Friendship | Writing | Reading | Learning | Joking | Smiling | Laughing | Comfortable
Tentang Kami
Foto saya
Grup Cafe Rusuh merupakan suatu ruang lingkup tempat di mana para anggotanya bisa berbagi tentang segala hal. Kata "Rusuh" sendiri merupakan kependekan dari "Ruang suasana hati". Sebagai sebuah grup, Cafe Rusuh menjadi sebuah jembatan di mana persahabatan, kekeluargaan dan silaturahmi antara sesama anggotanya tetap terjaga. Selain itu, Cafe Rusuh juga memberikan kebebasan kepada para anggotanya untuk berbagi tentang segala hal seperti puisi, cerita, esai, tips-tips dan info-info yang bermanfaat bagi para anggotanya.

Rabu, 27 Juli 2011

ACR: Dasawarsa

by 'rea' Harbowoputra

Adalah umum bagi anak-anak untuk tahu bahwa setangkai bunga kemboja bisa berubah. Dengan menyelipkannya ke buku seperti pembatas, dan meninggalkannya untuk waktu yang lama, jika suatu saat buku itu dibuka kembali maka bunga yang tadinya terjebak di antara lembaran kertas akan berusaha keluar secepatnya.

Berusaha keluar, karena bunga tersebut sudah berubah menjadi seekor kupu-kupu.

Namun terkadang buku tersebut dilupakan. Atau, mereka lupa pernah menyelipkan bunga ke dalamnya. Maka kupu-kupu yang terjebak bisa mati, dan mereka akan menganggap hal ini hanya sebatas isapan jempol masa kecil.

“Terus, kamu pikir aku masih percaya. Gitu?”

Pria di sebelah gadis yang bicara tadi hanya tersenyum. Ia menoleh ke si gadis dan berkata, “Kamu memang percaya, kok.”

“Itu sepuluh tahun lalu, Ren. Sekarang aku enggak percaya lagi.”

Ren, si pria, berkacak pinggang setelah kalimat barusan. Ia sedikit menggeleng sambil menahan tawa ketika berkata, “Kamu tuh masih aja, ya, manggil pake nama.”

“Kita kan gak punya hubungan darah. Buat apa aku manggil kamu Ayah?”

Mendengar itu Ren, yang memegang penyembur air untuk paku-pakuan yang ia siram sebelum ini, mengarahkan penyembur ke si gadis. Satu semburan ke dahi berhasil mengagetkan si gadis, satu semburan lagi untuk senang-senang.

“Aku baru mau lari pagi!” dengus si gadis. Ia mengatakan kalimat tadi tanpa membuka rahang. Gemas, itu istilahnya.

“Lari pagi jam delapan,” balas Ren dengan nada tidak percaya. “Kesiangan. Mandi aja sana.”

Dengan kesal, dan sambil mengacak-acak rambutnya yang basah, si gadis kembali ke rumah. Sebuah pembukaan hari yang tidak enak baginya. Ini juga salahnya. Jika ia langsung saja lari tanpa mendengar cerita tersebut pasti keadaannya tidak seperti ini.

“Ai,” sahut Ren dari luar. Si gadis, karena dipanggil, menghentikan langkahnya. “Mandinya jangan…”

“…lama-lama,” sambung Ai sambil lanjut berjalan. Entah sudah berapa kali Ren mengatakan hal tersebut sebelum ia mandi, meski sehabisnya belum tentu kamar mandi dipakai Ren. Mungkin Ren hanya ingin membuatnya jenuh dan kesal. Atau mungkin itu semacam jampi-jampi agar tidak terjadi kecelakaan di kamar mandi, misalnya terpeleset lalu terbentur. Apapun itu tampaknya Ai tidak peduli.

Tak lama, dengan rambut pendeknya yang masih belum kering, Ai duduk di sebelah Ren di depan meja makan. Rupanya sang ayah angkat telah memasak nasi goreng lengkap dengan telur dadar dan ayam iris. Es jeruk terisi di kedua gelas.

“Pasti sengaja,” kata Ai jengkel. “Pasti sengaja bikin nasi goreng pakai telur dadar supaya aku kesal.”

Ren tertawa kecil. “Tadinya mau bikin telur mata sapi.Tapi ah, nanti kamu seneng. Didadar aja.”

Ai singkirkan irisan telur dadar dari nasi goreng di piringnya. Bibirnya tertarik ke samping, memancarkan rona jengkel. “Ini, nih, kenapa aku tadi mau lari pagi ke depan. Nasi uduk di sana lebih mendingan.”

“Terima kasih kembali,” jawab Ren.

Lima belas menit dari pukul setengah sembilan pagi di hari Sabtu mereka habiskan untuk sarapan. Tanpa bicara. Meski Ren selalu terlihat ingin memulai pembicaraan, atau sekedar menambah kekesalan Ai, tetap saja Ai makan dalam diam. Oleh karena itu Ren hanya bisa tersenyum sesekali melihat tingkah Ai yang tak acuh.

“Ren,” panggil Ai setelah mereka selesai sarapan. Di piring Ai masih bersisa irisan-irisan telur dadar, sementara di piring Ren—Ai menahan napas sejenak—bersih seperti baru dicuci.

Jeda yang panjang membuat Ren berkata, “Iya. Ada apa?”

Ai mengerjapkan mata, seolah-olah baru sadar dari sesuatu. “Oh. Itu. Jam sebelasan Yun mau ke sini.”

“Yun yang cantik itu?”

Dipicingkan mata Ai untuk memandang Ren. Mulutnya juga mengatup. Mungkin Ai tidak menyangka ayah angkatnya masih punya keranjang untuk mata. “Kamu udah nikah, Ren.”

“Iya. Dan kalau-kalau kamu lupa, aku menikah dengan ibumu. Makanya seharusnya aku dipanggil Ayah,” balas Ren sebelum ia teguk habis es jeruknya. Terdengar desahan napas Ai, seakan-akan berkata bahwa Ai telah bosan dengan kalimat barusan. Sesaat kemudian giliran Ren yang memicingkan mata ke Ai. “Memangnya kenapa, sih, kamu enggak mau?”

“Udah berapa kali kubilang: kamu bukan ayah kandungku.”

“Masa cuma karena itu?” balas Ren lagi, kali ini dengan sorot mata tidak percaya.

Tanpa peduli pertanyaan barusan, Ai beranjak. “Udah ah, enggak penting. Yang penting tuh nanti jam sebelasan Yun mau ke sini. Awas ya, jangan macam-macam dengan Yun. Nanti aku laporin ke Bunda,” katanya sambil menodong dengan telunjuk. Kedua tangan Ren terangkat berkat itu, dan tetap terangkat sementara Ai berjalan ke kamar.

Di pagi tanpa hujan ini keadaan rumah menjadi sepi. Atau setidaknya, sepi oleh kegiatan. Jika berbicara mengenai suara, rumah ini tidak sepi. Ren sedang menonton bincang-bincang di televisi sambil mengemil kacang Bogor. Suara retakan kacang di geliginya dan celoteh orang dalam layar pipih tidak bisa dianggap sepi. Ditambah lagi suara-suara dari kamar Ai. Pastinya Ai sedang menyetel lagu, meski tidak terlalu membahana karena kamarnya ditutup rapat.

Rumah itu sepi penghuni. Dua dari biasanya tiga.

Ren mendengar namanya dipanggil. Sambil mengunyah kacang ia menoleh ke satu-satunya sumber suara yang masuk akal. Kamar Ai.

Di ambang pintu kamar Ai menyandarkan sebelah tubuh. Sejurus kemudian pandangannya bertemu mata Ren. “Yun enggak jadi datang,” katanya pelan dengan nada kecewa. “Nanti jam tigaan antar aku ke Kelapa Gading, ya,” imbuhnya.

“Kenapa enggak bawa mobil sendiri aja?”

“Aku belum punya SIM,” jawab Ai tanpa membuka rahang. “Kan kamu yang enggak bolehin aku nembak SIM.”

Ren mengangguk sebentar. “Kenapa enggak minta antar sama pacarmu aja?” kali ini ada sedikit cengiran setelah bertanya.

“Aku belum punya pacar!” hardik Ai tanpa membuka rahang. Bahkan tampaknya ia menekan rahangnya agar tetap mengatup.

Tawa kecil Ren membuat wajah Ai semakin jutek. “Makanya, belajar marketing lah sama ayah-angkatmu ini,” kata Ren sambil menepuk dadanya sendiri.

Ai terlihat sangat tidak suka melihat ayah-angkatnya membangga-banggakan pekerjaannya. Bukan hanya itu. “Senang ya bikin aku kesal? Enggak bisa, gitu, bilang iya aja dari awal?” jelasnya. Ia mengatakan kalimat barusan sambil melangkah mendekat ke sofa tempat Ren duduk. Dua langkah dari sofa Ai berhenti. “Begini,” katanya memulai. Matanya memicing. “Satu, aku bukan barang,” katanya sambil jarinya membuat isyarat angka satu. “Jangan bilang bahwa aku belum punya pacar karena kurang marketing. Dua”—sekarang angka dua di jarinya—“kalau kamu memang mau jadi ayahku, antar aku pergi.”

“Tiga,” sambung Ren. Jarinya membentuk isyarat angka tiga. “Kamu tambah cantik kalau marah.”

Berhasillah Ren membuat Ai kesal setengah mati. Di perjalanan menuju Kelapa Gading, di mobil, Ai hanya diam menatap kaca samping. Terus diam demi diam demi diam menghias udara mobil.

“Kenapa Yun enggak jadi datang?” suara Ren berusaha menembus kabut. Ia melirik sekali ke arah Ai, namun Ai masih menatap jalanan.

“Tauk.”

“Jadinya dia suruh kumpul di KG langsung?”

“Iya.”

“Mau ngapain di sana?”

“Enggak.”

Tebalnya kabut membuat suara Ren tidak bisa mengoyak pertahanan Ai. Sungguh kuat. Mungkin karena tadi di rumah Ai sudah mengeluarkan semua panas, oleh karena itu sekarang yang tersisa hanya dinginnya. Dan berarti ini harus dicairkan dulu.

“Kamu suka es krim?” tanya Ren tanpa alasan. Sungguh di luar adegan. Mungkin inilah awal dari jurus pemecah es.

“Suka,” jawab Ai singkat. Matanya masih menatap kaca samping.

“Ayah juga suka,” balas Ren. Kini ia mendapatkan pandangan Ai, karena mungkin Ai merasa bahwa ayah-angkatnya ini kurang kerjaan dengan bertanya hal tidak penting atau kehabisan bahan obrolan. “Soalnya,” lanjut Ren, “es krim itu dingin. Manis. Seperti kamu.”

Melongolah Ai, tak percaya atas apa yang baru didengarnya. Terlebih, tak percaya atas siapa yang barusan bicara. “Dan Bunda jatuh cinta dengan pria segombal ini,” katanya kemudian.

Namun Ren berhasil membuat Ai tertawa kecil.

Mereka sekarang sudah keluar jalan tol. Kabut di udara mobil sudah terangkat. Ai kini tidak sedingin tadi meski hanya bicara jika ada hal yang bisa diomongi, seperti spanduk aneh dan ulah pengendara sepeda motor. Malah kini Ren yang bicara singkat-singkat.

“Lah, kunci rumah cuma bawa satu?” kata Ai sambil menjunjung seikat kunci. Masih lampu merah, jadi Ren menengok ke arahnya. Ai berkata lagi, “Pasti sengaja deh, supaya aku enggak bisa pulang sendiri. Supaya kamu nemenin aku di mal, berlagak seperti ‘ayah sejati’.”

“Jangan kegeeran ya,” balas Ren yang juga membalas tatapan-penuh-curiga Ai. “Udah deh. Ambil tuh kunci depan. Ayah masuk lewat pintu samping juga bisa, kok.”

Dengan berbekal kunci pintu depan, Ai diturunkan di lobi mal. Ia melambai ketika mobil ayah-angkatnya itu beranjak pulang. Pukul empat-kurang ia sampai di sana, namun, rupanya, pukul setengah lima sore ia sudah berada di mobil ayah-angkatnya lagi. Sudah melesat pulang lagi. Entah acaranya sangat cepat atau apa, Ren tidak tahu.

“…atau acaranya enggak jadi?” sambung Ren atas pertanyaannya yang pertama. Ia bertanya tanpa menoleh; matanya terpusat pada jalan tol.

“Enggak jadi,” jawab Ai singkat. Kabut.

Barulah Ren melirik sejenak ke Ai. Tampak bahwa Ai menatap kosong ke depan. Ren melirik lagi dan berkata, “Memangnya acara apa, sih?”

“Ulang tahun.”

Mata Ren pun agak melotot. Mulutnya terbuka sedikit. “Astaga,” katanya. “Astaga, hari ini kamu ulang tahun ketujuh-belas ya?”

“Makasih atas kelupaannya.”

Jari Ren mengetuk-ngetuk setir dengan gugup. Pasti ini penyebab mengapa Ai ketus padanya dari pagi tadi. Dengan agak terbata-bata Ren berkata, “Selamat ulang tahun, Airin.”

“Makasih, Ren. Enggak berubah, ya, dari sepuluh tahun yang lalu.”

Kabut di mobil semakin menebal. Ren benar-benar tidak tahu bagaimana cara menembusnya. Maka sepanjang sisa perjalanan yang terdengar hanyalah lagu dan celoteh ringan dari radio.

Mereka pun sampai di rumah. Ai sudah turun dan membukakan pagar, lalu dengan kunci yang ia pegang ia bergegas ke pintu depan sementara Ren memarkir mobil.

“Ren!” panggil Ai tepat setelah bunyi alarm tanda mobil sudah terkunci. “Kuncinya enggak bisa buka.Stuck.”

“Masa sih?” balas Ren sambil mengeluarkan ikatan kunci lainnya. Ia membandingkan kunci yang Ai pegang dengan kunci-kunci lainnya. “Yang kamu pegang memang kunci depan, kok.”

“Iya, tapi enggak bisa buka. Tuh, aku enggak bisa muterin kuncinya. Enggak mungkin, kan, kunci yang satu lagi masih menancap di dalam?”

Ren berkacak pinggang. “Mungkin aja. Tapi enggak sih, enggak mungkin. Ya sudah, kita lewat pintu samping.”
Baru mereka mau melangkah dari teras depan, terdengar bunyi dari pintu. Bunyi rendah, namun tajam. Bunyi logam beradu logam. Ai dan Ren bertukar pandang. Mulut mereka mengatup. Ren mengisyaratkan agar Ai diam, siapa tahu saja mereka salah dengar atau apa.

Tapi bunyi itu datang sekali lagi. Logam beradu logam. Bunyi itu sangat pasti datang dari pintu depan. “Seperti kunci pintu yang baru dibuka,” bisik Ren kepada Ai. “Dari dalam.”

Ai berjalan menuju pintu tersebut, mengabaikan bisikan Ren untuk tetap menunggu sejenak. Tangannya kini sudah menggenggam gagang pintu dengan mantap. Ai tidak menoleh ke arah Ren saat ia putar gagang pintu.

Mendadak puluhan, mungkin ratusan, balon warna-warni menghambur keluar dari dalam rumah. Diiringi dengan hujan confetti dan teriakan riuh tinggi. Apa yang bisa terdengar dengan jelas adalah sebuah teriakan ramai dari dalam, berbunyi, “Dirgahayu Airin!”

Lampu rumah langsung menyala semua. Musik ceria menghentak-hentak seisi rumah. Ai melihat semua teman yang ia kenal—mungkin tidak semua, rumahnya tidak akan muat—berjingkrak-jingkrak sambil melempar-lempar ratusan balon ke arahnya. Akhirnya Ai melepaskan teriakan kekagetannya.

“Yun! Mana Yun!?”

Tenggelam dalam musik dan seruan ribut, sosok Yun datang menghampiri Ai dan memeluknya setelah melompat. “Dirgahayu, Cantik!” katanya. Yun menampilkan cengiran lebar sampai mirip seringai.

“Kamu ngeselin, Yun. Ngeselin! Aku udah enggak ngapa-ngapain dari pagi nunggu kamu datang, udah jauh-jauh ke KG, balik lagi ke sini sampe kena macet. Ah!”

“Jangan marah ke aku,” jawab Yun, masih teriak karena ramainya suasana. “Marahin tuh ayahmu! Ini semua gara-gara dia.”

Ai terdiam. Ia memandang ke ayah-angkatnya, ke ayahnya, yang terlihat sedang meledakkan kaleng soda bersama cowok-cowok. Diamnya Ai hanya sebentar, karena teman-temannya yang lain langsung merubunginya setelah Yun.

“Teman-teman,” suara Ren membuat seisi rumah hening. Musik sudah dimatikan, meski balon masih melayang-layang. Ren terlihat menggenggam ponselnya. Ia menyodorkan ponsel ke Ai sambil berkata, “Incoming call dari bundanya Ai!”
Semua tepuk tangan sambil sesekali ada yang bersiul. Ai mengambil ponsel Ren dan baru saja mau menaruhnya di telinga ketika ada suara cowok yang menyuruhnya menyalakan loudspeaker.

“Airin! Selamat ulang tahun ketujuh-belas, ya, Sayang,” sahut Bunda lewat ponsel. Lalu terdengar bunyi kecupan dari Bunda sementara Ai membalas ucapan selamatnya. Setelah mengucapkan sedikit doa Bunda melanjutkan, “Gimana, tuh, hasil rencana Ayah? Dia berhasil bikin kamu kesal seharian ini kan?”

Ai senyum tersipu setelah menjawab pertanyaan Bunda sekedarnya. Ia melihat ke arah Ren, yang sedang menguap seakan-akan tak peduli. Bunda menambahkan beberapa doa lagi sebelum akhirnya mengakhiri panggilan dari luar negeri, berkata bahwa ia akan membawa sepatu untuk Ai sepulangnya nanti pekan depan.

“Kenapa pada bengong?” Ren memecah keheningan usai panggilan dari Bunda. “Yun, kuenya!”

Atas perintah Ren, Ai dilarang memotong kue. Ia disuruh menggigit kue setelah meniup lilin. Noda krim di hidung, bibir dan dagunya, sesuai petunjuk Ren, akan dipersilakan kepada seseorang untuk dihapus. Sebagai pengganti “potongan kue pertama”, jelas Ren.

Kira-kira tiga jam lebih acara ini berlangsung. Pukul setengah satu malam semua teman-teman Ai sudah pulang. Beberapa, seperti Yun, membantu Ai dan Ren membereskan keadaan rumah yang mirip kapal karam. Barulah pada pukul satu seperempat semua selesai.

Ren bersandar kelelahan pada sofa depan televisi sementara Ai duduk di sebelahnya, masih senyum-senyum sendiri setelah pesta barusan. Ai menatap ke tumpukan kado yang baru selesai dibuka beberapa saat yang lalu. Ren, yang menyadari pandangan Ai, berkata, “Masih kurang?”

Apa yang Ai tangkap bukanlah pertanyaan biasa. Seakan-akan Ren berkata bahwa ia meminta maaf karena tidak memberi kado. “Pesta ini, kan, udah aku anggap kado dari Ayah.”

Ren mendelik sebentar. Ia berusaha tenang meski seharusnya sudah berjingkrak karena Ai, akhirnya, memanggilnya dengan sebutan Ayah. “Jadi, uh, Ayah memang lupa kalau kamu hari ini—kemarin—ulang tahun,” katanya, sebelum menambahkan, “ya kemarin. Sekarang, kan, udah lewat jam dua belas.”

Ai tertawa mendengar sindiran Ren.

“Tapi,” lanjut Ren, “bicara tentang kado, Ayah juga punya kado untukmu.”

Ren rupanya sudah menyiapkan sebuah buku di sampingnya. Ia sodorkan buku tebal tersebut kepada Ai. Ai lihat sampulnya dan judulnya, lalu berkata, “Australasia. Ini semacam buku pengetahuan alam, kan? Dan, uh, apa yang harusnya bikin aku senang karena dikasih buku ini?”

“Buka aja lah,” jawab Ren sekenanya. Ia telah bersandar dan memejamkan mata.

Sebelum membuka, Ai mengingat-ingat apakah ia pernah memegang buku ini. Dan benar saja, buku ini membawanya ke ingatan sepuluh tahun yang lalu. Sepuluh tahun yang lalu, ketika Ai diceritakan mitos bunga oleh Ren seperti tadi pagi. Ai ingat bahwa dulu ia menyelipkan bunga kemboja ke buku ini, berharap suatu saat berubah menjadi kupu-kupu. Dengan cepat ia membolak-balik halaman, mencari bunga tersebut. Tetapi tidak ditemukan. Bunga itu tidak bisa ia temukan.

Apa yang Ai temukan adalah bangkai kupu-kupu yang mati terhimpit.

“Ayah kejam ih, kupu-kupu dibunuh cuma supaya aku percaya sama cerita itu.”

“Ya ini salahmu, lah, kenapa bukunya dibiarin aja selama sepuluh tahun,” jawab Ren sebelum memejamkan mata kembali.

Meski pikirannya yakin bahwa Ren memang dengan sengaja menukar bunga yang terselip dengan kupu-kupu, Ai mengesampingkan teori itu. Ia memilih untuk percaya bahwa bunga kemboja tersebut memang berubah, dan karena telat membebaskan kupu-kupu dari himpitan buku, yang tersisa hanyalah bangkai.

“Terima kasih, Ayah,” katanya pelan.

Ren bangun, dan melirik ke arah Ai. Ia berkata, “Terima kasih? Cuma terima kasih? Enggak. Enggak cukup,” lalu mengetukkan telunjuknya ke pipi kanannya sendiri. “Enggak cukup sebelum ini,” lanjutnya.

Menyadari bahwa Ren meminta kecupan, Ai berdiri dan memasang wajah jijik. “I hate you.”

I love you too,” balas Ren sebelum ia bersandar dan memejamkan mata lagi. Namun, tanpa disangka, ia merasakan tarikan napas dan sentuhan di pipi kanannya. Singkat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar