Friendship | Writing | Reading | Learning | Joking | Smiling | Laughing | Comfortable
Tentang Kami
Foto saya
Grup Cafe Rusuh merupakan suatu ruang lingkup tempat di mana para anggotanya bisa berbagi tentang segala hal. Kata "Rusuh" sendiri merupakan kependekan dari "Ruang suasana hati". Sebagai sebuah grup, Cafe Rusuh menjadi sebuah jembatan di mana persahabatan, kekeluargaan dan silaturahmi antara sesama anggotanya tetap terjaga. Selain itu, Cafe Rusuh juga memberikan kebebasan kepada para anggotanya untuk berbagi tentang segala hal seperti puisi, cerita, esai, tips-tips dan info-info yang bermanfaat bagi para anggotanya.

Rabu, 13 Juli 2011

ACR: Special Plan For You

by Hika Rinne Nana

Di bawah matahari bersinar cerah, Ilona melangkah riang menuju Trotherly House. Tak jauh dari tempatnya berpijak tampak rumah besar bergaya Georgia, berdiri kokoh di atas hamparan tanah luas yang ditumbuhi banyak pohon ek. Sungai yang bersilangan, hutan yang indah, tanah yang subur dan padang rumput. Biasanya Ilona akan berjalan lambat-lambat, menikmati pemandangan di sekitarnya. Tapi tidak untuk seminggu ini. Pikirannya terus tertuju pada Livina, sahabat karibnya.
“Selamat siang, Miss Winingfrey. Miss Orlands menunggu Anda di ruangannya,” sambut kepala pelayan Trotherly House membungkuk hormat.
“Terima kasih.” Ilona tersenyum ramah lalu menghambur masuk ke dalam. Wajah berumur kepala pelayan itu menampilkan seulas senyum. Ilona memang gadis yang terkenal rendah hati dan periang namun sayangnya ia keras kepala dan bukanlah tipe gadis yang menjunjung tinggi aturan sosial layaknya kebanyakan gadis bangsawan di erannya. Seluruh penduduk di pedesaan bagian selatan Hampshire memaklumi tingkah laku Ilona.
Dengan tidak sabaran Ilona menapaki tangga batu, menuju ruang yang sudah ia hapal betul. Bagi Ilona, Trotherly House sudah seperti rumahnya sendiri. Begitu pula keluarga Earl Trotherly, mereka bersahabat baik sejak dulu.
“Livina!” panggil Ilona sembari membuka pintu kayu . Di dalam kamar luas dengan perabotan yang ditata rapi, tampak seorang gadis berambut pirang pucat digelung rapi. Wajah tirus cantiknya sedang mengarah keluar jendela. Tubuh rampingnya dibalut gaun biru santai semakin menampakan kecantikannya.
“Ilona!” sahut Livina senang, bergegas menghampiri Ilona.
“Kau baik-baik saja? Apa mereka sudah datang?” Ilona duduk di kursi yang terletak di salah satu sisi ruangan.
Livina menghela napas dan menarik kursi. Wajahnya menatap lesu meja mahoni di depannya.
“Lusa mereka sampai ke Hampshire.”
“Secepat itu?! Earl Trotherly benar-benar menyetujuinya menjadi pendampingmu?”
“Ya. Earl bersikeras membujukku untuk menerimanya menjadi pendampingku. Bahkan kudengar ia akan melamarku juga. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.” Livina mendesah putus asa.
“Tenanglah! Aku akan membantumu. Aku tidak akan membiarkanmu menikah dengan pria tidak sopan itu!”
Semangat Ilona menggebu-gebu. Ia tidak ingin melihat sahabatnya menikah dengan orang yang tidak dicintainya apalagi orang tersebut berpredikat buruk.
Tubuh Livina menegang dan menatap Ilona terkejut. “Apa kau mengenalnya?”
Seulas senyum terukir di wajah manis Ilona. “Tidak! Aku tahu bagaimana tabiat buruk pria itu dari Ayah dan Kakak. Katanya ia adalah seorang bocah yang keras kepala dan angkuh bahkan ia sempat menghujat ayahnya sendiri di depan tamunya. Aku tidak habis pikir ada pria seperti itu di muka bumi ini. Apalagi ia akan menikah denganmu, tidak akan kubiarkan!”
Livina tersenyum lebar, kedua tangannya memegang erat tangan Ilona. “Aku bersyukur mempunyai sahabat sepertimu!”


***
Sebenarnya Ilona tidak menyukai perjamuan, pesta atau apapun bentuk lainnya. Terlebih lagi jika acara tersebut diselenggarakan secara formal yang artinya segala macam aturan berlaku. Untungnya, baik Duke Wilderson dan Earl Trotherly tidak terlalu memusingkan segala aturan yang berlaku. Bagi mereka hubungan kekerabatan jauh lebih penting.
 “Selamat datang para tamuku yang terhormat! Perjamuan malam ini diselenggarakan untuk menyambut kepindahan keluarga Duke of Limberly ke Hampshire. Selamat menikmati hidangannya,“ sambut Earl Trotherly penuh wibawa. Malam ini Earl Trotherly mengundang seluruh bangsawan yang ada di daerah Hampshire.
Ilona tengah mengamati lekat-lekat pria yang duduk di sebelah kanannya. Gosip gadis-gadis Hampshire benar, wajahnya sangat tampan—mengingatkan Ilona pada seorang laki-laki yang selalu hadir dalam mimpinya. Wajah mereka persis sama namun pria yang duduk di sebelahnya ini lebih tampan dan menawan. Postur tubuhnya tegap dan baik tutur kata juga kelakuannya dari pertama bertemu sampai sekarang sangat sopan.
Mungkin umurnya baru dua puluhan, tebaknya.
Ilona meringis kesal, selama empat jam ini ia belum menemukan kelemahan ataupun keburukan pria di sisi kanannya ini.
Tiba-tiba kedua bola mata kuning topas Ilona bertemu dengan sepasang bola mata biru safir milik pria itu. Mereka cukup lama berpandangan sampai akhirnya Ilona melemparkan pandangan ke arah para pelayan yang memasuki ruang makan dengan membawa berbagai hidangan.
“Irlian.”
Ilona refleks menoleh ke arah asal suara jernih dan penuh karisma itu.
“Apa?”
“Irlian Kinghtley,” ulang pria itu lugas. Ilona menatap pria itu dengan raut wajah heran. Pria yang sedari tadi terus diamati Ilona menoleh menatap dingin wajah Ilona.
“Namaku, Irlian Knightley. Dari tadi Anda penasaran dengan namaku bukan?” tukas pria itu dengan nada sopan.
Ilorna meringis kesal. “Maaf saya harus mengecewakan Anda, Mr Knightley. Saya sama sekali tidak berminat dengan nama Anda. Tapi…” Ilona berhenti sejenak sembari melemparkan pandangannya pada Livina yang asyik berbincang dengan kakak laki-lakinya. Mereka tampak sangat serasi. “Saya sangat ingin Anda menjauhi sahabat saya, Livina Orlands,” lanjutnya tegas sambil menatap tajam mata biru jernih Irlian.
Senyum sinis mengembang di wajah tampan Irlian. “Rupanya begitu. Akan saya pertimbangkan baik-baik, Miss Winingfrey.”
“Saya sangat menanti jawaban dari Anda yang saya harap tidak mengecewakan,” sahut Ilona acuh.
Irlian kembali menghadapkan wajahnya pada sepiring daging panggang di depannya. Mereka menyantap makanan dalam diam. Aura permusuhan dari Ilona tampaknya tidak mengusik Irlian.
Para pelayan mulai menyajikan hidangan penutup pada setiap tamu. Ilona melirik Livina yang duduk di sebelah kanan Irlian. Ia tampak menikmati pembicaraan dengan Irlian sedangkan Erland, kakak laki-lakinya berbincang dengan Countess Trotherly. Otak Ilona berpikir keras menemukan cara agar Livina tidak berbicara dengan Irlian. Ketertarikan dan hubungan bisa saja terjalin hanya karena komunikasi dan respon. Ia tidak menginginkan hal itu terjadi.
Ilona ingin segera merebut perhatian Irlian sehingga Livina dapat mencurahkan perhatiannya pada pria yang dicintainya, Erland. Sayangnya pria yang duduk di sebelah kirinya, Lord Stevan tidak henti-hentinya menceritakan pengalamannya. Ingin sekali Ilona menyumpal mulut cerewet Stevan tapi diurungkan niatnya itu mengingat ayahnya bisa saja menggiringnya belajar tata krama lagi.
“Aku sudah mengelilingi London. Kota itu tidak seburuk dugaanku. Banyak bar megah di sana. Kemajuan kota itu lebih pesat dibandingkan di sini. Kau pasti akan sangat menyukainya,” ujar Stevan bangga.
“Anda memang hebat, My Lord,” sahut Ilona datar. Ia sama sekali tidak tertarik dengan topik apapun yang disodorkan Stevan.
“Tentu saja! Sebulan lagi aku akan berlayar ke Irlandia. Hmm… Bagaimana jika kamu menjadi istriku? Aku akan mengajakmu berkeliling dunia!” goda Stevan penuh percaya diri. Ilona nyaris memuntahkan kembali isi perutnya. Ia berusaha tenang dan menjaga sopan santunnya.
“Terima kasih, My Lord. Sayang sekali, saya lebih senang jika Anda pergi ke Irlandia lebih cepat,” tolak Ilona dingin.
Mata topasnya menangkap sosok sebelah kanannya bangkit berdiri mengikuti para tamu lainnya. Rupanya perjamuan makan malam sudah selesai dan para wanita menuju ruang tengah untuk mengobrol dan yang pria sibuk membicarakan hobinya masing-masing atau rencana satu minggu ke depan di ruang depan.
“Jika kamu mau pergi ke Irlandia secepatnya, kita bisa menikah secepatnya! Aku akan melamarmu sekali lagi! Berapa kalipun, Miss Winingfrey!”
Menghadapi Stevan selama setengah jam sudah cukup membuat Ilona kehabisan kesabaran. Ditambah lagi tawaran gila yang baru saja Stevan lontarkan. Ia sudah tidak peduli dengan etika dan langsung pergi mengikuti rombongan tamu wanita lainnya.


***
“Tunggu aku! Miss Winingfrey!” seru Stevan. Pemuda itu terus mengejar Ilona yang sekuat tenaga berlari menghindarinya selama satu jam lebih. Ilona kesal Stevan terus menerus berada di sekitarnya seharian ini, menguntit bahkan melamarnya delapan kali!
 Ilona berbelok, meloncati pagar kayu rendah. Mata Ilona mengerling cepat mencari sesuatu yang bisa menghindarinya dari kejaran Stevan. Sepintas ide yang menantang muncul di kepalanya. Ilona mengayuh cepat tungkainya menuju sebatang pohon besar. Tangannya mencari pijakan-pijakan kuat untuk mengangkat tubuh ringannya. Detik berikutnya Ilona sukses duduk di atas dahan pohon.
Dari kejauhan ia dapat melihat Stevan panik mencarinya. Saat Stevan mulai menjauh, Ilona sadar ia berada di tempat yang tidak dikenalnya. Sebuah bangunan besar bergaya Elizabeth berdiri puluhan meter darinya. Rumah itu terlindung dari rimbunan pepohonan. Tidak terlihat ada orang yang melewati daerah ini. Di bawahnya terhampar luas rerumputan hijau dan… sesosok pria mengenakan kemeja berompi hitam dikancing rapi dan celana linen hitam menatapnya tanpa ekspresi.
“Mengesankan,” komentarnya.
“Kenapa kau ada di sini?” tanya Ilona tajam.
“Di sini property Duke Limberly. Taman belakang rumahku.” Mendengar jawaban itu, Ilona melongo terkejut sampai tidak menyadari dahan yang ia duduki rapuh. Tak ayal dahan itu patah dan menerjunkan tubuh Ilona. Di bawahnya, Irlian dengan sigap menangkap tubuh Ilona.   
“Anda harus lebih berhati-hati dan peka, Miss Winingfrey,” desisnya tepat di telinga Ilona kemudian menurunkan tubuh Ilona dari gendongannya.
Belum sempat Ilona pulih dari keterkejutannya, tubuhnya bergidik merasakan sensasi aneh saat tangan bersarung Irlian menyentuh rambut panjang bergelombangnya yang terurai acak-acakan. Tangan lainnya melingkari pinggang ramping Ilona, menarik tubuhnya mendekat. Ilona tak sadar menahan napas saat tangan Irlian turun menyentuh pelipisnya, mengitari pipi lalu dagunya. Jantungnya berdebar-debar kencang.
“Miss Winingfrey, tahukah Anda bahwa aku sangat menginginkanmu?” bisiknya lembut kemudian mengangkat dagu Ilona. Bibirnya mencium lembut bibir Ilona. Tidak memberi kesempatan pada Ilona sedikitpun untuk menolak pesonanya.
Kepala Ilona terasa ringan. Ia tidak bisa berpikir jernih—ia menginginkan Irlian. Menginginkan sentuhan-sentuhan lebih dari Irlian.
“Kau milikku, Ilona,” desis Irlian di sela-sela ciumannya.
Hembusan angin yang membawa wangi bunga-bunga dog rose yang bermekaran tidak memberi efek apapun. Aroma tubuh dan ciuman pria itu memabukannya. Menghapus semua kesadaran Ilona. Menumbuhkan harapan yang entah.
Butuh waktu yang cukup lama sampai Ilona menguasai jiwa dan raganya.
“Tidak!” jerit Ilona marah sambil mendorong pria itu. Ilona berlari menjauh menahan segala gejolak amarahnya.


***
Siang ini matahari tidak terlalu bersinar terik. Angin berhembus sejuk memainkan rambut cokelat kemerahan Ilona. Namun tidak cukup sejuk untuk mendinginkan amarah Ilona yang meletup-letup.
“Tidak akan kubiarkan! IRLIAN KURANG AJAR!” jerit Ilona murka.
Di sebelahnya, Livina duduk cemas menatap Ilona sekaligus bingung. Sepanjang hari sahabatnya ini terus-menerus berteriak seperti orang gila. Oleh karena itu Livina mengajak Ilona ke padang bunga kecil di perbukitan, Rectitude Hills—begitu mereka menamainya. Rectitude Hills tidak pernah terlihat didatangi oleh penduduk setempat karena letaknya yang tersembunyi dari daerah pemukiman dan mungkin hanya dua gadis itu yang tahu letaknya.
Puas berteriak, Ilona duduk di atas rerumputan lembut di bawah teduhnya rindangan sebatang pohon besar yang tumbuh di tengah padang. Di sebelah kirinya, Livina menanti-nanti kesempatan ini untuk bertanya.
“Apa yang terjadi, Ilona? Ada apa dengan Irlian?”
“Ternyata memang benar gosip-gosip itu. Irlian memang seorang yang tidak pantas untukmu! Ia pria yang kurang ajar! Bahkan ia berani-beraninya memanggil nama depanku juga menciu-“ Ilona refleks menutup mulutnya. Mengingat kejadian tadi pagi membuat jantungnya ingin melompat keluar. Semua aliran darahnya seolah-olah naik ke kepalanya, membuat pipinya bersemu merah.
Livina menatap Ilona terkejut. “I-ia, me-menciummu?” Suara Livina nyaris berubah menjadi bisikan.
Ilona menarik topinya, menyembunyikan wajah. Kepalanya menunduk dalam-dalam. Mereka terdiam cukup lama.
“Livina?” panggil Ilona tiba-tiba. Ia mendongakan wajahnya dan menatap Livina dengan mimik muka serius.
“Ya?” sahut Livina.
“Kau mencintai Kakakku bukan?”
“Untuk apa kamu bertanya seperti itu?” Livina balas bertanya heran.
“Jawab saja!”
“Ya, tentu saja aku sangat mencintai Erland,” jawab Livina. Sorot matanya memancarkan ketulusan yang sangat dalam.
Ilona mengedarkan pandangannya ke arah populasi bunga krisan yang bermekaran. “Aku berjanji padamu, Livina. Aku akan membatalkan perjodohan itu bagaimanapun caranya!”


***
Berhari-hari Ilona berpikir keras, mencari cara untuk membatalkan perjodohan antara Livina dengan Irlian. Setidaknya Irlian harus dijauhkan dari Livina. Atau mungkin Ilona menyuruh Livina menikah dengan Erland secepatnya, jika perlu menikah secara diam-diam. Tapi dicoret niatnya itu dari daftar rencana yang telah disusunnya. Ilona menghargai pendapat Livina yang menentang keras menikah tanpa persetujuan orang tuannya. Walaupun kesal dengan sikap Livina yang tegas memegang etika, Ilona ridak bisa berbuat banyak dan mencari jalan lain tanpa melibatkan Livina.
Tiga minggu yang lalu Ilona sibuk dengan acara membujuk Duke Limberly dan Earl Trotherly. Segala macam bujuk rayuan dilontarkam Ilona dengan banyak pengorbanan, waktu berharga terbuang percuma bahkan ia mendapat nasehat tanpa akhir dari Duchess Wilderson untuk segera mencari pendamping. Hasilnya? Nihil. Baik Duke Limberly dan Earl Trotherly sama-sama bersikukuh dengan rencana pernikahan anak-anaknya.
Tapi langkah Ilona tidak berhenti begitu saja. Ia sadar waktunya terbuang sia-sia sementara Irlian benar-benar melaksanakan tugasnya sebagai pendamping Livina. Bahkan sering kali Ilona melihat Irlian mendekati Erland. Mungkin itu taktik Irlian membuat Livina semakin jauh dari Erland. Ilona tidak akan membiarkan Irlian mendekati Livina ataupun kakaknya. Maka dari itu Ilona terus-menerus melancarkan aksinya untuk mendekati Irlian sekaligus menjauhinya dari Erland dan Livina.
Dua minggu ini, Ilona nyaris tidak pernah absen berada di sekiar Irlian. Mulai  dari menarik Irlian yang sedang menemani Livina dengan menantangnya berkuda, bertamasya, pergi ke pameran atau acara tahunan di Hampshire, mengajak ke perkebunan Duke Wilderson dan berjalan-jalan berdua bersama Irlian dengan terus mengajukan permintaannya sudah Ilona lakukan. Ilona bahkan tidak peduli dengan skandal apapun mengenai dirinya dan Irlian. Ilona bahkan mati-matian bersikap wajar setelah insiden ciuman itu. Sebagai gantinya ia berusaha menanam kebenciannya pada Irlian.
“Mr Knightley! Aku ada perlu denganmu,” kata Ilona begitu mendekati Irlian yang sedang berbincang-bincang dengan Erland di ruang tengah Wilderson House.
Irlian tampak tidak senang pembicaraannya diinterupsi. Ilona tidak peduli.
“Adikku sayang, kuperhatikan belakangan ini kau terus mendekati Irlian. Apa kau sudah melupakan Livina dan aku?” goda Erland.
“Aku ada perlu dengan Mr Knightley,” ulang Ilona tak acuh.
“Apa?” tanya Irlian tanpa ekspresi.
“Ayo kita berlomba memacu kuda!”
“Tidak. Kau sudah kalah dariku berkali-kali,” tolak Irlian tegas.
Ilona berpikir cepat. Ia tidak boleh kehilangan kesempatan sedikitpun. Dalam hatinya ia mengutuk dirinya yang tanpa sadar bergerak dan berbicara sendiri tanpa persiapan.
“Aku mau menemani Irlian untuk pergi ke Stony Cross. Irlian mau melihat kota perdagangan terbesar di sini.” Erland memecahkan kesunyian.
“Biar aku saja yang menemaninya!” seru Ilona pasrah setelah tidak bisa menemukan ide lainnya.
Baik Erland maupun Irlian terbelalak. Mereka mengamati wajah serius Ilona lalu saling bertukar pandang.
“Kamu serius?” tanya Erland memastikan dan dijawab oleh anggukan pasti Ilona.
“Bukannya kamu benci pergi ke Stony Cross? Kau ingat kau pernah terpeleset dan jatuh ke dalam kandang sapi?” Erland menatap Ilona cemas.
Ilona teringat masa lalunya, dulu saat berumur lima tahun Duke Wilderson mengajaknya dan Erland ke Stony Cross. Ilona yang tidak hati-hati menabrak pria besar bertubuh gemuk, kehilangan keseimbangan dan tubuh mungilnya lolos dari kayu-kayu pembatas kandang sapi. Nasib malang tidak berhenti di situ saja, seekor sapi nyaris menginjaknya jika Erland tidak cepat menolongnya. Sejak itu Ilona bersumpah tidak akan menginjakkan kakinya ke Stony Cross apalagi mendekati kandang sapi.
“Aku ingin berjalan-jalan ke sana. Lagi pula umurku sudah 19 tahun. Aku yakin aku bisa menjaga diri sendiri,” ujar Ilona mantap. Ia sendiri juga tidak tahu dari mana asalnya keyakinan itu.
“Baiklah, jika kamu bersikeras ingin pergi. Aku juga ikut bersamamu,” timpal Erland sembari bangkit berdiri dari kursinya.
Buru-buru Ilona mencegah niat kakak tersayangnya itu. “Jangan! Aku ingin berjalan-jalan berdua dengan Irlian saja!”
Erland menatap Ilona penuh arti sedangkan Irlian diam tidak berekspresi. Menyadari apa yang baru saja ia katakan, Ilona ingin sekali mematahkan lidahnya.
“Bu-bukan seperti yang kalian pikirkan! Lagi pula nanti sore kau punya janji dengan Livina untuk mengunjungi rumah Bibi Wilson bukan?” Ilona salah tingkah.
“Hmm.. Benar juga.” Erland menoleh menatap Irlian penuh arti, satu tangannya menepuk bahu Irlian. “Kau harus berjanji menjaga Ilona untukku! Kalau tidak aku akan mencabut janjiku padamu dulu,” lanjut Erland dengan penuh penekanan tak lupa senyum polos sarat akan ancaman tersungging manis di wajah tampannya.
“Tanpa kau bilangpun aku akan dengan senang hati melakukannya,” balas Irlian tersenyum sinis. Lalu mereka tertawa bersama. Ilona sampai terheran-heran menyaksikan pemandangan kedua pria yang kelihatan sangat akrab itu.


***
Sepanjang perjalanan menuju Stony Cross, Ilona terus diam menatap keluar jendela. Beberapa lama kemudian Ilona menyadari usahanya untuk menghindari tatapan Irlian dengan melihat pemandangan lewat jendela kereta sia-sia saja. Duduk berduaan dengan Irlian di dalam kereta membuatnya tidak bisa berpikir dan bernapas tenang.
“Jangan memandangiku terus!” bentak Ilona galak. Menghadapi Irlian membuat Ilona lupa akan segala etika.
Irlian tersenyum kecil, membuat Ilona terkesima sejenak.
“Kukira kau akan terus diam seperti itu,” komentar Irlian.
Ilona mendengus kesal dan kembali menoleh pada jendela walaupun ia sama sekali tidak tertarik dengan pemandangan di luar jendela itu. Ia sudah sering melihat aktivitas penduduk dan hamparan tanah yang sedang diolah.

“Sudah sampai.” Irlian bergegas keluar lebih dahulu lalu membantu Ilona turun dari kereta.
Tidak banyak yang berubah dari Stony Cross. Kota itu semakin ramai. Banyak toko-toko dan kedai yang berjualan. Stony Cross banyak mengekspor ternak sapi, domba, kayu, jagung, keju lokal dan madu bunga liar.
Melihat beberapa kandang sapi membuat tubuh Ilona mendingin. Wajah manisnya mulai berkeringat dingin.
“Tenanglah, aku akan selalu bersamamu,” kata Irlian lembut, tangannya menggandeng tangan Ilona. Ilona menatapnya tajam dan berusah menepis tangannya.
“Jangan sentuh aku!” seru Ilona berkali-kali. Irlian tidak mengacuhkan penolakan yang sudah sering didengarnya dan terus menerus berjalan menggandeng tangan Ilona.
Ilona merasa aneh, saat Irlian memegang tangannya, walau tangan Ilona terbungkus sarung tangan ia dapat merasakan kehangatan pria itu. Dalam sekejap semua rasa takut dan depresinya hilang tergantikan oleh rasa nyaman dan aman bahkan ia merasa rindu dengan aroma tubuh pria itu. Ilona merasa kacau. Ia membenci perasaan itu—perasaan yang terus menerornya akhir-akhir ini.
Ilona membetulkan topinya lalu menarik Irlian berkeliling dan sekali-sekali memasuki toko yang dianggapnya menarik. Semua kecanggungan Ilona makin lama hilang tergantikan rasa senang.
“Kalian suami-istri yang sangat serasi!” kata seorang wanita paruh baya begitu mereka mendekati satu toko kue.
“Maaf sekali, ia bukan suamiku!” sanggah Ilona kesal.
“Tidak mungkin! Penglihatanku tidak mungkin salah. Bagaimana jika kau mencoba kue jahe ini?” Wanita pemilik tokoh itu menyodorkan sepiring kue jahe.
“Kau harus mencobanya. Banyak wanita lajang yang memakan kue ini lalu tidak lama kemudian mendapat jodoh dan menikah.”
Ilona menatap ngeri. “Tidak terima kasih. Sampai kapanpun aku tidak ingin menikah.”
“Ayolah! Kau harus memakannya!” bujuk wanita penjual kue.
Ilona tetap keras kepala tidak menerimanya walau wanita itu memberinya secara gratis.
“Miss Winingfrey? Itukah dirimu?” seru seorang pemuda gagah berambut pirang. Ilona membalikan badan dan menatap garang pemuda itu. Stevan!
“Kamu ke sini juga? Apa kau datang untuk menemuiku?”
“Jangan bermimpi, Stevan!” desis Ilona jengkel.
“Izinkan aku yang membelikannya untukmu! Kau pasti mau menikah denganku. Aku benar-benar menyukaimu, Miss Winingfrey.” Stevan bergerak mendekati Ilona dan menarik tangan Ilona. Belum sempat bibir Stevan menyentuh punggung tangan Ilona yang bersarung, tubuhnya ditarik ke belakang.
“Kami ambil itu,” ujar Irlian sembari menyerahkan sekantong uang lalu mengambil kue jahe itu. Kedua tangannya meranggkul Ilona. Tidak memedulikan tatapan protes sekaligus terkejut Ilona dan Stevan.
“Kami permisi dulu, My Lord,” kata Irlian dingin lalu menyeret paksa Ilona  menuju kereta kuda.


***
Baik Ilona maupun Irlian sama-sama duduk diam dalam kereta menuju Wilderson House. Irlian tahu Ilona marah padanya yang seenaknya menarik pulang dan memaksa Ilona memakan kue itu. Irlian benar-benar merasa aneh. Melihat Stevan membuatnya kalut dan tidak tenang.
“Maaf.”
Ilona melemparkan pandangannya dari jendela. Pandangan mereka beradu.
“Apa?” sahut Ilona tidak mempercayai pendengarannya.
“Maaf untuk kejadian di property Limberly. Saat itu aku benar-benar tidak bisa menahan diriku,” jelas Irlian. Mata biru jernihnya memancarkan penyesalan yang dalam.
“Juga untuk kejadian tadi,” lanjutnya tulus.
Teringat lamaran Stevan di saat malam perjamuan Earl Trotherly juga kejadian di Stony Cross selalu membuatnya kesal. Ia tahu dan senang Ilona tidak akan memilih Stevan. Namun hatinya tetap gelisah, ia belum berhasil menjadikan Ilona miliknya sepenuhnya. Ia takut pria lain yang memiliki Ilona.
Ilona gadis yang menarik walau wajahnya tidak secantik Livina, Ilona sangat memesona dengan caranya sendiri. Dari Erland, Irlian tahu bahwa banyak laki-laki yang tertarik pada Ilona bahkan beberapa dari mereka berani melamar Ilona. Tentu saja Ilona berhasil menggagalkan lamaran-lamaran tersebut dengan berbagai cara.
Sekarang Irlian benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Earl Trotherly dan Duke Limberly bersikeras tetap menggelar pernikahan itu. Ia belum berhasil membuat Ilona menerimanya sementara hatinya akan selalu berlabuh pada Ilona. Mustahil menentang keputusan dan rencana ayahnya. Jika Ilona benar-benar tidak mencintainya, Irlian rela melepaskan Ilona walau rasa perih, kecewa dan kesedihan siap menerkamnya. Tapi bukan sekarang waktunya untuk menyerah.
Kereta berhenti di depan halaman Wilderson House, Irlian meloncat keluar lalu membantu Ilona turun. Sebelum kaki Ilona menapaki tanah, tubuhnya ditarik ke dalam dekapan hangat Irlian.
“Aku sangat mencintaimu, Ilona. Aku rela menentang Ayahku dan membatalkan pernikahan itu jika kamu bersedia menjadi wanita yang kucintai. Aku rela melakukan apapun demi dirimu,” bisiknya lembut.
Irlian melepaskan Ilona dan menatap lekat-lekat sepasang mata topas kuning cerah yang selalu dikaguminya itu. Mata yang selalu memberinya kekuatan dan kasih sayang. Mata yang memberi arah tujuan hidupnya. Mata yang mampu membiusnya sejak dulu.

“Menikahlah denganku.”

Ilona terlalu terguncang untuk menjawabnya. Korsetnya terasa membelitnya dengan kekuatan besar. Mulutnya tidak mampu mengucapkan sepatah katapun. Hanya bunyi gerisik dedaunan dan desir angin yang mampu mengambil alih bentang ruang luas beratapkan langit hitam.
Irlian mencondongkan badannya. “Besok malam datanglah ke Rectitude Hills dengan memakai cincinku jika kamu memilihku,” bisik Irlian di telinga Ilona. Sebelum pergi ia menyelipkan cincin perak berbatu pirus indah dalam tangan Ilona.


***
Ilona tidak bisa tidur semalaman. Otak yang ia andalkan tiba-tiba tidak berfungsi baik. Setiap memejamkan mata, bayang-bayang wajah Irlian terus menghantuinya. Satu hasrat meneriakinya untuk menerima lamaran itu. Tapi di sisi lain ia teringat oleh suatu janji—janji yang entah. Ilona merasa ia pernah berjanji pada seseorang untuk tidak menikah dengan siapapun dan akan menunggunya. Di sisi lainnya Ilona mengkhawatirkan Livina dan Erland.
“Bagaimana ini?!” jeritnya frustrasi saat menyadari langit merah sore berubah menjadi hitam malam.
Kemudian ia menyelinap pergi menuju Rectitude Hills. Butuh sekitar lima menit untuk sampai dengan menunggangi kuda. Dari kejauhan tampak sesosok pria berbadan tegap dengan dibalut kemeja dan rompi cokelat menunggu di bawah rindangan pohon. Malam tampak cerah dan bintang-bintang bertaburan menghiasi langit. Ilona yakin akan keputusannya ini.


***
Ilona mengenakan gaun putih sutra bertaburkan permata yang indah. Hatinya terus menerus bergulat. Apa yang mereka lakukan ini benar? Bagaimana dengan Livina dan Erland? Bagaimana dengan Irlian? Dan bagaimana dengan dirinya sendiri?
Perlahan-lahan Ilona memasuki gereja, tempat pernikahan dilaksanakan hari ini. Ia segera mengambil tempat dan dengan hati yang gelisah terus menerus menatap sesosok pria yang berdiri membelakanginya—wajahnya tidak terlalu jelas terekam mata Ilona. Ia berharap pria itu memalingkan wajah ke arahnya, berharap dapat melihat emosi pria itu, berharap ia berubah pikiran. Dari kejauhan ia melihat, sang mempelai wanita berjalan anggun memasuki gereja mengamit lengan Ayahnya.
Livina, maafkan aku. Aku gagal menepati janji.
Ilona tidak kuat menahan segala perasaan yang bergemuruh dalam dadanya. Tubuhnya berkeringat dingin. Sesak. Perasaannya kacau. Sangat kacau.
Tanpa disadarinya ia berlari keluar gereja, menahan air mata yang merembes keluar tanpa komandonya. Dihiraukan teriakan-teriakannya yang terus memanggilnya kembali, Ilona terus berlari menerobos penjaga.


***
“DASAR PAYAH! TIDAK BERHATI! IRLIAN PENIPU!”
Tenggorokan Ilona nyaris kering meneriaki luapan emosinya. Hatinya hancur melihat orang-orang yang dicintainya tidak bisa bersatu dengan orang yang mereka cintai.
“Kau jahat! Kau sudah berjanji untuk melakukan apapun.” Ilona mendengar dirinya terisak.
Kepala Ilona memutar kembali kejadian malam itu—malam saat Ilona menjawab lamaran Irlian.

“Aku menerima tawaranmu,” ujar Ilona dengan nada angkuhnya. Pipinya merona merah menahan rasa malu. Irlian bergerak mendekat dan menarik kedua tangan Ilona yang bersarung. Jari-jarinya menyusuri setiap lekuk jari Ilona.
“Kau tidak memakainya,” desisnya pilu.
Ada jedah panjang sampai Irlian mengatakan hal besar dengan senyum datar, “Besok Livina akan menikah.”
Bagai tersambar petir, sekujur tubuhnya mengkaku. Darah mendesir cepat melewati seluruh tubuhnya.
“Li-liviana-akan me-me-menikah?”
Irlian mengangguk, menatap Ilona. “Earl Trotherly bersikeras tidak akan membatalkan pernikahan itu.”
“Kau tidak menghentikannya?!” jerit Ilona nanar.
“Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk apa membatalkan pernihakan-“
“Cukup!” potong Ilona cepat. Kedua tangannya menutup telinganya kuat-kuat.
“Kalau kau ingin mempermainkanku, Anda berhasil, Mr Knightley!” jeritnya frustrasi. Matanya terpejam berusaha menahan derasnya air mata.
Tidak ingin mendengar apapun lagi, Ilona mengayuhkan tungkainya cepat menuju kuda cokelat tuanya. Melompat ke atas dan memacunya sekuat tenaga. Tak peduli dengan Irlian yang berteriak memanggilnya dan mengejarnya.
Ia sudah tidak peduli. Ia tidak peduli saat melihat Irlian berhasil mengejarnya ke Wilderson House dan diseret penjaga saat menerobos teras depan. Ilona hanya berlari naik menuju kamarnya. Membawa hati yang hancur. Hati yang tertikam oleh kekecewaan.
Satu hal yang ia sadari, Irlian tega mempermainkannya.

Ilona menarik napas dalam-dalam, berusaha mengenyahkan semua kenangan itu dari pikirannya. Namun tak lama, kenangan-kenangan yang lebih menyakitkan menyerang jiwanya. Kenangan saat ia bersama Irlian. Terlalu banyak emosi yang dirasakan Ilona. Kekesalannya atas kekalahan berpacu kuda, kebahagiannya saat bersama Irlian, kegeliaanya saat Irlian yang kaku membuat lelucon yang sama sekali tidak lucu, saat Irlian menolongnya beberapa kali dan… rasa aman dan nyaman saat menyadari Irlian ada di sisinya. Ilona sadar, ia menikmati setiap waktunya bersama pria itu.

“IRLIAN KNIGHTLEY AKU CINTA PADAMU!”

Teriakan terakhir Ilona meluruh lantahkan semua pertahanan yang dibangunnya. Ia terisak, hatinya pilu menyadari kenyataan yang dari dulu ia hindari. Pernyataannya sekarang sama sekali tidak ada artinya. Sekarang semua nyata, Ilona mencintai Irlian dan semuanya terlambat.
Ilona mengatur napasnya yang terengah-engah. Tubuhnya terasa kosong. Seperti tak ada darah yang mengalir dalam tubuhnya. Kepalanya terasa berat. Tubuhnya lunglai dan limbung ke belakang.

“SEUMUR HIDUPKU AKU HANYA MENCINTAI ILONA WININGFREY!”

Ilona tersentak kaget. Satu tangan kokoh menyokongnya tepat sebelum punggung Ilona merasakan kerasnya tanah. Sepasang mata biru jernih yang ia rindukan menatapnya lembut. Ada sorot kebahagiaan yang meluap terpancar.
“Kau? Bagaimana kau tahu aku ada di sini?” Ilona tidak percaya dengan pemandangan apa yang dilihatnya. Apa ini mimpi? Tapi kenapa mimpi ini terasa nyata? Ilona yakin ia merasakan sensasi sentuhan tangan itu menjalar di tubuhnya, memberinya kekuatan sekaligus harapan fana. Irlian berdiri di belakangnya dengan setelan jas hitam lengkap.
Irlian tersenyum lembut, tangannya menyelinap ke lipatan lutut Ilona dan membopong tubuh Ilona yang lemah tanpa melepas sedikitpun pandangannya dari Ilona.
“Kau seharusnya berada di gereja bukan?” tanya Ilona lagi.
Irlian mengangguk kecil. “Ya, Ms Orlands sudah menunggu.”
Mendengar nama Livina membuat hati Ilona tersayat-sayat. Ia sedih dengan nasib Livina juga dirinya sendiri. Rasanya ia ingin berteriak lagi merendam semua emosinya. Terlalu pedih untuk dipendam. Terlalu sakit untuk dibebaskan.
“Aku ke sini untuk membawamu kembali. Pernikahan tidak akan berlangsung tanpa dirimu.”
Ilona tersenyum pahit. “Kembalilah sendiri. Aku tidak punya muka lagi bertemu dengan Livina ataupun Erland. Apa kau ingin membuat Livina menunggu?”
“Kaulah yang ditunggu Livina.”
Ilona terdiam. Irlian bergerak menuju salah satu pohon besar yang ada di Rectitude Hills. Tanpa melepaskan Ilona, Irlian memangkunya dan menempatkan Ilona sedemikian rupa agar ia terlindung dari sengat sinar matahari.
“Kau terlihat pucat sekali,” komentarnya cemas kemudian membiarkan kepala Ilona terkulai lemas pada bahunya. Satu tangannya menggenggam erat tangan Ilona, memberinya kehangatan di sekujur tubuhnya yang dingin.
“Aku minta maaf, seharusnya kemarin aku menjelaskan padamu lebih awal,” ujarnya kemudian dengan penuh penyesalan.
Ilona diam menatap Irlian dengan penuh tanda tanya.
“Hari ini aku tidak menikah dengan Livina.” Mendengar kalimat yang dilontarkan Irlian barusan, dahi Ilona berkerut.
“Apa maksudmu? Lalu mempelai pria tadi siapa?” tanyanya lirih.
“Kau tahu siapa dia.” Irlian tersenyum misterius.
Ilona diam sejenak. Kepalanya berusaha mengingat-ingat detail mempelai pria itu. Saat melihat mempelai pria itu Ilona memang benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Pikirannya selalu tertuju pada Irlian.
“Erland?” jawab Ilona curiga.
Senyum geli menghiasi wajah Irlian yang jauh lebih cerah dibandingkan yang diingat Ilona terkhir kali.
“Tunggu! Jangan-jangan kalian menjebakku? Apa kalian memainkan suatu permainan yang mempermainkan aku?” Ilona menatap tajam sepasang mata biru jernih yang kini memantulkan senyum geli.
“Gadisku yang pintar, tapi tidak cukup pintar untuk menyadarinya dari awal.” Irlian membelai rambut panjang bergelombang Ilona yang kini terurai berantakan.
“Semuanya terlibat. Dari Duke Wilderson, Duke Limberly, Earl Trothely, Erland sampai Livina. Duke Wilderson merencanakan ini semua. Beliau takut putri kesayangannya ini akan mencoba kabur jika Duke mengumumkan tunangannya kembali untuk melamarnya.”
Ilona membelalak tidak percaya. “Semuanya? Dan… tunangan?”
“Kau dan aku sudah dijodohkan sejak kecil. Sejak kau berkunjung ke London.”
“London? Aku tidak ingat pernah ke sana,” sanggah Ilona yakin.
Irlian menatap jauh padang bunga itu. Dog Rose sedang bermekaran dengan indahnya. Hembusan hangat angin membawa harum manisnya bunga-bunga itu.
“Ayahku dan ayahmu adalah kawan lama. Saat itu kau berumur tujuh tahun, beserta keluarga datang ke London.” Irlian mulai bercerita.
“Saat kalian singgah di tempatku untuk empat bulan aku benar-benar tidak menyukainya. Setiap hari aku bertengkar denganmu karena berbeda pandangan. Kamu selalu mengejekku karena kesal dan mengatakan aku bocah yang terlalu muram dan pengecut.”
“Aku tidak ingat,” bantah Ilona.
Irlian tidak mengacuhkannya dan terus mengenang masa kecilnya. “Kau kesal karena aku selalu menolak ajakanmu untuk bermain bersama dan lebih memilih menyendiri di perpustakaan. Kau bahkan berani menamparku saat aku tidak bisa menahan emosiku dan menghujat Ayahku. Sampai pada akhirnya kejadian itu terjadi, membuat hidupku berubah total. “ Ia tersenyum tulus menatap wajah Ilona.
“Kejadian apa?” tanya Ilona penasaran.
Irlian tersenyum misterius. “Rahasia.”
“Aku tidak suka rahasia-rahasiaan.” Ilona mencibir kesal dan dibalas tawa geli Irlian.
“Maaf aku tidak bisa memberitahukanmu. Aku sudah berjanji padamu dulu,” katanya sembari mengecup puncak kepala Ilona. Wangi bunga lily putih memenuhi penciumannya.
“Aneh, kenapa aku tidak bisa mengingat sedikitpun hal sepenting itu?”
“Itu ada hubungannya dengan kejadian itu. Intinya kau kehilangan ingatanmu karena aku. Dan setelah itu aku benar-benar menyesal dan menyadari sesuatu yang sangat penting. Selamanya hidupku tidak akan sempurna tanpa kehadiranmu,” bisisknya sendu, menarik Ilona semakin erat dalam pelukannya.
“Ngomong-ngomong kenapa kau menolak semua lamaran itu? Kudengar Harry, Duke kaya raya se-Hampshire meminangmu.”
Ilona ganti tersenyum misterius. “Rahasia,” katanya jahil. Irlian mengerang kesal lalu mengecup Ilona.
“Dari dulu kau benar-benar tidak berubah.”

Tiba-tiba Irlian melepaskan pelukannya, membuat Ilona rindu setengah mati akan kehangatan tubuh Irlian walau hanya beberapa saat saja. Mata mereka beradu, saling membius akan cinta yang dalam.

“Ilona Winingfrey, bersediakah kau berjanji mejadi pendamping seumur hidupku sampai mautpun tidak bisa memisahkan kita?”
Mendengar untaian kata-kata itu membuat kedua mata topasnya berkaca-kaca. Selama ini mimpinya selalu terbayang-bayang akan janji itu. Janji yang persis sama dilontarkan seorang anak laki-laki yang sejak dulu membayangi pikirannya. Janji manis yang mengikatnya. Janji yang belum sempat ia jawab. Kini mimpinya nyata.

“Ya! Aku bersedia.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar