

Aku masih ingat bagaimana Iona begitu bahagia saat Sun melamarnya. Lamaran itu ia terima tanpa memikirkan apakah Sun adalah pangeran atau bukan. Namun ketika ia tahu bahwa Sun adalah keluarga dekat Raja Siam[3] dan merupakan idola gadis-gadis di Negara asalnya, Iona berkata girang, “Piya, aku mendapatkan seorang Pangeran!”

Aku tersenyum menatap sahabat terbaikku dalam gaun pengantin berwarna krem lembut. Pagi itu, diantara indahnya pesta kebun, Iona tampak lebih cantik dari biasanya. Banyak sekali tamu yang datang ke pesta pernikahannya yang dirayakan di salah satu bangunan pribadi milik suaminya yang terletak di kawasan sisi timur laut Bangkok itu. Sebuah rumah L71 yang bergaya kontemporer, indah dan mewah.

“Banyak tamu yang tidak kukenal.” Iona menatap ke sekeliling.

“Itu karena kenalan suamimu lebih banyak daripada kenalanmu.” Aku meneguk jus jeruk di gelasku. “Kau sangat beruntung. Sun pria yang baik.”

Iona menatap ke arahku. Ia tersenyum. “Kau juga akan mendapatkan pria yang baik.”

Aku tersenyum. “Iona, sepertinya kau dipanggil.” Aku mengangkat dagu ke arah seorang pria yang sedang berkumpul bersama beberapa kenalannya.

Sembari tersenyum, pria di sudut taman itu melambaikan tangan. Sun, pria tampan berambut gelap dan memiliki kulit kecoklatan terbakar matahari hasil dari hobi bermain selancar di antara ombak. Tampak eksotis dalam balutan jas yang berwarna senada dengan gaun Iona.

Iona tersenyum. “Kelihatannya aku akan diperkenalkan dengan tamu pentingnya lagi.” Ia berkata seraya mengangguk ke arah pria yang memanggilnya. “Aku ke sana dulu, Piya.”

Aku mengangguk. “Biasakan dirimu dengan dunianya.”

Iona tersenyum, lalu melangkah pergi ke arah pangerannya. Impian Cinderella-nya jadi kenyataan, menikahi Pangeran, atau setidaknya keluarga dekat seorang Raja.

Aku menghela nafas. Indahnya jika cinta berakhir bahagia. Tapi, aku masih tidak menyukai kisah cinta. Sangat tidak suka. Tidak suka saja.

***

Kalau semua kisah cinta bisa berakhir bahagia, tentu dunia tak akan memilih perang yang membawa penderitaan panjang. Mungkin ada benarnya beberapa kalimat pujangga yang menyamakan antara perang dan cinta. Karena perang dan cinta pada akhirnya akan membawa sesuatu yang sama padamu. Sesuatu itu adalah kehilangan.

Aku menghempaskan tubuh di sofa seraya menyalakan televisi. Pemandangan berita berbahasa Thailand, tak kumengerti sama sekali. Akhirnya aku bisa beristirahat sejenak di kamar hotel. Sejak pagi aku menghabiskan waktu bersama Iona di apartemen barunya di Phahonyothin road, sebuah wilayah elit yang ditinggali kaum kelas menengah ke atas sekaligus wilayah yang merupakan jalan raya utama di Bangkok. Memilih sebuah apartemen di tengah kota sebagai tempat persinggahan sementara, katanya. Mengingat hobi berbelanja, jalan-jalan, makan dan bekerja yang ada pada dirinya.

Meski menikahi pria kaya di negara asing, Iona tak melupakan Indonesia. Kami akan kembali ke sana dalam waktu dekat. Aku jadi ingat, koperku masih kuletakan sekenanya di lantai sejak aku datang ke tempat ini lusa kemarin. Di atas meja di depanku tergeletak sebuah kaca mata hitam, pulpen, buku harian yang berisi jadwal kerja serta coretan-coretan sketsa kala aku bosan, juga sebuah amplop coklat yang belum kubuka sejak kubawa dari Tokyo.

Amplop coklat dengan tulisan namaku di atasnya, tanpa nama pengirim. Segera kuambil amplop itu dan membukanya. Isinya sebuah iPod lengkap dengan stereo headset-nya dan selembar foto. Tulisan dengan spidol merah pada iPod itu menarikku untuk memasang headset ditelingaku. ‘Dengarkan aku’, begitu tulisan yang tertera.

Dan, kudengarkan.

“Piya.”

Deg! Suara yang terdengar pertama kali di telingaku membuat jantungku berdegup entah mengapa. Suara itu…

Nathan?

“Piya, dengarkan aku. Tolonglah. Dengarkan aku.” Saat merekamnya dia sepertinya tahu bahwa aku berniat untuk tidak mendengarnya dan pasti akan melempar kirimannya itu ke tong sampah segera.

“Piya. Aku mengirimkan banyak pesan padamu. Kau tak pernah menjawabnya. Aku mencoba menelpon, tapi kau juga tidak menjawab. Kurasa kau benar-benar tak ingin lagi bicara padaku.” Terdengar helaan nafasnya. “Kenapa kau pergi, Piya? Aku selalu memikirkanmu.”

Apa dia berharap aku akan mempercayainya?

“Ya. Aku tahu. Kurasa ini hukumanku, karena aku selalu bersikap buruk kepada gadis-gadis. Perasaanku sungguh tidak bisa aku ungkapkan ketika kau hilang begitu saja. Perasaan ini, aku tak mengerti.” Helaan nafasnya terdengar lagi. “Piya, I think I miss you.”

Bodoh sekali dia. Bodoh sekali dia. Jika tak mengerti perasaan dirimu sendiri, seharusnya kau tidak mempermainkan perasaan orang lain untuk mencari pengertian dari perasaanmu itu.

“Hari itu, aku ada sedikit pekerjaan di Jepang. Aku mencarimu seperti orang bodoh. Dan hari itu ketika aku sedang memikirkanmu, kau muncul di depanku. Tertidur di kursi café.” Tawa ringan Nathan terdengar. Suaranya lebih bersemangat kali ini. “Kau tahu, aku pikir aku sedang bermimpi.”

Anggap saja kau sedang mimpi.

“Hari ini, aku tak bisa menemuimu. Karena itu aku mengirimkan rekaman ini. Aku ada sedikit pekerjaan yang harus aku selesaikan di Honshu. Setelah selesai aku pasti akan menemuimu. Di pantai, saat matahari terbit. Aku akan menunggumu sampai kau datang. Oh,iya! Aku ada sebuah lagu untukmu. Dengar baik-baik! Pasang telingamu!”

Lagu?

Suara berikutnya adalah sebuah lagu yang tak begitu kukenal. Sembari mendengarkan lagu itu aku melihat foto yang tadinya berada di dalam amplop bersama iPod. Sebuah foto polaroid bertajuk pantai yang indah. Goresan tulisan dari spidol hitam di atasnya tertulis ‘aku akan menunggumu di sini’ dan sebuah anak panah tertuju pada pantai itu.

Aku tersenyum. Pantai…

Kualihkan pandanganku ke arah televisi. Sebuah berita membuat dahiku berkerut. Di layar televisi tampak pemandang sebuah kota tersapu ombak besar yang menghanyutkan bangunan-bangunan perumahan dan kendaraan. Apa aku tidak salah baca? Tulisan berbahasa inggris di televisi itu tertulis ‘Powerful Quake and Tsunami Devastate Northern Japan’. Gempa bumi dan tsunami menghancurkan wilayah utara Jepang? Benarkah?

Aku mematung di depan televisi. Seolah sebuah palu sedang memukul jantungku, sakitnya membuat air mataku mengalir tanpa terasa di pipi. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi padaku, tapi Nathan seketika memenuhi seluruh pikiranku.

Nathan, apa dia masih di Jepang? Dia tak mungkin menungguku di pantai kan? Dia pasti sedang baik-baik saja sekarang. Dia pasti sedang baik-baik saja.


I remember a prison of all memories
And I`m drowning in tears
Come and help me please
Stay with me Stay with me
Baby when the lights go down

I was so crazy
All the time I made you cry.
You walk away and never said goodbye
On and on, on and on
I gues I lost you Now your gone. [4]

Lagu yang mengalun dari iPod itu membuat telinga dan kepalaku terasa penuh oleh lirik dan musiknya.

Saat ini, aku merasa… hilang.

-END-

2 komentar:

  1. Saya suka cerpen ini, karena:

    Satu, Nathan itu tipe pria centil menyebalkan yang bikin bimbang. Aku bisa mengerti perasaan tokoh utama. *tepuk bahu Piya penuh simpati*
    Dua, suka dengan tokoh utamanya. Tipe wanita modern.
    Tiga, suka dengan setting-nya. Aku yakin penulisnya pernah ke Jepang atau melakukan riset yang OK. ^^

    Tapi... ugh. Ga puas dengan endingnyaaaaa TT___TT

    BalasHapus
  2. Maaf yach... Endingnya kepentok deadline.... wkwkwkwkwkww.... XD
    Terima kasih sudah suka... TT___TT terharu.

    BalasHapus