Friendship | Writing | Reading | Learning | Joking | Smiling | Laughing | Comfortable
Tentang Kami
Foto saya
Grup Cafe Rusuh merupakan suatu ruang lingkup tempat di mana para anggotanya bisa berbagi tentang segala hal. Kata "Rusuh" sendiri merupakan kependekan dari "Ruang suasana hati". Sebagai sebuah grup, Cafe Rusuh menjadi sebuah jembatan di mana persahabatan, kekeluargaan dan silaturahmi antara sesama anggotanya tetap terjaga. Selain itu, Cafe Rusuh juga memberikan kebebasan kepada para anggotanya untuk berbagi tentang segala hal seperti puisi, cerita, esai, tips-tips dan info-info yang bermanfaat bagi para anggotanya.

Rabu, 13 Juli 2011

ACR: Soulmate

by Bing Babyshark

Jordi sedang asik berjingkrak-jingkrak di dalam kamarnya, menyetel musik keras-keras dengan sound sistem yang sudah jebol. Raket tenis di tangannya seakan berubah menjadi gitar listrik dan single bed di tengah ruangan berubah menjadi panggung dadakan. Lemari, action figure, poster pemain bola, manga, dan perabotan kamar lainnya berubah menjadi penonton bisu yang bersorak-sorai dalam imajinasinya.

Mendadak pintu kamarnya terbuka lebar dan seorang kakek marah-marah padanya “Woi!! Berisik tau gak!? Kalau kau ada waktu luang, bikin PR atau bantu bibimu di bawah!”

Setelah kakek itu menutup pintu kamar, Jordi segera melompat turun dari ranjangnya yang sudah berantakan dan memasang headphone di kepalanya. Tanpa menggerutu ia kembali asik menikmati musik metal. Papa Roach, Disturbed, Sixx Am, bagaimana mungkin Paman Ray tidak mengerti sama sekali keindahan musik-musik pembangkit jiwa ini?
Saat mulutnya bergerak-gerak seperti orang menyanyi tanpa suara dan tubuhnya menirukan Chester Bennington saat marah-marah di atas panggung, Jordi pun menyadari handphone bututnya berkedip-kedip. Ia mengernyitkan kedua alisnya dan menggantungkan headset itu di lehernya.

Diambilnya handphone itu, ada panggilan masuk. Tertulis nama “Nina” di sana.

“Apa?” tanyanya dengan cuek.

“Jor,lu bisa dateng sekarang ga?” tanya seorang gadis di seberang sana.

“Ngapain?”

Gadis itu mendesah sebentar. “Pokoknya dateng deh, ke Warung Monmon.”

Jordi mendecak sehingga terlihat seperti sedang kesulitan. “Wah … banyak PR nih. Bu Hani sadis banget, besok harus kumpul.”

Kini terdengar suara bentakan gadis itu. “Dateng loe sekarang juga ato gua naikin hutang lo!!”

Maka Jordi pun menyambar sepedanya dan bergegas meluncur ke Warung Monmon. Sekalipun namanya “warung” namun tempat makan itu sangat bersih dan stylish. Pada dasarnya tempat makan itu adalah sebuah kafe yang didirikan tidak jauh dari sebuah universitas sehingga ramai dikunjungi mahasiswa yang tinggal di sana atau baru menyelesaikan kuliah hari itu. Menu dalam warung itu pun bervariasi mulai dari kebab, burger, hot dog, kue basah, kue kering sampai bakso dan soto.

Baru saja melangkah masuk, Nina yang terlihat gelisah segera menghampirinya dengan antusias dan menggandengnya ke belakang.

“Apa sih?” Jordi benar-benar kebingungan dengan tingkah laku Nina sekarang.

“Ntar gue ceritain, panjang ceritanya, pokoknya ntar ada orang ganjen dateng, dan elu harus pura-pura jadi cowok gue!”

Kedua mata Jordi terbelalak mendengar itu. “Hah?! Ogah. Gua balik.”

Nina menarik lagi tangan Jordi. “Plis, plis....ni orang udah seminggu kayak begini, dan dia bakal terus ngejar-ngejar gue selama dia tau gue masih jomblo.”

“Ya cari cowok lah.” Jordi menggerutu lagi.

Nina berkacak pinggang dengan wajah serius. Jordi akhirnya mengalah. Ia tahu bahwa Nina adalah tipe gadis yang tidak percaya cinta dan tidak tertarik pada lelaki. Bukan berarti dia suka sesama jenis, ia hanya tidak percaya pada sesuatu yang bernama cinta sejati. “Oke, tapi gue dapet apa nih kalo dia berhasil pergi?”

“Gue traktir makan.”

Jordi menolaknya. “Ah ga seru, makan doang.”

“Hhh…” Nina melirik ke arah jam dinding, sebentar lagi setengah enam, orang itu selalu datang tepat pukul setengah enam. “Ya udah, lu mau apa?”

“Gue mau hutang gue dihapus.” Jordi menyeringai.

Nina menjitaknya kuat-kuat. “Heh! Hutang tetep hutang!”

Selagi mereka berdebat tentang jual-beli jasa pacar bohongan, Vivi, rekan kerja Nina menegur Nina sambil bermain mata. “Nina. Si ehem-ehem dateng tuh. Katanya dia mau ngasih sesuatu buat lu. Hihi…”

“Udah, entar aja nego-nya. Ayo cepet keluar!”

Nina pun keluar sambil tersenyum-senyum maksa dan menggandeng Jordi. Kini Jordi melihat seorang pemuda kurus yang penampilannya jelas menunjukkan bahwa ia seorang mahasiswa. Ia mengenakan jaket jeans menutupi kaus oblongnya, celana jeans kucel yang bagian lututnya sudah robek, wajahnya jerawatan dan dagunya ditumbuhi sedikit rambut. Namun bagian yang paling rapih dari dirinya adalah rambut. Rambutnya dicat pirang tergerai di pipi.

Begitu melihat Nina, pemuda yang baru saja mengaduk-aduk jus alpukatnya itu segera mengembangkan senyum menyambut Nina dengan riang. “Eh Nina… akhirnya keliatan juga. Abang kangen dech.”

Dalam hati Nina ingin sekali menjitak orang itu. Namun ia berhasil menyembunyikannya dengan baik. “Abang bisa aja. Tiap hari juga ngeliat.”

“Tapi gak liat kamu satu jam aja udah perih hati abang… hok hok hok.” Ia sedang tertawa, bukan batuk.

“O…gitu ya, bang?” Nina masih senyum-senyum saja. Bu Monmon bisa memarahinya habis-habisan bila ia sampai mengusir pelanggan.

“Terus, ini siapa? Adik kamu Nin?” tanya mahasiswa itu. Jordi tentu saja menjadi tersinggung disebut sebagai adik.

“Oh, bukan, ini cowokku.” Kata Nina sambil merangkul lengan Jordi yang terlihat canggung.

Mahasiswa itu cukup terkejut dan jadi terdiam.

“Lalu, ada apa bang? Tadi kata Vivi, abang nyariin gue?”

Mahasiswa itu seperti kehilangan semangat. “Hmm.. iyah. Cuma mau ngasih ini. Ga ada niat ganggu.”

Mahasiswa tersebut mengeluarkan sebuah boneka beruang kecil yang sedang memegang hati bertuliskan “I love you”.

“O…gitu…trus apa lagi bang?” tanya Nina dengan ramah.

“Ga ada…abang pingin sendirian dulu.” Katanya dengan muram.

“Ya udah bang…makasih ya.” Kata Nina sambil tersenyum ramah dan duduk bersama Jordi di sudut ruang makan.

“Dia panggil gue adek kecil, emangnya gue masih anak kecil?!” Jordi masih tersinggung saja.

“Ga tau ah. Matanya aja yang eror kali.” Nina sendiri tidak merasa ada yang salah dengan Jordi. Pemuda berusia 17 tahun itu bertubuh cukup tinggi dan atletis. Wajahnya sudah mulai terlihat maskulin dan suaranya pun sudah terdengar berat. Pamannya adalah seorang pelatih wushu yang menurunkan keahliannya pada Jordi. Sejak kedua orangtuanya bercerai, Jordi dirawat Paman Ray yang sudah lanjut usia. Paman Ray tidak mempunyai anak bersama Bibi Suti, maka dari itu mereka berdua sudah menganggap Jordi seperti anak sendiri.

“Parah banget tuh orang, kok bisa ketemu dia?” tanya Jordi.

Nina pun menceritakannya. Karena ia melihat mahasiswa itu masih mengawasi mereka berdua, Nina harus memperkuat akting dengan cara menggenggam tangan Jordi sambil mengobrol dengan mesra.

Semua berawal ketika Nina menginap di tempat kos Vivi. Di kamar kos Vivi ada internet dan setelah surfing sebentar, keisengan mereka pun mulai muncul. Mereka masuk ke sebuah chat room dengan nickname yang cukup mesum, lalu beraksi menggoda cowok-cowok kesepian di internet. Hingga akhirnya mereka bertemu dengan Andi di dunia maya dan merayunya. Nina dan Vivi cekikikan ketika Andi merasa percaya betul bahwa si Nina ini benar-benar jatuh cinta pada chatting pertama dengannya.

“Bego lu.” Gumam Jordi.

“Aduh…mana gue tau kalau dia mahasiswa di deket sini…ngekos di sini pula…” kata Nina.

“Makanya jangan iseng. Kena sendiri kan.”

“Udah pokoknya mulai sekarang lu jadi cowok gue sampe dia ilang dari hidup gue.” Kata Nina.

“Dih enak amat. Kenapa gue yang jadi korban?”

Nina terdiam. Ia merasa paling nyaman bersama Jordi, tetangganya sejak kecil. Mereka selalu sekelas dan sering dijodoh-jodohkan oleh teman-teman mereka sampai akhirnya Nina sempat jadian dengan seseorang. Tapi hingga kini mereka masih teman baik dan tidak ada yang spesial.

Kadang Paman Ray lupa memberi Jordi uang saku, Jordi berhutang pada Nina. Kadang pula ia sudah makan tapi masih lapar dan berhutang lagi pada Nina. Hal itu sudah dilakukannya sejak SD hingga akhirnya Nina sendiri sudah lupa berapa persisnya jumlah hutang Jordi padanya.

Jordi tidak pernah ingat bahwa ia sudah setuju menjadi pacar bohongan Nina, namun beberapa hari kemudian Nina menghubungi handphone nya lagi dan berkata dengan gusar. “Jor!! Lu dateng sini ke bioskop!”

“Apaan, gua lagi latihan wushu. Nih baru aja mulai.”

“Gue lagi mau nonton sama Vivi, entah gimana tau-tau ada si Andi dan dia ikutan nonton. Sekarang si Vivi malah ngilang!”

“Lha terus apa hubungannya sama gue?”

“Lo jangan biarin gue berduaan bareng….”  Mendadak nada suara marahnya berubah menjadi lebih lembut dan manja. “Katanya mau dateng…kamu bohong ah…”

“Hah? Kapan gue bilang mau dateng?” Jordi benar-benar tidak bisa menebak apa yang sedang terjadi.

“Ya udah ya, yank…aku tungguin deh. Pokoknya ga bakal masuk sebelum ngeliat kamu.”

Mendengar suara manja itu Jordi jadi merinding dan berdebar-debar. “Eh, apa-apaan ngomongnya kayak gitu!”

“Kututup dulu ya, yank, batre mau abis. Mwah. Luph u.”

Hubungan terputus.

Jordi benar-benar geregetan dan panik. Emosinya meluap antara marah, senang, kesal, bingung, lucu dan protes. Selama ini dia sama sekali belum pernah pacaran. Sehari-hari dihabiskannya untuk main game, baca manga, latihan wushu, sekolah dan makan. Dulu pernah ada seorang adik kelas yang mengiriminya surat cinta, namun Jordi tidak terlalu memperdulikannya.

Pemuda tanggung itu kembali berjalan kaki keluar dari rumahnya untuk menaiki bus, pergi secepatnya ke tempat yang telah ditunjukkan oleh Nina. Begitu ia terlihat di bioskop, Nina yang sedang diajak mengobrol oleh Andi itu segera menghambur ke arahnya dan memeluknya sebentar. “Lama banget sih? Kemana aja?”

“Heiii!!” Jordi protes karena ia mulai merasa tidak enak atas ekspresi wajah Nina, ucapannya, dan nada bicaranya yang lembut dan manja.

Namun Andi menghampiri mereka sambil tersenyum-senyum percaya diri. “Alo, dik. Kamu datengnya telat nih. Filmnya udah mulai dari tadi. Janjian dadakan ya?”

“Nggak, dia lupa. Biasa, pacarku ini pelupa.” Nina mencoba mencarikan alasan bagi Jordi.

“Ya udah. Ayo makan dulu. Kalian berdua kutraktir deh. Hok hok hok.” Kata Andi.

Beberapa menit kemudian, mereka bertiga sudah duduk bersama di McDonals. Sesuai perjanjian, Nina mentraktir makan pacar bohongannya itu.

Andi tersenyum-senyum seakan ia memiliki semua kepercayaan diri yang ada di seluruh dunia. “Jordi dompetnya ketinggalan, dik?”

Oh, betapa menyebalkannya sebutan itu, Jordi masih berusaha menahan diri agar tidak terlihat tersinggung. Namun karena terlalu berfokus pada panggilan ‘dik’, Jordi tidak menyadari jebakan sesungguhnya dari pertanyaan Andi itu. “Tidak. Ada kok di kantong.”

“Kalau aku sih … makan mentraktir pacarku. Kalau ditraktir cewek … malu. Hok hok hok.” Katanya sambil menyantap ayam gorengnya.

Kini Jordi menatap tajam pada mahasiswa nyolot di hadapannya. Bibirnya masih menyeringai, namun jelas wajahnya terlihat marah. Nina berpikir keras untuk menyelamatkan Andi dari amukan Jordi. Bila Jordi berkelahi, dia tidak akan mundur sampai berhasil membuat lawannya minta ampun.

“Gak apa-apa dong kalau sekali-kali gantian aku yang traktir.” Katanya.

Andi tertawa lagi. “Hok hok hok…aih Nina memang cewek berhati mulia dan pemurah ya…bisa manjain pacar.”

Berkat sindiran dari Andi, akhirnya ketika mereka sudah keluar dari tempat restoran fast food itu, Jordi menggandeng tangan Nina dan tidak melepaskannya sedikitpun. Hal ini dimaksudkannya untuk membuat Andi panas dan cemburu.
Namun Nina malah kebingungan dengan sikap temannya. “Hei, ngapain sih lu pegang-pegang tangan gue? Emangnya gue anak kecil apa?”

“Udah diem aja. Katanya mau bikin dia kabur?”

Nina tersenyum simpul. “Oh…jadi sekarang lu mau ikhlas ngebantuin gue?”

Jordi memandangi Andi yang sedang melihat-lihat daftar film. “Nyolot tuh orang.”

“Tapi jangan beneran naksir gue yah.” Ledek Nina sambil merangkul lengan Jordi. “Gue ogah punya cowok yang kere dan tukang ngutang.”

“Kenapa gue harus demen sama cewek mata duitan kayak lu?”

“Apa? Mata duitan? Eh, daripada lo yang ga pernah mandi kalo bukan hari sekolah!”

“Lah elu nilai olahraga 8 hasil ngerayu si Dodo.”

“Kere!”

“Matre!”

“Andi dateng! Andi dateng!” dan mereka berdua pun berpegangan tangan mesra lagi.

“Filmnya horor semua. Sudah kuliat-liat, ga ada film lucu. Gimana? Masih mau nonton?” tanya Andi.

“Jangan deh, Jordi takut hantu.” Kata Nina.

“Siapa bilang?!”

Maka mereka pun membeli tiket untuk tiga orang dan mendapatkan tempat duduk strategis. Nina duduk diantara Andi dan Jordi. Jordi memang terkenal sangat tidak suka dengan film horor, tapi ia selalu menutupinya dengan mengatakan bahwa horor itu tidak nyata dan tidak pantas ditonton. Sama seperti Jordi, Nina juga takut pada film horor. Hanya saja gadis itu masih mau mengakuinya.

Akhirnya pada saat adegan klimaks …

“Kyaaa…….!!” Nina memeluk lengan Andi.

Andi kembali cengengesan. “Hok hok hok…tenang, Nina…ada abang di sini…”

Nina pun menjauh. “Ehm… iya…”

Setelah adegan horor itu sebenarnya masih ada adegan lain yang lebih horor lagi, tapi Nina tidak berkonsentrasi karena dia sibuk merasa jengkel. Andi memegangi tangannya erat-erat untuk memberikan Nina sebuah kekuatan bahwa ia tidak sendirian di ruangan bioskop yang gelap dan dihadapkan dengan film horor ini. Barangkali kekuatan yang diberikan Andi berhasil…dengan cara yang tidak diharapkan oleh Andi.

Ketika keluar dari bioskop pun Andi tetap tidak melepaskan genggaman tangannya hingga Nina merasa risih. Akhirnya dia mencolek Jordi, memintanya untuk bertindak sesuatu.

Jordi menghampiri mereka dan menarik Nina mendekat pada dirinya. Baru setelah itu Andi melepaskan genggamannya pada Nina. “Dah malem. Kita mau balik.”

“Oke deh…Nina lain kali nonton horor lagi ya. Kalau ada abang, filmnya ga horor lagi kan? Hok hok hok.”

Setelah tidak ada Andi, Nina memarahi Jordi. “Kok lu diem aja waktu gue dipegang-pegang dia?!”

Jordi tidak menggubrisnya dan tetap berjalan pulang.

“Lu kan di sana sebagai pacar gue, lu harusnya marah dong!”

“Ya, elu sendiri lompatnya ke dia, ngapain gue ganggu?” jawab Jordi.

“Duh…itu refleks.”

“Apalagi kalau refleks…”

Nina menjadi kesal dan memukul halus pundak Jordi. “Ih lu kenapa sih? Nyebelin banget deh! Lu bisa akting gak sih?”

“Kok gua? Elu sendiri yang nyender-nyender dia.”

Nina pun bergumam sendiri sambil menyisir rambutnya ke belakang daun telinganya. “Ya, pura-pura cemburu kek…”

“Ngomong-ngomong, temen lu mana?”

“Temen apa?”

“Vivi. Katanya lu dateng bareng dia tapi gak sengaja ketemu Andi.”

Sadarlah Nina bahwa Vivi yang pamit ke wc itu telah sungguh-sungguh menghilang. Sebuah bus datang dan Jordi menuntun Nina yang sedang berusaha menghubungi Vivi masuk ke dalam bus.

“Vi, lu tadi kemana?”

“Oh, gua balik…buru-buru, sori, mendadak inget kalo lagi ada tugas.”

“Kok ga ngasih tau gue?”

“Maaf, gue lupa. Eh jadi gimana tuh…?”

“Gimana apaan?”

“Si ehem-ehem…”

“Vi.” Nina menghela nafas. “Gue..gak suka sama dia. Gue harap lu berhenti ngeledekin gue seakan gue malu-malu kucing sama dia.”

Vivi terkejut dan merasa bersalah. “Oh, maaf, Nin…gue kira lu kesulitan ungkapin perasaan lu…”

“Nggak. Gue malah ngerasa diteror, tauk!”

Vivi terdiam.

“Ya udah, gue cuma pingin tau lu kemana…sampe besok.”

Nina menutup ponselnya dan bersandar lelah pada kursi bus yang empuk. Dilihatnya pemandangan di luar jendela bus. Malam hari di kota Jakarta setelah pukul delapan malam terlihat lebih sepi daripada empat jam yang lalu.

Kala bus berhenti, tiga orang preman menaiki bus dengan kedok sebagai pengamen. Mereka mengemis dengan nada bicara yang kasar dan membentak-bentak. Nina selalu merasa khawatir dan resah setiap kali para preman itu muncul. Namun kali ini ia merasa begitu nyaman. Barangkali karena Jordi tanpa rasa takut sedikitpun mengangkat tangannya dengan tegas dan jujur berkata bahwa ia tidak punya uang untuk dibagi. Para preman itu hanya melewati mereka begitu saja.

Perjalanan masih jauh, angin berhembus lebih kencang memasuki jendela dan hujan pun mulai turun. Jordi melihat Nina mengenakan pakaian stylish yang agak terbuka dan tipis, kemudian ia melepaskan jaketnya dan menyerahkannya pada Nina.

“Trims.” Nina segera mengenakannya tanpa sungkan.

Barangkali karena lelah, Nina mulai merasa ngantuk. Perlahan ia menyandarkan kepalanya pada bahu Jordi.

“Ngantuk?” suaranya yang sayup-sayup semakin membuat Nina merasa mengantuk.

Ia hanya mengangguk. “Gak biasanya gue tidur di bis…”

“Ya udah, tidur aja kalau ngantuk. Ntar kalau udah deket gue bangunin.” Katanya dengan halus.

Namun baru merebahkan kepalanya sebentar, sebuah sms masuk ke ponsel Nina dan membuatnya tidak jadi tidur. Sambil bersandar pada bahu Jordi, Nina membaca sms dari Vivi itu. Pada intinya, sms itu mengatakan bahwa Vivi meminta maaf karena ia salah paham, dia kira Nina butuh sebuah acara untuk mengungkapkan keberaniannya dan ia telah mengatakan pada Andi bahwa Jordi bukanlah pacarnya.

Nina menghela nafas kesal dan melipat tangan di depan dada.

“Jor…”

“Apa?”

“Andi udah tau lu bukan pacar gue.”

“Terus? Mau udahan?”

“Gak apa-apa. Cuma ngasih tau lu doang.”

Nina tidak berkata apapun lagi pada Jordi. Ia benar-benar diam hingga Jordi mengantarkannya ke pintu rumahnya. Nina tinggal bersama seorang ayah yang berprofesi sebagai polisi. Ibunya berprofesi sebagai penata rias. Pernikahan mereka tidak akur dan seringkali bertengkar. Nina seringkali melihat ibunya dipukuli ayah. Bagi Nina, cinta sejati itu tidak ada.
Lingkungan tempat tinggalnya benar-benar gelap dan lolongan anjing di kejauhan membuat suasana semakin mengerikan. Ditambah lagi mereka baru saja menonton film horor. Jordi benar-benar menunggui Nina membuka pintu rumahnya yang agak susah dibuka tanpa bicara apapun.

Saat pintu terbuka, Jordi pun pamit. Sementara pemuda tanggung itu melangkahkah kakinya dengan santai menuju rumahnya yang ada di seberang jalan, Nina memanggilnya dan mengejarnya.

“Nih jaket lu, kebawa.” Katanya.

Jordi mengambilnya. “Dah, masuk gih.”

Ia kembali berdiri mengawasi Nina berlari-lari kecil memasuki rumahnya. Sekali lagi Nina menoleh ke belakang, dilihatnya Jordi masih mengawasinya saja.

“Thank you!” seru Nina dari kejauhan.

Jordi mengangguk-angguk. Setelah Nina menutup pintu rumahnya, Jordi pun masuk ke dalam rumahnya. Ia segera ambruk ke atas ranjang dan tidur pulas, mengabaikan Paman Ray yang menanyakan kepergiannya seharian ini.
Keesokan harinya setelah pulang sekolah, seperti biasa Nina segera pergi ke Warung Monmon untuk kerja sambilan. Dan pada pukul setengah enam sore, Andi datang lagi dengan pakaian rapih dan senyum percaya diri seakan ia baru saja memenangkan sesuatu.

“Gue aja deh.” Kali ini Vivi tidak lagi mencomblangi keduanya.

Namun Andi tidak mau dilayani Vivi. “Nina mana?”

“Lagi ngupas kentang di belakang.”

“Nina dong…bilang, abang kangen. Hok hok hok.” Kata Andi.

Dengan rasa tidak enak, Vivi menghampiri Nina. “Dia ga mau sama gue, nyariin lu terus.”

Nina sadar bahwa ia tidak bisa selamanya menghindar. Maka ia mendatangi Andi dan melayaninya. Ia berusaha mengenal Andi dan memahami mahasiswa itu. Barangkali bila ia mengetahui sisi lain yang tidak ia ketahui dan bersikap terbuka, Nina mungkin akan menemukan hal menarik yang selama ini diabaikannya. Setiap kali bicara Andi selalu membicarakan tentang kuliah-kuliahnya dan kesehariannya.

Nina mulai berusaha menghargai gurauan Andi, membalas sms Andi, menjawab telpon Andi. Ia berusaha bersikap terbuka, sekalipun masih ada beberapa hal yang tidak ia sukai dari Andi, seperti misalnya setiap kali akan mengakhiri pembicaraan, …

“Dah ah, udah malem, gue mau tidur.” kata Nina dengan ngantuk.

“Muach nya mana? Hok hok…”

Penting gak sih? “Apaan muach-muach?”

“Sun dulu…” pinta Andi dengan manja.

“Mwah. Dah. Matiin ya.”

“Asik…makacih sayank…hok hok hok.” kata Andi dengan riang.

Setelah ponsel dimatikan, Nina menghela nafas dengan kesal. Barangkali perempuan lain menganggap hal itu lucu dan menyenangkan. Lelaki manja dan mencari perhatian. Tapi setelah ia pikir-pikir kembali, ia tidak menyukainya dan merasa itu bukan dirinya. Dilihatnya boneka beruang pemberian Andi beberapa hari lalu. Setiap kali melihat boneka itu, Nina selalu teringat suara tawa Andi.

Mendadak ponselnya berdering lagi. Nina sudah stress duluan karena mengira Andi menghubunginya lagi seperti kemarin-kemarin. Namun kedua matanya langsung terbelalak ketika melihat nama Jordi menghubunginya. Nina segera mengangkatnya sambil menelungkupkan tubuhnya memeluk guling. “Apaan?”

“Temen gue nantangin tenis. Dua lawan dua. Lu masih kuat gak?” tanya Jordi sedikit menantang.

Nina tersenyum. Ia mengangkat kepalanya dan melihat di seberang sana, Jordi sedang bersandar di tepi jendela sambil menelpon. “Gaya lu…Lu sendiri masih kuat gak? Kenapa gak lawan mereka sendiri aja? Masih minta bantuan gue.”

“Ya udah kalo lu dah gak sekuat dulu…masih banyak calon partner lain.” kata Jordi sambil bergurau.

Keesokan harinya Nina dan Jordi bermain tenis dengan Robi dan Fredi. Mereka berdua adalah teman-teman Jordi dan cukup mengenal Nina sebagai cewek galak. Begitu melihat partner yang dibawa Jordi adalah Nina, Robi dan Fredi langsung meledeknya. “Aduh…Nina, ngapain kamu di sini?”

“Nina, kamu sendirian saja melawan kami, atau Jordi bareng kami ngelawan kamu. Pasti imbang nanti.” Ledek Fredi.
Ledekan mereka bukannya tanpa dasar. Nina memang pintar bermain tenis. Tenaga dan kecepatan kakinya benar-benar bagus. Kadang mereka heran kenapa Nina tidak menjadi atlit saja. Setelah puas bermain tenis, Fredi yang kaya raya itu mentraktir ketiga temannya makan di restoran vegetarian tidak jauh dari lapangan tenis. Pulang dari sana, Jordi dan Nina berjalan berduaan sambil mengobrol santai. Sesekali mereka tertawa kecil.

Pada hari berikutnya, Andi menyuruh Nina berpakaian yang cantik tanpa memberitahukan alasannya. Nina mengira Andi akan mengajaknya berjalan-jalan dan membawa pakaian perginya di dalam tasnya. Pada pukul tujuh malam setelah warung ditutup, Andi muncul dengan motornya menjemput Nina yang sudah mengenakan pakaian yang membuatnya terlihat cantik.

“Aih cantik sekali Nina.” Puji Andi.

“Terima kasih.” jawab Nina sambil tersenyum formal.

Andi membawa mereka makan di restoran di dalam mall. Sebuah restoran yang letaknya di lantai empat dan posisi meja di tepi jendela sehingga menampilkan pemandangan kota Jakarta di malam hari. Gemerlap lampu-lampu yang menyala pada malam yang gelap membuat seseorang yang menyaksikannya merasa seperti berdiri di atas lautan bintang.
Setelah memesan makanan dan berbasa basi sebentar, Andi lalu menggenggam tangan Nina. Senyum Nina perlahan memudar.

“Abang pingin jadi orang penting dihidup Nina. Abang pingin serius sama Nina. Nina mau jadi pacar abang?” tanya Andi.

Jantung Nina seperti berhenti berdetak. Ia tahu saat seperti ini akan tiba. Beberapa hari yang lalu Nina sudah merasa bimbang tentang jawaban apa yang akan ia berikan bila pertanyaan itu muncul dari Andi. Namun ada sesuatu yang membuatnya merasa mantap tentang jawaban apa yang harus ia berikan pada Andi.

“Bang…aku gak cinta sama abang.” Kata Nina. “Bagiku, abang cuma temen.”

“Coba beri abang kesempatan untuk membuktikan abang yang terbaik buat kamu…”

Nina menggeleng dan melepaskan tangannya yang digenggam Andi. “Ngomong-ngomong tentang terbaik…apa abang tau yang terbaik buat aku apa?”

“Abang setia, abang bukan orang kasar, abang ga mungkin menyia-nyiakan kamu. Abang akan selalu berusaha membuat kamu gembira dan bahagia. Abang kasih apapun agar kamu bahagia.” Kata Andi.

Nina menghela nafas. Kemudian ia berkata dengan tenang. “Itu kan opini abang..”

“Apa semua yang abang beri gak cukup buat kamu?”

“Kadang orang gak butuh cinta. Kadang ada orang yang memilih untuk bersama seseorang yang sejiwa saja...” Nina setengah melamun saat mengatakan itu. Ia cukup kesulitan mengungkapkan kenapa ia terus memikirkan orang itu.

“Sejiwa bagaimana? Dia sesuai dengan apa yang kamu mau?” tanya Andi dengan penasaran.

Nina menghela nafas sekali lagi. “Tidak tahu…dia kere, selengekan, bodoh… tapi kalau boleh jujur, gue pingin menikah dengan cowok yang udah tua dan mau mati tapi kaya raya…”

Andi merasa sangat kesal sekarang. “Jordi?”

Nina tertawa. Sebuah tawa yang kalem dan lembut. “Kok abang bisa nebak Jordi sih?”

Andi mengangguk-angguk. “Oke. Maaf, Nina, abang bener-bener sakit hati, abang gak bisa anter kamu pulang.”

“Gak apa-apa, bang. Makasih ya.” Jawab Nina.

Sementara Andi pergi meninggalkan restoran itu, Nina melihat ponselnya. Sudah jam delapan malam. Ia belum ingin pulang sekarang karena sudah terlanjur ada di mall. Dan ia tahu harus mengandalkan siapa untuk bersenang-senang di waktu yang terbatas ini.

“Apa?” jawabnya dengan nada datar.

“Lagi apa lu?”

“Bikin mi.”

“Kok makan mi terus? Gak sehat loh.”

“Laper.” Jawabnya cuek.

“Eh, mau gue traktir gak?”

Jordi langsung mematikan kompornya, padahal mie instant yang sedang digodoknya baru saja dicemplungkan. “Serius?”

“Serius.”

Jordi sangat senang. Kapan lagi Nina mau mentraktirnya makan? Tapi… “Ah, paling besok lu ngasih bon restoran buat nambah-nambahin hutang gue.”

“Dih…” Nina pun emosi. “Udah cepetan lo dateng ke sini ato hutang lo gua naikin!!”

Jordi buru-buru mematikan ponselnya dan berganti pakaian untuk menyusul Nina yang sudah menunggunya di restoran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar