Friendship | Writing | Reading | Learning | Joking | Smiling | Laughing | Comfortable
Tentang Kami
Foto saya
Grup Cafe Rusuh merupakan suatu ruang lingkup tempat di mana para anggotanya bisa berbagi tentang segala hal. Kata "Rusuh" sendiri merupakan kependekan dari "Ruang suasana hati". Sebagai sebuah grup, Cafe Rusuh menjadi sebuah jembatan di mana persahabatan, kekeluargaan dan silaturahmi antara sesama anggotanya tetap terjaga. Selain itu, Cafe Rusuh juga memberikan kebebasan kepada para anggotanya untuk berbagi tentang segala hal seperti puisi, cerita, esai, tips-tips dan info-info yang bermanfaat bagi para anggotanya.

Rabu, 27 Juli 2011

ACR: Tanda

by Dewi Kharisma Michellia

Trotoar yang sepi. Seorang wanita tua gila menyanyi di depan sebuah minimarket. Seorang lainnya, yang nampak tak punya tempat tinggal, tidur di atas gerobak penuh baju di sebelah minimarket tersebut. [1]Sementara itu, seorang gadis berjalan tergesa keluar dari sana membawa satu tas belanjaan yang berisi air mineral, roti, dan buah segar.

“Kenapa tidak beli makan saja?” tanya seorang pria yang menunggui di luar minimarket, menyambut dan mengambil belanjaan si gadis.

“Tidak lapar,” sahut si gadis.

“Mana sehat kalau dari pagi tak makan apa-apa, malamnya hanya makan roti dan air mineral,” oceh si pria.

“Sehat saja,” rajuk sang gadis sambil menggenggam jemari si pria, “aku, toh, tak akan pernah sakit,” lanjut gadis itu seraya membenamkan wajah pada lengan si pria.

*

Televisi masih menyala. Ikan-ikan di akuarium berenang mondar-mandir. Dua orang di ruangan itu masih terjaga, duduk berhadapan di atas sofá yang dipisahkan sebuah meja. Musik klasik menemani mereka yang saling memberi jarak.

Selama dua jam mereka selalu sesekali menatap kepada satu sama lain. Si gadis dengan laptop di atas bantal pada pahanya, si pria dengan buku bacaan tebalnya. Sebuah mug besar berisi kopi kental di hadapan si pria, satu botol mineral besar di hadapan si gadis. Satu mangkuk bekas mi kari dan sebungkus roti sobek rasa coklat srikaya.

“Kau tak pulang?” tanya si gadis pada pria di hadapannya.

Si pria menggeleng, “Terlalu larut. Orang-orang rumah bakal bilang apa nanti?”

“Nah, kau pikir orang-orang hotel akan bilang apa jika melihatmu pulang esok pagi? Mengataiku wanita bayaran?”

Pria itu menyahut dengan senyum jenaka, tersimpan haru di matanya. “Tidak mungkin seperti itu. Tampangmu baik-baik. Dan lagipula, kau tahu aku seorang gentleman,” Ujar si pria, “hapuslah hal-hal buruk yang ada di otakmu.”

Si gadis melemparinya dengan bantal. Ketika bantal mengenai si pria, sesuatu membayang di kepala si gadis, mengajak alam imajinasinya berputar-putar kembali ke masa lalu.

“Cih. Bukan begitu pula maksudku. Aku hanya mengantisipasi. Lagian, apa kau tahu makna kata gentle? Kau; gentleman? Seorang pria yang kasar, sinis, dingin… mengaku gentle?”

Si pria menatap lekat cara si gadis bicara. Melihat gadisnya mengomel seperti biasanya, pria itu justru tertawa terpingkal-pingkal, kendati masih ada haru di matanya.

“Cuek, aneh, penyendiri, tidak punya perasaan,” tambah si gadis, tidak memedulikan tawa si pria yang makin menjadi.
“Baiklah, baiklah, aku bukan gentleman. Aku chivalry. Seorang ksatria. Gagah, kan?”

“Pulanglah, kalau begitu.”

Hening cukup lama. Si pria tertawa, dadanya cukup sesak untuk mengikuti adegan drama si gadis. Ia tahu semua itu tidak akan berlanjut lama. Bagai mimpi, pembicaraan-pembicaraan itu hanya akan berlalu sekelibatan, sekedipan mata.

“Tulisanmu sudah jadi?” tanya si pria mengalihkan pembicaraan.

Gadis itu menggeleng, “Pulanglah. Bacaanmu sudah habis, kan?” sahut si gadis kemudian.

Tiga buku yang telah habis dibaca oleh si pria telah tertumpuk di atas meja di sebelah bekas mug kopi dan mangkuk mi. “Bisa kubaca ulang. Lagipula, aku bisa melakukan sesuatu dengan laptopku; aku tidak akan tidur.”

“Memang kau tak lelah?”

“Aku akan ceritakan apa yang kubaca tadi, oke?” Si pria mengambil buku-buku yang telah diletakannya di atas meja; di sana si pria mulai menceritakan apa-apa saja yang ia baca, sementara si gadis nampak tidak memedulikannya. Di sana si gadis terus mengetikkan sesuatu pada laptopnya.

Hingga kemudian, air mata mengisi pelupuk mata si pria.

“Pulanglah,” rajuk gadis itu lagi, tepat ketika air mata si pria hampir menetes di pipi.

“Bukankah seperti biasanya, seperti tahun-tahun kemarin? Aku pun selalu menemanimu sampai larut. Sudahlah, tak usah pikirkan aku. Selesaikanlah tulisanmu,”

“Tapi kau tak usah menemaniku!” Teriak si gadis.

“Kau bodoh bila menduga aku tak merindukanmu,” balas pria itu dengan nada pelan.

Mendengar hal itu, si gadis memejamkan mata, “Jangan bilang begitu.”

“Kau tahu aku rindu bertengkar denganmu. Aku begitu rindu hingga aku dapat berpura-pura semuanya baik-baik saja. Aku tak mau kehilanganmu.”

“Jangan bilang begitu…”

“Aku tak akan bilang begitu bila kau janji tak akan pergi lagi,”

“Kau sudah sangat tahu kenapa aku selalu berusaha mengusirmu, kan?”

Pria itu mengulum senyum, dadanya perih ketika melihat tubuh gadis di hadapannya perlahan-lahan berubah menjadi asap. Air mata menetes di pipi si gadis ketika sebagian tubuhnya telah lenyap. Hingga kemudian, tubuh gadis itu menghilang sepenuhnya.

*

Partikel-partikel mentari melewati ventilasi. Debu-debu kecil itu bergerak berputar-putar hingga menyentuh wajah pria yang sedang tertidur di atas sofá. Di luar kamar hotel, orang-orang telah sibuk membereskan banyak hal. Beberapa saat setelah keriuhan di depan tiap kamar hotel usai, si pria terbangun dengan linglung di dalam sebuah kamar. Agak terhuyung ia berjalan ke arah toilet. Pada cermin di toilet itu, ia menatap wajahnya lekat-lekat. Ia lupa sejak kapan telah tumbuh brewok di dagunya, bahkan rambutnya telah cukup panjang dan layak untuk dipangkas. Yang terakhir ia lakukan, ia memegang pinggangnya, dan ia merasa tubuhnya telah menjadi cukup ringkih.

Ketika ia telah sadar sepenuhnya mengenai apa yang terjadi pada malam sebelumnya, ia buru-buru berlari kembali ke arah sofa tempat ia terbangun. Ia tertawa dengan hati yang perih membaca apa yang tertinggal di laptop kekasihnya.

Sebuah surat, lagi. Untuknya.

Aku, lagi-lagi, tak bisa menceritakan apa yang terjadi padaku di alam sana. Tapi karena aku bisa kembali, tentu kau tahu aku baik-baik saja. Masih baik-baik saja. Karena aku pun tak tahu apa yang akan terjadi padaku nanti. Aku tak akan menceritakan bagaimana-bagaimananya. Tapi, aku pasti akan kembali lagi kepadamu. Mungkin.


 Kurasa aku beruntung dapat kembali berkali-kali. Temanku hanya sekali dua kali.


Oh ya, aku telah melanjutkan novelku yang belum selesai. Dan aku menulis beberapa cerita pendek lagi. Hanya slice of life. Sebegitu tak inginnya aku untuk mati, ya? Rasanya aku ingin tertawa ketika melanjutkan semua ceritaku itu. Ya, ya, seperti biasa, tolong kirimkan karya-karya itu atas namaku, seolah aku masih hidup. Rahasiakanlah kematianku. Lagipula memang tak seorang pun perlu tahu, kan?


Aku tentu lebih senang bila kau dapat membuka dirimu kepada gadis lain. Berhentilah mencintaiku terlalu dalam.


Dan lagi-lagi, pada laptop itu ia menemukan sebuah naskah novel yang belum kunjung selesai, dan beberapa cerita-cerita singkat yang harus ia kompilasikan dan kirimkan ke agen penerbitan. Sebelumnya, ia membaca cerita-cerita singkat itu perlahan, menyortirnya, dan sadar semua yang ia baca di sana akan mendatangkan uang ke rekeningnya. Meski semua uang itu, seperti biasanya, lantas akan ia sumbangkan ke panti atau ke orang-orang yang membutuhkan.

*

Terlepas dari banyak hal yang ia dengar dari si gadis, pria itu tidak tahu di mana jenazah si gadis bersemayam. Gadis itu telah hilang cukup lama, bahkan hampir bertahun-tahun sebelum kematiannya. Selama bertahun-tahun itu pula, tIdak pernah ada ikatan yang jelas di antara si gadis dan si pria. Si pria tentu mencintai si gadis dengan begitu dalam, si pria pun tahu betul si gadis mencintainya sama dalamnya.

Meski mereka tahu mereka saling mencintai, bagaimanapun mereka tak sempat menjalin hubungan kasih bahkan sampai suatu ketika si gadis hilang begitu saja dari kehidupan si pria. Tidak dapat  ia kontak sama sekali; bahkan ketika ia berkunjung ke rumah si gadis, orangtua si gadis pun mengaku tak tahu menahu ke mana putri mereka pergi berkelana.

Cukup lama, dan selama itu, meski tak sempat meresmikan, si pria masih menganggap si gadis sebagai kekasihnya. Begitu lama si gadis pergi dari kehidupan si pria, hingga pada suatu sore mereka bertemu kembali di suatu taman.

Berkelana jauh berkilo-kilometer jaraknya dari tanah semula, si pria tak menyangka akan menemukan si gadis di negeri tersebut. Di suatu taman di depan sebuah kuil Shinto-lah mereka kemudian bertemu kembali. Gadis tersebut memegang kembang gula di tangannya, dua buah; satu diserahkannya kepada si pria, satu digigitnya ketika bergerak duduk di kursi sebelah si pria.

*

Pada pertemuan itu, mereka kemudian memutuskan untuk pergi ke kafe dekat kuil untuk sejenak berbincang.

“Lama tak jumpa,” Ujar si gadis ketika itu, “jadi kau telah pergi sejauh ini?”

Saat itu si pria masih terkesima dengan takdir yang dialaminya. Telah bertahun-tahun lewat, ia bahkan tidak berharap dapat kembali bertemu dengan si gadis. Tentu saja ia berharap, mungkin di alam bawah sadarnya. Tetapi tidak saat itu. Jantungnya berdetak cepat dan waktu seolah berhenti. Ia merasakan euforia; kebahagiaan yang tak terkendali.

Dadanya sesak, sesuatu membuncah dan seolah akan meledakkan tubuhnya.

“Sudah bisa menyanyikan lagu pop Jepang?” namun justru itu yang ia tanyakan kepada si gadis, entah saking bahagia, entah hanya itulah satu-satunya hal yang ia ingat di kepala.

Gadis itu tertawa terpingkal, lantas mulai menyanyi. “Ah, suaraku masih bagus,” bisik si gadis seusai menuntaskan sejumlah lagu.

“Kau pun masih suka minum susu kental,” Ujar si pria.

“Tepat. Jadi pria penyuka kopi karamel ini apakah sudah menikah?” namun  ke sanalah si gadis mengarahkan pembicaraan mereka.

Pria itu menggeleng, “Semuda ini, menikah? Tentu belum bila belum ada yang tepat, nona. Nona sendiri?” candanya, lantas mengamati jemari si gadis. Belum ada cincin tersemat di jari manis.

“Tidak akan bisa menikah,” jawab si gadis.

“Mengapa?”

“Tuan akan segera tahu,” kedip mata si gadis kala itu menyiratkan sesuatu.

“Bahkan sekalipun aku yang melamar Nona?”

Saat itu tawa sang gadis pecah. “Bahkan sekalipun Tuan yang melamarku. Sorry to hurt you,

Sirat mata sang gadis menemukan artinya di penghujung hari. Karena pada dini hari yang terasa cukup pendek itu, untuk pertama kalinya, si pria menyadari ia dan si gadis telah berbeda dunia; karena di beranda kamar apartemennya dini hari itu, si gadis lenyap menjadi debu, terbang ke langit ke arah bintang-bintang.

*

“Kau tahu apa yang dapat kulihat sekarang?” pada pertemuan mereka selanjutnya si gadis muncul kembali dengan teramat tiba-tiba. Saat itu, ketika ia berniat membeli sesuatu untuk dijadikan makan siang.

Setelah berbulan-bulan lamanya ia menganggap pertemuan mereka yang pertama hanya sekadar mimpi, saat itu ia justru terpaksa mengira dirinya barangkali telah mengidap skizofrenia; kelainan jiwa tahap akut di mana seseorang tak dapat membedakan mana yang nyata mana yang maya.

Tetapi ketika itu si gadis mendekatkan matanya ke arah mata si pria. Dada si pria berdegup, “Hari ini aku mau makan dim sum, mi seduh, rumput laut, dan bumbu kari,” Ujar si gadis kala itu. Senyumnya yang lugu dan binar matanya yang cerah menghangatkan siang yang mengantarkan titik-titik air dari angkasa.

“A-p-a k-a-u… nyata?” tanya si pria dengan terbata.

Si gadis tersenyum sepintas. Lantas terpingkal. Lantas menggeleng. “Mungkin sebentar lagi tidak,”

“Kau akan lenyap lagi?”

Si gadis menggenggam tangan si pria, “Barangkali, ketika aku genggam tanganmu seperti ini, dan kita berjalan dari sini mengelilingi Okachimachi, mencicipi beraneka makanan, barangkali di tengah jalan genggamanku akan lepas.”

“Dan kau hilang?”

Si gadis mengangguk.

“Jadi, apa kau nyata?”

Si gadis tersenyum. “Mungkin kini, tidak,” Dan perlahan-lahan, tubuhnya lenyap lantas terbang menyatu dengan butiran-butiran air yang jatuh dari angkasa.

*

“Kita tak pernah punya kesukaan yang sama, ya?” itulah malam pengakuan cinta mereka, jauh di masa lalu, ketika mereka dapat berbincang bersama berhadap-hadapan di ayunan di belakang rumah si gadis.

Mereka bertetangga. Mereka mengenal sejak usia lima tahun. Dan mereka telah menjaga satu sama lain sejak saat itu. Belum, ketika itu mereka belum benar-benar jatuh cinta.

“Kurasa begitu,” sahut si pria. “Aku merasa bodoh duduk di sini menemanimu,”

Si gadis tertawa lepas, “Kau tahu aku tak punya saudara, mungkin kau kasihan kepadaku?”

“Bukan,” lontar si pria cepat-cepat, “aku hanya merasa bodoh ketika menemanimu berbisu ria di sini. Sementara, kupikir, seharusnya kita membicarakan sesuatu…”

Si gadis menyipitkan mata. “Adakah hal lain lagi yang masih perlu kita bicarakan?”

“Sudahkah kita membicarakan segala hal?” sedikit membelalakkan mata, si pria kala itu mencoba mengingat-ingat keseluruhan jalan cerita mereka sedari pertemuan pertama.

Cukup lama lantas mereka saling berdiam diri. Ayunan masih tetap bergerak sejengkal-sejengkal.

“Kita tidak pernah punya kesukaan yang sama, kan?” tebak si gadis beberapa saat kemudian.

Si pria, entah karena tersihir, atau sedang melamun—entah karena tak pernah mengingat mereka pernah memiliki ketertarikan yang kuat pada hal yang sama—menganggukkan kepala, “Nampaknya,”

Si gadis tersenyum. “Menurutmu, apa hal yang sama-sama kita sukai?” tanya si gadis.

Si pria menatap ke dalam bola mata si gadis. “Aku menyukai diriku.” Ujarnya.

Si gadis terpingkal-pingkal, “Ya, ya, aku menyukaimu; itu lucu sekali, tapi kau benar.”

*

Jam di hotel berdentang sekian kali. Tanda ia telah harus check-out dari tempat tersebut. Namun ia tetap tak bergeming. Sesuatu merusak saraf motoriknya hingga ia merasa tak dapat bergerak sama sekali. Di sana, setelah hanya sarapan roti sisa yang dibeli si gadis malam kemarin, setelah juga mengingat-ingat sebagian besar kisah yang terjadi di masa lalu, si pria mulai membaca ulang naskah novel si gadis.

Sepembacaannya, si gadis tidak mengisahkan ceritanya dari bagian awal hingga akhir. Dia hanya menulis sepotong-potong. Dan, menurut si pria, menyatukan semua itu kelak pastilah seperti menempel dan menambal; dan akan cukup makan waktu. Sepengetahuan si pria, bila dalam film, penceritaan semacam itu dikenal sebagai penceritaan non-linier. Banyak penulis menulis dengan jalan yang sama. Seperti menulis epilog dari ceritanya terlebih dulu, barulah meloncat ke seperempat bagian awal dari cerita, lantas menuju ke prolog, dan kembali ke tengah, dan begitulah.

Namun begitu, ia bukanlah seorang penulis. Mungkin dulu sekali ia pernah bercita-cita demikian. Hingga pada suatu ketika orang tuanya memintanya berkuliah Teknik, dan ia hampir-hampir melupakan segala hal yang pernah disukainya. Saat itu, ia menuruti kehendak orangtuanya. Saat itu, si gadis telah hilang dari kehidupan si pria.

Waktu berlalu, banyak hal terjadi. Tetapi ia tak pernah jatuh cinta kepada sosok lain. Hingga gadis itu datang lagi, dan membuatnya jatuh cinta lagi.

Ia terkadang tidak mengerti apakah semua hal itu nyata ataukah sekadar ilusinya semata. Tetapi ada satu hal yang terus dipertanyakannya namun tak kunjung ia tanyakan.

“Bukankah aku seharusnya menemukan jasadmu? Mengapa kau tidak membiarkanku tahu jasadmu kini ada di mana?” Bisik si pria, lebih ditujukan kepada dirinya sendiri.

*

Sore itu, ketika si pria hendak meninggalkan hotel, setelah membayar sejumlah uang tambahan akibat ia terlambat check out, seorang petugas hotel berlari mengejarnya membawa sebuah kotak yang dibalut kain. Ketika kain disingkap, terdapat kandang aluminium yang berlubang banyak dan seekor kucing yang tepat menatap mata si pria.

“Maaf, Tuan. Kucing Anda tertinggal,” ujar petugas tersebut dengan bahasa Jepang yang sopan.

Mata si pria membelalak. Kucingnya? “Mungkin Anda salah orang?” menjawab dengan bahasa Jepang.

“Tidak, tidak salah. Pagi tadi nona yang bermalam bersama Anda menitipkan kucing ini kepada saya.”

Tidak mungkin. Gadisnya telah hilang lenyap dini hari itu. Bagaimana bisa menitipkan kucing pagi itu, batinnya. “Mungkin Anda salah,”

“Tidak, Tuan. Saya ingat betul. Ia mengaku sebagai adik Tuan, gadis dengan syal abu-abu dan rambut panjang ikal, bertopi kepala rubah, dan ia menyelipkan surat ini.”

Si pria membuka surat tersebut.

Kucing untukmu. Aku tak tahu mengapa aku membelinya dan memberikannya kepadamu. Berdasarkan cerita teman-temanku di alam sana, semakin lama kau dapat mengunjungi dan tinggal di dunia, itulah pertanda saatnya kau tak akan boleh lagi pergi ke sana. Entahlah, mendengar itu, terpikir olehku membelikan kucing ini untukmu.

Omong-omong, aku lupa, apa kau suka kucing?

P.S.: sore tadi sebelum menemuimu, aku telah membeli kucing itu dan aku meminta seorang gadis mengantarkannya kepdamu. Mungkin dengan itu, dia harus membohongi petugas shift pagi hotel tersebut. Aku tak tahu, tapi kalau surat ini telah sukses sampai kepadamu, itu artinya ia berhasil berbohong.

Si pria menatap lekat kucing kecil di dalam kandang. Ia bertanya dalam hati, entah apakah ia pernah menyukai kucing. Kucing itu, dengan bulu keemasan, telinga mungil yang tinggi, dan tatapan lembut, mengeong kepadanya. “Betul, ini kucing adik saya. Terima kasih,” jawabnya kemudian seraya lantas saling membungkukkan badan.

Sebelum pulang ke flatnya dengan menumpang kereta Nagoya-Kyoto, ia membeli beberapa kaleng susu cair dan sekaleng Whiskas. Mungkin nanti ia perlu bilang kepada pemilik flat dan membayar sejumlah uang tambahan untuk mengajak si kucing tinggal bersamanya.

*

Setelah perjalanan empat puluh menit dengan Shinkansen, mengambil sejumlah dokumen ke kampusnya di Universitas Kyoto—dan selama itu masih menjinjing kandang, di mana di dalamnya si kucing malah pulas tertidur—serta meminta izin kepada pemilik flat, ia kemudian meletakkan kandang kucing yang dinamainya Tanda, yang dalam bahasa Inggris lebih bermakna Mark ketimbang Sign, itu di sebelah sofa di dalam kamarnya. Segalanya telah beres pagi itu. Ada beberapa tugas yang harus ia kerjakan, proyek kampusnya.

Ia membuka kandang, si kucing belum kunjung terjaga. Namun ia tetap menuangkan Whiskas dan susu cair yang dibelinya di minimarket tadi, masing-masing pada mangkuk besar yang biasanya ia gunakan sebagai tempat mi udon.
Ia lantas memutar film Tokyo Story dan meninggalkan televisi memutar film tersebut ketika ia mulai memasukkan cucian ke dalam mesin cuci. Duduk di atas sofa sambil hanya mendengarkan sebagian besar dialog film, ia mulai mengerjakan tugas yang diterimanya pagi tadi.

Sejumlah program komputer untuk proyek Bioprinter harus ia tuntaskan hari itu. Sementara itu, samar-samar terlintas di benaknya kenangan akan orangtuanya di tanah air sekalipun ia tidak begitu memperhatikan film yang ia putar di televisi di depannya. Tokyo Story bercerita tentang sepasang orang tua yang untuk pertama kalinya pergi ke Tokyo, mengunjungi anak-anak mereka yang sudah berkeluarga. Mereka menemukan kenyataan yang berbeda dengan harapan mereka semula. Misalnya, mereka tak mempunyai waktu untuk menemani orang tuanya berkeliling Tokyo.[2]

Ia baru menyadari, sudah lama ia tidak bertemu dengan kedua orangtuanya. Orangtuanya pun tak pernah pergi ke Jepang untuk menemuinya. Telepon yang ia terima dari orangtuanya barangkali hanya sekali dalam setahun. Sekalipun orangtuanya datang mengunjunginya ke Kyoto, mungkin ia tidak memiliki waktu untuk mengajak mereka berkeliling.

Ia tersenyum. Lagipula ia masih memiliki tujuh adik, batinnya. Dipikirnya mungkin orangtuanya lupa betapa gigih perjuangan mereka dalam memaksa si pria berkuliah Teknik pergi jauh dari tanah kelahiran. Betapa dulu mati-matian ia mengejar beasiswa satu melawan sejuta. Namun kini bayang masa lalu sudah terlihat lucu, genap dua belas tahun ia tinggal di Kyoto, telah bergelar Ph.D. dan seringkali melakukan proyek-proyek yang mengancam nyawa saking rahasianya hal-hal yang biasanya ia lakukan. Tidak ada seorang pun yang tahu betapa lucunya si pria melihat kehidupannya kini.

Saat itu pun, ia sadar tidak ada seorang pun warga Indonesia tahu ia sedang merancang printer yang dapat mencetak utuh bagian-bagian tubuh manusia. Tidak seperti yang diumumkan oleh para ahli sains di media-media. Saat itu ia ditugasi sesuatu yang berbeda, yang ia yakin sekali orang lain tidak akan mengerti mengapa si pria melakukan hal itu, atau yang paling dasar, mengapa ia mau.

“Mungkin, suatu saat aku akan mati kesepian, seorang diri, tak dikenali siapa-siapa,” bisiknya pada diri sendiri, “jenazahku mungkin tidak akan ditemukan siapapun,”

Ketika itu, si kucing di dalam kandang telah menghabiskan semangkuk susu dan Whiskas yang diletakkan di depan kandangnya. Si pria tak menyadarinya.

*

Ketukan di pintu. Si kucing berlari ke arah ketukan. Si pria menatap dua mangkuk yang telah kosong. Film telah habis, tetapi cakram memori di otaknya masih memutar film kehidupannya. Diregangkannya tubuhnya, meletakkan laptop di atas meja, dan berjalan menuju pintu.

Si kucing mengengong manja ke arahnya. Si pria membuka pintu.

Si gadis berdiri di sana, tersenyum, menjinjing dua tas belanja yang nampak penuh. “Kau beri nama apa akhirnya?” tanya si gadis seraya menyerahkan tas belanjanya kepada si pria dan mengangkat si kucing ke dalam pelukannya.

“Tanda,”

“Tanda, namanya lucu. Sedang melakukan apa?” tanya si gadis, masuk ke dalam flat si pria.

“Membereskan hasil konferensi minggu lalu, menggabungkan beberapa data yang diberikan oleh klienku di Nagoya kemarin, dan menghimpun semuanya menjadi satu.” Jawab si pria sambil memasukkan belanjaan si gadis, yang hampir semuanya adalah bahan makanan, ke dalam kulkasnya yang sebelumnya kosong.

Tokyo Story? Rindu pada keluarga di Indonesia?”

“Tidak. Iseng menyewanya di rental, sebelumnya tidak tahu ceritanya semelankolis itu,” jawab si pria sambil menyuguhkan manju dan dua gelas teh hijau di atas meja di sebelah tumpukan buku dan laptop si pria yang masih menyala.

“Menyedihkan, anak yang lupa kepada orangtuanya. Dan begitulah memang, hidup—lama-lama—memang hanya soal melupakan dan dilupakan,” Komentar si gadis, kemudian melempar tubuhnya ke atas sofá, “tapi setidaknya ada Noriko si menantu yang akhirnya menemani mereka.”

“Begitulah. Aku membayangkan bila nanti orangtuaku datang dan aku terlalu sibuk, lalu mengabaikan mereka. Sialnya, aku belum punya istri,” jawab si pria duduk di sebelah si gadis dan menggenggam tangannya. “Ah ya, mengapa kau datang begitu sering belakangan ini?”

“Aku juga tak tahu,” sahut si gadis seraya merebahkan kepala di pundak si pria, “aku tiba-tiba muncul di depan pintumu dan membawa dua tas belanja. Aku tak tahu harus melakukan apa selain mengetuk pintu.”

“Apa itu tandanya, suatu saat kau mungkin akan berhenti datang?” tanya si pria sambil mengecup ubun-ubun si gadis.

Si kucing meloncat ke tengah-tengah mereka. Di sana lantas si kucing menggesek-gesekkan tubuhnya dan tidur dengan lelap.

“Aku masih ingin menikah denganmu,” lanjut si pria, “dan aku ingin punya anak yang lahir darimu,”

Si gadis tertawa. “Melepaskan apa yang tak bisa menjadi milikmu lebih baik daripada kau berlarut-larut dalam kesedihan.”

“Aku tak sedih,” jawab si pria. “Tapi aku hanya heran. Kalau kau pada akhirnya akan benar-benar pergi untuk selamanya, mengapa kau terus menerus datang dan membuatku tidak bisa kehilanganmu?”

Si gadis menarik nafas, “Aku pun tak tahu mengapa. Aku hanya datang kepadamu. Aku tidak muncul di tempat lain. Aku hanya muncul di dekatmu,” Jawab si gadis cepat hingga tiba-tiba tenggorokannya tersekat, “aku ingin mengunjungi kedua orangtuaku di Indonesia, tapi aku tak bisa melakukannya.” lanjutnya, air mata mengalir di pipinya.

Si pria menghapus tangis si gadis dengan menempelkan wajahnya di pipi si gadis. “Apa kau mati di Jepang?”

Namun si gadis terdiam, memejamkan matanya rapat-rapat, “Jangan bicarakan itu.”

“Aku hanya ingin tahu. Aku penasaran mengapa kau juga bisa ada di sini,” jawab si pria sungguh-sungguh.

“Jangan ingatkan aku pada kejadian itu, kumohon…”

“Bagaimana rasanya mati dan jiwamu lepas dari tubuhmu?” tanya si pria.

“Aku tak tahu,”

“Mengapa kau tak bisa menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di alam sana?”

Si gadis memeluk tubuh si pria erat, kemeja si pria basah air mata. Si pria mengecup ubun-ubun si gadis dan memeluknya semakin erat. Hingga lagi-lagi, si gadis tiba-tiba hilang begitu saja. Meninggalkan si pria yang ketika itu justru memeluk si kucing.

*

Malam itu si pria tidur satu ranjang dengan si kucing. Si kucing mendengkur di kaki si pria.

Di dalam mimpinya, si pria mengikuti seorang gadis yang wajahnya samar-samar mirip seseorang yang dikenalnya. Dari bandara menuju ke sebuah rumah yang pria itu kenali. Tiba-tiba ia menyadari siapa gadis itu ketika melihat dengan siapa si gadis berbicara.

Paman dan bibi yang telah dikenalnya selama bertahun-tahun. Seingat si pria, seharusnya mereka telah meninggal lima tahun lalu, tepat ketika si pria menyabet gelar magisternya di Jepang. Ia tidak pulang ke Indonesia kala itu, tetapi katanya jenazah paman dan bibi telah disemayamkan di rumah keluarga. Saat itu putri mereka satu-satunya, si gadis, hingga saat paman dan bibi meninggal karena kecelakaan dan kemudian dimakamkan masih tidak jelas keberadaannya.
Tetapi, gadis itu ada di sana? Si pria membatin dalam mimpinya.

Ia terus mengikuti si gadis hingga si gadis berkunjung ke rumah si pria. Kedua orangtua si pria terlihat menyambut si gadis dengan sukacita. Di sana si gadis dipeluk dan diajak mengobrol berjam-jam. Adik-adik si pria pun nampak asyik memperhatikan pembicaraan si gadis dengan kedua orangtua mereka.

Hingga, pada satu titik, mimpinya kemudian berpindah ke masa berbeda. Saat itu si pria berada di dalam sebuah pesawat. Si gadis sedang bersama dengan seorang lelaki, menyenderkan kepalanya kepada lelaki itu dan si lelaki membelai rambut si gadis setelahnya.

Si pria kembali meloncat lagi ke tempat berbeda. Kini pada sebuah kapal pesiar. Si gadis dan si lelaki di pesawat tadi nampak bertengkar hebat di dalam suatu kamar. Si gadis menunjuk-nunjuk ke arah foto di dalam bingkai yang dipegangnya. Ketika si pria mengamati lebih dekat, di sana ia menemukan fotonya belasan tahun lalu. Si gadis dan si lelaki terus beradu mulut dan saling melempar apapun yang ada di dalam kamar.

Hingga kemudian si lelaki membekap wajah si gadis dengan bantal.

Di sana, dilihatnya si lelaki mengikat tangan dan kaki si gadis, memperkosa si gadis yang telah tak bernyawa. Di sana pula, dilihatnya si lelaki memasukkan banyak hal ke dalam tas dan mengikat tas tersebut ke tubuh si gadis. Pada malam hari, si lelaki terlihat memberikan uang kepada sejumlah orang. Mereka mengangkat tubuh si gadis ke luar kamar.

Si pria berusaha mengejar. Tetapi ia kembali meloncati masa.

*

Si pria terbangun dari mimpi buruknya. Keringat membasuh tubuh. Si kucing meliuk-liukkan badannya dengan manja di kaki si pria.

Tanpa sadar, air mata satu demi satu menetes di pipinya. Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah mimpi yang barusan dialaminya adalah kejadian nyata yang pernah terjadi di belakang?

Seseorang mengetuk pintu pagi itu.

Si pria berlari cepat ke arah pintu, ia berharap menemukan gadisnya di sana.

Tetapi seorang perempuan yang tak dikenalnyalah yang berdiri di sana. Tersenyum dan memanggil sebuah nama. Ketika nama tersebut dipanggil, si kucing yang tadinya ditinggalkan si pria di atas kasur berlari melintasi si pria, lantas melompat ke arah si perempuan.

Si perempuan memeluk si kucing dengan sayang. “Aku telah mencarinya ke mana-mana. Kucingku yang hilang cukup lama,” ujar si perempuan dengan bahasa Jepang.

Si pria menatap takjub. Pikirnya, tentu tidak mungkin. Kucing itu diberikan oleh petugas hotel di Nagoya, kucing itu dibeli oleh gadisnya di suatu tempat di Nagoya, dan ternyata si kucing adalah kucing yang sebenarnya berasal dari Kyoto dan dimiliki oleh tetangga flatnya.

Tentu, meski jarang bersosialiasi, ia mengenal siapa perempuan yang berdiri di hadapannya. Telah puluhan kali mereka berpapasan di tangga dan tidak saling menyapa, ketika dalam kondisi hati yang begitu baik pun si prialah yang memulai bertukar senyum.

“Tetapi kucing ini kubeli di Nagoya,” jawab si pria cepat dengan bahasa Jepang, merebut si kucing dari pelukan si perempuan.

“Tidak mungkin. Aizu hilang ketika aku mengajaknya berdoa ke Shrine,” tukas si perempuan.

Si pria mengerutkan dahi, “Aizu?” tanyanya kaget.

“Ya, nama kucingku ini,” Jawab si perempuan, membelai rambut lebat si kucing, “sungguh terima kasih telah menyelamatkannya.” Lanjut si perempuan sembari membungkukkan tubuh dan lalu tersenyum gemas ke arah si kucing.

“Tapi…” ia menghentikan kalimatnya, tidak tahu harus bicara apa.

“Maukah kau makan bersamaku dan Aizu di flatku pagi ini? Aku akan memasak makanan yang enak sekali untuk penyelamat Aizu,” undang si perempuan dengan bersemangat.

Sebenarnya si pria enggan. Tetapi ia pun tidak tahu harus bagaimana caranya menolak. Maka ia mengunci pintu kamar flatnya, mengikuti si perempuan yang menggendong si kucing dengan sayang di pelukannya. Sepanjang lorong menuju kamar si perempuan, mereka mulai berkenalan.

Sementara itu, televisi yang masih menyala di kamar flat si pria menampilkan siaran berita mengenai penemuan tulang tengkorak seorang gadis di dalam sleeping bag yang terikat batu di dasar laut.

*

[1] http://en.wikipedia.org/wiki/File:Homeless_man,_Tokyo,_2008.jpg
[2] Artikel berjudul Wanita Jepang di Mata Ozu yang dapat diakses melalui: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1993/08/21/FL/mbm.19930821.FL5674.id.html

Untuk seseorang yang tadi malam me-request cerita Romance. You know who you are, no? :)
11:50 (5/7) - 1:10 (6/7)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar