Friendship | Writing | Reading | Learning | Joking | Smiling | Laughing | Comfortable
Tentang Kami
Foto saya
Grup Cafe Rusuh merupakan suatu ruang lingkup tempat di mana para anggotanya bisa berbagi tentang segala hal. Kata "Rusuh" sendiri merupakan kependekan dari "Ruang suasana hati". Sebagai sebuah grup, Cafe Rusuh menjadi sebuah jembatan di mana persahabatan, kekeluargaan dan silaturahmi antara sesama anggotanya tetap terjaga. Selain itu, Cafe Rusuh juga memberikan kebebasan kepada para anggotanya untuk berbagi tentang segala hal seperti puisi, cerita, esai, tips-tips dan info-info yang bermanfaat bagi para anggotanya.

Rabu, 27 Juli 2011

ACR: When Snow White Is Not Really White

by Welly Greenester

“Cukup! Bahkan janin gelandangan mampu berekpresi lebih baik dari itu, Tania Lequil.” Cetus McKarthy sinis.
Semua anggota klub drama terkesiap dan saling melirik satu sama lain. Sementara Tania menunduk gemetar, dia merasa tak ada yang salah dengan penampilannya tadi. Tapi prilaku Paula itu membuatnya lebih bersalah dari buronan FBI.

“Kau pemeran utamanya Tania. Kau harus mampu memimpin yang lain agar tampak memukau. Dan satu lagi, pihak Longsania tidak akan membayar untuk hal tak bermutu tadi.” Imbuh McKharty tanpa berkedip. Wanita ceking berlipstik mengkilat itu berkacak pinggang di bawah panggung, tampak frustasi. Semua orang di Voughystle School termasuk Tania, berani bertaruh sepasang bola mata jika  menemui pengajar akting yang lebih sinis dari Paula McKarthy.

“Amatir,” celetuk Tamara meremehkan.

Tania meliriknya, berusaha tidak terpancing.

“Kali ini kau benar nona Tamara Evard. Dan kuharap hal itu bukan semacam virus yang akan menjangkit kalian semua.” McKharty menanggapi. Keriput di wajahnya tampak lebih jelas kali ini.

Reaksi itu membuat Tamara kegirangan dan memandang sinis Tania dari bawah rambut ikal pirangnya.

“Maafkan saya Bu McKarthy, saya akan berusaha lebih baik lagi.” Balas Tania lirih.

“Harus. Atau tinggalkan saja tempat ini dan pergi kencan dengan pria murahan seperti yang lain.” McKharty berbicara sembari memandangi Tania dari atas ke bawah. “Mulai dari awal!”

Hall menatap mata Tania dengan penuh kasih. Seolah ingin menerangkan pada kekasihnya itu bahwa semua akan baik-baik saja. Berhasil. Tania tersenyum dan kembali pada perannya sebagai Putih Salju. Dia sadar apapun yang terjadi pasti sangat menyenangkan karena Hall yang menjadi Pangeran.

Grey si pemain piano mulai beraksi dengan nada sendu. Sementara seorang murid bernama Barbara Ellinkton membaca prolog cerita Putih Salju dengan lantang. Sekali lagi klub drama Evough beraksi dengan akting dan suara mereka yang memukau. Tak heran mereka menjadi juara tingkat Regional tahun ini. Dan sekarang, kesinisan seorang Paula McKarthy berhasil membuat pihak tertinggi Longsania University berkeinginan melirik secara langsung aksi dari Evough pada hari kelulusan yang akan terjadi pekan ini.


*****

“Kau yakin baik-baik saja?” Hall bersua dengan penuh perhatian.

“Ya… aku baik-baik saja. Aku hanya… kau tahu, Bu McKharty…”

“Penyihir.” Imbuh Hall sembari tersenyum.

Tania tertawa sekarang, memandang Hall sedalam yang ia bisa. Bersyukur bahwa pria itu miliknya. Sementara Hall pun demikian, tak ada yang benar-benar ia inginkan selain terus bersama Tania.

“Terkadang aku sedikit tidak mengerti dengan sikap Tamara,” keluh Tania membuka perbincangan.
Hall tersenyum.

“Percayalah, tiada seorang pun selain neneknya yang mengerti kelakuan Tamara.” Katanya menghibur.

“Aku hanya khawatir Bu McKarthy berubah pikiran dan melempar peran ini untuk Tamara…”

“W-wow…! kau tahu itu tak akan terjadi. Kau… kau begitu memukau,” Hall segera menyela.

“Benarkah?”

“Tentu saja, kau cantik, berbakat, suaramu indah. Kau sangat sempurna untuk peran ini.”

“Terima kasih Hall, itu berarti banyak untukku.” Tania tersenyum lantas memeluk Hall.

Saat keduanya terhanyut dalam perasaan masing-masing, terdengar derap kaki gusar dari ujung koridor. Terlalu gusar sampai sosok itu menabrak tempat sampah hingga benda mengkilat itu terguling, menimbulkan kegaduhan. Ronny Endoriss. Salah satu anggota Evough bergegas mendekati Tania dan Hall.

“Bisakah kalian sebentar saja berhenti bersikap seperti suami istri yang tengah berbulan madu di pulau tropis?” katanya, kurang nyaman mendapati kedua rekannya yang selalu “berdekatan”.

“Baiklah pak mertua, ada apa?” gurau Hall dan Tania terkekeh.

Ronny menghela kesal, mukanya acak-acakan dan pandangannya serius.
“Si Tua McKharty akan mengadakan audisi ulang.” Katanya, membuat Tania dan Hall terbelalak.

*****

“Tania, aku tahu kau lebih baik dari Tamara. Jadi setidaknya kau tak perlu sekhawatir ini.” Suara Bevlyn menyeruak dari speker telepon genggam Tania.

“Bevlyn, aku hanya selisih satu poin dari Tamara saat audisi pertama, ingat?” Tania berkata sembari mengusap keningnya yang berkeringat. Entah mengapa kamarnya tiba-tiba terasa panas.

“Tapi siapa yang dapat sepuluh?”

“Aku,” singkat Tania linglung.

“Lihat? Poin sembilan tak ada artinya dibanding sepuluh, jadi memang kaulah yang  terbaik.”

“Entahlah, aku merasa akhir-akhir ini sangat buruk. Dan perkataan Bu McKarthy kemarin memperparah keadaan.”

“Kau sudah gila jika mendengarkan penyihir tua itu. Percayalah, dia juga meludahi foto Sandra Bullock setelah menonton The Blind Site. Aku yakin audisi besok hanya untuk membuat McKharty tampak lebih berdedikasi di depan Woody Allen.” Papar Bevlyn.

“Ku harap kau benar. Karena jika Tamara mendapatkan peran ini dan dia bermesraan dengan Hall di hari pementasan, kau tahu aku lebih baik mati saja.”

*****

“Sutradara, penulis naskah, aktor, pelawak dan… pemain klarinet handal. Woody Allen.” McKharty tersenyum sembari menunjuk pria tua ceking dengan kacamata tebal.

“Terimakasih, Nona Paula McKharty.” Balas Allen, lantas melangkah dari meja juri dan menengadah ke arah para anggota Evough yang tegang di atas panggung. “Anggap saja aku orang tua yang baru kabur dari tunawisma. Lakukan apa yang ingin kalian lakukan, dan buat orang tua ini menurunkan tekanan darahnya.” Imbuhnya seraya tersenyum lebar.

Suasana di atas panggung sedikit mencair. Atau bahkan mendidih bagi seorang Tamara yang tiba-tiba turun dari panggung dan menjabat tangan Allen.
“Tamara Evard. Saya penggemar anda. Saya telah menonton hampir seluruh film anda, Annie Hall, Manhattan, Hannah and Her Sister, Anything Else, dan tentu saja Match Poin yang fenomenal itu—“

“Simpan itu untuk nenekmu, Tamara.” McKharty menyela. “Aku tak dibayar untuk ocehanmu.” Imbuhnya, kurang senang.

Semua anggota Evough termasuk Tania terkekeh di atas panggung. Sementara Tamara yang semula membeku bak iguana gurun sedang diintai elang, kini bergegas naik ke atas panggung. Allen tersenyum dan kembali ke meja juri. Tania menatap Hall. Khawatir? Tentu saja. Hall paham itu dan ia balas memandang Tania dengan tatapan yang mungkin berarti “Semua akan baik-baik saja”. Tania menerimanya dengan tulus, lantas menghela napas panjang dan memantapkan pandangannya ke depan. Di mana Paula McKharty mengawasinya dengan tatapan elang. Grey mulai memainkan piano dan McKharty menarik napas.
“Mulai!” katanya datar.

*****

“Katakan ini tidak terjadi,” ujar Tania dengan isakan tertahan.

“Tania, ini bukan akhir dari semuanya. Itu hanya drama. Kau akan tetap bersama Hall.” Bevlyn membelai rambut sahabatnya itu. Sudah tiga jam ia di kamar Tania, dan sampai sekarang isakan masih terus mendominasi.

Ya. Kau benar. Tania gagal mendapatkan kembali perannya. Tamara lah kini sebagai Putih Salju, Hall tetap menjadi Pangeran, sementara Tania sendiri sebagai Penyihir.

“Kau tidak mengerti Bevlyn.” Tania bangkit dari ranjang dan mukanya benar-benar kacau. “Saat pementasan adalah hari dimana hubungan kami genap tiga tahun. Dan sekarang aku harus melewatkannya dengan melihat Hall mencium Tamara di depan ratusan orang.”

“Apa?”

“Aku sudah merencanakan semuanya. Hari itu akan menjadi hal paling indah. Aku dan Hall di atas panggung, drama romantis, dan beasiswa Longsania akan ku kantongi karenanya. Namun tidak kali ini. Aku bahkan sangat tidak yakin bisa tampil besok, alih-alih bertingkah di depan petinggi Longsania. Padahal kau tahu betul impianku akan Lonsania.” Papar Tania lalu kembali meringsut di atas ranjangnya.

Bevlyn terpukul melihat kondisi sahabatnya itu. Di balik sikapnya yang terkadang berlebihan, namun Tania selalu tulus melakukan segala sesuatu. Termasuk mencintai Hall.

“Tania, semua akan berjalan sesuai rencana. Aku yakin Hall juga tengah menyiapkan sesuatu yang istimewa besok. Karena itu kau harus lakukan yang terbaik besok. Dan kita anggota Evough akan meraih beasiswa Lonsania University” Hibur Bevlyn.

“Entahlah…”

“Kau sudah hubungi Hall mengenai ini?”

“Hall tak peduli padaku. Dia dan Tamara sedang asyik mengikuti kelas tambahan bersama Woody Allen. Dan itu membuatku berfikir omonganmu tentang ‘Hall merencanakan sesuatu yang istimwa’ hanyalah dongeng.”

*****

Pagi ini penuh dengan kemelut bagi Tania. Bevlyn tersenyum saat berpapasan di loker. Tania paham jika sahabatnya senang ia bersedia masuk sekolah hari ini. Tapi Tania sendiri masih tak tahu atau setidaknya tak mau tahu tentang apa yang akan dilakukannya hari ini. Sepanjang hari saat semua murid membicarakan drama itu ia hanya diam tak bersua. Dengan alasan menghemat tenaga, McKharty memutuskan tak ada latihan sebelum tampil. Dia meminta anggota Evough bersikap santai dan yakin akan mampu menampilkan yang terbaik di hadapan petinggi Longsania University. Namun hal itu tak berlaku bagi pasangan baru Hall dan Tamara. Mereka sepanjang hari terus digembleng oleh McKharty dengan alasan peran vital. Dimana tombak kesuksesan ada pada penampilan keduanya. Hal itu membuat perasaan Tania ditampar dengan cara yang sempurna. Terlebih ketika ia berpapasan dengan Hall yang nyaris tanpa ekspresi. Ingin sekali ia menangis, tapi percaya atau tidak Tania merasa air matanya telah kering karena menangis semalam. Keadaan diperparah oleh prilaku Tamara yang bertingkah bak Hilter memenangkan Perang Dunia. Wanita itu tak hentinya tersenyum licik sembari menyapa “Hai Ibu Tiri…” kepada Tania.

Sementara Bevlyn kembali ambil andil dengan selalu merangkul perasaan Tania. Lain halnya dengan Ronny Endoriss, pria itu terus berkoar tentang penggantian pemain yang tidak adil. Dia sempat menghampiri Tania dan mengajaknya bicara dengan McKharty. Pria itu yakin ada yang salah dengan otak McKharty karena memilih Tamara ketimbang Tania. Lantas apakah Tania bersedia menemui pengajarnya itu? Tidak. Tania tak lagi berminat. Lima jam di sekolah dengan segala tusukan batin tanpa celah, telah berhasil merubah argumennya tentang ini semua. Tak ada lagi kesedihan. Tak ada lagi kekhawatiran. Jika saat sarapan roti isinya tak tersentuh, maka siang ini ia menghabiskan dua mangkuk penuh salad buah tropis. Dia telah terbiasa dengan ketidak-kondusifan ini. Dia tak peduli lagi dengan perasaannya pada Hall, karena saat ini dia… marah. Sangat marah.

*****

Grey memainkan piano. Barbara melontarkan prolog dan satu persatu para pemain mulai beradegan sesuai naskah. Penontonnya sangat banyak, hadir dengan segala harapan akan pertunjukan memukau dan Tania sadar betul. Ia mulai melangkah dengan kemarahan Ibu Tiri yang menyiksa Putih Salju. Penonton terpukau oleh aura Tania dengan lipstick merah tua dan gaun hitam berenda. Tania merasa sangat bergairah dan menatap tajam McKharty dengan cara yang seolah menegaskan bahwa dialah yang terbaik, bukan Tamara. Sementara Tamara merasa sangat kesal akibat kesempurnaan peran Tania, padahal ia sadar perannya lebih vital dari itu. Lampu pijar menyorot sosok tunggal Tania di depan kuali bergelagak penuh cairan racun. Dengan tangannya yang lentik, ia memasukkan apel merah mengkilat kedalamnya. Asap hijau pekat mengepul dan terdengar letusan tertahan. Penonton menahan napas. Tania tertawa bak iblis. Tak diragukan lagi para petinggi Lonsania University takjub.

Kini adegan beralih pada Tamara yang tengah bernyanyi dan menari bersama tujuh pengawal kurcacinya. Adegan itu membuat Tania kesal, karena ia tahu Tamara yang asli tak mungkin selembut itu. Saat ia menyapukan pandangnya keseberang panggung, ia melihat Hall dan sesuatu yang berbeda terjadi. Segala ego meluap tadi, seketika runtuh oleh paras Hall sebagai Pangeran. Memori Tania segera mengulang masa-masa indah bersama Hall. Semua itu membuat dadanya sesak. Napasnya tersenggal dan air matanya menetes. Segala api kemarahan yang tadi ia anggap bisa melumat sosok Hall, kini tak lagi bergelora. Tergantikan oleh aura dingin yang menusuk sehingga mencipta rongga bagi kesendirian untuk menyeruak dan merangkul Tania. Akhirnya ia sadar bahwa dirinya sangat membutuhkan Hall.
Tania menatap cermin. Tanpa gairah ia memasang make up sebagai nenek sihir jahat lengkap dengan hidung panjang penuh bisul dan rambut acak mirip jerami busuk. Tangisnya semakin menjadi karena ini adalah adegan terakhirnya. Adegan tambahan yang paling membuatnya tersiksa. Adegan dimana nenek sihir jahat berusaha menghentikan Pangeran mencium Putih Salju. Yang tentu saja akan digagalkan oleh ketujuh kurcaci penjaga dan berakhir dengan bunuh dirinya sang Penyihir karena tak kuasa menerima Putih Salju hidup kembali. Sama seperti Tania yang tak akan sanggup melihat Hall mencium Tamara dengan alasan apapun. Terlebih di hari ini dan pada kondisi dimana Tania sangat membutuhkan Hall.

Dengan perasaan hancur Tania berjalan ke panggung. Di tengah sudah ada Pangeran, Putih salju yang tergeletak dan ketujuh kurcaci. Seharusnya saat ini Tania harus marah dan menyerang Pangeran. Tapi ia sudah menangis tersedu melihat Hall.

“Jangan cium dia…” katanya lirih.

Penonton bersua heran. Hall menatap Tania pilu, lalu melihat para penonton yang mengharapkan kesempurnaan pertunjukan. Dan di antara penonton itu McKharty telah menonjolkan urat kepalanya, tanda murka karena penampilan Tania yang tak seharusnya. Sementara Tania terus menangis dan mencoba meraih Hall. Tamara mencoba membuka sedikit matanya untuk menatap Tania dengan penuh kemenangan.

“Cepat cium dia Pangeran! Sebelum Penyihir ini membunuhmu!” tukas salah satu kurcaci penjaga, mencoba mencairkan suasana.

Hall terdiam.

“Cepat cium dia!” teriak salah satu penonton tak terduga. Dan itu menjadi awal dari kegaduhan.

Hati Tania hancur. Hall menatapnya dengan penuh maaf. Sementara McKharty melotot bak penyihir nyata. Tamara tersenyum saat Hall mulai mendekatkan kepalanya. Ketika Tania seolah mendengar jet berderu di otaknya, Hall menghentikan aksinya. Dia kembali bangkit.

“Aku tidak akan menciumnya!” katanya lantang dan penonton berseru.

“Pangeran! Apa yang kau lakukan?! Cepat cium Putih Salju!” raung salah satu kurcaci penjaga. Dia sebenarnya panik oleh tatapan menghunus yang dilancarkan McKharty.

“Tidak! Karena Putuh Salju tidak benar-benar putih!” seru Hall.

Semua yang hadir terkesiap termasuk Tania yang seketika berhenti menangis. Sementara dengan kemarahan tak terbendung, McKarthy tampak hendak meninggalkan kursinya.

“Apa maksudmu?!” Tanya kurcaci penjaga dengan keheranan ganda antara dunia nyata dan dunia dongeng.

“Gadis yang di sana itu bukanlah Putih Salju! Dialah penyihir yang sebenarnya!” Hall mengatakan itu dengan mulut bergetar. “Awalnya ia hanya ingin menjadi yang tercantik, di negri ini. Tapi kini ia juga ingin menguasai seluruh lelaki yang ada. Dan hal itu akan terwujud jika ia mendapat ciuman tulus dari Pangeran yaitu aku!” papar Hall.

Penonton sangat senyap, bahkan McKharty mengurungkan niatnya untuk pergi dan kembali menyimak. Sementara Tamara kini mulai terbelalak lebar dan hanya bisa melongo.

“Dia menyamar menjadi Putih Salju untuk menjebakku, dan dia juga mengutuk Putih Salju yang asli menjadi… nenek buruk rupa.” Papar Hall sembari menunjuk Tania yang tersentak.

Penonton berseru dan para kurcaci penjaga ternganga. Sesaat kemudian Hall berlari mendekati Tania.
“Dan kutukan Penyihir hanya bisa dipatahkan oleh… cinta yang nyata,” katanya lantas mendekap dan mencium Tania yang tak mampu berucap di depan ratusan penonton. Saat mereka berciuman, make up Tania sebagai nenek buruk rupa sirna dengan jatuhnya hidung palsu penuh bisul dan tanggalnya rambut palsu kusam. Dengan air mata kebahagiaan Tania semakin mendekap Hall. Seluruh penonton bersimpati dan hanyut dalam kemesraan itu.

“Kau seharusnya mencium aku!!” raung Tamara yang kini telah bangkit dengan muka penuh amarah.

Penonton kembali tegang, sementara Hall dan Tania berpaling waspada saat Tamara berlari sembari meraung hendak mencengkram keduanya. Secepat mungkin Hall mendekap Tania dan menghindar. Kejadiannya begitu cepat saat Kaki Tamara tersangkut gaunnya sendiri dan jatuh tersungkur ke bawah panggung. Penonton menahan napas.
“Akhirnya kebenaran telah ditegakkan.” Celetuk salah satu kurcaci penjaga.

Sontak semua penonton berseru dengan suara luar biasa nyaring. Tepuk tangan membahana di sertai siulan tanda apresiasi. Para petinggi Lonsania University tampak sangat terharu sampai meneteskan air mata. Mereka sangat yakin telah menemukan penerima beasiswa Lonsania University. Sementara McKharty yang semula ingin marah kini hanya bisa menggelengkan kepala seraya tersenyum. Dan Woody Allen bertepuk tangan sampai telapak tangannya memerah sembari melompat-lompat penuh kebahagiaan.

Tania memeluk Hall dan keduanya beradu pandang.
“Kenapa kau lakukan itu?” Tanya Tania.

“Tantu saja karena aku akan selalu mencintaimu tak peduli itu di dunia nyata atau di dunia dongeng.” Jawab Hall dengan senyum hangatnya.

“Meski takdir tak berkata demikian?” Tania memastikan.

“Jika takdir yang akan memisahkan kita, maka aku pastikan akan kurubah takdir itu untukmu.”
Mata Tania berbinar, “I love you Hall,” bisiknya.

“I love you more than forever, Tania. You know that.” Balas Hall.

Tepuk tangan dan apresiasi penonton belum mereda. Kini secara berurutan, para anggota Evough naik ke atas panggung. Termasuk Tamara dengan rambut berantakan. Bersamaan, mereka memberikan penghormatan terakhir dan tirai mulai tertutup.

“Ouch! Punggungku…!” keluh Tamara.

*****
Coming Soon

When Snow White Is Not Really White

Pemain     :    Tania Lequil, Hall Anderson, Tamara Evard, Bevlyn Enward, Barbara, Ellinkton, Ronny Endoriss
Sutradara :    Woody Allen
Naskah     :    Woody Allen
Bujet        :    $14 juta
Durasi      :     1 jam 43 menit
Rilis          :    27 Juni 2012
Ditributor :   DreamWorks; New Line Cinema; Warner Brother

Tidak ada komentar:

Posting Komentar