Friendship | Writing | Reading | Learning | Joking | Smiling | Laughing | Comfortable
Tentang Kami
Foto saya
Grup Cafe Rusuh merupakan suatu ruang lingkup tempat di mana para anggotanya bisa berbagi tentang segala hal. Kata "Rusuh" sendiri merupakan kependekan dari "Ruang suasana hati". Sebagai sebuah grup, Cafe Rusuh menjadi sebuah jembatan di mana persahabatan, kekeluargaan dan silaturahmi antara sesama anggotanya tetap terjaga. Selain itu, Cafe Rusuh juga memberikan kebebasan kepada para anggotanya untuk berbagi tentang segala hal seperti puisi, cerita, esai, tips-tips dan info-info yang bermanfaat bagi para anggotanya.

Rabu, 13 Juli 2011

ACR: A Journey to Summer

by Syahidah Amaniya

Harborview Medical Center, Seattle.

“Bawa aku ke Chamonix, Dom.” Summer menggores senyuman lebar di bibir pucatnya. Mata amethyst-nya berkilauan. “Secepatnya. Sebelum aku kehabisan waktu.”
            Dominic Lefebvre nyaris menjatuhkan buku travelling yang sedang dipegangnya ke lantai. Keterkejutan yang sangat melukis wajahnya. Untuk sesaat, satu-satunya suara yang terdengar hanya berasal dari mesin hemodialisa yang terhubung dengan tubuh Summer.
            “Dom?” Panggil Summer lagi. Seandainya saja selang-selang mesin hemodialisa itu tidak menghalanginya bergerak, dia pasti sudah menarik Dominic mendekat. “Kau dengar aku?”
            Dominic mendesah seraya menutup buku yang semula dibacanya.
            “Summer, kau tahu aku tidak mungkin membawamu ke sana dalam kondisi seperti ini.” Gelengnya dengan perasaan tercabik-cabik. Baru satu jam yang lalu dokter memberitahunya bila kondisi Summer terus menurun selama dua bulan terakhir. Bahkan jadwal hemodialisanya yang rutin sebulan sekali kini telah menjadi dua minggu sekali.
            “Kau harus bisa, Dom.” Summer meraih tangan Dominic yang terlipat di sisi pembaringan. “Kau sudah janji. Hm?”
            Pandangan mata Dominic seketika mengabur terhalang air mata. Ah, janji itu. Pikiran normalnya kemudian membawanya berkelana ke sebuah kota kecil di wilayah Perancis. Chamonix. Kota ini terkenal dengan keindahan panorama Mont Blanc – puncak tertinggi pegunungan Alpen. Summer sangat terkesan dengan salah satu foto Mont Blanc Chamonix yang pernah dimuat di salah satu edisi National Geographic. Dominic pun kemudian berjanji akan membawanya ke sana suatu hari nanti. Namun janji itu terucap jauh sebelum penyakit Lupus Eritomatosus Sistemik menggerogoti ginjal Summer. Penyakit ‘seribu wajah’ itu dengan cepat mengubah Summer yang aktif bergerak menjadi seperti bunga cherry blossom yang luruh di tanah. Penyakit itu juga yang membuat Summer harus tiga kali kehilangan bayinya. Hidup Summer kini sepenuhnya tergantung pada obat-obatan dan mesin hemodialisa.
            “Minta saja yang lain, jangan Chamonix.” Dominic menggenggam jari-jari Summer yang kurus bak ranting. “Kau tidak boleh memaksakan diri. Perjalanan ke Chamonix itu sudah pasti melelahkan.”
            “Aku tidak ingin apa pun selain Chamonix, Dom.” Tatapan Summer menerawang. “Semua keinginanku sudah terpenuhi saat aku menikah denganmu. Kalau tidak sekarang, aku khawatir tidak akan pernah melihat Chamonix selamanya.”
            Dominic menatap nanar wajah istrinya yang tetap terlihat cantik meski bobot tubuhnya merosot drastic. Ruam kemerahan berbentuk kupu-kupu di wajahnya seakan tak mampu menggerogoti kemolekan parasnya yang secerah musim panas.
            “Sebenarnya Chamonix tidak seindah yang sering dibicarakan orang.” Dominic memilih berdusta. Dia ragu, tak berani ambil resiko menuruti keinginan Summer. “Selama aku tinggal di Perancis, aku pernah dua kali ke sana namun tak pernah berhasil menyaksikan Mont Blanc secara utuh. Puncaknya lebih sering tertutup kabut.”
            “Aku tetap ingin ke sana. Hanya karena kau tidak beruntung menyaksikan puncak Mont Blanc, bukan berarti kau boleh melupakan janjimu.” Summer menggerutu. “Aku sekarat, Dom. Tidakkah kau berpikir ini bisa jadi keinginan terakhirku?”
            Dominic terkesiap.
            “Jangan bicara yang aneh-aneh, Summer.” Desisnya tajam. Dia merasakan bulu tengkuknya meremang mendengar kalimat Summer.
Sekarat.
Tidak ada kata yang lebih menakutkan daripada itu. Tidak, dia bukannya takut pada kematian.  Yang dia takutkan adalah kesunyian panjang yang akan dihadapinya bila Summer benar-benar pergi. Dia tidak siap kehilangan Summer.
Seandainya mungkin, sudah sejak awal Dominic bersedia memberikan sebelah ginjalnya supaya Summer bisa bertahan hidup lebih lama. Namun transplantasi ginjal bukanlah perkara sederhana. Melihat kondisi Summer yang sudah sangat parah, dokter hanya berani melakukan operasi transplantasi bila donor ginjal tersebut memiliki pertalian darah dengan Summer. Celakanya, Summer terlahir sebagai anak tunggal. Kedua orang tua Summer pun tidak bisa dibilang sehat sepenuhnya. Maka ide transplantasi itu tidak bisa diwujudkan.
            Ekspresi wajah Dominic dengan cepat berubah dari rasa kaget menjadi nelangsa. Ini hantaman kedua setelah pemberitahuan dokter tentang kondisi Summer. Sepertinya hari ini telah ditakdirkan menjadi bad day-nya. Sejak Summer didiagnosis positif mengidap Lupus, Dominic selalu terbangun di pagi hari dengan rasa was-was. Hal pertama yang dilakukannya  setiap kali terjaga dari tidur adalah menatap Summer yang terlelap di sampingnya dan mengamati setiap tarikan nafasnya. Dia takut kalau-kalau ketika dia terbangun, Summer sudah tidak lagi bernafas.
            “Dom, maaf.” Summer meremas telapak tangan suaminya. “Tapi mulai saat ini kau harus bersiap-siap kehilangan aku. I love you, Dom. Itulah sebabnya aku ingin ke Chamonix bersamamu. Hanya berdua. Tak ada dokter, tak ada infus, tak ada mesin hemodialisa, … benar-benar hanya kita berdua.”
            “Summer, aku …” Setetes besar air mata jatuh saat Dominic mengerjapkan mata. Hatinya luluh dihempas kesedihan. Kata-katanya seakan ikut tersedot masuk ke dalam mesin hemodialisa bersama aliran darah Summer.
            “Pergilah bersamaku, Dom.” Summer pun mati-matian menahan air matanya sendiri supaya tak tumpah. “Bisa jadi kali ini Mont Blanc tidak tertutup kabut.”
            Dominic menggeleng lagi.
            “Sebenarnya bukan masalah Mont Blanc yang memberatkan pikiranku.” Dominic menjawab dengan lidah kelu. Air matanya mengalir membentuk sepasang garis basah di wajahnya. “Please tell me how I should live when you’re really gone, Summer.”
            Summer mengerdip pelan, mengirim sinyal agar Dominic mendekat padanya.
            “Akan kukatakan padamu sesampainya kita di Chamonix nanti.” Ujar Summer lirih di antara dengung mesin hemodialisa. Matanya menatap Dominic lembut sementara jari-jarinya perlahan terulur  mengoyak rambut pirang suaminya. “Aku janji, Dom.”
            Dominic tak menjawab. Tepatnya tak sanggup lagi menjawab. Pikirannya telanjur kalut menyadari kemungkinan dia akan kehilangan Summer untuk selamanya. Benar-benar kehilangan secara nyata, bukan sekedar adegan kehilangan dalam mimpi buruknya.
            Chamonix.
            Mungkin itulah kesempatan terakhir untuk menunjukkan cintanya pada Summer di penghujung hidupnya. Dibandingkan maut yang akan memisahkan mereka nanti, jarak Seattle-Chamonix bukanlah sesuatu yang mustahil ditempuh. Summer telah bertahun-tahun memimpikan Chamonix. Dominic tak akan sanggup menanggung rasa bersalah seumur hidup seandainya Summer pergi tanpa sempat meraih mimpinya menyaksikan puncak Mont Blanc yang diselimuti salju.
            “Baiklah, besok lusa kita berangkat.” Ujar Dominic terputus-putus, susah payah menahan diri supaya tidak terisak. “Ke Chamonix.”

***

Hotel Les Balcons Du Savoy, Chamonix-Perancis.
Empat hari kemudian.

Summer has come and passed
The innocent can never last
Wake me up when September ends

As my memory rests
But never forget what I lost
Wake me up when September ends

            “Kau sedang apa?” tegur Summer tiba-tiba, mengejutkan Dominic yang tengah melamun di balkon kamar hotel.
            “Oh, umm, kau sudah bangun.” Dominic tergagap sesaat. Dia mematikan iPod-nya yang tengah melagukan salah satu hits Green Day. Sambil memasukkan iPod-nya ke saku kemeja, Dominic menghampiri Summer di kursi rodanya. “Kemarilah. Pemandangan pagi di sini sangat indah.”
            Dominic lalu mendorong kursi roda Summer menuju balkon. Sinar matahari sedikit redup tertutup kabut tipis. Dari balkon hotel mereka bisa menyaksikan suasana lembah Mont Blanc yang mulai beranjak menyambut pagi. Bunga-bunga aneka warna menghiasi seluruh penjuru lembah menyatu dengan bangunan-bangunan berarsitektur khas. Di kejauhan, tampak sungai mengalir membelah kota seperti bekas goresan pisau pada permukaan mentega.
            “Hari ini kita akan ke Aguille du Midi atau Le Brevent?” Summer merapatkan syal merah marun yang menutupi bahu kurusnya. Wajahnya terlihat ceria meskipun sedikit lelah akibat penerbangan Seattle-Paris sehari sebelumnya.
            “Kalau ingin lebih dekat ke glacier Mont Blanc, kita harus memilih Aguille du Midi.” Jawab Dominic seraya melingkarkan lengannya di bahu Summer. “Tapi letaknya cukup tinggi, 3842 meter di atas permukaan laut. Aku tidak ingin kau kelelahan untuk sampai ke atas sana.”
            “Jadi?”
            “Kita ke Le Brevent saja.” lanjut Dominic. “Ketinggiannya cuma 2525 meter. Kita hanya harus naik cable car dan gondola menyeberangi Les Praz de Chamonix. Dari sana kau bisa melihat puncak Mont Blanc melalui teras besar yang tersedia di atas sana.”
            Summer memejamkan mata sekilas, membiarkan Dominic mencium pelipisnya. Melihat rona antusias di wajah istrinya, Dominic terenyuh namun tak mampu menunjukkan perasaan sesungguhnya. Impian Summer kini tinggal setapak lagi. Dominic telah bertekad untuk tidak akan memperlihatkan kesedihannya di depan Summer, terutama setelah istrinya berusaha keras melintas benua dalam kondisi sakit parah. Dominic sadar, air matanya tidak akan merubah keadaan, meskipun di satu sisi dia didera kesedihan yang sangat. Namun Summer memerlukan lebih dari air matanya.
            “Wow, aku jadi tidak sabar menunggu sampai usai sarapan. Kupikir hanya Italia yang punya gondola.” Suara Summer memecah keheningan sesaat ketika Dominic sibuk berkutat dengan pikirannya.
            “Well, itu bukan gondola seperti yang ada di Venezia.” Dominic memaksa dirinya tertawa. “Itu sebutan lain  untuk cable car yang ukurannya lebih besar.”
            Summer ikut tertawa. Dia menyandarkan kepalanya pada lengan Dominic yang memeluk bahunya. Matanya menyipit menatap matahari yang merambat naik perlahan-lahan. Dia memegang lengan Dominic lalu mendongak sedikit untuk melihat wajah suaminya.
            “Aku yakin tak akan ada kabut di puncak Mont Blanc hari ini.” Katanya.
            … dan keyakinan Summer terbukti.
            Ketika Citroen hitam metalik sewaan Dominic tiba di cable car station pertama Les Praz, langit tampak biru cerah tanpa awan. Setelah membeli tiket, Dominic memapah Summer memasuki cable car berkapasitas enam orang.
            “Kau tidak apa-apa, Summer?” Tanya Dominic saat cable car mulai bergerak meninggalkan platform menuju gondola station di Plan Praz. Summer terlihat kurang nyaman dengan pakaian tebal yang membungkus rapat tubuhnya.
            “Sejauh ini aku baik-baik saja. Kecuali pakaiannya.” Summer meringis. Dia tak punya pilihan selain memakainya. Kulit penderita Lupus sangat sensitif terhadap sengatan matahari, sehingga dia sama sekali tidak protes ketika Dominic memakaikan berlapis-lapis pakaian ke tubuhnya.
            “Kau harus tetap memakainya sampai kita kembali ke hotel.” Dominic meraih bahu Summer dan menarik tubuh istrinya merapat padanya. “Lagipula suhu di Le Brevent sangat dingin. Percayalah, kau tidak akan menyesal memakainya.”
            Summer tertawa. Lagi-lagi rona bahagia terpancar di wajahnya. Dominic tak bisa berbuat apa-apa kecuali memeluknya sangat erat. Setiap detik yang berlalu terasa begitu berharga. Bila saja mungkin, Dominic ingin sekali bisa memutar hidupnya kembali ke masa lalu. Dia merindukan masa-masa ketika Summer masih sehat. Biasanya, di musim panas seperti ini, mereka akan melewatkan hari di Rockaway Beach. Kadang mereka menerbangkan layang-layang berdua di waktu pagi dan berjalan menyusuri pantai di senja hari. Tak ada erang kesakitan dari bibir Summer, yang ada hanya senyum riangnya yang ditingkahi suara ombak.
            “Dom, kau melamun?” Summer menepuk punggung tangan Dominic sekilas. “Jangan bilang kau menyesal membawaku ke sini.”
            “Aku …” Dominic tidak melanjutkan kalimatnya. Dia memandang keluar jendela menyembunyikan matanya yang berair. Buru-buru dia menempelkan telunjuknya ke kaca jendela. “Lihat, kita berada sangat jauh di atas Chamonix. Tahu tidak, kita sedang melintasi rute cable car tertinggi di dunia.”
            Summer perlahan beringsut mengikuti arah telunjuk suaminya. Sejenak dia terpaku menyaksikan bentangan lembah hijau dan karang-karang berselimut salju di luar jendela. Kemudian dia meraih wajah Dominic, dan menatap jauh ke dalam mata biru suaminya.
            “Aku tidak akan sampai sejauh ini tanpamu, Dom.” Katanya nyaris berbisik. “Terima kasih … – Tidak. Terima kasih saja tidak cukup.”
            Sebelum Dominic sempat menanggapi kalimatnya, Summer tiba-tiba terhuyung ke depan. Hampir saja kepalanya membentur kaca di depannya.
            “Summer!” Dominic sigap menyambar tubuh Summer dan mendekapnya panik. “Kau tidak apa-apa?”
            Summer terengah sedikit. Kepalanya rebah di bahu Dominic. Bersamaan dengan itu, cable car yang mereka tumpangi tiba di gondola station Plan Praz.
            “Kita bisa kembali besok kalau …”
            “Tidak.” Summer menggeleng tegas. “Aku sudah sangat dekat dengan Mont Blanc. Aku tidak ingin mundur sekarang. Please, Dom …”
            “Tapi …”
            “Maukah kau menggendongku?” Summer memandang Dominic penuh harap. Wajahnya dengan cepat berubah sepucat lilin. “Kalau kita mundur sekarang, aku tak yakin bisa kembali.”
            Penumpang cable car satu persatu turun dan beranjak naik ke sebuah gondola merah yang telah stand by di halte. Dominic bimbang sesaat, masih mendekap Summer. Sebersit ketakutan melintasi pikirannya.
Sudah tibakah waktunya?
            “Dom, kalau kita tidak cepat turun, cable car-nya akan berputar kembali ke Les Praz.” Ujar Summer lirih. Tangannya menggenggam lengan jaket Dominic erat-erat, menahan dirinya supaya tetap kokoh.
            Dengan perasaan hancur lebur, Dominic menyelipkan kedua lengannya ke balik lutut dan punggung Summer. Digendongnya istrinya keluar dari cable car yang telah kosong. Dia baru menyadari bila saat ini dia jauh lebih tabah dibandingkan yang pernah dibayangkannya. Tepat setelah dia mendudukkan Summer di bangku penumpang, gondola merah itu bergerak naik menuju Le Brevent.
            “Ini tidak akan lama. Bertahanlah.” Bisik Dominic berulang kali dengan suara bergetar. “Tetaplah terjaga, Summer.”
            Summer mengangguk samar di dekapan Dominic. Keringat menitik di keningnya meskipun hawa cukup dingin.
            “Dulu sekali,” desis Summer sangat pelan, hingga Dominic harus membungkuk supaya bisa mendengar kalimatnya. “Dulu sekali … Mont Blanc dinamai Mont Maudit, yang artinya gunung terkutuk.”
            Dominic merasakan dadanya sesak. Bahkan dalam keadaan kritis seperti itu pun Summer tak bisa mengenyahkan Mont Blanc dari pikirannya.
            “Penduduk Chamonix percaya gunung itu didiami oleh monster jahat.” Lanjut Summer. “Sampai suatu ketika, ada seorang penyihir baik hati berjalan melintasi desa. Dia menyamar sebagai pengelana dan mengucapkan terima kasih karena penduduk desa telah memenjarakan monster jahat itu di balik timbunan salju di puncak gunung. Sejak saat itu, legenda gunung terkutuk itu lenyap dengan sendirinya. Lalu penduduk Chamonix menyebutnya Mont Blanc – gunung putih.”
            “Dan kau akan segera melihatnya.” Dominic tersendat. Sepasang mata birunya penuh air. Dia bahkan tak peduli ketika beberapa turis dan pemain ski menatapnya heran bercampur iba. Dipeluknya Summer lebih erat seraya berbisik lembut di telinganya, “Mont Blanc menunggumu. Kau jangan kemana-mana.”
            Summer mengembangkan senyum tipis. Air matanya meleleh, namun senyumnya tampak damai. Dia terus tersenyum hingga gondola tiba di pemberhentian akhir.
Le Brevent.
            Udara dingin beku dengan segera menerpa wajah Dominic yang sembab. Sambil menggendong Summer di punggungnya, Dominic melangkah tanpa suara menuju teras besar yang berhadapan dengan puncak Mont Blanc dan lembah di bawahnya. Persis seperti perkiraan Summer, puncak itu putih cerah berlatar langit biru jernih. Tak ada kabut. Rombongan turis berkerumun di tepi pagar pembatas teras dan sebagian lagi memenuhi bangku-bangku kayu dengan jaket tebal mereka yang berwarna-warni, tampak kontras dengan puncak Mont Blanc yang putih sempurna.
            “Summer, kita sampai.” Dominic menggoyangkan bahunya lembut. Dia berhenti di tepi pagar pembatas teras. “That’s your Mont Blanc.”
            Summer mengangkat kepalanya yang sedari tadi terkulai di bahu Dominic. Dia mengerjap beberapa kali. Selama beberapa menit mereka hanya terpaku mengagumi keindahan atap benua Eropa yang menjulang di depan teras. Kemudian sebelah lengan Summer terulur ke arah gundukan salju yang paling tinggi.
            “Monster itu tertimbun salju di atas sana.” Katanya. “Yang harus kau lakukan adalah meninggalkan semuanya di sana. Bersama monster itu.”
            Mendadak jantung Dominic berdetak cepat. Suara dderu angin yang berhembus dari puncak berangsur-angsur terdengar seperti elegi yang menyayat hati.
            “Semua? Apa maksudmu semua harus kutinggalkan?” dia memalingkan kepala, menatap Summer dengan sudut matanya.
            “Maksudku kesedihanmu, ketakutanmu, duka citamu, dan kenanganmu tentangku.” Jawab Summer tenang. “Tinggalkan saja semuanya di atas sana maka kau akan baik-baik saja.”
            “Summer …” Dominic menggeleng cepat. Tubuhnya seperti mati rasa.
            “Aku mencintaimu, Dom.” Summer memeluk bahu Dominic dari balik punggungnya. Nafasnya tak beraturan. “Berjanjilah kau akan meneruskan hidupmu setelah aku tiada. Kau harus tetap hidup untuk menyaksikan hari ini menjadi baru kembali.”
            Dominic tergugu tanpa suara. Puncak Mont Blanc berdiri tegak dengan seluruh keanggunannya. Namun jauh di dalam hati, Dominic merasa seperti baru saja terhempas ke dalam lubang paling gelap dalam hidupnya.
            “Aku mencintaimu, Dom.” Ulang Summer lagi. Suaranya semakin lirih. “Terima kasih telah mencintaiku seindah ini. Kalau aku harus memilih sendiri malaikat pelindungku, maka aku pasti memilihmu.”
            Dominic menggeleng sejadi-jadinya. Air matanya berlinangan.
            “Malaikat punya sayap. Aku tidak.” Desisnya di sela-sela tangisan heningnya.
            “Ya, kau tidak punya sayap.” Summer menyetujui. “Tapi kau punya cukup banyak cinta yang tak pernah habis untukku. Itu jauh lebih indah daripada sepasang sayap.”
            Selanjutnya kesenyapan mengiringi langkah kaki Dominic menuju deretan bangku kayu yang berserakan di sepanjang teras. Dengan hati-hati dia mendudukkan Summer di salah satu bangku lalu mendekapnya sangat erat sambil membisikkan pada Summer semua kata cinta yang dimilikinya.
            Le Brevent di penghujung musim panas. Dominic hanyut dalam bekunya angin puncak Mont Blanc.

***


Capitol Hill, Seattle.
Enam bulan sesudah perjalanan ke Chamonix.

            Dominic berdiri mematung di depan sebuah rumah besar berwarna gading. Tak jauh dari tempatnya berdiri, sebuah plang kayu tertancap kokoh di tanah. Tulisan ‘FOR SALE’ besar-besar di bagian permukaan plang kayu itu berkilauan akibat lelehan salju yang tersisa di akhir musim dingin. Dengan tatapannya Dominic menjelajahi setiap sudut rumah bergaya Mediterania itu lekat-lekat, seolah berusaha menghafal setiap sudut dan lekuknya.
Sepuluh menit kemudian, sambil menyelipkan kedua tangannya ke saku mantel, Dominic berbalik cepat.  Dia sadar, cepat atau lambat, dia harus memutuskan ikatan emosionalnya pada rumah yang telah ditempatinya sejak hari pernikahannya dulu.
Musim semi hampir tiba. Dominic berjalan menuju mobilnya yang diparkir dekat gerbang. Inilah saatnya menepati janji.
            Setelah melilitkan seat-belt ke tubuhnya, Dominic menginjak pedal gas. Pelan-pelan mobilnya bergerak meninggalkan pekarangan rumah berwarna gading itu. Ketika jarak tempuh mobilnya telah cukup jauh, Dominic menatap kursi penumpang di sampingnya. Kursi itu tidak sepenuhnya kosong. Sebuah pigura berukuran sedang tergeletak di atasnya. Seraut wajah pucat yang tengah tersenyum  bahagia tergambar jelas dalam pigura itu. Di belakang sosok kurus pucat itu, puncak Mont Blanc yang legendaris menjulang berpayung langit.
            Aku baik-baik saja, Summer. Dominic menyentuhkan jemarinya pada wajah pucat dalam pigura itu. Meskipun tanpamu itu tidak mudah, aku janji akan menyaksikan hari ini menjadi baru kembali. Seperti pesanmu dulu, aku telah meninggalkan ketakutan dan kesedihanku di puncak Mont Blanc.
            Dominic merasakan matanya berair, tapi buru-buru dihapusnya dengan telapak tangan. Dari CD player di mobilnya, suara grup kuartet Wet Wet Wet memenuhi udara dengan oldie hits-nya.

            If I never see you again
            Think of me now and then
            Though it hurts so sweetly
            They say all good things come to an end
            You changed my life completely
            Touched by your love
            Even if I never see you again …

            Dominic menatap foto Summer sekali lagi. Sebuah senyuman haru tersungging di bibirnya. I love you, Summer. Sleep in peace ‘there’ …



Balikpapan, June 30th, 2011
At my messy room

4 komentar:

  1. pas Summer mati, saya teringat sama endingnya Endless Love, mati pas digendong di punggung si cowo. TT-TT

    BalasHapus
  2. Rasanya mata seperti kena magnet waktu baca paragraf pertamanya. Setuju banget dengan Judges, cerpen ini beneran layak jadi pemenang pertama.
    Dari semua cerpen peserta yang udah kubaca, cerpen inilah yang beneran bikin aku nangis. TT_TT

    BalasHapus
  3. @June: setuju. Saya suka banget Endless Love. Cerita ini terinspirasi dari drama itu. Anggap aja cerita ini western version-nya Endless Love :)

    BalasHapus
  4. @Anggra: Thanx Anggra, jujur, saya masih harus banyak belajar :)

    BalasHapus