Friendship | Writing | Reading | Learning | Joking | Smiling | Laughing | Comfortable
Tentang Kami
Foto saya
Grup Cafe Rusuh merupakan suatu ruang lingkup tempat di mana para anggotanya bisa berbagi tentang segala hal. Kata "Rusuh" sendiri merupakan kependekan dari "Ruang suasana hati". Sebagai sebuah grup, Cafe Rusuh menjadi sebuah jembatan di mana persahabatan, kekeluargaan dan silaturahmi antara sesama anggotanya tetap terjaga. Selain itu, Cafe Rusuh juga memberikan kebebasan kepada para anggotanya untuk berbagi tentang segala hal seperti puisi, cerita, esai, tips-tips dan info-info yang bermanfaat bagi para anggotanya.

Rabu, 27 Juli 2011

ACR: Individu

by Anindito Alfaritsi

Kamu masih setengah-setengah ‘kan? Kamu udah nyaman dengan keadaan kamu. Makanya kamu enggak pernah mencoba untuk melakukan perubahan ‘kan?”

Perubahan? Lagi-lagi kata itu.

Kata-kata tersebut membangkitkan kenangan Ardi akan apa yang dialaminya pada hari itu. Kata-kata yang hampir sama dengan apa yang Kania pernah ucapkan dulu. Kata-kata menyebalkan yang seakan menuduhnya sebagai munafik yang hanya bisa membual soal keinginannya untuk berubah...

Saat pertama menerima undangan pernikahan Kania, kata-kata itulah yang paling Ardi takutkan akan terlontar dari mulut Musthaf.

“Karena itu, kamu mutusin buat enggak ngejar Kania! Kamu percaya kalo soal dia enggak ada satupun hal yang bakal berubah! Akhirnya, dia milih pacaran sama cowok lain, ngelupain kamu, dan akhirnya, sekarang mau nikah.”

Takut? Mungkin ‘takut’ bukan kata yang tepat. Ardi mungkin lebih merasa ‘cemas’ daripada ‘takut.’ Tapi ‘cemas’ atau ‘takut’ terhadap apa? Perasaan apapun itu, Ardi entah bagaimana tahu bahwa ujung-ujungnya hanya akan membawanya pada sesal semata.

“Yah, pokoknya, gimanapun juga, akhirnya semuanya salah kamu.”

Salahnya? Apakah yang Ardi takutkan adalah kesadaran bahwa semua itu pada akhirnya memang tanggung jawabnya?

Sebenarnya, saat pertama mendengar tentang pernikahan ini, Ardi sama sekali tak mengira bahwa dirinya akan berpikir mendalam tentangnya. Berita tersebut hanyalah satu dari sekian banyak kemungkinan yang sudah dibayangkannya dapat terjadi. Lalu, karena Ardi sejak awal memang merasa hubungannya dengan Kania bermasalah, prospek terjadinya pernikahan Kania dengan orang lain sama sekali tak mengganggunya sebelumnya. Hanya saja, sesudah menerima undangan itu, serangkaian kejadian yang tak dipahaminya terjadi, yang secara tak terduga membuatnya bertanya-tanya lagi tentang kenyataan itu...

“Kemarin, Kania ngirim undangan.”

Akhirnya, Ardi memutuskan untuk bercerita tentang apa yang tengah dirasakannya pada sahabat baiknya, Musthaf. Seperti biasa, Ardi menyempatkan diri berkunjung ke rumahnya sepulang kerja. Seperti biasa, Musthaf—self-employed yang lebih sering bekerja di rumah, tapi belakangan sibuk dengan upayanya untuk mengembangkan wirausahanya—sama sekali tak berkeberatan dengan kunjungan Ardi yang agak mendadak itu. Duduk bersama di sofa panjang ruang tamu rumah Musthaf yang berdebu; seperti biasa, ruang tamu rumah Musthaf selalu bisa membuat Ardi merasa santai.

“Kania?” Musthaf mengulang.

“Iya, Kania." Ardi menanggapi, berharap tak perlu lagi menjelaskan Kania itu siapa.

Hening sejenak.

“Gitu ya. Trus? Perasaan kamu soal ini gimana?”

Musthaf bertanya sesudah beberapa saat tertegun.

“Sebelumnya, aku... ngerasa baik-baik aja sih. Tapi... entah ya.”

Di hadapan Musthaf, Ardi tak bisa tak memaksakan diri untuk mencoba jujur. Meski sedikit lega karena Musthaf tak mengatakan apapun seperti yang ditakutkannya, Ardi, terdorong oleh kesadarannya sendiri, menjadi bertanya-tanya apakah yang benar adalah kata-kata itu ataukah keyakinan yang dianutnya selama ini.

Musthaf sendiri sepertinya telah langsung bisa menebak bahwa pastilah telah terjadi suatu hal luar biasa yang tiba-tiba membuat perasaan Ardi goyah.


***
Untuk gampangnya, Kania (bertunangan, pemalu, 26 tahun) adalah salah satu teman Ardi semasa kuliah. Untuk gampangnya lagi, Kania adalah perempuan yang dulu pernah Ardi sukai (jadi bukan hanya sekali-dua kali saja keberadaannya semata sampai mengganggu pikirannya). Namun untuk gampangnya pula, Kania pada dasarnya adalah tipe orang yang secara diam-diam paling Ardi benci.

Ardi (lajang, pendiam, 26 tahun) sendiri adalah seorang lelaki muda yang bekerja di kantor sebuah perusahaan, tapi dirinya tak bisa secara ‘pas’ disebut sebagai pegawai kantoran. Ardi seorang freelance. Kasarnya, seseorang yang mengerjakan berbagai bidang pekerjaan yang jenisnya ‘sedikit’ lebih banyak dari yang biasa ditangani orang. Ungkapan bahasa Inggris yang agak cocok untuknya adalah jack-of-all-trades (dan sayangnya, seorang master of none).
Ardi merupakan seseorang yang bisa melakukan berbagai jenis pekerjaan dengan sikapnya yang terbuka dan ramah. Ia memiliki penguasaan alami terhadap soft skills secara penuh. Hanya saja, tanpa sepengetahuan kebanyakan orang, Ardi menyimpan sejumlah ‘persoalan pribadi’ yang sempat membuatnya tersandung pada satu-dua tahap kehidupannya dulu, yang mungkin menjadi alasan utama mengapa hingga saat ini potensinya masih belum tergali secara sepenuhnya.

Sehari-hari, Ardi bekerja dengan duduk di depan laptop miliknya sendiri, dengan tangan yang biasanya sibuk mengetik berbagai macam hal, serta program penjelajah Web yang sesekali dibukanya untuk memperoleh informasi (atau terjemahan informasi) yang ia butuhkan.

Ardi lebih suka menggunakan touchpad daripada mouse. Ardi lebih memilih minum air hangat daripada kopi (meski secara pribadi, ia lebih menyukai teh). Preferensi-preferensinya yang lebih sering berlawanan dengan kecendrungan umum kebanyakan orang membuatnya tergolong ‘unik’ di kalangan kolega-koleganya, dan agak menghambat pengharapannya untuk membaur. Tapi bidang pekerjaannya kali ini secara kebetulan hanya ditangani oleh dirinya seorang, sehingga tanpa disadarinya, kedudukannya di perusahaan itu, pada titik ini, sebenarnya bisa dibilang lumayan vital.

Ardi adalah orang ‘berkendala sosial’ yang ‘sosial.’ Oleh karena itu ia memiliki bakat alami untuk menarik perhatian orang-orang ‘berkendala sosial’ lain seperti dirinya. Hubungannya dengan Kania mungkin juga berawal dari kenyataan bahwa Kania yang pemalu dan tak banyak bergaul merupakan seseorang yang ‘berkendala sosial’ pula.
Di mata Ardi, Kania adalah seorang gadis pemimpi. Alasan Ardi dulu menyukainya, setelah ia pikirkan belakangan, mungkin agak kekanak-kanakan atau bahkan memalukan.

Agak sedikit lebih dibandingkan gadis-gadis lainnya, Kania memiliki pengharapan untuk menjadi seorang putri dalam sebuah dongeng. Berpengharapan untuk menjadi terhormat, ‘diselamatkan’ seorang lelaki yang kemudian menjadi pangerannya, dan menjalani hidup bahagia dengan lelaki itu untuk selama-lamanya.

Heh. Pengharapan yang klasik. Benar-benar klasik.” komentar Musthaf.

Kania di mata Ardi adalah seorang gadis yang seperti itu.

Tapi di sisi lain, jauh di lubuk hatinya, Ardi sendiri sebenarnya sama sekali tak berkeberatan dengan hal tersebut.

Sebab—singkat cerita—di bawah sadar masa kecil Ardi, telah tertanam sebuah impian untuk bisa menjadi ksatria yang suatu saat menolong sang tuan putri. Seorang ksatria yang, suatu saat, kelak akan menemukan ‘akhir bahagia untuk selama-lamanya’ miliknya pula. Karena itu Ardi merasa seperti apapun Kania, gadis itu takkan mungkin menertawakan impian kecilnya tersebut. Karena mereka berdua sama-sama memiliki pengharapan klasik yang sejenis.

Itulah alasan mengapa dulu Ardi tertarik pada Kania. Itulah alasan mengapa Ardi berharap Kania dapat menjadi sosok yang dicarinya—terlepas dari pendapat beberapa teman lain yang secara objektif menilai bahwa Kania memiliki kepribadian yang agak terlalu manja.

Tapi...


***
Beragam ‘persoalan pribadi’ Ardi (yang mungkin menjadi alasan mengapa dirinya sampai ‘berkendala sosial’) agak sulit dijelaskan. Tapi dampak beragam ‘persoalan pribadi’ itu pada akhirnya jelas: depresi. Seperti kebanyakan kasus depresi lainnya, faktor-faktor penyebabnya—yang seringkali berlangsung dalam rentang waktu selama bertahun-tahun—agak susah ditelusur.

Kenapa aku sempat mengira Musthaf bakal mengatakannya ya?

Ardi pada saat itu entah untuk alasan apa memikirkannya kembali.

Terdiam sesaat, jauh dalam lubuk hatinya, Ardi tersadar bahwa alasannya tak lain karena memang ada kemungkinan bahwa kata-kata itu bisa saja benar.

Seketika saja, ia tercekat.

Musthaf, menyadari perubahan pada wajah Ardi persis pada saat kata-katanya terputus, dengan penuh pengertian tak langsung berbicara.

 Apa iya, aku seperti itu? Ardi mulai berpikir keras.

Kania dulu pernah mengatakannya. Mungkin atas saran orang lain. Tentang betapa Ardi masih belum menyikapi secara serius segala hal yang berkaitan dengan hidupnya. Tentang cita-citanya, tentang pekerjaannya, tentang cinta dan hubungan-hubungan yang ingin dijalinnya...

Ya. Kania dulu pernah mengatakannya. Mungkin dengan cara yang agak salah. Yang kemudian menjadi penyebab salah satu pertengkaran mereka.

“Kamu masih setengah-setengah ‘kan? Kamu udah nyaman dengan keadaan kamu. Makanya kamu enggak pernah mencoba untuk melakukan perubahan ‘kan?”

Kata-kata itulah yang mengapung kembali ke permukaan ingatan Ardi setibanya di ruang tamu Musthaf malam itu.

Apa iya aku enggak serius?

Apapun kebenarannya, saat mengangkat pembicaraan ini, Ardi sebenarnya bertekad untuk tak lagi membiarkan dirinya jatuh ke dalam pekatnya pikiran-pikiran negatif. Untuk tak terjerumus ke dalam keputusasaan seperti yang sering dialaminya sebelum-sebelumnya. Untuk terus bangkit.

Pantang menyerah.

Dan kata itulah yang kemudian seakan menyalakan sebuah bohlam lampu dalam kepalanya.

‘Menyerah’ ya...

“Sial.” gerutu Ardi.

“Kenapa?” tanya Musthaf.

“Aku benci diriku sendiri.”

Apa akhirnya kayak gini karena aku ‘nyerah’ soal Kania?


***
 “Aku benci diriku sendiri.”

Demikian Ardi sering berkata pada teman-teman dekat yang dipercayainya—terutama Musthaf—semenjak tahun-tahun terakhir masa kuliahnya. Tak pernah sekalipun Ardi menjelaskan alasan kebenciannya, atau apapun yang membuatnya menyatakannya. Meski bahkan tanpa penjelasan pun, dari melihat keadaannya saja saat itu, teman-temannya kurang lebih bisa mengerti.

Tapi pernyataan itu biasanya kemudian akan diikuti dengan perkataan, “Aku pengen berubah.” dan mungkin itulah yang selanjutnya mengubah segala-galanya.

Aku pengen berubah.

Pernyataan itu bisa diumpamakan sebagai jaminan’ bahwa suatu saat, Ardi akan bisa mengatasi sendiri beragam ‘persoalan pribadi’-nya dan menemukan dirinya yang sejati sekali lagi. Dan Ardi, entah persisnya semenjak kapan, kemudian mulai menjelma dari seseorang dengan tatapan mata kosong yang sangat bergantung pada keadaan menjadi seorang progresif.

Proses ini berlangsung pada pertengahan masa kuliah. Sebelum ia bahkan mulai apa-apa dengan Kania.

Ardi ingin menjadi sesuatu yang bergerak. Bergerak ke arah manapun, asal ‘tidak berdiam di tempat ini.’ Inhibisi kejiwaannya memang telah begitu melekat. Sehingga bahkan berbulan-bulan sesudah kelulusan kuliahnya pun, Ardi dengan kecewa mendapati bahwa dirinya belum juga menjadi seseorang yang banyak berubah. Pencapaiannya masih begitu-begitu saja. Ardi masih belum berhasil menjadi ‘seseorang yang lebih baik’ seperti yang diharapkannya. Tapi Ardi tak ingin menyerah.

Bila ada satu hal yang Ardi sadar tak boleh lakukan, maka itu adalah ‘menyerah.’

Ia boleh bimbang, ia boleh malas, ia boleh kecewa dan frustrasi—tapi ia bertekad bahwa sesudahnya, ia harus selalu bisa menemukan jalannya kembali dan tak boleh menyerah. (kenyataan bahwa ia belum menentukan suatu tujuan hidup yang pasti, serta langkah-langkah runut untuk mencapai tujuan itu, ditambah belum jelas kriteria-kriteria yang ingin dipenuhinya dalam jangka pendek, sangat mungkin berkontribusi terhadap kegagalan-kegagalannya)

Lalu di masa-masa status quo itu, Musthaf banyak berperan.

Musthaf (lajang, supel, 25 tahun) adalah teman lama Ardi semenjak SMA. Ardi tak ingat kapan persisnya ia sendiri menyadariya, tapi sama seperti Ardi, Musthaf juga memiliki pola pikir yang agak ‘melawan arus.’ Meski bukan pribadi yang menonjol semasa SMA, tapi Musthaf tumbuh menjadi seseorang yang sering diminta nasihat soal hidup oleh orang-orang yang ada di sekitarnya.. Mungkin karena pembawaannya yang terbuka dan ramah. Mungkin juga karena ia tipe pribadi yang memiliki dasar keyakinan kuat akan segala sesuatu yang ia lakukan.

Karena kuliah di universitas yang berbeda, Musthaf belum pernah sekalipun bertemu dengan Kania. Terlebih mengingat sesudah kelulusan, Kania pulang ke kota kelahirannya. Tapi Ardi pernah beberapa kali bercerita tentangnya sebelum ini. Sehingga cerita yang Ardi bawakan pada malam itu sama sekali bukanlah cerita baru.

Ardi kini telah menjadi orang yang pantang menyerah terhadap segala sesuatu yang dihadapinya dalam hidup. Tapi dalam kepalanya, pada titik ini dirinya mulai bertanya-tanya: apa keadaan jadi begini karena aku nyerah pada Kania?

Dalam masa-masa depresinya, Ardi berharap orang-orang yang disayanginya dapat menjadi semacam motivator, figur-figur yang dapat dipercayainya dan menjadi panutan baginya untuk bangkit dari kegagalan dan kembali maju. Musthaf, entah semenjak kapan, telah menjadi seseorang seperti itu. Dan sebenarnya, Ardi berharap suatu saat Kania juga...

Entah semenjak kapan, seakan itu hal teramat wajar, Ardi dan Musthaf tanpa banyak kesulitan menjadi sering saling menunjukkan kelemahan diri mereka masing-masing. Kesepakatan tanpa kata untuk sama-sama bisa berkembang.

Tapi saat Ardi mencoba melakukan hal yang sama bersama Kania... Singkat cerita, mungkin juga karena cara Ardi melakukannya yang salah, Kania marah besar. Nampaknya, Kania kurang lebih menganggap Ardi sengaja merendahkannya dengan cara mencari-cari kelemahannya—sedikitpun tanpa kemungkinan untuk bersedia menerima Kania secara utuh apa adanya.

Saat menyadari kenyataan tersebut, pada waktu itu, Ardi merasa ingin muntah. Tapi tetap saja ia meminta maaf lewat telepon seraya dengan sebal menyadari bahwa cara bicaranya dengan Kania lain kali benar-benar harus diperhatikan.
Lalu, meski Ardi mulai belajar untuk mengendalikan kekesalannya, hal-hal seperti itu tanpa disadarinya telah terjadi secara berulangkali.

Kita... enggak pernah bisa nyambung.

Mungkin itulah yang menyebabkan Ardi mulai kehilangan minat. Meski, mungkin tanpa diperhatikannya, Kania di kota asalnya benar-benar telah sedikit berubah menjadi lebih baik. Mungkin itu pula yang menjadi alasan mengapa saat Kania bertanya soal keinginannya untuk menjalin hubungan, Ardi dengan tanpa ragunya berkata bahwa ia masih belum siap melakukannya.

Belum siap berpikir soal menjalin hubungan, maksudnya.

Mungkin.

Dan lagipula, Ardi sejak awal  berharap hal-hal seperti hubungan itu bisa terjadi secara alami.

Dan beberapa lama berikutnya, Kania mengumumkan bahwa ia telah diperkenalkan pada seorang cowok yang kemudian menjadi pacarnya, yang kini kemudian telah menjadi calon suaminya.

Kalaupun sebelumnya Kania menunjukkan tanda-tanda ingin menjalin hubungan serius dengan Ardi, tak pernah sekalipun dirinya mengatakan sesuatu seperti ‘aku suka kamu.’

Padahal... Dengan sebal Ardi kerap berpikir; ...aku sendiri pernah.

Mungkin memang tak signifikan. Mungkin memang dengan penuh keraguan. Tapi Ardi pernah mengutarakan perasaannya pada Kania. Dengan menahan malu. Tanpa bayangan apapun soal apa selanjutnya yang akan ia hadapi. Pada beberapa hari sebelum Kania pulang ke kota asalnya.

Aku suka kamu.

“Dan si Kania itu cuma jawab dengan ‘Makasih.’ aja!”

Ardi sempat ingin bercerita soal pernyataannya itu pada Musthaf, tapi pada saat terakhir, sesuatu tiba-tiba menahannya. Mungkin—pada saat itu Ardi sadari—Kania menanggapi seperti itu hanya karena mereka sebelumnya saling curhat tentang patah hati mereka masing-masing saja?

Ya, kenyataan tersebut sebelum-sebelumnya membuat Ardi teramat sebal. Tapi saat memikirkannya sekarang di ruang tamu Musthaf, hal tersebut terasa seperti sesuatu yang tak ada artinya ia besar-besarkan lagi.

“Apa aku yang ‘nyerah’ soal dia?” Ardi bertanya.

Sebelumnya, Ardi berpikir bahwa Kania yang ‘menyerah’ terlebih dahulu.

Kania, sang putri yang begitu berharap bisa merasakan cinta. Yang secara sadar merasa bahwa ia sudah tertinggal dari teman-temannya dalam hal mendapatkan suami.

Dan itulah segala alasan yang membuat Kania ‘menyebalkan’ bagi Ardi, sekaligus alasan mengapa Ardi kehilangan minat terhadapnya.

Just get the hell outta my life! Itulah yang kerap dipikirkan Ardi setiap kali Kania dari kota lain mengganggunya untuk hal-hal teramat sepele, bahkan sesudah dirinya punya pacar sendiri. Seperti dalam seminggu sebelum ini! Bahkan menjelang pernikahannya, Kania masih tetap mengganggunya untuk hal-hal sepele, dan dengan sikap penuh berharapnya mengharapkan kehadiran Ardi pada acara nanti. Padahal belakangan Ardi menyadari hanya ia seorang dari teman-teman sekomunitas mereka yang secara formal diberi undangan!

Kalo emang ada yang pengen dia katain, kenapa dia selalu ngasih tanda-tanda enggak jelas kayak gini? Kenapa dia enggak pernah ngatain langsung!

Tapi saat Ardi memikirkannya kini...

Apa bukan aku yang ‘nyerah’ soal dia?

Kalaupun dia memang punya sudah pacar, kalau Ardi memang mencintainya, bukankah Ardi pasti akan memaksakan diri untuk mendapatkannya kembali? Tapi kenapa sampai akhir ia tak melakukannya!

“Bro.”

Lalu dengan getir Ardi memahami bahwa faktanya, keduanya memang telah sama-sama menyerah terhadap satu sama lain. Tak ada yang patut disalahkan. Tak ada yang perlu dipertanggungjawabkan.

Yang menyebalkannya, Kania kini benar-benar bertambah cantik. Mungkin pada kenyataannya, ada sebagian saran dari Ardi yang benar-benar ia ikuti. Dasar brengsek.Padahal dia jadi kayak gini sekarang itu karena aku! Pikiran-pikiran seperti kemudian berlanjut pada pikiran-pikiran kotor di kepala Ardi.

“Hoi! Bro!”

Ardi terlonjak, tersadar Musthaf dari seberang meja memanggilinya.

“Bro, sejak awal dia emang enggak cocok ama kamu. Kamu sendiri yang bilang ‘kan? Kamu tipe orang yang percaya bahwa apapun yang perlu dikatain mesti bisa dikatain. Sedangkan dia sebaliknya. Kalian sejak awal emang enggak bakal bisa nyambung.”

Butuh beberapa menit bagi Ardi untuk memahami apa yang Musthaf sampaikan. Butuh beberapa menit pula bagi Ardi untuk mempertimbangkan sejauh mana Kania masih tetap seperti itu. Hanya beberapa menit, tapi beberapa menit itu seakan mengubah segala-galanya.

“...Waktu aku nyadar kalo aku enggak sreg ama dia, aku enggak ngerasa kesel ato gimana sih. Cuma... agak sedih.” Ardi mengakui sembari menghela nafas. “Bener-bener sedih.”

Dan pembicaraannya dengan Musthaf pun berakhir pada malam itu.

Akhirnya, pada hari pernikahan Kania yang akan dilangsungkan di luar kota, Ardi mengiriminya SMS bahwa ia mengalami sakit pada hari yang buruk.

Kania—secara agak tak terduga bagi Ardi—dengan ringan membalasnya lewat SMS yang mengatakan bahwa dia mengerti dan agar Ardi tak memaksakan diri untuk pergi.

Ardi membalasnya lagi dengan SMS berisi permintaan maaf dan doa yang tulus untuk kebahagiaan Kania.

Kania membalasnya lagi dengan ucapan terima kasih.

Ardi menghela nafas.

Namun tak sampai semenit kemudian, ponsel Ardi bergetar lagi—Kania mengiriminya SMS berisi doa yang kurang lebih sama untuknya juga.

Membacanya, Ardi hanya mengernyit dan nyengir.

fin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar